Keterancaman Leksikon Ekoagraris dalam Bahasa Angkola/Mandailing: Kajian Ekolinguistik

(1)

KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS

DALAM BAHASA ANGKOLA/MANDAILING:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

TESIS

Oleh

DELI KESUMA

127009013/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS DALAM

BAHASA ANGKOLA/MANDAILING: KAJIAN

EKOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Progam Studi Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DELI KESUMA

127009013/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Judul Tesis

: KETERANCAMAN DALAM BAHASA LEKSIKON ANGKOLA/MANDAILING: KOAGRARIS KAJIAN EKOLINGUISTIK

Nama Mahasiswa : Deli Kesuma Nomor Pokok : 127009013 Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Widayati, M.Hum)

Ketua (Dr. Nurlela, M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D)

Dekan,

(Dr. Syahron Lubis, M.A)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 26 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Widayati, M.Hum Anggota : 1. Dr. Nurlela, M.Hum

2. Prof. Amrin Saragih, M.A, Ph.D 3. Dr. Syahron Lubis, M.A


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

“KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS

DALAM BAHASA ANGKOLA/MANDAILING:

KAJIAN EKOLINGUISTIK”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Linguistik pada Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapaun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 26 Agustus 2014 Penulis,


(6)

KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS DALAM BAHASA ANGKOLA/MANDAILING: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Abstrak

Keberadaan leksikon ekoagraris lokal saat ini sudah menunjukkan gejala-gejala kepunahan. Majunya era globalisasi dan teknologi merupakan salah satu penyebab keterancaman keberadaan leksikon ekoagraris. Artinya, leksikon ini tidak hanya dipandang sebagai bagian dari bahasa, tetapi juga merupakan bagian dari situasi alam yang berhubungan dengan peradaban manusia terhadap lingkungannya. Penelitian ini bermaksud mendeskripsikan keberadaan leksikon ekoagraris yang masih digunakan oleh masyarakat di Angkola Mandailing, dan apakah mulai terancam punah serta bagaimana nilai budaya dan kearifan lingkungan yang terkandung dalam leksikon ekoagraris di daerah ini, khususnya di Kecamatan Sayurmatinggi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk melengkapi hasil penelitian, juga digunakan metode kuantitatif. Data yang digunakan untuk mendukung penelitian diambil dengan teknik wawancara, observasi, penyebaran kuesioner, dan memanfaatkan literatur yang sudah ada.Data penelitian ini adalah leksikon verba, nomina, dan ajektiva yang terkait dengan leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi. Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian sawah (2) leksikon benda- benda persawahan dan perladangan (3) leksikon peralatan produksi hasil panen (4) leksikon alur beras dan palawija (5) leksikon alat dan mesin pertanian (6) leksikon tumbuhan sawah dan sekitar sawah (7) leksikon tanaman ladang (8) leksikon nama tumbuhan obat di sekitar sawah dan ladang (9) leksikon fauna dalam persawahan dan perladangan (10) leksikon alat penangkap ikan (11) leksikon alat penangkap burung. Dari sebelas kelompok leksikon tersebut diperoleh 315 leksikon nomina, leksikon verba terdidi atas 66 leksikon, dan leksikon ajektiva terdiri atas 13 leksikon, total leksikon yang ditemukan dalam persawahan dan perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi adalah 394 leksikon. Leksikon ekoagraris yang terancam punah dan yang punah di Kecamatan Sayurmatinggi dalam bahasa Angkola/ Mandailing khususnya dalam persawahan dan perladangan diperoleh hanya dari dua jenis leksikon dalam tataran nomina dan verba. Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing mengandung nilai-nilai budaya, yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai sosial dan budaya, (3) nilai kesejahteraan. Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing mengandung nilai kearifan lingkungan, yaitu (1) nilai gotong-royong (2) nilai kedamaian terdiri atas tiga leksikon a. leksikon tano b. leksikon ordang (alat tugal c. leksikon burangir (sirih).


(7)

ENDANGERED ECO-AGRICULTURE LEXICON IN ANGKOLA/MANDAILING LANGUAGE: AN ECOLINGUISTIC STUDY

Abstract

Local agricultural eco lexicon is now showing symptoms of extinction because of the rapid advancement of globalization and technology as one of the causes of the extinction of the lexicon of eco-agriculture. This suggests that the lexicon is not only seen as part of the language, but also a part of the natural situation relating to human civilization on the environment. Angkola/Mandailaing Society cultivates the agricultural land traditionally. In eco lexicon agricultural are found a reduction in the use of the form of eco linguistics (eco agricultural is ecological farming methods that sustain natural resources). This study was conducted in sub district Sayurmatinggi at South Tapanuli. Research approaches in this research are quantitative and qualitative approach. Data retrieved by using interview, observation, questionnaires, and taking an advantage of the existing literature. The data used in this study is a lexicon of verbs, nouns, and adjectives associated with the lexicon and paddy cultivation in the district Sayurmatinggi.. Data sourced from the data obtained from informants. This data was obtained from the same speaker in the village closest to the irrigation, rice fields also and an extensive cultivation. The results show that agrarian eco lexicon in language Angkola/Mandailaing in District Sayurmatinggi consists of 11 groups, namely (1) the lexicon of the rice fields (2) lexicon of rice fields and farming objects (3) lexicon of crop production equipment (4) lexicon of rice and crop (5) lexicon of agricultural tool and machinery (6) lexicon plants and paddy fields and (7) the lexicon crop fields (8) lexicon of medication plants around the fields, (9) the lexicon of fauna in farming and agriculture (10) lexicon of fishing gear (11) lexicon of bird catcher tools. From the eleven groups of lexicon obtained 315 lexicon of nouns and verbs which consists of 66 verb lexicon 13 adjective. The total of lexicon found in rice fields and cultivation is 394 lexicons in the district Sayurmatinggi. In this study found that there are two types of eco agricultural lexicon which endangered and extinct in Angkola/Mandailaing languages of District Sayurmatinggi, particularly in farming and agriculture, they are nouns and verbs lexicon. The lexicon is in the category D (do not know (do not listen and never used)) this condition is found in the 46-60 year age generation consisting of 7 nouns lexicon and 6 verbs lexicon. At the age of 30-45 years generation consists of 42 nouns lexicon and 23 verbs lexicon. Agrarian eco lexicon in Angkola /Mandailaing language contain cultural values, namely (1) the value of history, (2) social and cultural values, (3) the value of welfare. Agrarian eco lexicon in Angkola /Mandailaing language contains the value of environmental wisdom, namely (1) the value of mutual assistance, (2) the value of peace consists of three lexicon, they are a. tano lexical b. ordang lexical (drill tool) c. burangir lexical (betel).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya tesis ini dapat terselesaikan, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara. Tesis ini berjudul: “Keterancaman Leksikon Ekoagraris dalam Bahasa Angkola/Mandailing: Kajian Ekolinguistik”. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan leksikon ekoagraris yang digunakan dan terancam punah serta menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan dalam masyarakat di Kecamatan Sayurmatinggi. Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH. (CTM). Sp. A (K); yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister pada Sekolah Pascasarjana USU.

2. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, selaku Ketua dan Ibu Dr. Nurlela, M. Hum selaku sekretaris Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara; Program S-2 yang penulis tempuh selama ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan selama pendidikan di Program studi Magister Linguistik USU.

3. Dr. Widayati, M.Hum, selaku Pembimbing I yang telah menyediakan waktu dan dengan sabar memberikan bimbingan materi dan arahan yang sangat berguna dalam penyusunan tesis ini hingga selesai;

4. Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Pembimbing II, yang juga telah memberikan bimbingan materi, arahan dan dorongan dalam penyusunan tesis ini;


(9)

5. Prof. Amrin Saragih, M.A, Ph.D; selaku dosen penguji I yang telah memberikan kritikan, masukan, dan arahan bagi penyempurnaan penulisan tesis ini.

6. Dr. Syahron Lubis, M.A; selaku dosen penguji II yang telah memberikan kritikan, masukan, dan arahan bagi penyempurnaan penulisan tesis ini. 7. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling; selaku dosen penguji III yang telah

memberikan kritikan, masukan, dan arahan bagi penyempurnaan penulisan tesis ini.

Peran serta dalam segala hal dari lembaga atau instansi dan beberapa individu, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih pula kepada:

1. Taufik R. Lubis, SS.TP; Camat Sayurmatinggi; atas dukungan dalam penelitan di Kecamatan Sayurmatinggi.

2. Sofyan Syah Harahap, SP; Pimpinan BP3K Batu Godang; atas dukungan dalam penelitian ini.

3. Seluruh Staf Pengajar pada Program Pasca Sarjana dan Staf Administrasi Universitas Sumatera Utara.

4. Teman-teman seangkatan Program Studi Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.

Penulisan tesis ini tidak akan berhasil tanpa ada bantuan baik moril maupun materil dari pihak-pihak yang tidak dapat disebut satu persatu. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih untuk suami tercinta Erwansyah SH, M.Kn, anakku Azhari


(10)

Guna Kurniawan, Anggita Dwi Kesuma, Salsabila Nur Hashifah atas semua pengorbanan, kesabaran, pengertian dan segala doanya.

Medan, Agustus 2014 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

DAFTAR SINGKATAN……… xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Batasan Penelitian... 4

1.3 Rumusan Masalah... 4

1.4 Tujuan Penelitian... 5

1.5 Manfaat Penelitian... 5

1.5.1 Manfaat Teoritis... 5

1.5.2 Manfaat Praktis…... 6

1.6 Definisi Istilah………... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS... 9

2.1 Kajian Pustaka... 9

2.1.1 Keterancaman... 9

2.1.2 Leksikon………... 11

2.1.2.1 Kata Benda (Nomina)... 12

2.1.2.2 Kata Kerja (Verba)... 14

2.1.2.3 Kata Sifat (Ajektiva)…... 14

2.1.3 Bahasa dan Lingkungan…... 15

2.1.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan…... 18

2.1.4.1 Nilai Budaya…... 18

2.1.4.2 Kearifan Lingkungan…... 20

2.2 Landasan Teori... 21

2.2.1 Ekolinguistik…... 21

2.2.2 Semantik Leksikal…... 25

2.3 Penelitian Terdahulu…... 26

BAB III METODE PENELITIAN……… 34

3.1 Lokasi Penelitian…... 34

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian….……….. 35

3.3 Data dan Sumber Data…..……… 36

3.4 Teknik Pengumpulan Data……… 36

3.5 Pengujian Data…….………. 38

3.6 Analisis Data………. 39


(12)

