Mereka juga menyebut dirinya sebagai jemaat pengorbanan yang tidak memiliki peluang untuk korupsi. Mereka mengemukakan contoh ketika di
rekening JAI pusat bertambah uang sekian puluh juta, namun tidak diketahui darimana datangnya. Pengurus JAI kemudian menyebarkan surat ke ratusan
cabang untuk menanyakan uang tersebut. Ternyata ada orang yang mengeluarkan uang pengorbanan, tapi tidak mau diketahui namanya. Hal ini juga terjadi pada
Jemaat Ahmadiyah di Lombok. Termasuk mereka yang menjadi pengungsi, meskipun sudah kehilangan harta benda dan pekerjaan, Jemaat Ahmadiyah tidak
mau bergantung atau mengharapkan bantuan dari Pemerintah, termasuk Pemkot Mataram, tempat mereka bernaung. Hal ini seperti disampaikan oleh Syahidin :
“
Makanya salah kalau orang bilang kami dibiayai pemerintah untuk membangun rumah kembali, bahkan ada yang bilang kami digaji. Hanya Allah yang tahu betapa itu uang
kami. Beberapa keluarga juga pernah di Transito setelah kasus Pancor. Tapi disuruh mengosongkan, akhirnya pada berusaha mengontrak rumah. Kemarin ada isu kami
disuruh pergi dari Transito karena akan direhab. Saya bilang silahkan direhab. Terus ada petugas yang meminta kami untuk tidur di lantai, tanpa bangku-bangku. Tapi saya bilang,
tidak boleh, karena saya akan mengadu. Akhirnya petugas itu diganti, dan petugas yang sekarang udah lembut.”
56
Adalah Syahidin, koordinator pengungsi di Asrama Transito selama 7 tahun sejak 2006 silam. Bersama mubalig dan pengurus JAI NTB, dia mengatur
semua urusan warga JAI yang ada di pengungsian Asrama Transito. Dia menceritakan sedikit tentang dirinya dan perjalanannya selama menjadi Jemaat
Ahmadiyah yang dirongrong terus-menerus. “Saya pada dasarnya dari Lombok Utara, Bayan. Pada tahun 2001, tanggal 12 juli, Ahmad Hariyadi dari Jakarta
pihak LPPI menyebarkan brosur-brosur bahkan masuk ke masjid yang menuliskan bahwa Ahmadiyah itu kafir, pokoknya macam-macam lah. Itu sudah 5
56
Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin, 15 Desember 2010 di Asrama Transito.
kali mushola kami diserang, rumah kami dihabiskan di Bayan, Sambielen”, ucapnya.
Setelah itu, JAI yang di sana pindah ke Medas, 70 KM dari Sambielen, Lombok Timur. Namun, di Medas mereka diusir lagi. Berpindahlah Syahidin dan
rekan-rekannya ke Pancor, Lombok Timur. Baru satu minggu menempati rumah di Pancor, mereka kembali diusir baca: peristiwa tahun 2002. Seakan sudah
putus asa untuk tinggal di Lombok, mereka akhirnya hijrah ke Pulau Sumbawa, yang kebetulan di sana juga banyak Jemaat Ahmadiyah.
Sayangnya, baru satu tahun di Sumbawa, oknum Pancor datang ke sana, sehingga camat setempat pun turun tangan untuk meminta Syahidin dan
kelompoknya pergi. “Akhirnya kami ke Lombok Tengah selama satu tahun, lalu pindah ke Monjok selama setengah tahun. Saya berusaha mencari, kami ketemu
dengan perumahan BTN di Ketapang, sudah 5 tahun tidak laku, saya berusaha untuk membeli. Ada tanah warisan dari nenek di Lombok Tengah, saya jual
sawah, untuk beli rumah di Ketapang, dengan tambahan berhutang pula”, terang Syahidin. Dia pun mengajak Jemaat Ahmadiyah yang belum mendapat tempat
tinggal untuk membeli rumah di komplek BTN tersebut. Sampai akhirnya mereka harus hijrah lagi karena kasus penyerangan pada 2006 dan 2010 lalu.
