Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik

(1)

LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

TESIS

Oleh

ERNAWATI BR SURBAKTI 117009022/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERNAWATI BR SURBAKTI 117009022/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Nama Mahasiswa : Ernawati Br Surbakti Nomor Pokok : 117009022

Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP) (Dr. Masdiana Lubis, M. Hum)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 3 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP. Anggota : 1. Dr. Masdiana Lubis, M. Hum.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 3. Dr. Dwi Widayati, M. Hum.


(5)

PERNYATAAN Judul Tesis

LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei: kajian

ekolinguistik. Permasalahan yang dikaji: pertama, leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, kedua, pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei ketiga, nilai budaya dan kearifan lingkungan

guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Teori

yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan antropolinguistik. Untuk

menganalisis leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, nilai budaya, dan kearifan

lingkungan digunakan metode deskriptip kualitatif. Sedangkan untuk menganalisis pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi

kesungaian Lau Bingei didukung oleh data kuantitatif. Dari hasil analisis

diperoleh 14 kelompok leksikon dengan jumlah 409 leksikon nomina dan 111 leksikon verba. Total leksikon terdiri atas 520 leksikon. Kemudian leksikon tersebut diujikan kepada guyub tutur bahasa Karo di 16 kelurahan dengan

menyodorkan 4 kategori pilihan kepada tiga generasi usia ≥46 tahun, 21-45

tahun, 15-20 tahun, maka diperoleh hasil pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon nomina kategori A JP 12093 (30,79%), B JP 14898 (37,94%), C JP 5251 (13,39%), dan D JP 7018 (17,87%). Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon verba dengan kategori A JP 5465 (51,28%), B JP 2940 (27,59%), C JP 1455 (13,65%), dan D JP 796 (7,46%). Nilai budaya dan kearifan lingkungan

guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei

mengandung nilai-nilai budaya yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai religius dan keharmonisan, (3) nilai sosial dan budaya, (4) nilai kesejahteraan dan (5) nilai ciri khas. Sedangkan, nilai kearifan lingkungan yang dapat digali melalui leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei adalah (1) nilai kedamaian dan (2) nilai

kesejahteraan dan gotong royong.


(7)

ABSTRACT

This study entitles Lau Bingei River Ecology Lexicons: An Ecolinguistics Study discussed the research problems of (1) the lexicons of Lau Bingei river ecology, (2) how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons, and (3) the cultural value and environmental wisdom of Karonese community through Lau Bingei river ecology through ecolinguistics and anthropolinguistics theories. Descriptive qualitative method was used to analyze the Lau Bingei river ecology lexicons, cultural values and environmental wisdom and quantitative data was used to support the analysis of how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons. The result of the analysis showed that there were 14 groups of lexicons with 409 noun lexicons and 111 verb lexicons. The total number of lexicons found was 520. The lexicons were tested to the Karonese community in 16 kelurahan (villages) by providing 4 categories of choices to the community members of three different age groups

such as ≥ 46 years old, 21 – 45 years old, and 15 – 20 years old. The result of the understanding of the Karonese community towards the noun lexicons of category A was JP 12093 (30.79%), category B was JP 14898 (37.94%), category C was JP 5251 (13.39%), and category D was JP 7018 (17.87%). The understanding of the Karonese community towards the verb lexicons of category A was JP 5465 (51.28%), category B was JP 2940 (27.59%), category C was JP 1466 (16.35%), and category D was JP 796 (7.46%). It was found out that Cultural value of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) historical value, (2) religious value and harmony, (3) social and cultural values), (4) welfare value, and (5) characteristic value and environmental wisdom of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) peace value, and (2) welfare and mutual cooperation values.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya penulis berhasil

menyelesaikan tesis dengan judul “Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei:

Kajian Ekolinguistik”. Sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi S2 di Program Magister Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Begitu banyak dukungan dan perhatian yang penulis dapatkan selama pendidikan dan penelitian tesis ini berlangsung, sehingga hambatan yang ada dapat dilalui dan dihadapi dengan penuh rasa sabar. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTMH. (CTM). Sp. A (K)., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister pada Sekolah Pascasarjana USU.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc.

yang telah memberi dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana USU.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi


(9)

Hum., yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama mengikuti pendidikan di SPs USU Medan.

4. Bapak Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP dan Ibu Dr. Masdiana Lubis, M.Hum.

selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya yang sangat berharga untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Dosen mata kuliah, Bapak Prof. Aron Meko Mbete, Ibu Dr. Dwi Widayati,

M. Hum dan Bapak Dr. Abdurahman Adisaputera, M.Hum., yang memperkenalkan kajian ekolinguistik sehingga memberikan motivasi dan stimulus untuk mengambil kajian ekolinguistik sebagai objek penulisan tesis.

6. Dosen Pengajar di Program Studi Linguistik SPs USU Bapak Prof. Amrin

Saragih, Ph.D., Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Bapak Rustam Effendi, M.A., Ph.D., Ibu Dr. Gustianingsih, M.Hum., Bapak Drs. M. Takari, Ph.D. serta dosen pengajar lainnya yang memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, serta membuka wawasan dan cakrawala berpikir ilmiah, semoga jasa para pengajar dibalas oleh Allah SWT sebagai amal ibadah yang tidak akan pernah pupus.

7. Bapak Direktur Politeknik Negeri Lhokseumawe, Bapak PD I, Bapak PD II,

Bapak PD III, Bapak PD IV, dan Bapak Ketua Jurusan Teknik Sipil PNL yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Program Studi Linguistik SPs Universitas Sumatera Utara.


(10)

8. Ketua Yayasan Pendidikan Bina Mandiri Lhokseumawe ibu Dra. Rohana BY, S.H., yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis selama menimba ilmu pengetahuan di Program Studi Linguistik SPs USU Medan.

9. Para informan (sembuyak, anak beru, dan kalimbubu) dalam merga silima di

Kecamatan Sei. Bingei, bujur melala ras mejuah-juah kita kerina.

10.Secara khusus penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih yang tidak

terhingga penulis persembahkan kepada ketiga orangtua tercinta: Alm. K.

Surbakti, Almh. B. Br. Sembiring dan Dra. Rohana BY, S.H. yang telah

membesarkan, mendidik, dan mendoakan dengan segala kasih sayangnya bersama kedelapan orang saudaraku Ngarihken Surbakti, Ngaturi Surbakti, Ngakurken Surbakti, Rosmena Br Surbakti, Baik Surbakti, Sedia Surbakti, Nuraini Br Surbakti, dan Majuh Surbakti.

11.Sahabat terbaik Lia Khalisa, S.S., Fita Delia Gultom, S.S., dan John Ginting,

S.P. terima kasih atas segala bantuan, semangat, dan motivasinya selama ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, karena yang sempurna hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif sehingga tulisan ini lebih baik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca sekalian.

Medan, Agustus 2013

Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ernawati Br Surbakti

Tempat/Tanggal Lahir : Namuterasi, 06 Januari 1980

Agama : Islam

Alamat : (1) Jalan Sei. Bangkatan/Gg. Patok No. 196 (Perumahan Binjai Anugerah Lestari), Kecamatan Binjai Selatan, Sumatera Utara.

(2) Jalan Bambu Kuning Dusun Mesjid IV, Mon Geudong, Kec. Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Aceh.

Pekerjaan : Dosen Politeknik Negeri Lhokseumawe Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri No. 057198, Kab. Langkat. 1986 s.d.1992.

2. SMP Swasta Nasional, Kab. Langkat. 1992 s.d. 1995.

3. SMU Negeri 2 Binjai, SUMUT.1995 s.d.1998. 4. S1 FBS Sastra Indonesia, Universitas Negeri

Medan (UNIMED) 1998 s.d.2002. 5. S2 Linguistik, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan 2011 s.d. 2013.


(12)

DAFTAR ISI

Hal. LEMBAR PENGESAHAN TESIS………

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS…... PERNYATAAN……… ABSTRAK……… ABSTRACT………..

