merencanakan kegiatan usaha yang layak untuk dijalankan, c pelatihan pembukuan keuangan akuntansi praktis bagi tenaga pelaksana kegiatan
usaha kecil, untuk memebekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan akuntansi kegiatan usaha.
o Dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Dukungan dari pemerintahan
desa dan masyarakat sangat diperlukan untuk menumbuhkan berbagai kegiatan usaha yang dijalankan. Dengan adanya dukungan tersebut maka
akan sangat memudahkan dalam menggerakkan partisipasi dari masyarakat petani anggota sehingga akhirnya mereka ikut memberikan kontribusi
terhadap keberhasilan usaha yang akan dijalankan oleh subak.
IV. Pengembangan dan
Pemberdayaan Subak
Basangalas dan
Permasalahannya
Sebagai salah satu organisasi pengairan tradisional di Bali, subak Basangalas yang berada dalam wilayah Desa Adat Basangalas, Desa Tista,
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, dan telah menerima status sebagai subak maju, kenyataannya masih sangat perlu untuk diberdayakan agar
kehidupan petani pendukungnya bisa lebih sejahtera. Luas areal subak keseluruhan adalah 47,45 hektar. Dari luas keseluruhan tersebut, 15,0 ha
merupakan sawah tadah hujan sehingga sisanya seluas 32,45 hektar merupakan sawah yang berpengairan semi teknis teknis.
Jumlah anggota subak seluruhnya 119 orang, dan dari jumlah ini 23 orang berstatus sebagai anggota “ngarep” aktif sedangkan yang lainnya
berstatus sebagai anggota “nyuwinih” pasif. Dari status kepemilikan lahan dan
luas garapan petani anggota subak Basangalas, dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Petani-petani yang memiliki lahan sendiri dan mengerjakan lahannya sendiri beserta anggota keluarga. Mereka yang seperti ini berjumlah 77 orang 64,7
dari jumlah seluruh anggota subak. Luas lahan garapannya bervariasi dari
hanya 7,0 are 1 are = 100 m² sampai 50,0 are, namun ada juga 2 orang anggota subak yang memiliki dan menggarap lahan seluas masing-masing
1,0 hektar. Luas lahan garapan rata-rata dari 77 orang petani anggota subak adalah seluas 30,8 are.
b. Petani-petani yang sepenuhnya berstatus sebagai penyakap atau mengerjakan lahan orang lain dengan sistem bagi hasil tertentu. Kelompok
petani yang berstatus sebagai penyakap berjumlah 42 orang atau dapat dikatakan bahwa 35,3 petani anggota subak Basangalas adalah
penyakap. Luas lahan garapan bervariasi antata 8,0 are – 45,0 are, dengan
rata-rata garapan adalah 19,4 are per orang petani c. Petani-petani yang memiliki lahan sendiri, namun juga menyakap lahan milik
orang lain berjumlah 19 orang, dengan luas lahan keseluruhan adalah 4,41 ha.
Sumber air untuk pengairan adalah tukad sungai Buka, tukad Pangi, dan tukad Ampel yang berada di lerang Bukit Lempuyang berjarak ±5 km dari
wilayah subak Basangalas. Pada ke tiga sungai tersebut dibuat dam bendungan, kemudian melalui saluran semi permanen air akan dialirkan ke
wilayah subak. Pada tempat-tempat tertentu dibuat Bangunan Bagi, dengan maksud air bisa didistribusikan secara merata dan adil kepada setiap Tempek
yang ada di subak Basangalas. Jumlah air yang tidak mencukupi untuk kegiatan pertanian sepanjang tahun untuk keseluruhan areal subak, menyebabkan
dilakukan pembagian air secara bergilir disamping pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman yang ditanam dalam satu pola tanam : padi I
– padi II – palawija. Pada penanaman padi I musim tanam Januari
– Mei semua lahan sawah dapat ditanami padi karena kecukupan air, sedangkan pada padi II musim
tanam Juni – Oktober sebagian lahan ditanami palawija atau sayur-sayuran.