Semua tindak pengusiran dan kekerasan yang dialami Syahidin dan jemaat lainnya diterima dengan lapang dada. Namun, tak dapat dimungkiri jika mereka
sudah apatis dan tidak hormat lagi dengan aparat. Syahidin mengaku malas dengan perilaku yang seolah-olah “diam-diam” saja melihat keadaan Jemaat
Ahmadiyah, yang mungkin tidak dianggap warga Lombok lagi. “Kesal kan kita, kita berusaha menjaga supaya NTB, Indonesia ini aman. Seandainya polisinya
tegas mungkin tidak akan terjadi. Lha ini malah dibiarkan. Ini NTB, Indonesia, lebih-lebih Islam tercoreng”, keluhnya lagi.
Akan tetapi, dia masih berharap ada titik cerah bagi kehidupan mereka dan anak-anaknya kelak. Oleh karena itu, ketika ada ormas atau LSM, mahasiswa,
peneliti, bahkan orang-orang dari mancanegara, mereka menyambut baik dan bercerita apapun yang terjadi. Bahkan, Basyiruddin, mubalig JAI mengatakan
seraya berseru, “Silahkan foto. Kalau bisa sebarkan ke seluruh dunia akibat dampak dari fatwa MUI”.
Sebenarnya jauh sebelum kejadian di Zaman Reformasi, kekerasan simbolik yang mengakibatkan adanya diskriminasi telah terjadi. Hal ini
diungkapkan oleh Fauziyah
57
. Dia sudah menganut Ahmadiyah sejak kecil karena faktor keturunan. Akan tetapi, setelah mempelajari Ahmadiyah lebih mendalam,
dia pun menyadari ke-islam-an nya semakin kuat. Hanya saja, ketika pihak sekolah mengetahui jika dia seorang Ahmadi, Fauziyah kecil yang biasanya
membaca doa saat upacara di sekolah dilarang untuk melakukannya lagi. Terlebih lagi, ayahnya yang seorang penghulu harus berhenti dari jabatannya karena
menjadi Ahmadi. Dia juga mengaku tidak pernah melihat buku Tadzkirah diajarkan oleh mubalig ataupun keluarganya, apalagi mempelajarinya. Oleh
karena itu, dia menyayangkan atas fitnah yang dilontarkan oleh pihak luar kepada Ahmadiyah.
Berbincang mengenai fasilitas yang ada di Transito sangatlah minim. Mereka benar-benar seperti pengungsi atas musibah tertentu. Uniknya, mereka
mengungsi di tengah kota yang serba kecukupan. Mereka menjadi lubang hitam
57
Wawancara dengan salah satu pengungsi, Bu Fauziyah , 16 Desember 2010 di Asrama Transito.
kecil di antara cahaya. Menurut keterangan ibu-ibu Jemaat Ahmadiyah yang mengungsi di sana, bantuan listrik tidak ada, terbatas hanya di Mushola, sehingga
malam pun gelap gulita. Pada 2006 hingga 2007, pemerintah daerah melalui Departemen Sosial sempat memberikan bantuan bahan makanan dan pelayanan
kesehatan. Tapi setelah itu, sudah tidak ada bantuan atau pihak pemerintah yang datang. Banyak pula pihak yang berjanji akan datang, khususnya pemerintah pusat
dan daerah. Sayangnya sampai saat ini belum ada kepastian hukum dan politik dari berbagai lembaga di pemerintahan. Mirisnya lagi, warga JAI ini sampai
sekarang masih kesulitan untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk KTP. Meskipun kepala daerah sempat mengatakan lewat media untuk memfasilitasi
pembuatan KTP bagi warga JAI, tapi hal itu belum terealisasi dengan nyata hingga saat ini.
58
Oleh pengurus JAI ada beberapa hal yang telah dilakukan agar para jemaatnya bisa diperhatikan oleh pemerintah. Tentu penyampaiannya dilakukan
dengan cara damai, sebuah ciri khas dari Ahmadiyah. Selain meminta pengamanan kepada pihak berwajib, setelah kejadian di Sambielen, Jemaat
Ahmadiyah Indonesia membuat dokumen tentang “Penjelasan Jamaah Islam Ahmadiyah Wilayah NTB” pada 20 Oktober 2011.