KATA PENGANTAR...………...

RIWAYAT HIDUP………...………...

DAFTAR ISI………...

DAFTAR TABEL………

DAFTAR GAMBAR……… DAFTAR LAMPIRAN……… BAB I PENDAHULUAN………......

1.1 Latar Belakang………...

1.2 Batasan Masalah………

1.3 Rumusan Masalah………..

1.4 Tujuan Penelitian………...

1.5 Manfaat Penelitian………...

1.6 Definisi Istilah………

BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI, DAN

PENELITIAN TERDAHULU... 2.1 Konsep………...

2.1.1 Leksikon………...

2.1.1.1 Kata Benda (Nomina)..………...

2.1.1.2 Kata Kerja (Verba)………...

2.2 Kerangka Teori………...

2.2.1 Ekolinguistik………...

2.2.2 Bahasa dan Lingkungan………...

2.2.3 Semantik Leksikal………

2.2.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan………..

2.2.4.1Nilai Budaya Perspektif Antropolinguistik………

2.2.4.2 Kearifan Lingkungan……….

2.3 Penelitian Terdahulu ……….………...

2.4 Kerangka Berpikir………

BAB III METODE PENELITIAN…….………

3.1 Metode Penelitian………..……...

3.2 Lokasi Penelitian………... 3.3 Sumber Data………

3.4 Teknik Pengumpulan Data………..

i ii iii iv v vi ix x xiii xv xvii 1 1 6 6 6 7 8 10 10 10 11 12 14 14 20 21 22 22 24 25 32 38 38 39 40 40


(13)

3.5 Pengujian Data………

3.6 Analisis Data……….………..

3.7 Pengecekan Keabsahan Penelitian………...

3.8 Penyajian Data………

BAB IV GAMBARAN UMUM KECAMATAN SEI. BINGEI DAN LAU BINGEI...

4.1 Geografi Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat…..

4.2 Lau Bingei……….

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian...

5.1.1 Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei...

5.2 Pembahasan... 5.2.1 Pemahaman Guyub Tutur terhadap Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei... 5.2.1.1 Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina... 5.2.1.2 Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap

Leksikon Verba...

BAB VI NILAI BUDAYA DAN KEARIFAN

LINGKUNGAN MELALUI LEKSIKON EKOLOGI KESUNGAIAN LAU BINGEI

6.1 Nilai Budaya Melalui Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

Bingei... 6.2 Kearifan Lingkungan... BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 7.1 Simpulan... 7.2 Saran...

DAFTAR PUSTAKA….……….

LAMPIRAN………. 42 43 47 47 48 48 51 55 55 55 67 67 67 111 145 145 157 165 165 169 170 175


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal.

4.1 4.2 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9

Luas, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk

Dirinci Menurut Desa/ Kelurahan Tahun 2011……..

Persentase Penduduk Menurut Suku Bangsa dan

Desa/Kelurahan Tahun 2000*………...

Deskripsi Rangkuman Persentase Pemaham Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina

Ekologi Kesungaian Lau Bingei………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori A………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori B………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori C………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori D………...

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori A ………

50 51 68 94 97 100 102 103 103 104 105


(15)

5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 5.18 5.19 5.20

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori B ………..

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori C ………..

Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

di 16 Kelurahan dengan Kategori D ………..

Deskripsi Rangkuman Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Kelompok Leksikon

Verba………...

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo

Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………..

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………

Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei…………..

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori A………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori B………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori C………

Perbandingan Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Berdasarkan

Kategori D……… 107 108 109 112 131 133 135 137 137 138 138


(16)

5.21

5.22

5.23

5.24

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di

16 Kelurahan dengan Kategori A ………..

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di

16 Kelurahan dengan Kategori B ………...

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di

16 Kelurahan dengan Kategori C ………...

Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau Bingei di

16 Kelurahan dengan Kategori D ………..

140

141

142


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal.

2.1 3.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 Kerangka Berpikir………... Komponen Analisis Data: Model Interaktif………... Peta Kabupaten Langkat………..……….. Peta Kecamatan Sei Bingei………

Lau Bingei yang Diolah menjadi Irigasi Namo Sira-sira…

Tumpukan Batu di Sungai dan Namo Empung Belinteng…

Lau Bingeidi Namo Ukur Utara……... Deskripsi Rangkuman Jumlah Pemaham Guyub Tutur Bahasa Karo terhadap Leksikon Nomina Ekologi

Kesungaian Lau Bingei………

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo

Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon Nomina

Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina

Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina

Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Deskripsi Rangkuman Jumlah Pemaham Guyub Tutur

Bahasa Karo terhadap Leksikon Verba Ekologi

Kesungaian Lau Bingei………

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo

Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon Verba

Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

37 44 48 49 52 53 54 69 95 98 101 113 132


(18)

5.7

5.8

5.9

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Verba

Ekologi Kesungaian Lau Bingei………...

Diagram Tingkat Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Verba

Ekologi Kesungaian Lau Bingei………

Empung………..

134

136


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Daftar Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

Bingei……….

Rangkuman Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa

Karo terhadap Leksikon Nomina Ekologi Kesungaian Lau

Bingei (Gabungan Tiga Generasi)

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa

Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Rangkuman Deskripsi Pemahaman Guyub Tutur Bahasa

Karo terhadap Leksikon Verba Ekologi Kesungaian Lau

Bingei (Gabungan Tiga Generasi)

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa

Karo Generasi Usia ≥ 46 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Deskripsi Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Karo Generasi Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon

Nomina Ekologi Kesungaian Lau Bingei

Daftar Pertanyaan Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

Bingei………

Pedoman Wawancara Kepada Informan……….

Nama Informan ………

175 187 200 212 224 236 240 244 248 252 263 265


(20)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei: kajian

ekolinguistik. Permasalahan yang dikaji: pertama, leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, kedua, pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei ketiga, nilai budaya dan kearifan lingkungan

guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Teori

yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan antropolinguistik. Untuk

menganalisis leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, nilai budaya, dan kearifan

lingkungan digunakan metode deskriptip kualitatif. Sedangkan untuk menganalisis pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi

kesungaian Lau Bingei didukung oleh data kuantitatif. Dari hasil analisis

diperoleh 14 kelompok leksikon dengan jumlah 409 leksikon nomina dan 111 leksikon verba. Total leksikon terdiri atas 520 leksikon. Kemudian leksikon tersebut diujikan kepada guyub tutur bahasa Karo di 16 kelurahan dengan

menyodorkan 4 kategori pilihan kepada tiga generasi usia ≥46 tahun, 21-45

tahun, 15-20 tahun, maka diperoleh hasil pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon nomina kategori A JP 12093 (30,79%), B JP 14898 (37,94%), C JP 5251 (13,39%), dan D JP 7018 (17,87%). Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon verba dengan kategori A JP 5465 (51,28%), B JP 2940 (27,59%), C JP 1455 (13,65%), dan D JP 796 (7,46%). Nilai budaya dan kearifan lingkungan

guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei

mengandung nilai-nilai budaya yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai religius dan keharmonisan, (3) nilai sosial dan budaya, (4) nilai kesejahteraan dan (5) nilai ciri khas. Sedangkan, nilai kearifan lingkungan yang dapat digali melalui leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei adalah (1) nilai kedamaian dan (2) nilai

kesejahteraan dan gotong royong.


