Pemberdayaan subak , Studi kasus untuk subak Basangalas.

(1)

Laporan Penelitian

PEMBERDAYAAN SUBAK DALAM PEMBANGUNAN

PERTANIAN :

STUDI KASUS SUBAK BASANGALAS

Oleh :

Ir. I Nengah Artha,SU.

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

KATA PENGATAR

Puji syukur dan terima kasih kami haturkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNYA sehingga laporan hasil penelitian tentang “Pemberdayaan Subak Dalam Pembangunan Pertanian : studi kasus terhadap subak

Basangalas” dapat diselesaikan.

Penelitian ini diinisiasi atas permintaan bapak Prof. Ebisawa Tadashi (The dean of the research institute of paddy culture, Graduate School of Letters, Art and Sciences, Waseda University) yang menaruh minat tinggi tentang organisasi tradisional pengairan di Bali, yaitu Subak. Uraian dalam laporan ini mencoba untuk mengulas bagaimana pemberdayaan subak di Bali dalam menunjang pembangunan pertanian, dengan satu contoh kasus sebagai ilustrasi adalah subak Basangalas, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali.

Sebagai karya tulis ilmiah tentunya akan menjadi lebih baik terutama tentang isi dan kedalaman uraiannya jika mendapatkan respon berupa kritik dan saran dari para pembaca yang terhormat. Atas hal tersebut tidak lupa dihaturkan terima kasih. Terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian Universiats Udayana atas kesempatan dan kepercayaannya sehinnga penelitian ini telah dapat dilaksanakan. Hal yang sama juga dihaturkan kepada semua pengurus dan kerama subak Basangalas aats segala bantuannya.

Mudah-mudahan materi yang kami bahas dalam laporan penelitian ini dapat bermanfaat, sekali lagi terima kasih.


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ……… 1 II. Peranan subak dalam pembangunan pertanian di Bali ……… 5 III. Pemberdayaan subak dalam persfektif lembaga usaha ekonomi

pedesaan ……… 11 IV. Pengembangan dan pemberdayaan subak Basangalas dan.

permasalahannya……… 19 V. Penutup. ………. 26 DAFTAR PUSTAKA


(4)

I. Pendahuluan

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Demikian pula halnya dengan pembangunan Bali, sejak tahun 1970-an tetap memperioritaskan sektor pertanian disamping pariwisata dan industri kecil. Ke tiga sektor ini diharapkan tumbuh secara berkesinambungan (balanced) dan saling mendukung (interdependence). Namun sejak tahun 1980-an terlihat bahwa terjadi ketimpangan yang semakin besar antara satu sektor dengan sektor yang lainnya. Sektor pariwisata maju dengan pesat, sementara sektor pertanian mengalami kemajuan yang sangat lambat, bahkan mengarah ke stagnasi.

Peran sektor pertanian di Bali secara garis besar dapat digambarkan antara lain : (a) menyerap sekitar 32,18 % tenaga kerja , (b) menyumbangkan sekitar 19,1 % terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto, (c) menyediakan bahan pangan untuk masyarakat Bali, (d) konservasi sumberdaya alam dan budaya Bali, (e) sebagai katup pengaman terhadap potensi gejolak sosial, krisis ekonomi, dan lain-lain.

Walaupun sektor pertanian berperan cukup besar dalam perekonomian Bali, namun hanya sebagain kecil petani yang memadai kesejahteraannya. Terhadap kenyataan ini, banyak hal yang sudah ditempuh pemerintah ataupun dianjurkan oleh para ahli dalam rangka membina masyarakat tani atau masyarakat pedesaan guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya antara lain melalui pendekatan kelompok. Pembinaan melalui pendekatan kelompok adalah suatu cara pembinaan masyarakat tani atau masyarakat pedesaan dalam suatu kelompok yang telah terorganisir dengan baik dalam suatu kesatuan. Dengan cara ini proses pendidikan dan pembinaan petani dianggap lebih cepat dan murah serta dapat mengurangi tenaga penyuluh pertanian disamping meningkatkan efektivitas kerja tenaga penyuluh pertanian tersebut. Masyarakat Bali umumnya melakukan kebiatan dalam kehidupan yang bekelompok yang sebagian besar dari kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok-kelompok tradisional. Salah satu dari kelompok tersebut adalah sistem


(5)

subak. Subak selain merupakan sistem fisik juga merupakan sistem sosial yang fungsi utamanya adalah mengatur pengairan agar air dapat dibagikan secara adil dan merata kepada seluruh anggota subak. Kegiatan subak tidak terpaku hanya pada kegiatan irigasi, namun kegiatannya telah berkembang luas yang mencakup kegiatan-kegiatan seperti : simpan-pinjam, pengadaan sarana produksi bersama, penggalian dana bersama, upacara keagamaan, kegiatan gotong royong, pengaturan pola tanam dan waktu tanam, dan berbagai kegiatan lainnya.

Program-program pembangunan dari pemerintah terutama pembangunan pertanian senantiasa memanfaatkan kelompok tani (subak) sebagai sasaran programnya, yang pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup petani anggota subak. Program-program pembangunan yang telah sampai ke subak pada akhirnya akan sangat mempengaruhi dinamika subak, baik pengaruh yang meningkatkan kedinamisan subak maupun yang mungkin menurunkan kedinamisan subak tersebut. Permasalahan yang kemudian perlu dibahas adalah bagaimana sesungguhnya pengembangan dan pemberdayaan subak saat ini dalam menunjang pembangunan pertanian sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani anggota subak dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya di Bali.

Penelitian ini dilaksanakan untuk melengkapi tulisan yang dibuat oleh Prof. Ebisawa Tadashi (The dean of the research institute of paddy culture, Graduate School of Letters, Art and Sciences, Waseda University) yang menaruh minat tinggi tentang organisasi tradisional pengairan di Bali, yaitu Subak. Uraian dalam laporan ini mencoba untuk mengulas bagaimana pemberdayaan subak di Bali dalam menunjang pembangunan pertanian, dengan satu contoh kasus sebagai ilustrasi adalah subak Basangalas, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali. Secara keseluruhan laporan ini terdiri dari : (I) Pendahuluan, (II) Peranan subak dalam pembangunan pertanian di Bali, (III) Pemberdayaan subak dalam persfektif lembaga usaha ekonomi pedesaan, (IV) Pengembangan dan pemberdayaan subak Basangalas dan permasalahannya, dan (V) Penutup.


(6)

II. Peranan Subak Dalam Pembangunan Pertanian di Bali

Yang dimaksud dengan pembangunan pertanian disini adalah pembangunan pertanian tanaman pangan, yang meliputi intensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi di bidang pertanian yang memiliki dua sasaran, yaitu (1). Peningkatan ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal, dan (2). Pengembangan agribisnis dengan membangun keunggulan kompetitif sesuai kompetensi dan produk unggulan di masing-masing daerah. Program pembanguan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam langkah-langkah operasional, sebagai berikut : A. Di hulu

Kegiatan-kegiatan yang termasuk di dalamnya, meliputi : a) Penyiapan sarana dan prasarana, yang terdiri dari :

 Perbenihan, melalui pengembangan penangkar / produsen benih

 Pupuk dan pestisida, dengan meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait dan pengembangan Unit Pelayanan Saprodi sehingga terjamin ketersediaannya

 Pengembangan alat dan mesin pertanian melalui pola Usaha Pelayanan Jasa alat dan mesin pertanian

 Rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani, rehabilitasi jalan usaha tani, dan pembuatan embung / cubang

b) Pengembangan permodalan, melalui :

 Penyediaan kredit ketahanan pangan dengan bunga subsidi pemerintah

 Kredit usaha kecil dan menengah dan kredit pengadaan pangan,

 Bantuan langsung masyarakat, yakni pemberian bantuan berupa uang tunai kepada kelompoktani untuk dimanfaatkan dalam pengembangan usahatani secara berkelanjutan,


(7)

 Penyediaan dana talangan (kredit tanpa bunga untuk dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, APBN)

 Pola leasing untuk pengadaan alat dan mesin pertanian, yakni bantuan dikembalikan ke pemerintah dengan mengangsur dari hasil usaha mereka.