59
Penjelasan ini dengan maksud untuk mengakhiri polemik, miskomunikasi, dan misinformasi tentang
Jemaat Islam Ahmadiyah serta upaya meyakinkan umat muslim di NTB dan Indonesia pada umumnya.
58
Loc.cit…Berdasarkan wawancara dengan ibu-ibu pengungsi di Transito, 17 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.
59
Dokumen tersebut disertai surat pengantar ke Gubernur Prov NTB. Surat dan penjelasan tersebut sesuai dengan permintaan Gubernur melalui Tuan Guru Anwar MZ Tuan Guru yang
toleran terhadap Ahmadiyah agar JAI membuat “Penjelasan mengenai Eksistensi Hukum dan Teologi JAI wilayah NTB” pada 20 Oktober 2011.
Beberapa penjelasan tersebut diawali dengan pembahasan tentang Ahmadiyah yang berbadan hukum, terdaftar di Jakarta, dan berkedudukan di
Parung, Bogor. Sesuai dengan Anggaran Dasar JAI disebutkan bahwa kelompok ini berakidah sesuai dengan akidah 6 rukun Iman, dan beramal sesuai dengan 5
rukun Islam. Sumber pokok ajaran Islam Ahmadiyah adalah Al-Quran Al-Karim, Sunnah Nabi Muhammad SAW Hadis, dan Ijma’ para sahabat. Sejak semula,
JAI melaksanakan semua ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
60
Selain itu, hingga sekarang mereka selalu mengirimkan surat ke Gubernur NTB, Tuan Guru Tertentu, dan media untuk mengklarifikasi beberapa hal yang
ditudingkan kepada JAI. Hanya saja, kekuatan besar di depan mereka belum cukup untuk memahami keinginan mereka. JAI merasa butuh waktu dan
kesabaran untuk memimpikan “kedamaian” versi mereka di Bumi Gora, NTB.
3. Aktor dan Tirai Kekerasan Simbolik
Apabila melihat langenggnya kekerasan dan penyerangan terhadap JAI, dapat dipastikan setidaknya ada aktor-aktor yang berperan dibaliknya. Pada
tulisan sebelumnya telah dibahas sedikit mengenai kekuatan organisasi Islam mana saja yang ada di Lombok, seperti Nadhlatul Wathan NW, Muhammadiyah,
atau Wahabi. Tak ketinggalan pula Majelis Ulama Indonesia MUI sebagai lembaga yang memiliki otoritas, salah satunya untuk menentukan sesat atau
tidaknya suatu ajaran. Ajaran Ahmadiyah menurut versi MUI adalah salah satu paham yang
berasal dari Pakistan, masuk ke Indonesia saat penjajahan. Paham yang utama
60
Ini sesuai dengan misi organisasi “Yuhyiddina wa yuqiimusy-syariah”, yang bermakna menghidupkan kembali agama dan menegakkan syariat Islam.
berbeda dari umat Islam lain itu ialah Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai pemimpin dan nabi atau Rasul serta menerima wahyu. Bahkan,
dikatakan oleh MUI jika Ghulam Ahmad menuding orang yang tidak percaya padanya sebagai kafir. Hal inilah yang menjadi patokan ulama-ulama Islam bahwa
Ahmadiyah dianggap menyimpang atau sesat. Namun, karena Ahmadiyah masuk Indonesia pada Zaman Belanda, secara organisasi mereka langsung mendaftarkan
di pemerintah dan tercatat sebagai organisasi yang sah. Ada sebuah legalitas. Itulah yang dipedomani sampai saat ini bahwa Ahmadiyah itu legal.
61
Menurut tokoh MUI tersebut, Ahmadiyah dinyatakan sesat berdasarkan 9 buah buku, namun tidak disebutkan secara detail buku apa saja yang menjadi
patokan. Hal ini juga disampaikan oleh tokoh MUI NTB bahwa organisasi pusat mereka sudah menetapkan atas 9 buah buku, namun memang dia tidak
mengetahui persis buku apakah itu. “Saya juga tidak tahu persis. Tapi bagi saya, satu saja yang menyebutkan misalnya bahwa Tadzkirah sebagai kitab suci, sesat
sudah, karena agama kita hanya mengakui Al-Quran saja. Dulu paling awal kan mereka mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad, berarti mereka sudah
kafir itu. Ahmadiyah ini sebenarnya cerita lama. Apa yang mereka katakan saat ini adalah takiyah, berbohong untuk keamanan atau semacam siasat.