(21)

ABSTRACT

This study entitles Lau Bingei River Ecology Lexicons: An Ecolinguistics Study discussed the research problems of (1) the lexicons of Lau Bingei river ecology, (2) how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons, and (3) the cultural value and environmental wisdom of Karonese community through Lau Bingei river ecology through ecolinguistics and anthropolinguistics theories. Descriptive qualitative method was used to analyze the Lau Bingei river ecology lexicons, cultural values and environmental wisdom and quantitative data was used to support the analysis of how the Karonese community understands the Lau Bingei river ecology lexicons. The result of the analysis showed that there were 14 groups of lexicons with 409 noun lexicons and 111 verb lexicons. The total number of lexicons found was 520. The lexicons were tested to the Karonese community in 16 kelurahan (villages) by providing 4 categories of choices to the community members of three different age groups

such as ≥ 46 years old, 21 – 45 years old, and 15 – 20 years old. The result of the understanding of the Karonese community towards the noun lexicons of category A was JP 12093 (30.79%), category B was JP 14898 (37.94%), category C was JP 5251 (13.39%), and category D was JP 7018 (17.87%). The understanding of the Karonese community towards the verb lexicons of category A was JP 5465 (51.28%), category B was JP 2940 (27.59%), category C was JP 1466 (16.35%), and category D was JP 796 (7.46%). It was found out that Cultural value of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) historical value, (2) religious value and harmony, (3) social and cultural values), (4) welfare value, and (5) characteristic value and environmental wisdom of the Karonese community in relation to Lau Bingei ecology lexicons contains (1) peace value, and (2) welfare and mutual cooperation values.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Lau Bingei merupakan salah satu urat nadi wilayah Kecamatan Sei

Bingei. Lau Bingei dijadikan sumber air irigasi yang bernama Irigasi Namo

Sira-Sira (Pangkal). Irigasi Namo Sira-Sira-sira didirikan oleh Presiden Soeharto tahun 1986. Irigasi ini terletak di desa Belinteng dan Durian Lingga. Luas bendungan 6500 Ha. Irigasi Namo Sira-sira mengairi persawahan daerah pertanian Belinteng, Namo Tating, Namo Terasi, Durian Lingga, Namo Ukur, dan Purwobinangun. Kelangsungan hidup sebagian besar masyarakat Kecamatan Sei

Bingei bergantung kepada debit air Lau Bingei.

Pentingnya Lau Bingei bagi masyarakat sekitar seharusnya menyadarkan

mereka untuk menjaga ekologi Lau Bingei demi kelangsungan hidup yang

nyaman dan sejahtera. Akan tetapi, kenyataannya air Lau Bingei semakin hari

semakin kotor.

“Pencemaran sungai yang terjadi di Langkat karena banyaknya

perusahaan terutama perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki kolam pengolahan limbah, sehingga perusahaan langsung membuang limbahnya ke sungai dan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Perusahaan yang diduga melakukan pembuangan limbah ke Sungai Bingei adalah PT GU (pencucian getah) di Kecamatan Wampu, PT SLP (pabrik kelapa sawit) di


(23)

Kecamatan Selesai, PT MNS di Kecamatan Besitang, dan PT SH (pabrik kelapa

sawit) di Kecamatan Sei Bingei,” ujar Kepala Badan Lingkungan Hidup

Kabupaten Langkat, HS.

Selain pembuangan limbah juga terjadi pengerukan pasir, batu, dan tanah untuk kepentingan bisnis serta penanaman pohon kelapa sawit sampai ke tepi sungai, menyerap banyak air. Di daerah ini juga berulang kali terjadi kerusuhan antarpemuda dari daerah yang berbeda untuk memperebutkan daerah wisata. Kerusuhan tersebut menyebabkan kerusakan pada lingkungan sekitar sungai

karena pembakaran lahan dan lain-lain. Rusaknya ekologi Lau Bingei berdampak

pada punahnya biota dan tumbuhan sekitar sungai dan akan berdampak pada

bahasa Karo khususnya kazanah leksikon yang ada di sekitar Lau Bingei.

Contoh salah satu leksikon Lau Bingei:

(1) tapin(n); „pemandian, tempat mandi‟ Lau Bingei(n) „Sungai Bingei‟ ertapinken (v) Lau Bingei

„menggunakan Sungai Bingei sebagai tempat mandi‟

(2) tabar(n) „obat penangkal‟ galuh si tabar(n) „pisang tabar‟

tabar-tabar (n) (Costus rumphianus val. Zingiberangulah) „tumbuhan liar yang biasanya tumbuh di hutan berdaun lebar dan mempunyai bunga

berwarna merah‟

nabari (v) „suatu upacara besar untuk mengusir roh jahat‟

Seiring dengan rusaknya ekologi dan kualitas air sungai, otomatis

kegiatan atau aktivitas penggunaan Lau Bingei lambat laun akan hilang.


(24)

begitu juga tumbuhan tabar, galuh si tabar, dan tabar-tabar. Akankah tradisi nabari pada guyub tutur bahasa Karo hilang seiring hilangnya tumbuhan

tersebut? Hilangnya tradisi nabari berarti hilanglah salah satu warisan budaya

Karo.

Di samping untuk pelestarian lingkungan dan sumber kesejahteraan

masyarakat, lingkungan sekitar Lau Bingei juga merupakan tempat tumbuh

bahan-bahan ramuan obat tradisional. Sebelum penjajahan Belanda, guyub tutur

bahasa Karo sudah melakukan pengobatan secara tradisional (tambar-tambar

Karo). Melalui pengobatan tradisional ini Suku Karo banyak dikenal masyarakat, sehingga nilai budaya masyarakat Karo turut terangkat ke permukaan. Hal ini terjadi ketika seorang Guru yang bernama Guru Patimpus

Sembiring Pelawi pada awalnya mengobati segala penyakit, ia menimpus

obat-obatan sehingga ia pun dinamai Guru Patimpus. Di samping itu, Guru Patimpus Sembiring merupakan pendiri kota Medan sehingga namanya dijadikan nama salah satu jalan di kota Medan. Apakah pengobatan tradisional itu harus hilang seiring hilangnya tumbuhan yang digunakan untuk mengobati masyarakat karena lingkungan tempat tumbuhan itu tumbuh rusak karena ulah manusia yang kurang memahami makna dan nilai budaya? Untuk itu, penulis tertarik meneliti leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei, bagaimana pemahaman guyub tutur terhadap

leksikon tersebut, serta menjelaskan bagaimana nilai budaya dan kearifan

lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau

Bingei. Kajian ini bertujuan agar masyarakat senantiasa menjaga lingkungan dan mempertahankan warisan budayanya.


(25)

Kecamatan Sei Bingei terdiri atas enam belas desa kelurahan, yakni (1)

Kelurahan/Desa Belinteng, (2) Kelurahan/Desa Durian Lingga, (3)

Kelurahan/Desa Gunung Ambat, (4) Kelurahan/Desa Kwala Mencirim, (5) Kelurahan/Desa Mekar Jaya, (6) Kelurahan/Desa Namo Ukur Selatan, (7) Kelurahan/Desa Namo Ukur Utara, (8) Kelurahan/Desa Pasar IV Namo Terasi, (9) Kelurahan/Desa Pasar VI Kwala Mencirim, (10) Kelurahan/Desa Pasar VIII Namo Terasi, (11) Kelurahan/Desa Pekan Sawah, (12) Kelurahan/Desa Purwobinangun, (13) Kelurahan/Desa Rumah Galuh, (14) Kelurahan/Desa Simpang Kuta Buluh, (15) Kelurahan/Desa Tanjung Gunung, dan (16) Kelurahan/Desa Telaga. (Sumber: BPS. Kab. Langkat Kecamatan Sei Bingei dalam Angka, 2012).

Sebagian besar penduduk kecamatan ini adalah suku Karo 64,99%, disusul suku Jawa 28,75%, Simalungun+Tapanuli 1,89%, Mandailing 0,42%, Melayu 0,32%, dan lainnya 3,63% (Sumber: BPS Kab. Langkat; Kecamatan Sei Bingei dalam Angka, 2012). Banyaknya penutur bahasa Karo di wilayah ini tidak menjamin bahasa ini bertahan dari ancaman kepunahan. Jika bahasa punah, maka budaya guyub juga akan punah. Jika budaya guyub punah, maka keharmonisan antarguyub juga akan hilang. Padahal guyub tutur membutuhkan kebersamaan dan keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Alasannya, untuk tetap bertahan hidup seperti yang dinyatakan oleh Saussure dan Barker (dalam Mbete (2009:4)) bahwa bahasa itu harus kokoh berada dalam kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan mendalam dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya.