B. Subsistem Budidaya, yang meliputi :

a) Peningkatan produktivitas melalui peningkatan mutu intensifikasi dengan perbaikan penerapan teknologi anjuran

b) Pengembangan sentra-sentra produksi dan konservasi lahan kering c) Peningkatan indeks pertanaman (cropping intensity) melalui

pemantapan pola tanam dan diversifikasi usaha tani

d) Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dengan pola pengendalian hama terpadu

C. Subsistem Hilir, terdiri dari :

a) Perbaikan panen, pascapanen dan pengolahan hasil b) Perbaikan pemasaran hasil, melalui :

 Penumbuhan subterminal agribisnis pada sentra-sentra produksi

 Pemberian dana talangan sebagai penguatan modal kepada lembaga-lembaga usaha ekonomi pedesaan untuk stabilisasi harga gabah

 Pengembagan sistem lumbung pangan dan tunda jual

 Promosi / pameran, temu usaha, dan pelayanan informasi pasar

D. Subsistem Penunjang, meliputi :

a) Pengembangan sumberdaya manusia melalui penyuluhan, pelatihan, magang, dan sekolah lapang

b) Pemantapan kelembagaan melalui pembinaan dan fasilitasi kelompoktani (subak) antara lain berupa bantuan pembuatan tempat pertemuan kelompoktani lahan kering dan pembuatan balai subak, serta koperasi tani.


(8)

Peranan subak dalam pembangunan pertanian di Bali, secara deskriptif dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Subak berperan dalam meningkatkan areal sawah yang berpengairan sepanjang tahun

Pembangunan irigasi pada subak membawa beberapa akibat, diantaranya : (a) meningkatkan frekuensi tanam, (b) meningkatkan luas tanam, (c) meningkatkan luas panen, dan (d) meningkatkan hasil padi / produksi. Ke empat hal inilah yang merupakan peranan terpenting subak sebagai suatu kelompok sosial.

2) Subak mempunyai peranan dalam mempertahankan kesinambungan persediaan bahan makanan, terutama beras.

Dampak terpenting yang dapat dirasakan dari adanya pembangunan irigasi di subak adalah mantapnya produksi bahan makanan (padi / beras).

3) Peranan subak dalam peternakan dan perikanan.

Peternakan itik dan pemeliharaan ikan di sawah (mina padi) sangat terkait dengan subak.

4) Peranan subak dalam pemerataan distribusi pendapatan.

Secara tradisional dikenal adanya sistem “derep” (panen padi tidak hanya dilakukan oleh anggota subak sendiri namun ikut juga anggota masyarakat lainnya dengan mendapatkan imbalan upah sesuai dengan banyaknya padi yang dapat diketam/ dipanen). Adanya perubahan jenis padi yang ditanam, dari jenis padi lokal (dipanen memakai ani-ani) menjadi jenis-jenis padi unggul baru disamping adanya kecenderungan panen dengan sistem tebas (padi langsung dijual di sawah sebelum dipanen) menyebabkan juga perubahan pengupahan dan juga jumlah tenaga kerja yang dipakai.

5) Peranan subak dalam meningkatkan kesempatan kerja.

Perubahan dari pengairan sederhana ke pengairan teknis menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja untuk meningkatkan produksi pertanian, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.


(9)

Konflik antar subak akibat masalah air sering muncul sepanjang sejarah subak, dan pada tingkat konflik yang cukup besar biasanya ditangani oleh sedahan agung bersama Dinas Pekerjaan Umum. Penanganan masalah yang muncul tersebut dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : (a) diperkenankannya peminjaman air diantara anggota subak, (b) peminjaman air antar subak, (c) meningkatkan persediaan air, misalnya rehabilitasi jaringan irigasi, pemanfaatan air tanah, dan pembuatan waduk. Terbentuknya “subak gede” diharapkan mampu mengurangi konflik tersebut karena melalui wadah ini pengalokasian air akan dapat dilakukan secara lebih merata.

7) Subak berperan dalam mengalokasikan dana pembangunan.

Dengan perubahan struktur organisasi subak yang diikuti dengan terbentuknya “subak gede” atau “subak agung” maka dana-dana pembangunan dari pemerintah menjadi lebih mudah untuk dialokasikan secara lebih merata. Memang pada skala bantuan yang kecil, umumnya bantuan untuk irigasi kecil bantuan yang diserahkan oleh pemerintah akan dikelola langsung oleh subak secara swadaya sehingga otonomi dan inisiatif subak tidak mati.

8) Peranan subak dalam terus membina sikap gotong royong

Untuk dapat beradaptasi dan dapat menerima modernisasi dalam bidang pertanian, subak sangat berperan dalam membina dan mengembangkan kesatuan dan kebersamaan dalam berbagai segi kehidupan, baik suka maupun duka, yang meliputi aspek ekonomi, sosial, agama, dan keamanan. 9) Peranan subak dalam kegiatan simpan-pinjam dan pengadaan sarana

produksi.

Subak mempunyai peranan dalam kegiatan simpan-pinjam sudah dikenal sejak abad ke 19 (Arga dan W. Sudana, 1994), dan peranan tersebut kemudian diperluas dengan pengadaan sarana produksi dan berlangsung terus menerus sampai sekarang. Usaha-usaha untuk meningkatkan peranannya dalam koperasi (Koperasi Unit Desa) sampai saat ini belum berhasil dengan baik.


(10)

Hal ini terkait dengan pembentukan sikap disiplin petani, sikap menghargai nilai air dan sumberdaya alam lainnya, rasa kerjasama antar petani pemakai air, dan sikap untuk dapat mengambil suatu keputusan secara kolektif.

Sistem subak adalah suatu kelompok sosial tradisional di Bali yang anggota-anggotanya adalah para petani. Kelompok ini sangat efektif dalam menunjang pelaksanaan pembangunan ,terutama sebagai media penyampaian teknologi kepada masyarakat di pedesaan ( Suyatna, 1982). Sumber-sumber air beserta fasilitas lainnya berupa bangunan pangambil air di sungai biasanya dibangun dan dikelola secara swadaya oleh subak itu sendiri, sementara bangunan berupa bendungan atau dam dibangun dan dikelola oleh pemerintah. Terkait dengan fungsi utama subak mengatur pembagian air secara adil dan merata kepada setiap anggotanya, subak mempunyai otonomi secara penuh sehingga berhak untuk mengatur dirinya sendiri termasuk menyelesaikan segala perselisihan yang mungkin muncul pada wilayah subak itu. Pemberian otonomi kepada subak oleh pemerintah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Bali, Nomer 02/PD/DPRD/1972 tentang irigasi, sebagaimana tercantum di dalam pasal 14, yang bunyinya sebagai berikut :

1) Subak berkewajiban dalam mengatur rumah tangganya sendiri, baik dalam mengusahakan adanya air maupun dalam mengatur air dengan tertib dan efektif untuk kepentingan persawahan subak,

2) Subak menjaga dan memelihara irigasi dengan sebaik-baiknya yang diperlukan untuk menjamin adanya kelancaran dan tertibnya irigasi di wilayahnya,

3) Dalam melaksanakan urusan rumah tangganya subak menjalankan peraturan

atau “awig-awig” dan “sima” yang berlaku di wilayah masing-masing,

4) Subak menyelesaikan segala perselisihan yang timbul di wilayahnya sendiri, dan

5) Apabila terjadi pelanggaran dan tindak pidana, akan diselesaikan menurut hukum oleh yang berwajib.