62
Agaknya itulah reaksi yang diperlihatkan oleh tokoh MUI apabila mengetahui beragam klarifikasi yang dilontarkan Ahmadiyah agar tetap disebut
Islam sebagai takiyah. Kalaupun sama, tokoh MUI mempertanyakan mengapa harus menggunakan istilah Ahmadiyah? Nampaknya penjelasan tentang
Ahmadiyah yang telah dijabarkan baca: tulisan sebelumnya tentang Jemaat
61
Berdasarkan wawancara dengan Muhsin mewakili Majelis Ulama Indonesia DI. Yogyakarta pada 31 Maret 2011 di Kantor MUI DIY.
62
Wawancara dengan salah satu tokoh MUI NTB pada 02 Januari 2012 di Sumbawa Barat.
Ahmadiyah dalam Tilikan Sejarah tidak diterima atau bahkan mungkin tidak diketahui oleh pihak MUI. Berikut petikan kalimat yang dilontarkan anggota MUI
atas keberatannya terhadap penamaan Ahmadiyah sebagai ajaran dari JAI ini :
“Saya kemudian berseloroh, kalau sama, kenapa harus memakai kata Ahmadiyah. Selama anda memakai kata Ahmadiyah, orang tidak akan percaya. Kalau pengikut Muhammad,
ya jadilah Muhammadiyah. Saya berikan solusi, kalau bukan Ahmadiyah, ya Ahmadiyah Ahlussunnah Waljamaah. Itu kayak Muhammadiyah dan NU kan Ahlussunnah
Waljamaah. Itu seloroh saya pada dia. Tapi kalau anda tetap menggunakan kata Ahmadiyah, susah orang untuk percaya. MUI DIY secara resmi sudah membuat surat
kepada Gubernur, Polres, Korem, Kantor Agama, usulnya melarang ajaran Ahmadiyah. Ajarannya yang dilarang”.
63
Selain itu, Ahmadiyah versi lain juga dimunculkan oleh beberapa pihak, salah satunya lewat internet. Dugaan bahwa Ahmadiyah melakukan takiyah demi
melindungi dirinya juga disebutkan dalam sebuah jejaring sosial
64
. Sumber tersebut menyebutkan Ahmadiyah mengistilahkan Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi Besar, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi kecilnya. Selain itu, disebutkan pula jika Ahmadiyah memiliki masjid sendiri, dan mereka
lihai dalam melakukan “freemansonilumination”. Situs lain di sebuah website
65
menyebutkan Ahmadiyah sebagai ajaran yang dibentuk oleh Inggris dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabinya. Apabila tidak masuk Ahmadiyah, maka akan
dinyatakan kafir. Selain itu, Qadian merupakan tanah suci dan kiblat mereka, bukan di Mekkah.
Akan reaksi MUI yang sedari dulu sudah menyatakan final atas sesatnya Ahmadiyah, mubalig JAI di Lombok menyatakan hal itu lebih tepatnya
63
Op,cit…Wawancara dengan Muhsin mewakili MUI DI. Yogyakarta pada 31 Maret 2011 di Kantor MUI DIY.
64
Kutipan kata-kata dari seorang teman di jejaring sosial facebook pada 8 Januari 2012. Dia mengaku pernah diajak untuk berbaiat di Ahmadiyah. Ajaran yang dilihat oleh teman saya ini
benar-benar tidak sesuai dengan Islam. Menurutnya, Ahmadiyah ya Ahmadiyah, bukan Islam, tapi kayak Islam.
65
Lihat tulisan sebelumnya, http:www.islampos.comsiapa-dan-bagaimanakah-ajaran- ahmadiyah-57472, ditulis pada 12 Mei 2013 dan diunduh pada 27 Agustus 2013.
pernyataan organisasi, bukan orang per orang. Ada juga tokoh MUI yang memiliki pendapat pribadi tentang Ahmadiyah.