(26)

Bahasa Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang digunakan di daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah Kepulauan Indonesia (Dyen, 1965 dalam Woollams, 2004:1). Masyarakat Batak Karo bermukim di wilayah sebelah barat laut Danau Toba. Luas wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi.

Secara astronomis terletak sekitar antara 3 dan 3 30'lintang utara serta 98 dan

' 30

98 bujur timur. Woollams (2004:2) mengatakan bahwa wilayah penutur

bahasa Karo tersusun atas dua wilayah utama:

a. Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaten Karo

dengan pusat administrasinya di Kota Kabanjahe. Wilayah dataran tinggi Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah Kabupaten Dairi (khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga), serta ke arah timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan Silima Kuta yang terletak di Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut wilayah permukiman

dataran tinggi ini dengan nama Karo Gugung.

b. Dataran rendah, yang mencakup wilayah-wilayah Kecamatan Kabupaten

Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada bagian ujung selatan secara geografis (namun tertinggi secara topografis). Wilayah ini dimulai dari sekitar kampung-kampung Bahorok, Bukit Lawang, Kecamatan Sei Bingei (Kabupaten Langkat), Pancur Batu (Deli Serdang), dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga Juhar dan Gunung Meriah di


(27)

Objek kajian dalam penelitian ini adalah salah satu sungai yang terdapat

di dataran rendah yaitu Lau Bingei yang terletak di Kecamatan Sei Bingei guyub

tutur bahasa Karo Jahe (bahasa Karo dialek Karo Jahe/hilir).

1.2Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan yang dibahas untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman sehingga permasalahan tidak melebar dan peneliti dapat lebih terkonsentrasi serta terfokus pada titik masalah

yang akan diteliti. Judul penelitian ini adalah ”Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

Bingei: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian ini dibatasi pada leksikon nomina dan verba bahasa Karo di Kecamatan Sei Bingei.

1.3 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) leksikon apa sajakah yang terdapat dalam ekologi kesungaian Lau Bingei?

(2) bagaimanakah pemahaman guyub tutur bahasa Karo Kecamatan Sei Bingei

terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei?

(3) bagaimanakah nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo


(28)

1.4 Tujuan Penelitian

Sekaitan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) mendeskripsikan leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei,

(2) mendeskripsikan pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon

ekologi kesungaian Lau Bingei, dan

(3) menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa

Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1.5.1 Manfaat Teoretis

Temuan penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi, bahan masukan yang relevan dalam hal penelitian tentang leksikon kesungaian Lau Bingei guyub tutur bahasa Karo, linguistik, dan kajian ekolinguistik. Temuan penelitian ini diharapkan dapat menambah inspirasi bagi peneliti atau peminat

bahasa Karo khususnya bahasa Karo Jahe.

1.5.2 Manfaat Praktis

Temuan penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi para penutur bahasa Karo agar tetap menggunakan dan melestarikan bahasa Karo agar tidak hilang atau musnah apabila ekologi yang menunjangnya musnah pula. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi (a) pemahaman tentang leksikon ekologi


(29)

kesungaian Lau Bingei guyub tutur bahasa Karo, (b) sebagai kamus kecil

khazanah leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei guyub tutur bahasa Karo

sehingga dapat dibaca oleh generasi muda yang akan datang dan sebagai muatan lokal dalam kerangka pendidikan sehingga tumbuh rasa cinta terhadap lingkungan, (c) sebagai arsip bahasa Karo, jika suatu saat ekologi yang mendukung leksikon bahasa Karo tidak dapat dipertahankan lagi setidak-tidaknya

bahasa Karo tentang kesungaian Lau Bingei tidak ikut punah seiring rusaknya

ekologi yang mendukungnya, dan (d) dapat dijadikan sebagai rujukan bagi Kementerian Lingkungan Hidup.

1.6 Definisi Istilah

Beberapa istilah dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan konsep ekolinguistik adalah sebagai berikut.

(1) bahasa Karo; bahasa Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang

digunakan di daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah Kepulauan Indonesia (Dyen, 1965 dalam Woollams, 2004:1). Bahasa Karo yang

digunakan pada penelitian ini adalah bahasa Karo Jahe (Karo Hilir).

(2) ekolinguistik; ekolinguistik adalah ilmu bahasa yang interdisipliner

menyandingkan ekologi dan linguistik. Melalui bidang ini, leksikon ekologi

kesungaian Lau Bingei, pemahaman guyub tutur bahasa Karo Kecamatan Sei

Bingei terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, serta nilai budaya

dan kearifan lingkungan melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei


(30)

(3) ekologi; ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan kondisi alam sekitarnya (lingkungannya) atau kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi manusia berbeda dengan ekologi mahluk hidup lainnya, karena manusia memiliki budaya dalam ekosistem.

(4) kesungaian; kesungaian adalah alam ragawi sungai juga semua hal yang

meliputi sungai, khususnya pemahaman secara kognisi tentang biota dan atau unsur-unsur alami secara leksikal dengan makna dasarnya.

Maryono (2005: 3) mengemukakan bahwa sungai termasuk salah satu wilayah keairan. Wilayah keairan dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok yang berbeda berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda. Sudut pandang yang biasa digunakan dalam pengelompokan jenis wilayah keairan antara lain adalah morfologi, ekologi, dan antropogenik (campur tangan manusia pada wilayah keairan tersebut).

(5) leksikon; leksikon adalah kosa kata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh


(31)

BAB II

KONSEP, KERANGKA TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU

Pada bab ini akan diuraikan konsep, kerangka teori, dan penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ”Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik”.

2.1 Konsep

2.1.1 Leksikon

Leksikon adalah koleksi leksem pada suatu bahasa. Kajian terhadap

leksikon mencakup apa yang dimaksud dengan kata, strukturisasi kosakata,

penggunaan dan penyimpanan kata, pembelajaran kata, sejarah dan evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatu bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari, leksikon dianggap sebagai sinonim kamus atau kosakata.

Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata,

yaitu ”Leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi

tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada

kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa.”

Chaer (2007: 5) mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata


(32)

seperti ini sekerabat dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah kosa kata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya mencari kata atau istilah tidak berbau barat.

2.1.1.1 Kata Benda (Nomina)

Chaer (2006: 86) mengatakan ”kata-kata yang dapat diikuti dengan frase

yang... atau yang sangat... disebut kata benda”. Misalnya kata-kata: (1) jalan (yang bagus); (2) murid (yang rajin); (3) pemuda (yang sangat rajin).

Ada tiga macam kata benda yaitu:

(a) kata benda yang jumlahnya dapat dihitung sehingga di depan kata benda itu

dapat diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan:

(1) orang, termasuk kata-kata: (a) nama diri, seperti Hasan, Abas, Siti, dan

Ida, (b) nama perkerabatan, seperti adik, ibu, saudara, dan kakak, (c) nama pangkat, jabatan, atau pekerjaan, seperti letnan, lurah, penulis, dan raden, (d) nama gelar, seperti insinyur, profesor, dan petani.

(2) hewan, seperti kucing, gajah, ular, dan semut.

(3) tumbuhan atau pohon seperti kemuning, nyiur, palem, dan jambu.

(4) alat, perkakas, atau perabot, seperti obeng, pisau, gergaji, mobil meja, dan

lampu.

(5) benda alam, seperti kota, sungai, bintang, desa, dan danau.

(6) hal atau proses, seperti peraturan, perampokkan, kekuatan, dan


(33)

(7) hasil, seperti bendungan, jawatan, karangan, dan binatang.

(b) kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata

benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm (sentimeter), km (kilometer), persegi, liter, kubik, termasuk juga kata-kata yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung, gelar, kaleng, truk, dan gerobak; serta kata-kata seperti (se)ikat, (se)potong, (se)kerat, (se)tumpuk, (se)iris. Kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan (1) bahan, seperti semen, pasir, tepung, gula, beras, dan kayu, dan (2) zat, seperti air, asap, udara, dan bensin.