Kegiatan-kegiatan subak disamping berpengaruh langsung pada peningkatan produksi, pendapatan , dan kesejahteraan petani dan masyarakat disekitarnya,


(11)

juga berdampak pada aspek-aspek seperti disiplin, sikap mental petani, sikap menghargai sumberdaya alam, rasa kerjasama, terpeliharanya nilai-nilai agama, adat- istiadat dan budaya sehingga memberikan sumbangan terhadap industri pariwisata di Bali. Instansi-instansi yang banyak memanfaatkan subak untuk melaksanakan program-programnya, misalnya Dinas Kebudayaan, Dinas Koperasi, Dinas Pendapatan, Dinas Pertanian / Dinas Perkebunan, Departemen Pekerjaan Umum

III. Pemberdayaan Subak Dalam Perspektif Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

Gagasan untuk mengembangkan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di Indonesia agar menjadi organisasi ekonomi bukanlah suatu hal yang baru. Dengan kata lain P3A (termasuk Subak) perlu dikembangkan yang tidak saja berorientasi pada pengelolaan irigasi, namun juga kegiatan ekonomi. Di Gujarat, India misalnya, organisasi irigasi telah mampu berperan di luar kegiatan pokoknya sebagai pengelola irigasi, yaitu dalam kegiatan bisnis berupa pengadaan sarana produksi pertanian, perkreditan, pemasaran hasil-hasil pertanian, pengolahan pascapanen, dan pemberian pelayanan penyuluhan pertanian (Shah and Shah, dalam Sutawan, 2000).

Perlunya mengembangkan subak menjadi suatu lembaga ekonomi yang mampu berperan ganda, yakni bukan saja sebagai pengelola jaringan irigasi tetapi juga dalam kegiatan bisnis (ekonomi / agribisnis), Sutawan (1998) memberikan alasan-alasan antara lain : (a). adanya beban finansial yang harus dipikul oleh subak sebagai akibat implementasi program-program pemerintah, seperti PIK (Penyerahan Irigasi Kecil) kepada perkumpulan petani pemakai air dan program IPAIR (Iuran Pelayanan Irigasi) yang pada dasarnya juga menuntut subak untuk ikut bertanggung jawab dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, (b). adanya persaingan ekonomi global akibat diberlakukannya perdagangan bebas menjelang abad ke 21, (c). kesenjangan pendapatan yang lebar antara sektor pertanian dan non pertanian, (d). adanya


(12)

peluang bagi subak untuk melakukan usaha ekonomi sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 42 tahun 1995, dan (e). adanya kebebasan petani dalam mengusahakan jenis tanaman yang diinginkan sesuai dengan Undang Undang No. 12 tahun 1992.

Jika subak dikembangkan menjadi suatu lembaga ekonomi pedesaan, maka model lembaga tersebut seharusnya tidak akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan subak, namun justru sedapat mungkin akan dapat menjadikan subak tersebut lebih kuat dan lebih mandiri serta tangguh menghadapi berbagai tantangan modernisasi, disamping anggota-anggotanya dapat menjadi lebih sejahtera. Kalau subak sampai punah, diyakini kebudayana Bali juga akan terancam karena subak bersama lembaga sosial lainnya, seperti Banjar dan Desa Adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali.

3.1. Model Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

Pemilikan lahan sawah yang sempit mengakibatkan usahatani sawah tidak menarik secara ekonomis, karena pengelolaan yang tidak efisien dan tidak dapat memberikan jaminan pendapatan yang layak. Saat ini diperkirakan lebih dari 10,5 juta (53 %) rumah tangga petani menguasai lahan kurang dari 0,50 hektar dan lebih dari 6,0 juta (30 %) menguasai lahan kurang dari 0,25 hektar (Purba, 2000). Untuk daerah Bali berdasarkan sensus pertanian menunjukkan bahwa jumlah kepala keluarga petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,50 hektar meningkat dari 159.400 (1993) menjadi 172.000 (1998), sehingga diperkirakan rata-rata pemilikan lahan sawah saat ini hanya 0,30 hektar per kepala keluarga petani (Dinas Pertanian Propinsi Bali, 1999)

Fragmentasi lahan sawah diakibatkan oleh berbagai faktor diantaranya karena : (a) warisan sejarah, (b) dinamika internal / sistem pewarisan, (c) campur tangan / kebijakan pemerintah, dan (d) pengaruh modal swasta / asing. Sebagai akibat dari ke empat factor tersebut menyebabkan akses petani terhadap lahan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir menjadi makin lemah.

Departemen Pertanian melalui Menteri Pertanian bulan Mei 2000 mencanangkan grand strategy untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis, yang dinamakan corporate farming (CF). Maksud dan


(13)

tujuannya adalah untuk mewujudkan usahatani yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan melalui pengelolaan usahatani secara korporasi, yang pada akhirnya untuk meningkatkan efisiensi usahatani, meningkatkan pendapatan serta mengembangkan lapangan pekerjaan di pedesaan melalui inovasi kelembagaan (Badan Litbang Pertanian, 2000). Selengkapnya corporate farming yang dimaksud adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi dari suatu kelompok tani sehamparan dengan lembaga agribisnis melalui perwujudan konsolidasi manajemen usahatani sehamparan dengan tetap menjamin kepemilikan lahan pada masing-masing petani dalam bentuk “saham” sesuai luas lahan yang dimiliki. Lahan pertanian yang sempit dikonsolidasikan menjadi hamparan seluas 100 – 150 hektar. Petani-petani diberikan saham yang besarnya sesuai dengan luas lahan yang dimiliki, dengan pembagian keuntungan didasarkan pada besarnya saham tersebut. Sebagai pengelola usahatani skala besar ini dipilih seorang farm manager dari kelompok tani yang merupakan petani andalan di tempat itu. Jenis komuditas yang diusahakan adalah hasil kesepakatan bersama dari peserta CF secara musyawarah.

Studi diagnostik yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2000) di calon lokasi CF, yaitu subak Klode, Desa Tunjuk Kabupaten Tabanan melaporkan bahwa persepsi petani menyangkut beberapa parameter kualitatif CF, seperti konsolidasi manajemen on-farm (seperti : pembibitan, pengolahan lahan, pengaturan irigasi, pengendalian organisme pengganggu tanaman, pengadaaan tenaga kerja, panen, dan pemasaran ) umumnya direspon positif, terutama jika dikaitkan dengan pengertian bahwa konsep CF merupakan pengembangan konsolidasi manajemen sistem subak. Sedangkan parameter kualitatif yang memeperoleh renpons negatif adalah jika konsolidasi pengelolaan harus disertai dengan penataan pematang sawah.

Pemberdayaan kelompok tani (subak) dalam perspektif CF sesuai dengan konsep pemerintah mungkin tidak dapat dilakukan. Sutawan (2000) menyatakan ada beberapa alasan yang mendasari kenapa konsep ini menjadi tidak cocok jika diterapkan pada subak di Bali, antara lain :


(14)

1) Subak pada dasarnya menerapkan prinsip : dari subak, oleh subak, dan untuk subak. Kegiatan-kegiatan subak direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Pekerjaan fisik seperti misalnya pemeliharaan dan perbaikan irigasi, upacara ritual di tingkat subak pada umumnya dilakukan oleh anggota subak secara gotong royong. Padahal ritual subak merupakan siri khas dari organisasi irigasi petani di Bali, yang membedakannya dengan organisasi irigasi di tempat-tempat lain di dunia.