66
Dia menyitir pendapat salah seorang tokoh MUI di Sumbawa bahwa dalam MUI masih ada perbedaan
pendapat, tapi keputusan di daerah tidak bisa mempengaruhi kalau dari pusat belum terjamah.
Selain MUI, sosok Tuan Guru merupakan sosok yang berpengaruh, khususnya bagi masyarakat Lombok yang mayoritas Islam. Tuan Guru merupakan
istilah ulama agama Islam yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa. Tuan Guru biasanya tergabung dalam Nadhlatul Wathan NW, sebuah organisasi terbesar di
dua pulau tersebut. Beberapa Tuan Guru yang tergabung dalam NW dan punya pengaruh kuat di akar rumput yaitu Tuan Guru Sibawae Pendiri AMPIBI, dan
Muhammad Izzi. Para Tuan Guru menyebarkan informasi ke masyarakat tentang segala hal yang menyatakan sesatnya Ahmadiyah.
Menurut salah satu Tuan Guru
67
, buku Amin Djamaluddin tentang “Ahmadiyah Membajak Al-Quran” disebarkan oleh MUI Provinsi NTB ke
seluruh pondok pesantren. Buku ini menjadi referensi utama untuk menolak Ahmadiyah, selain seminar yang diadakan Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam LPPI di Mataram yang menghadirkan Amin Djamaluddin, Atase Kedutaan Arab Saudi, dan Ulama Pakistan.
Aktor lain yang berperan adalah LPPI, pimpinan Amin Djamaluddin, aktif mendukung gerakan anti-Ahmadiyah di Lombok. Amin Djamaluddin juga
langsung hadir di sebuah pertemuan untuk membahas Ahmadiyah awal 2002 di
66
Wawancara dengan Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmadi, 23 Januari 2012 via telepon.
67
Lihat Ali Nursyahid. 2008. Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…. Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
dan Kontras Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Hal 53.
Lombok, dan aktif memberikan materi, atau buku tentang kesesatan Ahmadiyah. Kantor LPPI yang berpusat di Jakarta sepertinya mengendalikan penyerangan
terhadap Ahmadiyah, karena intensitas penyerangan terhadap Ahmadiyah semakin meningkat pasca pertemuan yang difasilitasi oleh LPPI tersebut.
Terkait dengan LPPI, kedutaan besar Saudi Arabia memberikan kontribusi pemicu kekerasan terhadap Ahmadiyah di Lombok dan Sumbawa. Dalam seminar
yang dilaksanakan oleh LPPI, Atase keagamaan Kedubes Saudi Arabia memberikan ceramah soal kesesatan Ahmadiyah, pada tanggal 18 Agustus 2002.
Pemikiran Wahabi yang melarang Ahmadiyah telah meracuni para Tuan Guru, dan mendorong massa untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Ulama
Pakistan juga memberikan kontribusi untuk melarang Ahmadiyah di Lombok dan Sumbawa.
Keterlibatan LPPI yang mengakibatkan kekerasan juga terjadi di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, pada tanggal 18 Desember 2007. Sebenarnya
kriminalisasi terhadap warga Ahmadiyah sudah terjadi sejak 1954. Namun, peluang kekerasan terbuka lagi pada 1976. Pasca-Reformasi, tepatnya pada 11
Agustus 2002, LPPI mengadakan seminar tentang anti-Ahmadiyah dengan mengundang para tokoh pemuda Manislor. Pasca seminar tersebut, mulai muncul
spanduk-spanduk atas nama remaja masjid dan LPPI yang menghina Ahmadiyah. Pihak pemerintah daerah di Kab. Lombok Tengah, Lombok Timur, dan
Lombok Barat juga melakukan upaya intimidasi agar JAI keluar dari Ahmadiyah. Bahkan, Pemerintah Daerah Pemda Sumbawa melarang warga JAI untuk tinggal
di wilayahnya. Pemda-pemda di Lombok Barat dan Sumbawa dengan sengaja melakukan upaya lokalisasi Ahmadiyah di satu tempat, seperti yang menimpa