(c) kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat

diletakkan kata bilangan, seperti Jakarta, Bali, Galunggung, Toba, Eropa, Amazone, dan Madinah.

Alwi, Dardjowidjojo, Lapoliwa, dan Moeliono (1993: 244) mengatakan bahwa nomina dasar adalah nomina yang terdiri atas satu morfem. Contoh:

a. Nomina dasar umum: gambar, meja, rumah, malam, dst.

b. Nomina dasar khusus: adik, batang, butir, pekalongan, dst.

2.1.1.2 Kata Kerja (Verba)

Chaer (2006: 100) mengatakan ”kata-kata yang dapat diikuti oleh frase dengan..., baik yang menyatakan alat, yang menyatakan keadaan, maupun yang

menyatakan penyerta, disebut kata kerja”. Misalnya kata-kata: (1) pergi (dengan baik); (2) pulang (dengan gembira); (3) berjalan (dengan hat-hati); (4) berunding (dengan musuh); (5) menulis (dengan spidol). Dilihat dari strukturnya ada dua


(34)

macam kata kerja, yaitu kata kerja dasar dan kata kerja berimbuhan. Namun, dalam penelitian ini yang diteliti hanyalah terbatas pada kata kerja dasar.

Alwi, dkk (1993:93) mengatakan bahwa verba memiliki ciri-ciri antara lain: (1) verba berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain, (2) verba mengandung

makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau ter- yang berarti paling. Verba

seperti mati atau suka, misalnya, tidak dapat diubah menjadi termati atau tersuka, dan (4) pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan.

Kata dengan pengertian leksem bersesuaian dengan derivasi dan infleksi.

a. Derivasi

Poses derivasi mengubah suatu kata menjadi kata baru. Kata baru itu pada umumnya berbeda kelas atau jenisnya dengan kata yang belum mengalami derivasi. Dalam proses infleksi perubahan kelas kata itu tidak terjadi. Contoh

dalam bahasa Karo tapin (n) ertapinken /er-ken/ (v). Proses derivasi dalam

bahasa Inggris dicontohkan oleh perubahan dari love menjadi lovely, loveliness,

atau lover. Perhatikan perubahan kelas katanya dari kata kerja menjadi kata sifat

atau kata benda (Kentjono dalam Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005:153).

b. Infleksi

Infleksi mengubah bentuk suatu kata untuk menetapkan hubungannya dengan kata-kata lain dalam kalimat. Jadi, infleksi menentukan dan membatasi


(35)

tugas gramatikal kata yang dibentuknya. Contoh, girl menjadi girls (kata girls dibatasi kedudukannya dalam kalimat) (Kentjono dalam Kushartanti, dkk 2005:152). Dalam penelitian ini, kata kerja yang diteliti adalah kata yang mengalami proses derivasi.

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Ekolinguistik

Ekolinguistik adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji lingkungan dan bahasa. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner, menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1).

Dalam istilah lain, kajian ini dikenal pula dengan istilah ekologi bahasa.

Sebetulnya ada empat istilah yang merujuk pada kajian ini, yaitu linguistic

ecology, ecological linguistics, the ecology of language/language ecology, dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009: 25 dalam al-Gayoni, 2010: 24).

Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi bahasa/bahasa ekologi, ekologi bahasa, dan

ekolinguistik. Dalam bahasa lain, dikenal pula istilah Ecologie des

langues/Ecologie du langage, Linguistique ecologique, Ecologie linguistique dan Ecolinguistique (Perancis), Okologie der Sprache/sprachologie, Okologische Linguistik, Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman), serta Ecologia des las lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol) (Lechevrel, 2009:5 dalam al-Gayoni, 2010: 24).


(36)

Kajian ini pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya

yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah

ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan

kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugan dalam Fill & Mühlhäusler, 2001:57).

Ekologi bahasa menurut Haugen adalah Language ecology may be

defined as the study of interactions between any given language and its environment (ekologi bahasa dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara beberapa bahasa dan lingkungannya) (Haugen, 1972 dalam Peter, 1996:57). Berdasarkan hal itu bahasa sangat berkaitan erat dengan lingkungannya sendiri. Bahasa tersebut bisa hilang atau musnah apabila ekologi yang menunjangnya musnah pula. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahasa akan mengalami perubahan begitu ekologi yang menunjangnya berubah pula. Dari ragam bahasa yang mengalami perubahan di dalam ekologinya beberapa istilahnya akan menjadi tidak umum lagi dipergunakan oleh para penuturnya.

Sementara itu, Mühlhäusler (dalam al-Gayoni, 2012:3) dalam tulisannya

yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan

“Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters

we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued


(37)

wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages

in recent times” (p.2).

(Ekologi adalah studi tentang keterkaitan fungsional. Dua parameter yang ingin kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Tergantung pada perspektif seseorang yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Gabungan tersebut merupakan bidang ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan mahluk hidup serta faktor-faktor yang mempengaruhi habitat (tempat) berbagai bahasa dewasa ini (hal.2)).

Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and

Phonetics 6th Edition, menjelaskan:

Ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis–reflecting the notion of ecology in biological studies–in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.

(Ekolinguistik (n.) dalam linguistik, suatu penekanan yang mencerminkan gagasan ekologi dalam studi biologis-dimana interaksi antara bahasa dan lingkungan budaya dipandang sebagai inti; juga disebut dengan ekologi bahasa, linguistik ekologi dan kadang-kadang linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan masyarakat, peranan dari sikap bahasa, kesadaran bahasa, ragam bahasa, dan perubahan bahasa dalam membina budaya perdamaian yang komunikatif).

Ricklefs (1976:1) dalam bukunya The Economy of Nature A Textbook in


(38)

Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments–the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings.

(Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan lingkungannya-fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya).

Haugen (1970; lihat Mbete, 2011: 9-10) mengatakan bahwa ruang lingkup linguistik dalam payung ekologi bahasa diutarakan oleh Haugen berikut ini: (1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolinguistik; (4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8) glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural (cultural linguistics); dan (10) tipologi. Dari uraian tersebut kajian ini adalah kajian preskriptif (leksikon) dan linguistik antropologi.

Sejalan dengan pendapat di atas Mbete dalam wawancaranya dengan T. Silvana Sinar (Minggu 8 Mei 2011) mengatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup oleh ulah manusia yang menjadikan dirinya sebagai pusat dan subjek kehidupan (antroposentris). Menggugah dan "menggugat" dirinya pula untuk mengembangkan kajian ini secara reflektif, evaluatif, introspektif, konstruktif, dan integratif. Pendekatan multidisipliner, karena ekolinguistik menjadi payung dan wadah bersama yang bersifat lintas bidang keilmuan, menjadi pilihan yang sangat penting dan strategis. Sebagai kajian yang bertolak dari konsep dan


(39)

(diversity), dan (3) interaksi, interelasi, dan interdependensi. Kajian ekolinguistik menempatkan dan menjadikan fenomena (penggunaan) bahasa dalam suatu perspektif yang lebih integratif, prospektif, dan juga historis.

Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan) yakni ekspresi verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya lingkungan. Baik alam sebagai matra kesejagatan yang makrokosmos, maupun manusia (dengan tatanan dan sumber daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos (jagat kecil), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa adalah sumber daya makna. Termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya dalam kemasan verbal sebagaimana terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya. Baik khazanah leksikon maupun gramatikalnya. Sumber daya tekstual yang kontekstual masa lalu dan masa kini. Secara khusus misalnya gramatika metaforik sebagai khazanah ekspresi verbal manusia yang alami. Semuanya adalah tanda adanya keterkaitan dan ketergantungan manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya, yang menjadi lahan garapan ekolinguistik.

Kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multibahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat mempengaruhi


(40)

penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (al-Gayoni,

2010:31).