2) Para petani pada kebanyakan subak di Bali sebagian besar berstatus penyakap. Jika diterapkan CF di subak, maka banyak petani yang akan kehilangan pekerjaannya sebab CF sebagai perusahaan modern cenderung akan mengurangi biaya-biaya produksi termasuk upah tenaga kerja guna memaksimalkan keuntungan perusahaan. Implikasi dari kecenderungan ini adalah kegiatan ritual subak yang memang memerlukan tenaga dan biaya banyak, mungkin tidak ada lagi, yang berarti subak juga tidak akan ada lagi.

3) Hubungan yang akrab dan bersifat kekeluargaan antara pemilik lahan dan penyakapnya akan terputus

4) Konsolidasi lahan akan mengubah jaringan irigasi subak dan akan berakibat berubahnya pula tatanan yang berkaitan dengan persubakan. Misalnya, yang menyangkut keanggotaan subak dengan segala hak dan kewajibannya, pengaturan pembagian air irigasi, struktur subak yang terkait dengan pembagian wilayah subak menjadi beberapa tempek, pembagian tugas dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, dan lain sebagainya. Semua ini akan mengubah secara total sistem subak yang ada selama ini .

5) Kalau tidak diatur secara tegas bahwa lahan sawah dalam areal subak yang telah menjadi CF itu tidak boleh diperjual belikan, dikhawatirkan saham-saham akan dikuasai oleh orang-orang yang sama sekali bukan anggota subak. Kalau hal ini terjadi, subak pasti tidak bisa dipertahankan.


(15)

Ditambahkan pula bahwa di suatu saat nanti tidak tertutup kemungkinan CF akan dapat juga berkembang di Indonesia apabila kondisinya telah mendukung. Misalnya, petani-petani sebagian besar telah meninggalkan pekerjaannya sebagai petani karena telah terserap di sektor luar pertanian sebagai akibat berhasilnya industrialisasi, persentase penduduk desa yang tinggal aktif di sektor pertanian menjadi relatif kecil. Jika kondisi ini terjadi di Bali maka terbentuknya usahatani skala besar bisa saja terjadi. Di Jepang misalnya, petani-petani dengan luas garapan sempit menyewakan lahannya kepada mereka yang mampu mengelola usahatani dengan luas garapan besar.

Model lembaga usaha ekonomi apakah yang cocok di terapkan untuk pemberdayaan subak di Bali ?. Dengan pertimbangan-pertimbangan : (a). subak adalah lembaga irigasi petani yang bercorak sosio-religius yang mempunyai kegiatan ritual keagamaan yang sangat banyak dan beragam, dilakukan secara periodik oleh para petani baik secara individual pada sawah masing-masing maupun secara bersama-sama pada berbagai pura subak, (b) kebanyakan petani luas garapannya tergolong sempit, permodalannya terbatas dan posisi tawarnya sangat lemah, maka bentuk lembaga usaha

ekonomi yang perlu dikembangkan adalah “Koperasi Tani”. Koperasi tani

sebagai pilihan yang cocok karena koperasi adalah lembaga ekonomi yang bercorak sosial sedangkan subak adalah juga lembaga yang bercorak sosial . Yang perlu diusahakan adalah bagaimana agar koperasi tani yang dibentuk mampu berperan sebagai lembaga ekonomi.

Selama ini memang petani pada umumnya telah menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD), namun sejauh ini belum ada subak yang membentuk koperasi sendiri. KUD tidaklah hanya memayungi organisasi ekonomi petani saja, namun sebagai badan usaha pasti akan memberi pelayanan kepada para anggotanya, yang sebenarnya bukan hanya petani. Dengan kata lain KUD adalah bukan koperasi para petani. Untuk petani-petani di Bali yang sudah tergabung dalam wadah subak, dan kenyataannya dapat eksis sejak hampir seribu tahun yang lalu, seharusnya yang didorong


(16)

perkembangannya adalah koperasi tani yang berbasiskan subak, bukan KUD yang ada selama ini.

3.2. Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mengembangkan Subak Menjadi Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

Mengupayakan agar subak menjadi lembaga usaha ekonomi yang tetap juga melakukan fungsinya sebagai organisasi sosial pengelola irigasi, tentunya tidaklah mudah. Memberikan peran baru kepada subak yang semula belum pernah dilaksanakan mungkin akan sulit diterima dan memerlukan waktu untuk memberikan pemahaman, apalagi kenyataannya pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia anggota subak masih belum memadai.

Seandainya upaya mengembangkan lembaga usaha ekonomi, misalnya koperasi tani pada satu subak secara keseluruhan belum memungkinkan, maka mungkin dapat diupayakan pembentukan koperasi tersebut pada tingkat tempek (bagian subak). Status legal formal koperasi tani tidaklah perlu dipersoalkan, yang penting anggota dari tempek yang bersangkutan mampu melaksanakan kegiatan agribisnis secara kelompok. Misalnya membeli pupuk, bibit dan sarana produksi lainnya secara bersama, termasuk misalnya pemasaran hasil panen dilakukan melalui koperasi yang dibentuk tersebut. Dengan cara seperti ini, yaitu membeli sarana produksi dan menjual hasil panen secara kolektif maka posisi tawar dalam menetapkan harga akan menjadi lebih kuat. Apabila kegiatan ini berhasil kemungkinan besar akan diikuti oleh tempek-tempek lainnya sehingga suatu saat pembentukan koperasi di tingkat subak secara keseluruhan akan dapat diwujudkan. Apakah kemudian lembaga usaha ekonomi ini akan disebut koperasi atau nama lain, disilahkan saja subak yang menentukannya,. Yang penting bahwa subak tersebut telah berperan sebagai koperasi di mana anggota-anggotanya memang merasakan manfaatnya.

Sutawan (2000) menguraikan bahwa upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkan subak menjadi lembaga usaha ekonomi pedesaan


(17)

dengan tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai lembaga irigasi yang bercorak sosio-religius, antara lain adalah :

1. Mengupayakan adanya Peraturan Daerah tentang tata ruang yang secara tegas mengatur wilayah atau areal subak-subak yang harus dipertahankan / dilestarikan. Alih fungsi lahan beririgasi untuk pemanfaatan non pertanian pada areal subak agar dilarang,

2. Mencegah agar sumberdaya air seperti danau, sungai, dan lain-lain jangan sampai tercemar oleh limbah industri yang dapat mengancam keberlanjutan pertanian, dengan mengenakan sanksi hukum yang tegas bagi pelaku pencemaran,

3. Mengupayakan agar subak diberikan status badan hukum. Dengan dimilikinya status badan hukum maka subak akan bisa melakukan transaksi ekonomi seperti misalnya memperoleh kredit perbankan, membuka rekening bank atas nama subak. Saat ini sejumlah subak telah menerima status badan hukum dengan cara mendaftarkan awig-awig subak ke kantor Pengadilan Negeri setempat. Supaya tidak terlalu memberatkan subak, akan lebih baik kalau ditetapkan saja melalui Peraturan Daerah sehingga setiap subak secara otomatis diakui sebagai badan hukum,

4. Mengadakan berbagai program yang dapat mendukung terciptanya iklim yang kondusif bagi berkembangnya subak menjadi organisasi / lembaga usaha ekonomi, seperti : (a). program pelatihan dan pendidikan bagi petani anggota subak atau sekurang-kurangnya bagi pengurus subak untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam managemen agribisnis, pembukuan dan kewirausahaan, (b). program pemberian kredit, pelayanan informasi pasar, program kemitraan, dan (c). program penyuluhan teknologi budidaya untuk berbagai jenis tanaman terutama tanaman-tanaman yang bernilai ekonomis tinggi.