3.8 Penyajian Data……….. 41

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH ANGKOLA/MANDAILING DAN KECAMATAN SAYURMATINGGI………... 42

4.1 Geografi daerah Angkola/Mandailing dan Kecamatan Sayurmatinggi….... 42

4.2 Penduduk Kecamatan Sayurmatinggi….……….. 45

4.3 Kecamatan Sayurmatinggi….………. 46

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 48

5.1 HasilPenelitian………. 48

5.1.1 Leksikon Bagian Persawahan……,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, 49

5.1.2 Benda-benda Persawahan dan Perladangan……….. 50

5.1.3 Peralatan Produksi HasilPanen….………. 52

5.1.4 Alur Beras dan Palawija….……… 54

5.1.5 Alat dan Mesin Pertanian………... 57

5.1.6 LeksikonTumbuhan Sawah dan di sekitar Sawah………. 59

5.1.7 Leksikon Tanaman Ladang…..……….. 60

5.1.8 Leksikon Nama Tumbuhan Obat di Sekitar Sawah dan Ladang... 62

5.1.9 Leksikon Fauna dalam Persawahan dan Perladangan...……... 63

5.1.10 Alat Penangkap Ikan….………... 64

5.1.11 Alat Penangkap Burung….……… 67

5.2 Pembahasan………... 68

5.2.1 Leksikon Ekoagraris yang Digunakan oleh Masyarakat di Kecamatan Sayurmatinggi... 68

5.3 Leksikon Ekoagraris yang Terancam Punah dan yang Punah pada Guyub Tutur di Kecamatan Sayurmatinggi……….. 71

5.3.1 Pemahaman Lesikon Nomina Bagian Sawah……… 75

5.3.2 PemahamanLeksikon Benda-benda Persawahan dan Perladangan……… 75

5.3.3 Pemahaman Leksikon Nomina Peralatan Produksi Hasil Panen... 75

5.3.4 Pemahaman Leksikon Nomina Alur Beras dan Palawija……….. 77

5.3.5 Pemahaman Leksikon Nomina Alat dan Mesin Pertanian……… 78

5.3.6 Pemahaman Leksikon Nomina Tumbuhan Sawah dan di Sekitar Sawah………. 79

5.3.7 Pemahaman Leksikon Nomina Tanaman Ladang………. 80

5.3.8 Pemahaman Leksikon Nomina Nama Tumbuhan Obat di Sekitar Sawah dan Ladang………. 81

5.3.9 Pemahaman Leksikon Nomina Fauna dalam Persawahan dan Perladangan……… 82

5.3.10 Pemahaman Leksikon Nomina AlatPenangkap Ikan………. 82

5.3.11 Pemahaman Leksikon Nomina Alat Penangkap Burung………... 83

5.4 Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Angkola/Mandailing terhadap Leksikon Verba………. 90

5.4.1 Pemahaman Leksikon Verba Bagian Sawah………. 92

5.4.2 Pemahaman Leksikon Verba Benda-benda dan Perladangan…… 93


(13)

5.4.4 Pemahaman leksikon VerbaAlur Beras dan Palawija………….... 94

5.4.5 Pemahaman Leksikon Verba Alat dan Mesin Pertanian………… 95

5.4.6 Pemahaman Leksikon Verba Tumbuhan Sawah dan di Sekitar Sawah………. 95

5.4.7 Pemahaman Leksikon Verba Tanaman Ladang……… 96

5.4.8 Pemahaman Leksikon Verba Nama Tumbuhan Obat di Sekitar Sawah dan Ladang………. 96

5.4.9 Pemahaman Leksikon Verba Fauna dalam Persawahan dan Perladangan……… 96

5.4.10 Pemahaman Leksikon Verba Alat Penangkap Ikan………... 96

5.4.11 Pemahaman Leksikon Verba Alat Penangkap Burung………….. 97

5.5 Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Angkola/Mandailing terhadap Leksikon Ajektiva………. 103

5.6 Nilai Budaya melalui Leksikon Ekoagraris dalam Persawahan dan Perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi………... 105

5.6.1 Nilai Sejarah……….. 106

5.6.2 Nilai Sosial dan Budaya……… 108

5.6.3 Nilai Kesejahteraan………... 109

5.7 Kearifan Lingkungan melalui Leksikon Ekoagraris dalam Bahasa Angkola/Mandailing………. 110

5.7.1 Nilai Gotong Royong………. 110

5.7.2 Nilai Kedamaian……… 113

5.7.2.1 Leksikal Tano………. 113

5.7.2.2 Leksikal Ordang (alat tugal)………... 114

5.7.2.3 Leksikal Burangir (sirih),,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, 115 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN………. 120

6.1 Simpulan………... 120

6.2 Saran ……… 122

DAFTAR PUSTAKA………. 123


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1 Data penduduk Kecamatan Sayurmatinggi Kabupaten Tapanauli Selatan tahun

2013………. 45

4.2 Luas panen, rata-rata produktivitas dan produksi padi dan palawija menurut jenis tanaman 2012 KecamatanSayurmatinggi………... 47

5.1 Pengelompokan leksikon ekoagraris dalam Bahasa Angkola/Mandailing Khususnya dalam persawahan dan perladangan………. 48

5.2 Daftar leksikon bagian persawahan………. 49

5.3 Prefiksmam - mang – dan mar-……… 50

5.4 Daftar leksikon benda-benda persawahan dan perladangan……… 51

5.5 Prefiksmar-………... 52

5.6 Daftar leksikon peralatan produksi hasil panen……….. 53

5.7 Prefiksmar dan mang………. 54

5.8 Daftar leksikon alur beras dan palawija……….. 55

5.9 Prefiksman – mang - dan mam………... 56

5.10 Daftar leksikon alat dan mesin pertanian………. 58

5.11 Prefiks mam – mang dan man……… 59

5.12 Daftar leksikon tumbuhan sawah dan di sekitar sawah………... 59

5.13 Daftar leksikon tanaman lading………... 61

5.15 Daftar leksikon fauna dalam persawahan dan perladangan……… 63

5.16 Daftar leksikon alat penangkap burung……….. 65

5.17 Prefiks man - mang – mar……….. 66

5.18 Daftar leksikon alat penangkap burung………... 67

5.19 Prefiks mang – mar – mam – dan Sman……… 68

5.20 Deskripsi rangkuman persentase pemahaman guyub tutur bahasa Angkola/Mandailing terhadap leksikon nomina persawahan dan perladangan….. 73

5.21 Deskripsi pemahaman guyub tutur bahasa angkola/mandailing terhadap leksikon nomina generasi usia ≥ 61 tahun………. 84

5.22 Deskripsi pemahaman guyub tutur bahasa angkola/mandailing terhadap leksikon nomina generasi usia 46-60 tahun………... 86

5.23 Deskripsi pemahaman guyub tutur bahasa angkola/mandailing terhadap leksikon nomina generasi usia 30 - 45 tahun………. 88