Bahasa yang hidup adalah bahasa yang terekam secara bersistem sebagai pengetahuan kebahasaan dan dengan kuasa pengetahuan itu, manusia memiliki competence dan performance dalam pikiran manusia dan melalui kaidah-kaidah

transformasi menghasilkan performance dalam berkomunikasi dengan penutur

lainnya, tetap berada dalam koridor properti bunyi dan makna sebagai fitur, item-item leksikal yang terkait, serta konstruksi ungkapan yang kompleks (Chomsky, 2000).

Peneliti ekolinguistik dapat membedah makna-makna sosial-ekologis di balik bahasa, khususnya leksikon, di atas dasar konsep dan landasan teoretis yaitu (1) bahasa yang hidup dan digunakan itu menggambarkan, mewakili, melukis (merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya); (2) dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon misalnya, seperti yang dikemukakan oleh Lindo dan Bundsgaard (2000: 10-11).

Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard, 2000:10-11), antara lain:

1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya

ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada


(41)

upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat,

2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus

sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktik sosial yang bermakna, dan

3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman)

biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan

“menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga

terpinggirkan dan termakan.

Dimensi biologis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.

2.2.2 Bahasa dan Lingkungan

Terdapat hubungan yang nyata prihal pelbagai perubahan ragawi

lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya. Dalam tulisannya Language,

Ecology and Environment, Mühlhäusler (2001:3) menyebut, ada empat yang memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) bahasa berdiri dan terbentuk sendiri


(42)

(Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi alam (Marr); (3) alam

dikonstruksi bahasa (structuralism dan pascastrukturalism); dan (4) bahasa

saling berhubungan dengan alam-keduanya saling mengontruksi, namun jarang yang berdiri sendiri (ekolinguistik).

Lingkungan bahasa atau ekologi bahasa adalah ruang hidup, tempat hidup bahasa-bahasa. Bahasa yang hidup ada pada guyub tutur dan secara nyata hadir dalam komunikasi dan interaksi verbal baik lisan maupun tulisan. Ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup sedangkan linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnya ekolinguistik, menjadi parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropoliguistik), adalah (1)

interelasi (interrelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman

(diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001: 1).

Berdasarkan kerangka pandang itu, bahasa-bahasa dapat dikaji, didalami dan dimaknai secara khusus. Lingkungan hidup bahasa meniscayakan adanya keberagaman dan kesalingberhubungan dengan pemahaman bahwa di suatu lingkungan atau kawasan memang hidup bahasa, namun, bahasa hidup dalam guyub tutur. Adalah kenyataan bahwa di suatu lingkungan hidup, secara khusus lingkungan hidup manusia dalam suatu jejaring dan kebersamaan sosial, hidup beragam bahasa pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Safir dalam Fill dan Mühlhäusler (eds) (2001:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan:


(43)

1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah Negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).

2. Lingkungan ekonomis „kebutuhan dasar manusia‟ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.

3. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam

masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.

2.2.3 Semantik Leksikal

Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet

dalam Palmer (1976: 37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas

dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini

bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia, interogatif, demonstratif, artikula, preposisi, konjungsi, dan interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks kalimat.


(44)

2.2.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan 2.2.4.1 Nilai Budaya Perspektif Antropolinguistik

Kebudayaan merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut (Haviland, 1999: 333). Dengan demikian, kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia (Mahsun, 2001: 2).

Nilai budaya merupakan suatu gejala abstrak, ideal dan tidak inderawi atau kasat mata. Nilai budaya hanya bisa diketahui melalui pemahaman dan penafsiran tindakan, perbuatan, dan tuturan manusia (Saryono, 1997:31). Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah sesuatu yang menjadi pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara individual, sosial, dan religius-transendental untuk dapat terjaganya pandangan hidup masyarakat.

Nilai budaya juga dapat terungkap melalui galur-galur ungkapan yang mapan, sistem gramatika dan leksikon yang tersedia dalam bahasa ibu, seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat bahasa dan budaya setempat. Sebagai contoh, melalui proses pemerolehan unsur-unsur kebahasaan yang berupa unsur leksikon dan atau kaidah gramatika tentang sistem pembentukan konsep waktu dalam bahasa Samawa, secara simultan pula telah tertanam cara pandang pada


(45)

diri anggota komunitas sukubangsa Samawa tentang konsep keberadaan dirinya dalam dimensi waktu yang berorientasi pada masa kini yang lebih dekat dengan masa lampau dan masa mendatang (lihat Mahsun, 2001:3).

Hal ini sejalan dengan pendapat Sapir (1921, 1949) dalam Simanjuntak (2009: 168) ia mengatakan bahwa tiap-tiap bahasa sesuatu masyarakat telah mendirikan sebuah dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Sebanyak bahasa masyarakat-masyarakat dunia, sebanyak itulah dunia dibentuk oleh bahasa-bahasa itu untuk penutur-penuturnya.

Wierzbicka (1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya dan dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya. Demikian juga dengan kata atau leksikon yang terdapat di lingkungan kesungaian guyub tutur Suku Karo, leksikon kesungaian tersebut dapat memberikan dan mencerminkan gambaran tentang pandangan orang Karo terhadap lingkungan dan pola berpikirnya.

Penelitian yang berhubungan dengan topik ini masih sangat jarang dilakukan secara mendalam. Adapun tulisan yang berhubungan dengan topik ini

adalah “Leksikon Waktu Harian dalam Bahasa Sunda: Kajian Linguistik Antropologis”. Penelitian ini ditulis oleh Fasya (2011) dalam kajiannya, leksikon waktu harian dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Sunda, tidak hanya dapat dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dapat dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas. Mampu menjangkau


(46)

fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan. Simpulan penelitian bahasa Sunda dapat mengungkap pandangan hidup orang Sunda yang selalu berusaha untuk menjaga harmoni antara (1) manusia dan manusia, (2) manusia dan alam, serta (3) manusia dan Tuhannya.

2.2.4.2 Kearifan Lingkungan

Arif berarti bijaksana, pandai. Jadi, kearifan berarti kebijaksanaan atau kepandaian. Oleh karena itu, kearifan berarti kebijaksanaan atau kepandaian yang bersifat tradisi, yaitu adat kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi secara turun-temurun di kalangan Suku Karo. Kearifan itu penting artinya karena

merupakan hukum atau budaya yang hidup pada masyarakat Karo (living

law/living culture) (Prinst 2004: 65).

Lebih lanjut Prinst (2004: 69) mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan lingkungan hidup kayu boleh diambil untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk diperdagangkan. Kalau untuk diperdagangkan, maka silakan tanam dulu kayu yang hasilnya dapat dijual. Demikianlah, cara masyarakat Karo menjaga lingkungan. Menurut adat Karo dilarang menebang semak-belukar sejauh 50 meter dari kiri-kanan pinggir sungai, dilarang menebang pohon atau semak belukar sejauh 100 meter dari sekeliling sumber mata air, demi mencegah agar mata air tidak menjadi kering.

Kearifan lokal menurut (Ridwan 2008 dalam Handayani 2012:17), merupakan pengetahuan yang muncul dari periode panjang yang berevolusi


(47)

bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban.

Jenis kearifan lokal menurut Sibarani, (2012:133) yang mengandung nilai-nilai budaya antara lain: (1) “kesejahteraan” , (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong-royong, (7) pengelolaan gender, (8)

pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) “kedamaian”, (11)

kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, dan (rasa syukur).

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian ekolinguistik adalah penelitian yang masih terbatas, khususnya

penelitian yang berhubungan dengan ekologi kesungaian Lau Bingei. Berkenaan

dengan pembahasan penelitian ini, beberapa penelitian yang memberikan kontribusi buat penelitian ini antara lain akan diuraikan sebagai berikut:

2.3.1 Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Adisaputera, 2009)


(48)

Penelitian Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu Langkat di Stabat dilakukan terhadap 230 orang responden remaja sebagai sampel dari sekitar 1.500

orang populasi. Sumber data yang digunakan adalah pengakuan diri (self report)

dengan memilih jawaban yang tersedia pada instrumen kuesioner. Di samping kuesioner, data diperoleh melalui pengamatan langsung dengan cara pengamatan berpartisipasi.