5. Membuat pilot proyek di beberapa subak dalam bentuk penelitian aksi partisipatori (participatory action research) dalam upaya mengembangkan subak yang berorientasi agribisnis.


(18)

Ada beberapa kendala dalam pembentukan lembaga usaha ekonomi (unit usaha ekonomi) yang berbasis subak, yang meliputi : (a) kendala internal seperti sistem maanjemen yang sangat sederhana, sumber daya manusia yang pengetahuan serta keterampilannya masih kurang, sifat organisasi yang sisio-religius, dan kurangnya jiwa kewirausahaan, (b) kendala eksternal, berupa rendahnya kepercayaan penyandang dana (Bank) dan adanya persaingan dan lemahnya penguasaan terhadap informasi pasar. Untuk itu diperlukan dukungan dari berbagai pihak dan upaya-upaya untuk mempersiapkan tenaga yang professional. Dukungan nyang diperlukan, meliputi :

o Pengakuan terhadap status badan hukum dalam usaha ekonomi. Subak

dalam menjalankan perannya sebagai lembaga usaha ekonomi memerlukan adanya status badan hukum agar memungkinkan subak mengakses ke berbagai lembaga pembiayaan dan instansi terkait yang dapat menyediakan fasilitas pengembangan usaha

o Bantuan permodalan. Investasi dan modal kerja sangat diperlukan dalam

menangkap berbagai peluang usaha yang ada.

o Bantuan sarana usaha. Sarana usaha yang diperlukan dapat terdiri dari

fasilitas usaha seperti : bangunan toko dan gudang, peralatan produksi yang langsung dapat digunakan untuk kegiatan usaha. Karena subak merupakan pelaku baru yang bergerak dalam usaha ekonomi, maka dukungan ini sangat diperlukan untuk memotivasi dan mengawali usaha oleh subak. Oleh karenanya diperlukan kesungguhan dari pengurus subak untuk melakukan pendekatan kepada instansi Pembina yang diharapkan dapat menyediakan fasilitas tersebut.

o Pelatihan keterampilan manajemen usaha. Subak sangat memerlukan

dukungan dari instansi terkait dalam bentuk program pelatihan keterampilan manajemen usaha, yang dapat berupa : (a). pelatihan manajemen usaha kecil, untuk memberikan pengetahuan dan wawasan berpikir yang lebih luas kepada pengurus subak mengenai bagaimana mengelola suatu kegiatan usaha, (b) pelatihan penyusunan studi kelayakan usaha, untuk membekali pengurus atau tenaga pelaksana usaha dengan keterampilan dalam


(19)

merencanakan kegiatan usaha yang layak untuk dijalankan, (c) pelatihan pembukuan keuangan (akuntansi) praktis bagi tenaga pelaksana kegiatan usaha kecil, untuk memebekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan akuntansi kegiatan usaha.

o Dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Dukungan dari pemerintahan

desa dan masyarakat sangat diperlukan untuk menumbuhkan berbagai kegiatan usaha yang dijalankan. Dengan adanya dukungan tersebut maka akan sangat memudahkan dalam menggerakkan partisipasi dari masyarakat / petani anggota sehingga akhirnya mereka ikut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan usaha yang akan dijalankan oleh subak.

IV. Pengembangan dan Pemberdayaan Subak Basangalas dan Permasalahannya

Sebagai salah satu organisasi pengairan tradisional di Bali, subak Basangalas yang berada dalam wilayah Desa Adat Basangalas, Desa Tista, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, dan telah menerima status sebagai subak maju, kenyataannya masih sangat perlu untuk diberdayakan agar kehidupan petani pendukungnya bisa lebih sejahtera. Luas areal subak keseluruhan adalah 47,45 hektar. Dari luas keseluruhan tersebut, 15,0 ha merupakan sawah tadah hujan sehingga sisanya seluas 32,45 hektar merupakan sawah yang berpengairan semi teknis / teknis.

Jumlah anggota subak seluruhnya 119 orang, dan dari jumlah ini 23

orang berstatus sebagai anggota “ngarep” (aktif) sedangkan yang lainnya

berstatus sebagai anggota “nyuwinih” (pasif). Dari status kepemilikan lahan dan luas garapan petani anggota subak Basangalas, dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Petani-petani yang memiliki lahan sendiri dan mengerjakan lahannya sendiri beserta anggota keluarga. Mereka yang seperti ini berjumlah 77 orang (64,7 %) dari jumlah seluruh anggota subak. Luas lahan garapannya bervariasi dari


(20)

hanya 7,0 are ( 1 are = 100 m²) sampai 50,0 are, namun ada juga 2 orang anggota subak yang memiliki dan menggarap lahan seluas masing-masing 1,0 hektar. Luas lahan garapan rata-rata dari 77 orang petani anggota subak adalah seluas 30,8 are.

b. Petani-petani yang sepenuhnya berstatus sebagai penyakap atau mengerjakan lahan orang lain dengan sistem bagi hasil tertentu. Kelompok petani yang berstatus sebagai penyakap berjumlah 42 orang atau dapat dikatakan bahwa 35,3 % petani anggota subak Basangalas adalah penyakap. Luas lahan garapan bervariasi antata 8,0 are – 45,0 are, dengan rata-rata garapan adalah 19,4 are per orang petani

c. Petani-petani yang memiliki lahan sendiri, namun juga menyakap lahan milik orang lain berjumlah 19 orang, dengan luas lahan keseluruhan adalah 4,41 ha.

Sumber air untuk pengairan adalah tukad (sungai) Buka, tukad Pangi, dan tukad Ampel yang berada di lerang Bukit Lempuyang berjarak ±5 km dari wilayah subak Basangalas. Pada ke tiga sungai tersebut dibuat dam (bendungan), kemudian melalui saluran semi permanen air akan dialirkan ke wilayah subak. Pada tempat-tempat tertentu dibuat Bangunan Bagi, dengan maksud air bisa didistribusikan secara merata dan adil kepada setiap Tempek yang ada di subak Basangalas. Jumlah air yang tidak mencukupi untuk kegiatan pertanian sepanjang tahun untuk keseluruhan areal subak, menyebabkan dilakukan pembagian air secara bergilir disamping pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman yang ditanam dalam satu pola tanam : padi I – padi II – palawija. Pada penanaman padi I ( musim tanam Januari – Mei ) semua lahan sawah dapat ditanami padi karena kecukupan air, sedangkan pada padi II (musim tanam Juni – Oktober) sebagian lahan ditanami palawija atau sayur-sayuran. Setelah panen padi II, yaitu antara bulan Oktober - Januari petani umumnya mengusahakan palawija, namun dalam periode ini nampaknya sebagian sawah diberakan / dibiarkan tidak ditanami karena ketebatasan air irigasi.

Terkait dengan hal-hal yang disampaikan tadi dalam usaha mengembangkan dan memberdayakan subak Basangalas agar petani


(21)

pendukungnya dapat memadai kesejahteraannya, beberapa permasalahan utama yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya adalah :

a) Skala usaha tani kecil.

