Ekolinguistik Ekologi Sosial dan Ekolinguistik 1 Ekologi Sosial

4

2.2 Ekolinguistik

Bahasa merupakan simbol kompleks yang dilatarbelakangi oleh pengaruh lingkungan fisik dan sosial kelompok masyarakat.Lingkungan fisik ituseperti; geografitopografi iklim, pantai, lembah, dan lain-lain yang dianggap sebagai dasar dari perekonomiannya.Pengaruh lingkungan sosial merupakan pengaruh yang dimulai dari pemikiran yang bersifat individu, kelompok, dan organisasi politik.Perkembangan bahasa dapat dipengaruhi oleh sistem pembelajaran yang menyangkut kosa kata, sistem fonetik, sistem gramatikalnya yang menyangkut morfologi dan sintaksis.Kosa kata merupakan cermin paling jelas dalam lingkungan fisik dan sosial penuturnya. Faktor fisik dan sosial masyarakat sangat potensial untuk menghasilkan leksikon-leksikon baru sehingga karakteristik kosa kata dari sekelompok sosial masyarakat akan tercermin.Misalnya, leksikon- leksikon di daerah perbukitan akan berbeda dengan leksikon-leksikon yang terdapat di daerah pantainelayan, demikian pula leksikon-leksikon dalam bidang politik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, bahasaleksikon-leksikon memiliki makna yang kompleks yang dapat dianalisis lebih jauhlengkap bukan sekadar analisis deskripsi yang transparan.Oleh karena itu, karakteristik lingkungan akan tercermin dalam bahasanya dan pada tingkat yang lebih besar terjadi dalam lingkugan sosialnya sehingga keuniversalan dapat dideskripsikan secara lengkap. Dengan demikian, kosa kata sebagai cermin lingkungan sosial harus diberikan tempat dan ruang untuk diperkaya secara terus menerus dengan peningkatan kompleksitas budaya dan kompleksitas linguistik. Kedua komplesitas ini digunakan untuk merujuk pada tingkat perkembangan morfologi dan sintaksis Sapir, dalam Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler , 2001: 13-23. Terkait dengan lingkungan sosial di atas bahasapun dapat dipengaruhi oleh lingkungan tertentu, misalnya bahasa di lingkungan kelautannelayan, bahasa di lingkungan perbukitan perladangan, persawahan, bahasa di lingkungan politik, bahasa lingkungan ekonomi, dan lain-lainnya. Setiap lingkungan tersebut memiliki sejumlah leksikon yang erat dengan lingkungan mereka berada.Ciri khas dari lingkungan bahasa ini dapat dikaji berdasarkan sebuah teori yang 5 masihmudausia, yaitu teori ekolinguistik.Ekolinguistk mulai gencar dibicarakan pada tahun 1990. Konsep-konsep ekolinguistik sudah berkembang sejak tahun 1921 dengan rintisan Edwar Sapir 1884-1939, dilanjutkan oleh Haugen 1972, dan sangat gencar dibicarakan oleh Fill dan Muhlhauslerpada tahun 2001. Di dalam perspektif ekolinguistik, ekolinguistik dipandang sebagai lifescience; ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan bahasa, budaya, manusia, dan lingkungannya.Bahasa dalam perspektif ekolinguistik dipahami sebagai realitas alam dan manusia.Bahasa hidup dan berkembang dalam manusia niscaya dimensi biologis yang insani selalu terkait dengan dimensi sosiologisnya. Bahasa harus dipelajari dan diajarkan pada generasi baru, sekaligus memungsikan bahasa sebagai wahana komunikasi dengan orang lain. Manusia sebagai daya ciptabahasa dapat memahami, menata kehidupan manusia, maka bahasa dapat dipandang seabagi sesuatu yang hidup.Bahasa hidup dalam jiwa raga manusia berdasarkan pada alat-alat ucap organsofspeech.Bahasa yang dituturkan itu berlandaskan dimensi sosio-kultural.Interaksi antara lingkungan sosial dan budaya yang harmonis dapat melindungi hak hidup bahasa dalam guyub tuturnya. Selanjutnya, asumsi dasar teori ini adalah merekonstruksi bahasa-bahasa lokal sehingga dapat dilestarikannya. Untuk mengkaji fenomena kebahasaan, ada tiga parameter ekologi, yakni; 1 lingkungan invironment, 2 keberagaman diversity, dan 3 interaksi, interelasi, dan interdependensi. Ketiga parameter itu merupakan sendi dasar kajian ekolinguistik Haugen, 1972:, 325-339; lihat juga Mbete, 2011. Lebih lanjut dikatakannya, kajian ekolinguistik memiliki ruang kajian yang sangat luas yang saling berhubungan, yaitu: linguistik historis komparatif LHK, demografi, sosiolinguistik, dialinguistik, dialektologi, filologi, linguistik, preskriptif glotopolitik, etnolinguistik, tipologi Haugen, 1972: 336-337. Konsep dan teori di atasmanandakan bahasa dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik.Lebih luas lagi, perubahan-perubahan ekologis turut memengaruhi nilai, idiologi, dan budaya sebagai bagian dari identitas keetnikan sebuah masyarakat sebaliknya bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola perilaku manusia.Hubungan timbal balik itu berimplikasi positif ataupun 6 negatif.Dampak positif, yaitu dapat berimplikasi terhadap lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial.Misalnya, terpeliharanya lingkungan itu dan keseimbangan,serta terwarisnya lingkungan yang ada pada generasi berikutnya. Dampak negatif,yaitu terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan untuk hal-hal yang berisifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan al- Gayoni, 2010: 36. Terkait dengan deskripsi di atas, bahwa bahasa tercipta berdasarkan lingkungannya.Lingkungan rusak berimplikasi pada bahasa, masyarakat, dan budayanya.Selanjutnya, pada tulisan ini akan dibahas perihalleksikon dalam lingkungan persawahan di Bali. Sebagai dasar pemikiran, kajian ini akan diteropong dari dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang adalah lingkungan yang mendukung terciptanya dan tererosinya leksikon-leksikon itu sedangkan dimensi waktu adalah periode atau umur para pemakai leksikon- leksikon tersebut.Adapun masalah yang hendak dijawab adalah “Bagaimanakah keberadaan leksikon-leksikon bahasa Bali di bidang persawahan di Bali? ” Masalah itu akan dibedah berdasarkan perspektif ekolinguistik. Teori ini cukup relevan karena ekolinguistik menyelidiki tentang bahasa dikaitkan dengan lingkungannya.

3. Pembahasan