5.24 Deskripsi Rangkuman Persentase Pemahaman Guyub Tutur Bahasa Angkola/Mandailing Terhadap Leksikon Verba Persawahan dan Perladangan…. 91 5.25 Deskripsi pemahaman guyub tutur bahasa angkola/mandailing terhadap leksikon verba generasi usia ≥ 61 tahun……….. 97

5.26 Deskripsi pemahaman guyub tutur bahasa angkola/mandailing terhadap leksikon verba generasi usia 46 - 60 tahun……… 99

5.27 Deskripsi pemahaman guyub tutur bahasa angkola/mandailing terhadap leksikonverba generasi usia 30 - 45 tahun………... 101


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

3.1 Komponen analisis data: Model Interaktif………... 39

4.1 Peta Kabupaten Tapanuli Selatan……… 43

4.2 Peta Kecamatan Sayurmatinggi………... 44

4.3 Saluran induk Batang Angkola yang mengairi persawahan dua Kecamatan di

Tapanuli Selatan dan sebagian wilayah Mandailing Natal……….. 46 4.4 Kegiatan Musim Panen Masyarakat Sayurmatinggi……… 47


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Daftar leksikon nama tumbuhan obat di sekitar sawah dan ladang 1

2 Semantik leksikal………... 4

3 Deskripsi persentase pemahaman guyub tutur bahasa angkola-mandailing generasi usia ≥ 61 tahun terhadap leksikon persawahan dan perladangan di kecamatan

sayurmatinggi……….. 6

4 Deskripsi persentasi pemahaman guyub tutur bahasa Angkola/Mandailing generasi usia 46-60 tahun terhadap leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan

Sayurmatinggi 20

5 Deskripsi persentase pemahaman guyub tutur bahasa angkola-mandailing generasi usia 30-45 tahun terhadap leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan

Sayurmatinggi………. 34

6 Daftar pertanyaan keterancaman leksikon ekoagraris dalam Bahasa

Angkola/Mandailing………... 48

7 Pedoman wawancara kepada informan……….. 56


(17)

KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS DALAM BAHASA ANGKOLA/MANDAILING: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Abstrak

Keberadaan leksikon ekoagraris lokal saat ini sudah menunjukkan gejala-gejala kepunahan. Majunya era globalisasi dan teknologi merupakan salah satu penyebab keterancaman keberadaan leksikon ekoagraris. Artinya, leksikon ini tidak hanya dipandang sebagai bagian dari bahasa, tetapi juga merupakan bagian dari situasi alam yang berhubungan dengan peradaban manusia terhadap lingkungannya. Penelitian ini bermaksud mendeskripsikan keberadaan leksikon ekoagraris yang masih digunakan oleh masyarakat di Angkola Mandailing, dan apakah mulai terancam punah serta bagaimana nilai budaya dan kearifan lingkungan yang terkandung dalam leksikon ekoagraris di daerah ini, khususnya di Kecamatan Sayurmatinggi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk melengkapi hasil penelitian, juga digunakan metode kuantitatif. Data yang digunakan untuk mendukung penelitian diambil dengan teknik wawancara, observasi, penyebaran kuesioner, dan memanfaatkan literatur yang sudah ada.Data penelitian ini adalah leksikon verba, nomina, dan ajektiva yang terkait dengan leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi. Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian sawah (2) leksikon benda- benda persawahan dan perladangan (3) leksikon peralatan produksi hasil panen (4) leksikon alur beras dan palawija (5) leksikon alat dan mesin pertanian (6) leksikon tumbuhan sawah dan sekitar sawah (7) leksikon tanaman ladang (8) leksikon nama tumbuhan obat di sekitar sawah dan ladang (9) leksikon fauna dalam persawahan dan perladangan (10) leksikon alat penangkap ikan (11) leksikon alat penangkap burung. Dari sebelas kelompok leksikon tersebut diperoleh 315 leksikon nomina, leksikon verba terdidi atas 66 leksikon, dan leksikon ajektiva terdiri atas 13 leksikon, total leksikon yang ditemukan dalam persawahan dan perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi adalah 394 leksikon. Leksikon ekoagraris yang terancam punah dan yang punah di Kecamatan Sayurmatinggi dalam bahasa Angkola/ Mandailing khususnya dalam persawahan dan perladangan diperoleh hanya dari dua jenis leksikon dalam tataran nomina dan verba. Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing mengandung nilai-nilai budaya, yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai sosial dan budaya, (3) nilai kesejahteraan. Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing mengandung nilai kearifan lingkungan, yaitu (1) nilai gotong-royong (2) nilai kedamaian terdiri atas tiga leksikon a. leksikon tano b. leksikon ordang (alat tugal c. leksikon burangir (sirih).


(18)