Lahan garapan relatif sangat sempit, rata-rata hanya 19,4 are per petani penyakap dan 30,8 are per petani yang memang memiliki lahan sendiri dan menyakap. Gagasan untuk mengkonsolidasikan usahatani sehingga memenuhi skala usaha ekonomi sebagaimana konsep konsolidasi yang diajukan oleh Departemen Pertanian yang kemudian dikenal dengan

corporate farming” (CF) secara teoritis ekonomis nampaknya sangat layak dan logis. Namun seperti dinyatakan Sutawan (2000) konsep CF tidak cocok jika diterapkan pada subak di Bali dengan beberapa alasan, yaitu : (1) subak pada dasarnya menerapkan prinsip : dari subak, oleh subak, dan untuk subak, (2) para petani anggota subak sebagian besar berstatus penyakap sehingga hubungan yang akrab dan bersifat kekeluargaan antara pemilik lahan dan penyakapnya akan terputus, (3) konsolidasi lahan akan mengubah jaringan irigasi subak dan akan berakibat berubahnya pula tatanan yang berkaitan dengan persubakan. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas disamping karena subak adalah lembaga irigasi petani yang bercorak sosio-religius yang mempunyai kegiatan ritual keagamaan yang sangat banyak dan beragam, dilakukan secara periodik oleh para petani baik secara individual pada sawah masing-masing maupun secara bersama-sama pada berbagai pura subak, permodalan sangat terbatas dan posisi tawarnya sangat lemah, maka bentuk lembaga usaha ekonomi yang perlu dikembangkan di subak

Basangalas adalah “Koperasi Tani”. Koperasi tani sebagai pilihan yang cocok

karena koperasi adalah lembaga ekonomi yang bercorak sosial sedangkan subak adalah juga lembaga yang bercorak sosial . Yang perlu diusahakan adalah bagaimana agar koperasi tani yang dibentuk mampu berperan sebagai lembaga ekonomi.

Selama ini memang petani pada umumnya telah menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD), namun sejauh ini belum ada subak yang membentuk koperasi sendiri. KUD “Merta Usaha” yang ada di Kecamatan


(22)

Abang tidaklah hanya memayungi organisasi ekonomi petani saja, namun sebagai badan usaha pasti akan memberi pelayanan kepada para anggotanya, yang sebenarnya bukan hanya petani. Dengan kata lain KUD

“Merta Usaha” adalah bukan koperasi para petani. Untuk petani-petani di Bali yang sudah tergabung dalam wadah subak, dan kenyataannya dapat eksis sejak hampir seribu tahun yang lalu, seharusnya yang didorong perkembangannya adalah koperasi tani yang berbasiskan subak, bukan KUD yang ada selama ini.

b) Keterbatasan air irigasi

Angka debit air sungai-sungai yang merupakan sumber air utama subak Basangalas dan besarnya kebutuhan air tanaman tidak diketahui secara pasti. Sekalipun demikian dapat dipastikan bahwa rendahnya produktivitas sawah di subak Basangalas salah satunya penyebabnya adalah karena ketidak cukupan air sepanjang tahun. Banyak air yang hilang akibat perkolasi di saluran induk sehingga air yang akhirnya sampai di petak-petak persawahan menjadi lebih kecil. Dalam keadaan seperti ini hasil rata-rata padi yang dapat dicapai di subak Basangalas saat ini adalah sebesar 8 ton gabah kering giling/ ha. Angka ini masih jauh di bawah yang dapat dicapai Jepang, yaitu rata-rata sebesar 10,14 ton /ha. Untuk mengatasi hal ini dengan harapan agar produktivitas sawah dapat ditingkatkan, salah satu upaya yang mesti dilakukan adalah memperbaiki saluran-saluran air yang saat ini rusak. Tentunya harus pula disertai dengan tindakan-tindakan seperti : perbersihan saluran dilakukan secara teratur agar air lancar mengalir, pengaturan jadual pembagian air yang mengedepankan konsep kebersamaan, penanaman jenis-jenis tanaman sesuai dengan kesediaan air di sawah, penerapan teknologi anjuran yang sesuai, dan disertai pelaksanaan upacara-upacara ritual yang berlandaskan ketulusan / keikhlasan.

Keterbatasan air untuk irigasi di Bali saat ini sangat terasa karena banyaknya sektor lain yang juga menggunakannya, seperti untuk industri pariwisata, dan kegiatan rumah tangga. Inventarisasi sumber-sumber air pada kegiatan studi Penyusunan Pola Induk Pengembangan Sumberdaya air di seluruh sub-sub


(23)

Satuan Wilayah Sungai (SWS) di Bali mendapatkan bahwa hingga tahun 2005, total sumberdaya air di Bali sebesar 4.582,054 juta m³ per tahun, terdiri atas sumberdaya air sungai 4.125,58 juta m³ per tahun, sumberdaya air tanah 160,201 m³ per tahun, dan sumberdaya air dari mata air sebesar 290,273 juta m³ per tahun. Sedangkan JICA (Japan International Cooperation Agency) sebuah lembaga bantuan pemerintah Jepang yang diperuntukkan bagi Negara-negara berkembang, mendata hingga Pebruari 2005 total persediaan air permukaan (sungai) di Bali sebesar 5.357,0 juta m³ per tahun, yang bersumber dari air sungai 4.965,2 juta m³ /tahun dan air tanah 391,8 juta m³ /tahun. Adapun maat air di Bali ada di 160 lokasi, dengan jumlah keseluruhan 1.274 buah tersebar di 8 kabupaten, terkecuali Denpasar (Laporan Lembaga Penelitian Universitas Udayana, 1977).

c) Permodalan petani anggota subak terbatas, disamping akses modal dan pasar masih lemah

Mata pencaharian sebagai petani dengan luas garapan rata-rata yang sangat sempit (antara 19,4 are – 30,8) dengan sistem menyakap maka pendapatan keluarga akan menjadi sangat rendah. Dalam sistem sakap berlaku ketentuan bagi hasil 2 : 3 ( 2 bagian untuk penyakap dan 3 bagian untuk pemilik lahan). Dengan tanpa menghitung biaya-biaya produksi, seperti pembelian pupuk, bibit, dan biaya-biaya yang terkait dengan kegiatan ritual subak maka sesungguhnya pendapatan petani padi subak Basangalas akan habis malahan kurang untuk dikonsumsi rumah tangga. Dalam kondisi seperti ini pasti tidaklah cukup modal, apalagi mengakses modal dan pasar untuk meningkatkan pendapatan. Posisi tawar petani akan rendah karena terbentur kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak yang harus dipenuhi. Memang ada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga, yaitu bekerja di luar sektor pertanian seperti buruh bangunan, kerajinan rumah tangga, namun tetap tidak memberikan kontribusi yang berarti untuk menjadikan petani-petani subak Basangalas lebih sejahtera. Lembaga ekonomi seperti Koperasi Unit Desa (KUD) hanya ada 1 buah di tingkat kecamatan sedangkan Lembaga perkreditan Desa (LPD) di tingkat


(24)

Desa Tista ada tiga, yaitu LPD Ngis, LPD Tista, dan LPD Purwayu, sementara di desa adat Basangalas belum terbentuk. Lembaga-lembaga ini bergerak dalam kegiatan simpan pinjam sehingga bagi mereka yang membutuhkan uang (modal) dapat meminjamnya di tempat tersebut. Rendahnya pendapatan petani dan tidak terjaminnya kontinyuitas hasil pertanian menyebabkan para petani anggota subak merasa enggan untuk meminjam uang untuk modal usaha, takut tidak mampu mengembalikan uang pinjaman dan bunga pinjamannya.

d) Harga hasil-hasil pertanian berfluktuasi

Fluktuasi harga hasil-hasil pertanian terutama komuditas hortikultura selalu terjadi. Penetapan ketentuan harga gabah kering giling oleh pemerintah sering pula tidak dinikmati oleh para petani , akibatnya sektor ini dianggap tidak dapat memberikan jaminan untuk kehidupan yang lebih layak. Akibat lanjutannya adalah penerapan teknologi budidaya anjuran tidak dapat diterapkan secara optimal. Implikasi berikutnya adalah produktivitas tidak bisa dicapai secara maksimal.

e) Belum adanya jalinan kemitraan yang baik antar petani / kelompok tani dengan pengusaha

Jalinan kemitraan yang baik antar petani / kelompok tani dengan pengusaha sesungguhnya baru akan terjadi jika posisi petani anggota subak lebih kuat, yaitu kuat dalam hal : menekuni kegiatan pertaniannya, adanya jaminan kontinyuitas pasar dengan harga yang memadai, bantuan modal awal untuk berusaha tani yang mencukupi, dan adanya komitmen pengusaha untuk membantu para petani anggota subak Basanglas. Hal-hal inilah yang sepertinya belum tampak sehingga permasalahan yang dihadapi petani selalu berulang dari waktu ke waktu.