Dari hasil penelitian disimpulkan ada sejumlah fakta dan data yang ditemukan terkait dengan lingkungan bahasa dan dominasi penggunaan bahasa antara BML dengan BI pada komunitas remaja. Fakta dan data yang ditemukan mengarah kepada munculnya pergeseran bahasa dari BML ke BI. Hal ini ditandai oleh beberapa hal (1) tingginya penggunaan BI dalam interaksi komunikasi sehari-hari (20%) walaupun pada wilayah yang dominan Melayu, (2) hampir 50% responden (47,4%) menyatakan bahwa B1 mereka bukanlah BML, (3) persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunakan BML (64,8%) hampir dua kali persentase responden yang paham dan lancar menggunakan BML (35,2%), (4) tingginya persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunakan BML pada kawasan yang etnisnya dominan muncul dengan BML (24,3%), (5) dari 52,6% yang menguasai BML sejak pandai berbahasa, hanya 33,9% yang memahami dan lancar menggunakannya. Pergeseran bahasa yang terjadi pada komunitas remaja di Stabat mengarah pada arah kepunahan bahasa. Pada kriteria bahasa yang terancam punah maka bahasa Melayu dalam kondisi yang potensial terancam punah. Ada dua indikator sebagaimana fakta dan


(49)

data pergeseran bahasa yang terungkap untuk ini, yakni tekanan berat dari bahasa yang lebih besar yaitu BI dan awal hilangnya penutur anak-anak.

Mengingat penelitian ekolinguistik yang belum terlalu banyak, penelitian ini memberikan kontribusi teori-teori ekolinguistik terhadap penelitian yang akan

dilakukan sehingga penulis termotivasi untuk meneliti leksikon kesungaian Lau

Bingei: Kajian Ekolinguistik. Kajian leksikon dapat dikatakan belum pernah diteliti.

Perbedaan penelitian Adisaputera dengan penelitian ini, Adisaputera membahas pergeseran menuju arah kepunahan bahasa Melayu di Stabat sedangkan penelitian ini adalah pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap

leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, nilai budaya, dan kearifan lingkungan

melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei.

2.3.2 Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Yusradi Usman, 2010)

Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusradi Usman pada tahun 2010 menggunakan metode penelitian kualitatif. Topik dan karakteristik masalah yang dirumuskan dengan

penelitian kaji tindak (action research).

Hasil penelitian ini adalah (1) konsep tutur dalam masyarakat Gayo; munculnya tutur dalam masyarakat Gayo tidak berdiri sendiri melainkan ada faktor sosial budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai


(50)

budaya Gayo yang terdiri dari pelbagai nilai. Nilai-nilai yang dimaksud adalah

imen (iman), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang gemasih

(kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat

(musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif).

Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian,

membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai sosial yang membentuk tutur dalam masyarakat Gayo. (2) klasifikasi, bentuk, dan fungsi

tutur; tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi 1) patut atau mu

perdu (bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor

tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/ seharusnya); 4)

uru-uru (tindak betutur didorong akibat ikut-ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur yang kerap berubah-ubah. (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang terjadi didataran tinggi tanoh Gayo sangat memengaruhi penyusutan tutur. Terlebih di Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik yang lebih dari delapan etnik. Keragaman situasi itu membuat terjadinya kontak antar etnik, bahasa, dan budaya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi masyarakat Gayo baik secara psikologis maupun secara sosial khususnya dalam bertutur. (4) bentuk tutur baru (variasi tutur); empat hal yang terjadi perihal tutur, yaitu a) tetap, b) jarang, dan c) tidak dipakainya lagi tutur, serta d) terciptanya bentuk tutur baru.

Penelitian penyusutan tutur dalam masyarakat Gayo: pendekatan

ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusradi Usman, memberikan kontribusi dalam hal teori-teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian Usman dengan penelitian ini adalah penelitian Usman mengenai penyusutan tutur sedangkan


(51)

penelitian ini pemahaman guyub tutur terhadap leksikon kesungaian, nilai budaya, dan kerarifan lingkungan.

2.3.3 Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik (Rasna, 2010)

Penelitian yang dilakukan oleh Rasna dalam meneliti ”Pengetahuan dan

Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam

Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik” bersifat

eksploratif. Informasi diperoleh dengan teknik wawancara untuk memperoleh data pengetahuan tanaman obat tradisional dengan bantuan kuesioner terstruktur.

Hasil penelitian menyimpulkan secara ekolinguistik adanya penyusutan bentuk leksikal tumbuhan/tanaman obat pada para remaja sehingga para remaja

tidak lagi mengenal bentuk leksikal sekapa (gadung), kusambi, nagasari, kundal,

antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat: (a) adanya perubahan sosiokultural, (b) perubahan sosioekologis secara fisik, dan (c) faktor sosioekonomis.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan contoh bagaimanakah sikap remaja terhadap penguasaan leksikon tanaman obat. Perbedaan penelitian Rasna dengan penelitian Leksikon Ekologi

Kesungaian Lau Binge tidak terbatas pada tanaman obat tradisional melainkan


(52)

2.3.4 Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik (Sukhrani, 2010)

Metode penelitian yang digunakan oleh Sukhrani adalah metode penelitian kualitatif. Data leksikon nomina bahasa Gayo terkait dengan lingkungan ragawi Lut Tawar diperoleh melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian ini adalah (1) saat ini sebagian besar penutur bahasa Gayo pria dan wanita dari masing-masing kelompok usia masih mengenal dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang

berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar, (2) leksikon kedanauan

Lut Tawar yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena

begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau

dan nama alat tangkap ikan, dan (3) leksikon nomina bahasa Gayo dalam

lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan

dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Penelitian Sukhrani memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal teori-teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang

telah diuraikan sebelumnya adalah penelitian yang berjudul ”Leksikon Ekologi


(53)

kesungaian Lau Binge dengan objek kajian bahasa Karo. Tidak terbatas pada nomina melainkan nomina dan verba serta nilai budaya dan kearifan lingkungan

yang dapat menjaga kelestarian lingkungan kesungaian Lau Binge.

2.3.5 Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyub Tutur Bahasa Bima dalam Perspektif Ekolinguistik Kritis, (Umiyati, 2011)

Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi serta publikasi serta hasil interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.

Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik

pandangan green grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk

menyelaraskan kalimat/klausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam.

Penelitian yang berjudul Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyub

Tutur Bahasa Bima dalam Persfektif Ekolinguistik Kritis ini memberikan kontribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan dalam hal teori ekolinguistik yang terbilang baru di Indonesia dalam usaha pelestarian lingkungan.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Umiyati dengan penelitian ini adalah penelitian Umiyati mengenai bentuk metafora dari sejumlah leksikon


(54)

pertanian dan pandangan kajian green grammar dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima. Penelitian ini

mendeskripsikan pemahaman leksikon kesungaian Lau Binge dan

mendeskripsikan nilai budaya serta kearifan lingkungan yang terdapat pada

leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei guyub tutur bahasa Karo.

2.3.6 Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan (Pemahaman Leksikon pada Remaja di Padang Sidempuan),

(Amri, 2011)

Penelitian yang dilakukan Amri (2011) menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Ia menyimpulkan pertama, tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Padang Sidempuan merupakan suatu kebiasaan dan masih terselenggara. Kedua, tradisi lisan upacara adat yang dianalisis adalah leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 272 kata dikelompokkan menjadi 16 kelompok.