ENDANGERED ECO-AGRICULTURE LEXICON IN ANGKOLA/MANDAILING LANGUAGE: AN ECOLINGUISTIC STUDY

Abstract

Local agricultural eco lexicon is now showing symptoms of extinction because of the rapid advancement of globalization and technology as one of the causes of the extinction of the lexicon of eco-agriculture. This suggests that the lexicon is not only seen as part of the language, but also a part of the natural situation relating to human civilization on the environment. Angkola/Mandailaing Society cultivates the agricultural land traditionally. In eco lexicon agricultural are found a reduction in the use of the form of eco linguistics (eco agricultural is ecological farming methods that sustain natural resources). This study was conducted in sub district Sayurmatinggi at South Tapanuli. Research approaches in this research are quantitative and qualitative approach. Data retrieved by using interview, observation, questionnaires, and taking an advantage of the existing literature. The data used in this study is a lexicon of verbs, nouns, and adjectives associated with the lexicon and paddy cultivation in the district Sayurmatinggi.. Data sourced from the data obtained from informants. This data was obtained from the same speaker in the village closest to the irrigation, rice fields also and an extensive cultivation. The results show that agrarian eco lexicon in language Angkola/Mandailaing in District Sayurmatinggi consists of 11 groups, namely (1) the lexicon of the rice fields (2) lexicon of rice fields and farming objects (3) lexicon of crop production equipment (4) lexicon of rice and crop (5) lexicon of agricultural tool and machinery (6) lexicon plants and paddy fields and (7) the lexicon crop fields (8) lexicon of medication plants around the fields, (9) the lexicon of fauna in farming and agriculture (10) lexicon of fishing gear (11) lexicon of bird catcher tools. From the eleven groups of lexicon obtained 315 lexicon of nouns and verbs which consists of 66 verb lexicon 13 adjective. The total of lexicon found in rice fields and cultivation is 394 lexicons in the district Sayurmatinggi. In this study found that there are two types of eco agricultural lexicon which endangered and extinct in Angkola/Mandailaing languages of District Sayurmatinggi, particularly in farming and agriculture, they are nouns and verbs lexicon. The lexicon is in the category D (do not know (do not listen and never used)) this condition is found in the 46-60 year age generation consisting of 7 nouns lexicon and 6 verbs lexicon. At the age of 30-45 years generation consists of 42 nouns lexicon and 23 verbs lexicon. Agrarian eco lexicon in Angkola /Mandailaing language contain cultural values, namely (1) the value of history, (2) social and cultural values, (3) the value of welfare. Agrarian eco lexicon in Angkola /Mandailaing language contains the value of environmental wisdom, namely (1) the value of mutual assistance, (2) the value of peace consists of three lexicon, they are a. tano lexical b. ordang lexical (drill tool) c. burangir lexical (betel).


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan leksikon ekoagraris lokal saat ini sudah menunjukkan gejala-gejala kepunahan. Majunya era globalisasi dan teknologi merupakan salah satu penyebab keterancaman keberadaan leksikon ekoagraris. Artinya, leksikon ini tidak hanya dipandang sebagai bagian dari bahasa, tetapi juga merupakan bagian dari situasi alam yang berhubungan dengan peradaban manusia terhadap lingkungannya.

Peradaban manusia yang semakin berkembang terus mengancam lingkungan di sekitarnya, karena semakin banyak manusia semakin sempit ruang geraknya, termasuk lingkungannya. Untuk menyelamatkan kondisi lingkungan yang memprihatinkan, masyarakat dituntut untuk merancang keberlanjutanya. Lingkungan hendaklah dipandang sebagai alam yang dijaga kelestariannya. Strategi demikian, pelestarian sumber daya lingkungan erat hubungannya dengan pelestarian bahasa lokal. Bahasa-bahasa lokal sangat kaya dengan sumber daya kata, dan ungkapan metapora untuk mewadahi diskursus tentang keanekaragaman hayati, termasuk bahasa Angkola/Mandailing.

Salah satu wilayah yang sampai saat ini masih terjaga kelestarian lingkungannya, yaitu daerah Angkola/Mandailing khususnya di Kecamatan Sayurmatinggi yang menjadi fokus penelitian ini. Penduduk wilayahnya secara umum hidup dari kegiatan pertanian. Wilayah Sayurmatinggi memiliki areal


(20)

pertanian yang lebih luas dibandingkan dengan daerah Kecamatan lain yang ada di daerah Angkola/Mandailing.

Wilayah Kecamatan Sayurmatinggi berbatasan dengan Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal. Pada umumnya mata pencaharian masyarakatnya adalah bertani, seperti mengolah persawahan, perladangan, dan pemanfaatan hasil hutan. Pengolahan persawahan di daerah ini mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah daerah dengan disediakannya sumber air irigasi untuk memperluas wilayah persawahan, yang bernama bendungan Batang Angkola. Bendungan ini merupakan salah satu sumber air irigasi terbesar di Sumatera Utara dengan luas areal pengairan mencapai 5039.5 Ha. Perluasan daerah pengairan persawahan meliputi beberapa Kecamatan yaitu, Kecamatan Sayurmatinggi, Kecamatan Tano Tombangan Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan sebagian wilayah pertanian Mandailing Natal yaitu, Kecamatan Siabu, dan Kecamatan Bukit Malintang (Sumber: BPS. Kabupaten Tapanuli Selatan Kecamatan Sayurmatinggi dalam Angka 2013).

Masyarakat Angkola/Mandailing sejak dahulu mengolah lahan pertanian secara tradisional. Tradisi ini diwariskan oleh para leluhur atau nenek moyang secara turun-temurun. Namun, akibat pesatnya perkembangan ilmu teknologi, khususnya teknologi dalam bidang pertanian, menyebabkan terjadi pergeseran, yakni dari pertanian tradisional ke arah pertanian modern. Keberlangsungan situasi ini secara terus-menerus akan mengakibatkan kepunahan sistem pertanian tradisional dengan perangkat peralatan pertanian yang berdampak pada hilangnya atau tidak digunakannya lagi alat pertanian tradisional. Kondisi ini memaksa hilangnya leksikon ekoagraris, terutama leksikon persawahan dan perladangan.


(21)

Pemahaman guyub tutur akan leksikon ekoagraris menyusut dan terancam punah karena beberapa tradisi pengolahan persawahan dan perladangan secara tradisional mulai ditinggalkan oleh masyarakat Angkola Mandailing sendiri.

Secara ekolinguistik, hal tersebut dibuktikan dengan adanya penyusutan pengetahuan bentuk leksikon ekoagraris (ekoagraris dimaknai sebagai pertanian yang menggunakan metode ekologi yang mempertahankan sumber alam). Leksikon-leksikon ekoagraris yang sudah punah disebabkan pengolahan pertanian secara modern, seperti: mardege (merontokkan gabah dari malai dengan kaki), mamaspas (merontokkan gabah dari malai dengan menggunakan kayu), mamiari (membersihkan gabah dengan tampi), andilo (tas pak tani dari kulit kayu), omping danon (emping beras).