V. Penutup

Pemberdayaan subak (subak Basangalas) melalui pembentukan lembaga ekonomi pedesaan yang berorientasi agribisnis selain sebagai


(25)

pengelola irigasi sudah seharusnya diupayakan. Pemerintah diharapkan tidak terlalu mengintervensi dengan pola intruksi dari atas (top down), namun seyogyanya bersikap membina dan mendorong sejalan dengan konsep pemberdayaan dan diarahkan pada terciptanya iklim yang kondusif guna mendorong partisipasi masyarakat secara aktif.

Diperlukan tersedianya modal awal usaha untuk usahatani dari pemerintah disamping peranan pemerintah lainnya seperti : upaya memfasilitasi kelembagaan untuk pelaksanaan musyawarah-mufakat, dan memfasilitasi kerjasama kemitraan dengan unit-unit kelembagaan agribisnis.

Pola tanam di subak Basangalas perlu terus dimantapkan dengan lebih memprioritaskan komoditas yang berorientasi pasar. Terlaksananya hal ini mutlak menuntut air yang mencukupi sepanjang tahun, dan ini bisa terjadi kalau saluran-saluran irigasi yang saat ini rusak sehingga perkolasi air di saluran tinggi dapat diperbaiki secar bertahap.

Daftar Pustaka

 Arga Wayan dan I Wayan Sudana. 1994. Subak : Perkembangan dan Peranannya dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Dalam Lembaga Tradisional dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Bali.

 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Laporan Studi Diagnostik Lokasi Corporate Farming di Desa Tunjuk, Kabupaten Tabanan, Bali.

 Dinas Pertanian Propinsi Bali. 1999. Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Bali.

 Lembaga Penelitian Universitas Udayana. 1977. Laporan Lembaga Penelitian Universitas Udayana

 Purba,S. 2000. Pengkajian Model Korporasi Usaha Pertanian Berbasis Padi. Bahan Raker Badan Litbang Pertanian, di Cisarua Bogor.


(26)

 Sutawan, Nyoman. 1998. Mengembangkan Subak sebagai Lembaga Pengelola Irigasi sekaligus sebagai Pengelola Agribisnis. Makalah bahan diskusi dalam Temu Wicara di Gedung Wanita Canti Graha, Denpasar.  Sutawan, Nyoman. 2000. Mengembangkan Subak ke Arah Organisasi

Ekonomi : Corporate Farming, ataukah Ada Alternatif Lain. Makalah pada seminar Corporate Farming yang diselenggarakan oleh Jurusan Sosial Ekonomi / Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana

 Suyatna, I Gde. 1982. Ciri-Ciri Kedinamisan Kelompok Tradisional di Bali dan Peranannya dalam Pembangunan. Desertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertaniann Bogor.


(1)

pendukungnya dapat memadai kesejahteraannya, beberapa permasalahan utama yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya adalah :

a) Skala usaha tani kecil.

Lahan garapan relatif sangat sempit, rata-rata hanya 19,4 are per petani penyakap dan 30,8 are per petani yang memang memiliki lahan sendiri dan menyakap. Gagasan untuk mengkonsolidasikan usahatani sehingga memenuhi skala usaha ekonomi sebagaimana konsep konsolidasi yang diajukan oleh Departemen Pertanian yang kemudian dikenal dengan “corporate farming” (CF) secara teoritis ekonomis nampaknya sangat layak dan logis. Namun seperti dinyatakan Sutawan (2000) konsep CF tidak cocok jika diterapkan pada subak di Bali dengan beberapa alasan, yaitu : (1) subak pada dasarnya menerapkan prinsip : dari subak, oleh subak, dan untuk subak, (2) para petani anggota subak sebagian besar berstatus penyakap sehingga hubungan yang akrab dan bersifat kekeluargaan antara pemilik lahan dan penyakapnya akan terputus, (3) konsolidasi lahan akan mengubah jaringan irigasi subak dan akan berakibat berubahnya pula tatanan yang berkaitan dengan persubakan. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas disamping karena subak adalah lembaga irigasi petani yang bercorak sosio-religius yang mempunyai kegiatan ritual keagamaan yang sangat banyak dan beragam, dilakukan secara periodik oleh para petani baik secara individual pada sawah masing-masing maupun secara bersama-sama pada berbagai pura subak, permodalan sangat terbatas dan posisi tawarnya sangat lemah, maka bentuk lembaga usaha ekonomi yang perlu dikembangkan di subak Basangalas adalah “Koperasi Tani”. Koperasi tani sebagai pilihan yang cocok karena koperasi adalah lembaga ekonomi yang bercorak sosial sedangkan subak adalah juga lembaga yang bercorak sosial . Yang perlu diusahakan adalah bagaimana agar koperasi tani yang dibentuk mampu berperan sebagai lembaga ekonomi.

Selama ini memang petani pada umumnya telah menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD), namun sejauh ini belum ada subak yang membentuk koperasi sendiri. KUD “Merta Usaha” yang ada di Kecamatan


(2)

Abang tidaklah hanya memayungi organisasi ekonomi petani saja, namun sebagai badan usaha pasti akan memberi pelayanan kepada para anggotanya, yang sebenarnya bukan hanya petani. Dengan kata lain KUD “Merta Usaha” adalah bukan koperasi para petani. Untuk petani-petani di Bali yang sudah tergabung dalam wadah subak, dan kenyataannya dapat eksis sejak hampir seribu tahun yang lalu, seharusnya yang didorong perkembangannya adalah koperasi tani yang berbasiskan subak, bukan KUD yang ada selama ini.

b) Keterbatasan air irigasi

Angka debit air sungai-sungai yang merupakan sumber air utama subak Basangalas dan besarnya kebutuhan air tanaman tidak diketahui secara pasti. Sekalipun demikian dapat dipastikan bahwa rendahnya produktivitas sawah di subak Basangalas salah satunya penyebabnya adalah karena ketidak cukupan air sepanjang tahun. Banyak air yang hilang akibat perkolasi di saluran induk sehingga air yang akhirnya sampai di petak-petak persawahan menjadi lebih kecil. Dalam keadaan seperti ini hasil rata-rata padi yang dapat dicapai di subak Basangalas saat ini adalah sebesar 8 ton gabah kering giling/ ha. Angka ini masih jauh di bawah yang dapat dicapai Jepang, yaitu rata-rata sebesar 10,14 ton /ha. Untuk mengatasi hal ini dengan harapan agar produktivitas sawah dapat ditingkatkan, salah satu upaya yang mesti dilakukan adalah memperbaiki saluran-saluran air yang saat ini rusak. Tentunya harus pula disertai dengan tindakan-tindakan seperti : perbersihan saluran dilakukan secara teratur agar air lancar mengalir, pengaturan jadual pembagian air yang mengedepankan konsep kebersamaan, penanaman jenis-jenis tanaman sesuai dengan kesediaan air di sawah, penerapan teknologi anjuran yang sesuai, dan disertai pelaksanaan upacara-upacara ritual yang berlandaskan ketulusan / keikhlasan.