Menurut penelitian tersebut terjadi penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan upacara adat Tapanuli Selatan. Faktor penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara adat tersebut karena ketua adat belum maksimal mengajari adat. Lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, pagelaran budaya adat sangat jarang dilakukan. Nilai kearifan lokal tradisi lisan upacara adat mengandung nilai gotong-royong, kerukunan, keikhlasan, identitas, kekerabatan. Kontribusi

penelitian Amri terhadap penelitian leksikon kesungaian Lau Bingei adalah cara


(55)

2.4 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang dirancang dalam tesis ini adalah berupa abstraksi

dan sintesis antara teori dan masalah penelitian yang dibahas. Kajian ”Leksikon

Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik” berdasarkan kerangka

berpikir kajian ini dapat digambarkan dalam bentuk Gambar 2.1. Sesuai dengan penjabaran dan rumusan masalah penelitian (lihat sub bab 1.3) terdapat dua unsur leksikal yaitu leksikon nomina dan verba.

Sesuai dengan tujuan penelitian (lihat sub bab 1.4) teori yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas teori ekolinguistik. Ekologi bahasa menurut

Haugen adalah Language ecology may be defined as the study of interactions

between any given language and its environment (ekologi bahasa dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara beberapa bahasa dan lingkungannya) (Haugen, 1972 dalam Peter, 1996:57).

Mühlhäusler, (dalam al-Gayoni, 2012:3) dalam salah satu tulisannya yang

berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan

“Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages


(56)

(Ekologi adalah studi tentang keterkaitan fungsional. Dua parameter yang ingin kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Tergantung pada perspektif seseorang yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Gabungan tersebut merupakan bidang ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan mahluk hidup serta faktor-faktor yang mempengaruhi habitat (tempat) berbagai bahasa dewasa ini (hal.2)).

Untuk menjawab rumusan masalah pertama digunakan teori semantik

leksikal. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet

dalam Palmer (1976: 37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas

dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini

bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya,

pancur(n) ‟ pipa air yang terbuat dari bambu‟ erpancur(v) ‟menggunakan pancur‟

erpancurken(v) ‟berpancurkan‟ mancur(v) ‟memancar, memancur‟

mancuri(v) ‟memasang pancur pada kolam‟

Untuk menjawab rumusan masalah kedua, pemahaman guyub tutur bahasa Karo ditentukan dengan dukungan data kuantitatif berupa rumusan dan angka. Rumusan masalah ketiga digunakan teori nilai budaya (perspektif antropolinguistik). Nilai budaya mengacu kepada teori Wierzbicka (1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya dan dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya. Demikian juga dengan

leksikon yang terdapat di lingkungan kesungaian Lau Bingei guyub tutur bahasa

Karo, leksikon kesungaian tersebut dapat memberikan dan mencerminkan gambaran tentang pandangan Suku Karo terhadap lingkungan dan pola berpikirnya.


(1)

9 laneng lanengen 10 lemes

11 limberngi 12 lipas

13 perkis perkisen

14 rengit 15 sigerawak 16 siri-siri

17 sue-sue ersue-sue

18 unduk-unduk munduk-unduk

XII Perangkat Rumah Adat Tradisional (Bahan dari Benda Sekitar Lau)

1 atap ngatapi

2 binangun erbinangun

3 danggulen erdanggulen

4 dapur erdapur

5 dalikan erdalikan

6 derpih erderpihken

7 gelegar

8 gulung-gulung

9 ijuk palas rijuk 10 kalang papan

11 kambing labah

12 labah erlabah

13 mel-melen

14 palas erpalas;

erpalasken; malasi 15 pandak

16 papan erpapan

17 para tuhur 18 para tengah 19 para kudin 20 para ranting 21 papan tonggal 22 sendi

23 tula-tula ertula-tula

XIII Tradisi yang Menggunakan Lau dan disekitar Lau

1 empung rempung

2 erpangir ku lau 3 rembah ku lau

XIV Teknologi yang Menggunakan Lau Bingei 1 lesung lau erlesung


(2)

Lampiran 11

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA INFORMAN

Nama :

Tempat Lahir :

Usia :

Alamat :

Jenis Kelamin : Laki-laki/Wanita

Daftar Pertanyaan:

1. Apa fungsi Lau Bingei buat saudara? (saudara disini dapat diganti sesuai dengan tutur dalam guyub tutur Karo)

2. Pernahkah Kamu mendengar, melihat, dan memakai leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei mengenai benda-benda, nama, aktivitas atau bagian Lau Bingei?

3. Pernahkah Kamu mendengar dan melihat leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei mengenai benda-benda, nama, aktivitas atau bagian Lau Bingei?

4. Bagaimanakah ciri-ciri dan bentuk leksikon benda-benda, aktivitas, dan bagian Lau Bingei?

5. Jelaskan makna dan persepsi kamu mengenai leksikon benda-benda, aktivitas dan bagian Lau Bingei!

6. Sebutkan contoh perubahan kata dari nomina ke verba (derivasi)! (penulis menggunakan cara atau bahasa yang sederhana untuk proses ini)


(3)

9. Bagaimanakah keadaan Lau Bingei saat ini?

10.Apakah peraturan-peraturan dan norma budaya Karo masih digunakan untuk menjaga atau melestarikan Lau Bingei?

11.Apakah Lau Binge dahulu sering digunakan sebagai tempat untuk acara tradisi Karo seperti erpangir kulau dan rembah kulau dan bagaimana sekarang?

12.Apasajakah manfaat tradisi ini terhadap guyub tutur Kecamatan Sei Bingei?

13.Seringkah Kamu menggunakan Lau Bingei? sebutkan untuk aktivitas apa saja?

14.Apakah menurut kamu Lau Binge dapat membantu kesejahteraan rakyat sekitar Lau Bingei?

15.Apa sajakah manfaat Lau Bingei di bidang teknologi?

Keterangan:

Pertanyaan 3, 4, 5, 6, 7 akan ditanyakan juga untuk pengelompokan berikutnya. Pengelompokan berikutnya yaitu nama nurung „ikan‟, nama alat penangkap nurung„ikan‟, nama tumbuhan jenis dukut (rumput-rumputan), nama tumbuhan yang dapat dimakan, nama tumbuhan yang tidak dapat dimakan, nama tumbuhan obat, nama hewan sekitar Lau Bingei, nama piduk „burung‟, nama serangga, nama perangkat rumah adat tradisional yang bahannya dari Lau Bingei, dan tradisi yang berada atau menggunakan Lau Bingei dan teknologi yang menggunakan Lau Bingei.


(4)

Lampiran 12 Nama Informan:

Nama : Rudang Br Sembiring Tempat Lahir : Namo Sabung

Umur : 70 tahun

Alamat : Pasar VIII Namo Terasi

Nama : Baik Sembiring Tempat Lahir : Tanjung Bingei Umur : 78 tahun

Alamat : Tanjung Bingei, Mekar Jaya

Nama : Ngarihken Surbakti Tempat Lahir : Namo Terasi Umur : 60 tahun

Alamat : Pasar VIII Namo Terasi

Nama : Ngaman Surbakti Tempat Lahir : Saporok

Umur : 60 tahun

Alamat : Saporok, Tanjung Gunung

Nama : Sri Ginting Tempat Lahir : Tanjung Bingei Umur : 80 tahun


(5)

Nama : Mulia Surbakti Tempat Lahir : Gelegar Umur : 60 tahun Alamat : Tiga Sabah

Nama : Jalan Sitepu Tempat Lahir : Namo Ukur Umur : 75 tahun Alamat : Namo Ukur

Nama : Ngergaken Sitepu Tempat Lahir : Belinteng

Umur : 65 tahun Alamat : Belinteng

Nama : Ros Mena Br Surbakti Tempat Lahir : Namo Terasi

Umur : 50 tahun

Alamat : Pasar VIII Namo Terasi

Nama : Sabar Nanti Br Sembiring Kembaren Tempat Lahir : Percihen

Umur : 55 tahun


(6)

Nama : Ros Br Sembiring Milala Tempat Lahir : Bandar Meriah

Umur : 60 tahun Alamat : Bandar Meriah

Nama : Rehulina Br Ginting Tempat Lahir : Saporok

Umur : 55 tahun