Ekoagraris perlu mendapat penanganan yang serius, karena bukan saja berdampak pada lingkungan kegiatan sosial, ekonomi, maupun keunikan budaya, tetapi juga berdampak pada kepunahan leksikal. Minimnya perhatian terhadap leksikon ekoagraris yang terdapat dalam pertanian di Angkola/Mandailing terutama pada leksikon pengolahan persawahan dan perladangan tradisional yang sekarang ini sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Angkola/Mandailing sendiri, member dampak besar bagi masyarakat itu sendiri. Dampak ini dapat berupa hilangnya kegiatan gotong royong (marsialapari) oleh masyarakat setempat seperti kegiatan mardege yang merupakan kegiatan yang ditunggu oleh masyarakat Angkola/Mandailing dalam kegiatan musim panen, dan hanya ada pada saat musim panen tiba.

Penelitian ini bermaksud mendeskripsikan keberadaan leksikon ekoagraris yang masih digunakan oleh masyarakat di Angkola Mandailing, dan apakah mulai


(22)

terancam punah serta bagaimana nilai budaya dan kearifan lingkungan yang terkandung dalam leksikon ekoagraris di daerah ini, khususnya di Kecamatan Sayurmatinggi.

Hal ini menuntut dilakukannya kajian multidisipliner, seperti sosiologi, antropologi, ekologi. Dalam tautan ini ekolinguistik mencoba menyertakan diri dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik karena perubahan sosiologis sangat mempengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai budaya dalam sebuah masyarakat (Haugen 1972).

1.2 Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan yang akan dibahas untuk menghindari kesalahpahaman dan kerancuan sehingga permasalahan terfokus pada penelitian yang berjudul “Keterancaman Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola Mandailing: sebuah Kajian ekolinguistik”. Penelitian ini dibatasi pada leksikon persawahan dan perladangan dalam tataran nomina, verba, dan ajektiva dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi.

1.3 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini berkaitan dengan keterancaman leksikon ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi Kabupaten Tapanuli Selatan, mencakup:

1. Leksikon ekoagraris apa yang digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Sayurmatinggi?


(23)

2. Leksikon ekoagraris apa yang terancam punah dan punah pada guyub tutur di Kecamatan Sayurmatinggi?

3. Bagaimana nilai budaya dan kearifan lingkungan dalam leksikon ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan leksikon ekoagraris yang digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Sayurmatinggi.

2. Mendeskripsikan leksikon ekoagraris yang terancam punah pada guyub tutur di Kecamatan Sayurmatinggi.

3. Menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan dalam leksikon ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat baik secara teoretis maupun praktis seperti dijelaskan sebagai berikut.

1.5.1 Manfaat Teoretis

Hasil yang ditemukan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan informasi, dan bahan masukan yang relevan dalam hal penelitian mengenai leksikon persawahan dan perladangan yang digunakan, yang terancam punah dan yang punah di daerah Angkola Mandailing khususnya di Kecamatan Sayurmatinggi. Hasil penelitian ini dapat juga diharapkan sebagai bahan rujukan peneliti dan menambah wawasan bagi peminat Angkola/Mandailing.


(24)

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan :

(a) masyarakat dapat memahami leksikon ekoagraris persawahan dan perladangan dalam bahasa Angkola Mandailing.

(b) dapat menjadi kamus kecil khazanah leksikon ekoagraris persawahan dan perladangan dalam bahasa Angkola/Mandailing, sehingga dapat dibaca oleh generasi berikut dan sebagai muatan lokal dalam kerangka pendidikan dan perbendaharaan kata ekoagraris persawahan dan perladangan.

(c) dapat dijadikan sebagai arsip bahasa Angkola/Mandailing Kabupaten Tapanuli Selatan, jika pada suatu masa ekologi yang mendukung leksikon bahasa Angkola/Mandailing tidak dapat dipertahankan lagi minimalnya bahasa Angkola/Mandailing tentang ekoagraris dalam persawahan dan perladangan tidak ikut punah seiring rusaknya ekologi yang mendukungnya. (d) dapat berdampak kepada masyarakat agar memelihara keseimbangan

ekosistem dan mempertahankan warisan leluhurnya, dan saling melestarikan bahasa, budaya, lingkungan dengan keberagamannya harus menjadi komitmen moral yang layak digerakkan secara berkelanjutan.

(e) dapat dijadikan sebagai rujukan bagi kementerian lingkungan hidup.

1.6 Definisi Istilah

Beberapa istilah dalam penelitian yang ditinjau dari konsep ekolinguistik adalah sebagai berikut:


(25)

Ekoagraris adalah pertanian yang menggunakan metode ekologi yang mempertahankan sumber alam, keberagaman hayati dan lahan.

(2) Ekolingustik

Ekolinguistik adalah ilmu bahasa, yang interdisipliner menyandingkan ekologi dan linguistik. Melalui bidang ilmu ini, pengaruh perkembangan tehnologi yang modren atau juga kebertahanan dan kelestarian leksikon dan alam (ragawi dan sosio-kultural) terhadap punahnya leksikon persawahan dan perladangan yang diteliti. Dari segi bahasa, hal-hal yang dapat diteliti adalah meliputi tataran nomina, verba, dan ajektiva istilah dan ungkapan tentang lingkungan agraris dalam dinamika dan konteks sosial budaya komunitas tutur bahasa Angkola/Mandailing.

(3) Ekologi

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan kondisi alam sekitarnya (lingkungannya) atau kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem.

(4) Leksikon

Leksikon adalah kosakata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa.

(5) Persawahan

Persawahan adalah alam ragawi sawah dan semua hal yang meliputi tentang sawah.

(6) Perladangan

Perladangan adalah tempat orang berladang (ubi, jagung, cabe, dan sebagainya) dengan tidak diairi.


(26)

(7) Lingkungan persawahan


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS

Dalam bab ini akan diuraikan kajian pustaka, kerangka teori, dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian “Keterancaman Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola Mandailing: Kajian Ekolinguistik”.