Setelah panen padi II, yaitu antara bulan Oktober - Januari petani umumnya mengusahakan palawija, namun dalam periode ini nampaknya sebagian sawah
diberakan dibiarkan tidak ditanami karena ketebatasan air irigasi. Terkait
dengan hal-hal
yang disampaikan
tadi dalam
usaha mengembangkan dan memberdayakan subak Basangalas agar petani
pendukungnya dapat memadai kesejahteraannya, beberapa permasalahan utama yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya adalah :
a Skala usaha tani kecil. Lahan garapan relatif sangat sempit, rata-rata hanya 19,4 are per petani
penyakap dan 30,8 are per petani yang memang memiliki lahan sendiri dan menyakap. Gagasan untuk mengkonsolidasikan usahatani sehingga
memenuhi skala usaha ekonomi sebagaimana konsep konsolidasi yang diajukan oleh Departemen Pertanian yang kemudian dikenal dengan
“corporate farming” CF secara teoritis ekonomis nampaknya sangat layak dan logis. Namun seperti dinyatakan Sutawan 2000 konsep CF tidak cocok
jika diterapkan pada subak di Bali dengan beberapa alasan, yaitu : 1 subak pada dasarnya menerapkan prinsip : dari subak, oleh subak, dan untuk
subak, 2 para petani anggota subak sebagian besar berstatus penyakap sehingga hubungan yang akrab dan bersifat kekeluargaan antara pemilik
lahan dan penyakapnya akan terputus, 3 konsolidasi lahan akan mengubah jaringan irigasi subak dan akan berakibat berubahnya pula tatanan yang
berkaitan dengan persubakan. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas disamping karena subak adalah lembaga irigasi petani yang bercorak sosio-
religius yang mempunyai kegiatan ritual keagamaan yang sangat banyak dan beragam, dilakukan secara periodik oleh para petani baik secara individual
pada sawah masing-masing maupun secara bersama-sama pada berbagai pura subak, permodalan sangat terbatas dan posisi tawarnya sangat lemah,
maka bentuk lembaga usaha ekonomi yang perlu dikembangkan di subak Basangalas adalah “Koperasi Tani”. Koperasi tani sebagai pilihan yang cocok
karena koperasi adalah lembaga ekonomi yang bercorak sosial sedangkan subak adalah juga lembaga yang bercorak sosial . Yang perlu diusahakan
adalah bagaimana agar koperasi tani yang dibentuk mampu berperan sebagai lembaga ekonomi.
Selama ini memang petani pada umumnya telah menjadi anggota Koperasi Unit Desa KUD, namun sejauh ini belum ada subak yang
membentuk koperasi sendiri. KUD “Merta Usaha” yang ada di Kecamatan
Abang tidaklah hanya memayungi organisasi ekonomi petani saja, namun sebagai badan usaha pasti akan memberi pelayanan kepada para
anggotanya, yang sebenarnya bukan hanya petani. Dengan kata lain KUD “Merta Usaha” adalah bukan koperasi para petani. Untuk petani-petani di Bali
yang sudah tergabung dalam wadah subak, dan kenyataannya dapat eksis sejak hampir seribu tahun yang lalu, seharusnya yang didorong
perkembangannya adalah koperasi tani yang berbasiskan subak, bukan KUD yang ada selama ini.
b Keterbatasan air irigasi Angka debit air sungai-sungai yang merupakan sumber air utama subak
Basangalas dan besarnya kebutuhan air tanaman tidak diketahui secara pasti. Sekalipun demikian dapat dipastikan bahwa rendahnya produktivitas
sawah di subak Basangalas salah satunya penyebabnya adalah karena ketidak cukupan air sepanjang tahun. Banyak air yang hilang akibat perkolasi
di saluran induk sehingga air yang akhirnya sampai di petak-petak persawahan menjadi lebih kecil. Dalam keadaan seperti ini hasil rata-rata
padi yang dapat dicapai di subak Basangalas saat ini adalah sebesar 8 ton gabah kering giling ha. Angka ini masih jauh di bawah yang dapat dicapai
Jepang, yaitu rata-rata sebesar 10,14 ton ha. Untuk mengatasi hal ini dengan harapan agar produktivitas sawah dapat ditingkatkan, salah satu
upaya yang mesti dilakukan adalah memperbaiki saluran-saluran air yang saat ini rusak. Tentunya harus pula disertai dengan tindakan-tindakan seperti
: perbersihan saluran dilakukan secara teratur agar air lancar mengalir, pengaturan jadual pembagian air yang mengedepankan konsep
kebersamaan, penanaman jenis-jenis tanaman sesuai dengan kesediaan air di sawah, penerapan teknologi anjuran yang sesuai, dan disertai pelaksanaan
upacara-upacara ritual yang berlandaskan ketulusan keikhlasan. Keterbatasan air untuk irigasi di Bali saat ini sangat terasa karena banyaknya
sektor lain yang juga menggunakannya, seperti untuk industri pariwisata, dan kegiatan rumah tangga. Inventarisasi sumber-sumber air pada kegiatan studi
Penyusunan Pola Induk Pengembangan Sumberdaya air di seluruh sub-sub
Satuan Wilayah Sungai SWS di Bali mendapatkan bahwa hingga tahun 2005, total sumberdaya air di Bali sebesar 4.582,054 juta m³ per tahun, terdiri
atas sumberdaya air sungai 4.125,58 juta m³ per tahun, sumberdaya air tanah 160,201 m³ per tahun, dan sumberdaya air dari mata air sebesar
290,273 juta m³ per tahun. Sedangkan JICA Japan International Cooperation Agency sebuah lembaga bantuan pemerintah Jepang yang
diperuntukkan bagi Negara-negara berkembang, mendata hingga Pebruari 2005 total persediaan air permukaan sungai di Bali sebesar 5.357,0 juta m³
per tahun, yang bersumber dari air sungai 4.965,2 juta m³ tahun dan air tanah 391,8 juta m³ tahun. Adapun maat air di Bali ada di 160 lokasi, dengan
jumlah keseluruhan 1.274 buah tersebar di 8 kabupaten, terkecuali Denpasar Laporan Lembaga Penelitian Universitas Udayana, 1977.