Keterbatasan air untuk irigasi di Bali saat ini sangat terasa karena banyaknya sektor lain yang juga menggunakannya, seperti untuk industri pariwisata, dan kegiatan rumah tangga. Inventarisasi sumber-sumber air pada kegiatan studi Penyusunan Pola Induk Pengembangan Sumberdaya air di seluruh sub-sub


(3)

Satuan Wilayah Sungai (SWS) di Bali mendapatkan bahwa hingga tahun 2005, total sumberdaya air di Bali sebesar 4.582,054 juta m³ per tahun, terdiri atas sumberdaya air sungai 4.125,58 juta m³ per tahun, sumberdaya air tanah 160,201 m³ per tahun, dan sumberdaya air dari mata air sebesar 290,273 juta m³ per tahun. Sedangkan JICA (Japan International Cooperation Agency) sebuah lembaga bantuan pemerintah Jepang yang diperuntukkan bagi Negara-negara berkembang, mendata hingga Pebruari 2005 total persediaan air permukaan (sungai) di Bali sebesar 5.357,0 juta m³ per tahun, yang bersumber dari air sungai 4.965,2 juta m³ /tahun dan air tanah 391,8 juta m³ /tahun. Adapun maat air di Bali ada di 160 lokasi, dengan jumlah keseluruhan 1.274 buah tersebar di 8 kabupaten, terkecuali Denpasar (Laporan Lembaga Penelitian Universitas Udayana, 1977).

c) Permodalan petani anggota subak terbatas, disamping akses modal dan pasar masih lemah

Mata pencaharian sebagai petani dengan luas garapan rata-rata yang sangat sempit (antara 19,4 are – 30,8) dengan sistem menyakap maka pendapatan keluarga akan menjadi sangat rendah. Dalam sistem sakap berlaku ketentuan bagi hasil 2 : 3 ( 2 bagian untuk penyakap dan 3 bagian untuk pemilik lahan). Dengan tanpa menghitung biaya-biaya produksi, seperti pembelian pupuk, bibit, dan biaya-biaya yang terkait dengan kegiatan ritual subak maka sesungguhnya pendapatan petani padi subak Basangalas akan habis malahan kurang untuk dikonsumsi rumah tangga. Dalam kondisi seperti ini pasti tidaklah cukup modal, apalagi mengakses modal dan pasar untuk meningkatkan pendapatan. Posisi tawar petani akan rendah karena terbentur kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak yang harus dipenuhi. Memang ada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga, yaitu bekerja di luar sektor pertanian seperti buruh bangunan, kerajinan rumah tangga, namun tetap tidak memberikan kontribusi yang berarti untuk menjadikan petani-petani subak Basangalas lebih sejahtera. Lembaga ekonomi seperti Koperasi Unit Desa (KUD) hanya ada 1 buah di tingkat kecamatan sedangkan Lembaga perkreditan Desa (LPD) di tingkat


(4)

Desa Tista ada tiga, yaitu LPD Ngis, LPD Tista, dan LPD Purwayu, sementara di desa adat Basangalas belum terbentuk. Lembaga-lembaga ini bergerak dalam kegiatan simpan pinjam sehingga bagi mereka yang membutuhkan uang (modal) dapat meminjamnya di tempat tersebut. Rendahnya pendapatan petani dan tidak terjaminnya kontinyuitas hasil pertanian menyebabkan para petani anggota subak merasa enggan untuk meminjam uang untuk modal usaha, takut tidak mampu mengembalikan uang pinjaman dan bunga pinjamannya.

d) Harga hasil-hasil pertanian berfluktuasi

Fluktuasi harga hasil-hasil pertanian terutama komuditas hortikultura selalu terjadi. Penetapan ketentuan harga gabah kering giling oleh pemerintah sering pula tidak dinikmati oleh para petani , akibatnya sektor ini dianggap tidak dapat memberikan jaminan untuk kehidupan yang lebih layak. Akibat lanjutannya adalah penerapan teknologi budidaya anjuran tidak dapat diterapkan secara optimal. Implikasi berikutnya adalah produktivitas tidak bisa dicapai secara maksimal.

e) Belum adanya jalinan kemitraan yang baik antar petani / kelompok tani dengan pengusaha

Jalinan kemitraan yang baik antar petani / kelompok tani dengan pengusaha sesungguhnya baru akan terjadi jika posisi petani anggota subak lebih kuat, yaitu kuat dalam hal : menekuni kegiatan pertaniannya, adanya jaminan kontinyuitas pasar dengan harga yang memadai, bantuan modal awal untuk berusaha tani yang mencukupi, dan adanya komitmen pengusaha untuk membantu para petani anggota subak Basanglas. Hal-hal inilah yang sepertinya belum tampak sehingga permasalahan yang dihadapi petani selalu berulang dari waktu ke waktu.

V. Penutup

Pemberdayaan subak (subak Basangalas) melalui pembentukan lembaga ekonomi pedesaan yang berorientasi agribisnis selain sebagai


(5)

pengelola irigasi sudah seharusnya diupayakan. Pemerintah diharapkan tidak terlalu mengintervensi dengan pola intruksi dari atas (top down), namun seyogyanya bersikap membina dan mendorong sejalan dengan konsep pemberdayaan dan diarahkan pada terciptanya iklim yang kondusif guna mendorong partisipasi masyarakat secara aktif.

Diperlukan tersedianya modal awal usaha untuk usahatani dari pemerintah disamping peranan pemerintah lainnya seperti : upaya memfasilitasi kelembagaan untuk pelaksanaan musyawarah-mufakat, dan memfasilitasi kerjasama kemitraan dengan unit-unit kelembagaan agribisnis.

Pola tanam di subak Basangalas perlu terus dimantapkan dengan lebih memprioritaskan komoditas yang berorientasi pasar. Terlaksananya hal ini mutlak menuntut air yang mencukupi sepanjang tahun, dan ini bisa terjadi kalau saluran-saluran irigasi yang saat ini rusak sehingga perkolasi air di saluran tinggi dapat diperbaiki secar bertahap.

Daftar Pustaka

 Arga Wayan dan I Wayan Sudana. 1994. Subak : Perkembangan dan Peranannya dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Dalam Lembaga Tradisional dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Bali.

 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Laporan Studi Diagnostik Lokasi Corporate Farming di Desa Tunjuk, Kabupaten Tabanan, Bali.

 Dinas Pertanian Propinsi Bali. 1999. Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Bali.

 Lembaga Penelitian Universitas Udayana. 1977. Laporan Lembaga Penelitian Universitas Udayana

 Purba,S. 2000. Pengkajian Model Korporasi Usaha Pertanian Berbasis Padi. Bahan Raker Badan Litbang Pertanian, di Cisarua Bogor.


(6)

 Sutawan, Nyoman. 1998. Mengembangkan Subak sebagai Lembaga Pengelola Irigasi sekaligus sebagai Pengelola Agribisnis. Makalah bahan diskusi dalam Temu Wicara di Gedung Wanita Canti Graha, Denpasar.  Sutawan, Nyoman. 2000. Mengembangkan Subak ke Arah Organisasi

Ekonomi : Corporate Farming, ataukah Ada Alternatif Lain. Makalah pada seminar Corporate Farming yang diselenggarakan oleh Jurusan Sosial Ekonomi / Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana

 Suyatna, I Gde. 1982. Ciri-Ciri Kedinamisan Kelompok Tradisional di Bali dan Peranannya dalam Pembangunan. Desertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertaniann Bogor.