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Keterancaman

Keterancaman merupakan kondisi yang sangat darurat dan dalam keadaan yang membahayakan. Menentukan sebuah bahasa berada dalam tingkat yang ”membahayakan” atau terancam punah, sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh keanekaragaman situasi kebahasaan di seluruh dunia dan ketiadaan model teoretis yang tersedia untuk mengkombinasikan variabel-variabel yang relevan. Secara sederhana, untuk kasus ini, Crystal (2008:19) menawarkan tiga kriteria: (1) tingkat pemerolehan bahasa pada anak-anak, (2) sikap masyarakat yang utuh terhadap bahasanya, dan (3) tingkat dampak bahasa-bahasa lain yang mungkin mengancam bahasa tersebut. Terkait dengan bahasa yang terancam punah, Wurm (dalam Crystal 2008:20) memberikan lima kriteria seperti berikut ini.

(1) Bahasa yang potensial terancam: secara sosial dan ekonomi tidak menguntungkan, di bawah tekanan berat dari bahasa yang lebih besar, dan awal hilangnya penutur anak-anak, (2) bahasa yang terancam: sedikit atau tidak ada lagi anak-anak yang belajar bahasa tersebut, dan penutur termuda yang menguasai dengan baik adalah penutur dewasa yang masih muda, (3) bahasa yang mengalami


(28)

ancaman serius: penutur termuda yang menguasai dengan baik adalah penutur dewasa usia 50 tahun atau lebih, (4) bahasa yang hampir punah: hanya segelintir penutur yang menguasai dengan baik, kebanyakan sangat tua, (5) bahasa yang musnah: tidak ada penutur yang tinggal.

Cara lain untuk melihat keterancaman bahasa-bahasa adalah melalui kriteria linguistik. Kriteria linguistik merefleksikan rentang fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan jenis-jenis perubahan struktural yang terjadi. Bahasa yang terancam semakin sedikit digunakan oleh penutur yang secara keseluruhan juga sedikit, dengan pergeseran fungsi-fungsi yang secara berangsur-angsur digantikan oleh bahasa lain. Bagaimanapun, perubahan adalah sesuatu yang biasa terjadi pada semua bahasa. Bahasa yang sehat biasanya selalu “meminjam” dari bahasa yang lain (Crystal 2008:21 – 24).

Sementara Haugen (dalam M Bete, 2011: 10-11) tentang ekologi bahasa terkesan lebih berfokus pada aspek – aspek kebahasaan secara internal dan sebagian kajiannya itu bersifat bebas nilai. Ekolinguistik dikembangkan secara lebih luas dengan subjudul bahasa dan lingkungan serta ekolinguistik kritis (Fill dan Muhlhausler, 2001). Persoalan diversifikasi biota dan diversifikasi bentuk – bentuk kebahasan di suatu lingkungan (yang keduanya mulai terusik, tergusur, dan pudar), memandang dan menuntut betapa pentingnya kreatifitas masyarakat di lingkungan tertentu, yang atas dasar sumber daya bahasa lokal ataupun karena kemampuan beradaptasi dengan perubahan pemahaman tentang potensi lingkungan, dituntut untuk berhasil menciptakan kode-kode lingual baru (Fill dan Muhlhausler, 2001). Dengan strategi demikian, pelestarian sumber daya lingkungan berkaitan pula dengan pelestarian bahasa lokal. Istilah polusi yang


(29)

diterjemahkan menjadi pencemaran (dalam bahasa Indonesia) misalnya, perlu dikodekan dalam bahasa lokal, termasuk pula konsep dan istilah-istilah penyelamatan dan pengembangan lingkungan hidup yang kerap didengungkan. Dengan strategi ini, pengalihan pesan kepada generasi muda dapat berlangsung secara lokal-kultural-lingual.

Daya cipta kode-kode lingual kata, ungkapan-ungkapan, dan pemberdayaan wacana bahasa lokal sangat penting sebagai strategi pelestarian bahasa dan sumber daya alami lokal. Cara demikian menjadi alternatif solusi mengatasi persoalan keterancaman sumber daya bahasa daerah dan sumber daya lingkungan di sekitarnya. Selain konsep bahasa dan lingkungan dalam kegawatan dan tantangan pelestariannya, konsep ekolinguistik kritis sangat perlu dikembangkan. Jikalau keseimbangan dan keharmonisan menjadi prisip-prinsip ekosistem dalam arti kesamaan posisi, peran, saling berinteraksi, dan saling tergantung, paradigma hubungan antar komponen dalam ekosistem itu, yang di dalamnya termasuk juga komunitas penutur, terasa perlu dibangun kembali. Alam dan lingkungan layak dijadikan sebagai subyek, bukan lagi sebaliknya hanya diposisikan sebagai objek.

2.1.2 Leksikon

Leksikon adalah koleksi leksem dalam suatu bahasa. Dalam leksikon terdapat kajian yang meliputi tentang apa yang dimaksud dengan kata, struktur kosakata, pembelajaran kata, penggunaan dan penyimpanan kata, sejarah dan evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatau bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari leksikon dianggap sebagai sinonim


(30)

kamus atau kosakata. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:11) dalam temuannya tentang konsep ekologi kesungaian.

Leksikon didefinisikan sebagai “kosa kata, komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa”. KBBI (2008:805)

Chaer (2007:5) mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata Yunani Kuno yang berarti ‘kata’, ‘ucapan’, atau ‘cara berbicara’. Kata leksikon seperti ini sekerabat dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah kosa kata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya mencari kata atau istilah tidak berbau barat.

Selanjutnya Sibarani (1997:4) membedakan leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa”.

2.1.2.1 Kata Benda (Nomina). Chaer (2008:69) mengatakan “ kata-kata yang dapat diikuti dengan frase yang... atau yang sangat... disebut kata benda”. Misalnya kata-kata (1) pakaian (yang bagus); (2) anak (yang rajin); (3) pelajar (yang sangat rajin).