c Permodalan petani anggota subak terbatas, disamping akses modal dan pasar masih lemah
Mata pencaharian sebagai petani dengan luas garapan rata-rata yang sangat sempit antara 19,4 are
– 30,8 dengan sistem menyakap maka pendapatan keluarga akan menjadi sangat rendah. Dalam sistem sakap berlaku
ketentuan bagi hasil 2 : 3 2 bagian untuk penyakap dan 3 bagian untuk pemilik lahan. Dengan tanpa menghitung biaya-biaya produksi, seperti
pembelian pupuk, bibit, dan biaya-biaya yang terkait dengan kegiatan ritual subak maka sesungguhnya pendapatan petani padi subak Basangalas akan
habis malahan kurang untuk dikonsumsi rumah tangga. Dalam kondisi seperti ini pasti tidaklah cukup modal, apalagi mengakses modal dan pasar untuk
meningkatkan pendapatan. Posisi tawar petani akan rendah karena terbentur kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak yang harus dipenuhi. Memang
ada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga, yaitu bekerja di luar sektor pertanian seperti buruh bangunan,
kerajinan rumah tangga, namun tetap tidak memberikan kontribusi yang berarti untuk menjadikan petani-petani subak Basangalas lebih sejahtera.
Lembaga ekonomi seperti Koperasi Unit Desa KUD hanya ada 1 buah di tingkat kecamatan sedangkan Lembaga perkreditan Desa LPD di tingkat
Desa Tista ada tiga, yaitu LPD Ngis, LPD Tista, dan LPD Purwayu, sementara di desa adat Basangalas belum terbentuk. Lembaga-lembaga ini
bergerak dalam kegiatan simpan pinjam sehingga bagi mereka yang membutuhkan uang modal dapat meminjamnya di tempat tersebut.
Rendahnya pendapatan petani dan tidak terjaminnya kontinyuitas hasil pertanian menyebabkan para petani anggota subak merasa enggan untuk
meminjam uang untuk modal usaha, takut tidak mampu mengembalikan uang pinjaman dan bunga pinjamannya.
d Harga hasil-hasil pertanian berfluktuasi Fluktuasi harga hasil-hasil pertanian terutama komuditas hortikultura selalu
terjadi. Penetapan ketentuan harga gabah kering giling oleh pemerintah sering pula tidak dinikmati oleh para petani , akibatnya sektor ini dianggap
tidak dapat memberikan jaminan untuk kehidupan yang lebih layak. Akibat lanjutannya adalah penerapan teknologi budidaya anjuran tidak dapat
diterapkan secara optimal. Implikasi berikutnya adalah produktivitas tidak bisa dicapai secara maksimal.
e Belum adanya jalinan kemitraan yang baik antar petani kelompok tani dengan pengusaha
Jalinan kemitraan yang baik antar petani kelompok tani dengan pengusaha sesungguhnya baru akan terjadi jika posisi petani anggota subak lebih kuat,
yaitu kuat dalam hal : menekuni kegiatan pertaniannya, adanya jaminan kontinyuitas pasar dengan harga yang memadai, bantuan modal awal untuk
berusaha tani yang mencukupi, dan adanya komitmen pengusaha untuk membantu para petani anggota subak Basanglas. Hal-hal inilah yang
sepertinya belum tampak sehingga permasalahan yang dihadapi petani selalu berulang dari waktu ke waktu.
V. Penutup