Ada tiga macam kata benda yaitu:

(a) kata benda yang jumlahnya dapat dihitung sehingga di depan kata benda itu dapat diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan:


(31)

(1) orang, termasuk kata-kata: (a) nama diri, seperti Ali, Ana, Alya, dan Roni. (b) nama perkerabatan, seperti adik, kakak, ayah, ibu, dan saudara. (c) nama pangkat, jabatan, atau pekerjaan, seperti letnan, lurah, penulis, dan raden, (d) nama gelar, seperti insinyur, profesor, dan petani.

(2) hewan, seperti ayam, kucing, semut, kambing.

(3) tumbuhan atau pohon seperti jati, palem, beringin dan jambu. (4) alat, perkakas, atau perabot, seperti gergaji, pisau, obeng dan

lampu.

(5) benda alam, seperti desa, danau,sawah dan ladang.

(6) atau proses, seperti peraturan, perampokkan, kekuatan dan pembongkaran.

(7) hasil, seperti jawatan, bendungan, karangan dan binatang.

(b) kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm (sentimeter), km (kilometer), persegi, liter, kubik, termasuk juga kata-kata yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung, gelar, kaleng, truk, dan gerobak, serta kata-kata seperti (se)ikat, (se)potong, (se)kerat, (se)tumpuk, (se)iris. Kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan (1) bahan, seperti semen, pasir, tepung, gula, beras, dan kayu, dan (2) zat, seperti air, asap, udara, dan bensin.


(32)

(c) kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat diletakkan kata bilangan, seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Palembang.

2.1.2.2 Kata Kerja (Verba). Chaer (2008:106) mengatakan “kata-kata yang dapat diikuti oleh frase dengan..., baik yang menyatakan alat, yang menyatakan keadaan, maupun yang menyatakan penyerta, disebut kata kerja”. Misalnya kata-kata: (1) tidur (dengan nyenyak); (2) pulang (dengan gembira); (3) berpakaian (dengan rapi); (4) menulis (dengan pinsil). Dilihat dari strukturnya ada dua macam kata kerja, yaitu kata kerja dasar dan kata kerja berimbuhan.

a. Derivasi

Proses derivasi mengubah suatu kata menjadi kata baru. Kata baru itu pada umumnya berbeda kelas atau jenisnya dengan kata yang belum mengalami derivasi. Dalam proses infleksi perubahan kelas kata itu tidak terjadi. b. Infleksi

Infleksi mengubah bentuk suatu kata untuk menetapkan hubungannya dengan kata-kata lain dalam kalimat. Jadi, infleksi menentukan dan membatasi tugas gramatikal kata yang dibentuknya. Contoh, boy menjadi boys (kata boys dibatasi kedudukannya dalam kalimat).

2.1.2.3 Kata Sifat (Ajektiva). Chaer (2008:168) mengatakan ciri gramatikal kosakata bahasa Indonesia ‘asli’ yang berkategori ajektiva memang tidak tampak. Hal ini berbeda dengan kosakata yang berasal dari unsur serapan bahasa asing.


(33)

Dari bentuknya ajektiva dapat dibedakan menjadi: (1) Ajektiva dasar

(a) Yang dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya: adil, alim, bahagia, besar, kecil, cepat, gemar.

(b) Yang tidak dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya: cacat, genap, langsung, tunggal.

(2) Ajektiva turunan

(a) Ajektivs turunan berafiks, misalnya: terhormat.

(b) Ajektiva turunan bereduplikasi, misalnya: elok-elok, gagah-gagah, cantik-cantik, muda-muda, berat-berat.

(c) Ajektiva berafiks ke-R-an atau ke-an, misalnya: kesepian, kesakitan, kemerah-merahan.

(3) Ajektiva majemuk

(a) Subordinatif, misalnya: besar mulut, buta huruf, keras kepala, murah hati.

(b) Koordinatif, misalnya: baik buruk, gagah perkasa, lemah lembut, suka duka.

2.1.3 Bahasa dan Lingkungan

Bahasa dan lingkungan adalah dua hal yang saling berhubungan dan saling memengaruhi. Dalam tulisannya Language Ecology and Environment, Muhlhausler (2001:3) menyebut, ada empat yang memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan yakni: (1) bahasa berdiri dan terbentuk sendiri (Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi alam (Marr); (3) alam


(34)

dikonstruksi bahasa dan (4) bahasa saling berhubungan dengan alam-keduanya saling mengontruksi, namun jarang yang berdiri sendiri (ekolinguistik).

Ekologi bahasa adalah ruang hidup atau tempat hidup bahasa-bahasa yang secara nyata hadir dalam komunikasi manusia dan interaksi verbal baik lisan maupun tulisan. Ekologi diartikan ilmu tentang lingkungan hidup dan linguistik diartikan ilmu tentang bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnyaekolinguistik, menjadi parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropolinguistik), adalah (1) interelasi (interelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman (diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001: 1).

Berdasarkan kerangka pandang tersebut bahwa secara khusus bahasa dapat dimaknai, dikaji dan didalami. Lingkungan hidup bahasa memberikan keberagaman dan kesinambungan dengan sebuah pemahaman di suatu lingkungan atau kawasan hidup bahasa, namun bahasa hidup dalam leksikon persawahan dan perladangan. Secara khusus lingkungan hidup merupakan sebuah lingkungan bagi manusia dalam jejaring dan keberagaman sosial, dan ragam bahasa juga. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:21) dalam temuannya pada ekologi kesungaian. Sebagaimana yang dikemukakan Safir dalam Fill dan Muhlhausler (eds) (2003:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan:

1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah Negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).


(35)

2. Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni. Menurut Habermas dalam M. Bete (2011: 2) kaitannya dengan ekolinguistik ini, hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia, berarti antar anggota guyub tutur (speech community) dan hubungan timbal balik manusia dengan alam disekitarnya. Jikalau daya tarik dan obsesi ekologi saat ini mempersoalkan kerusakan dan kemerosostan kualitas lingkungan hidup itu dapat dianalogikan dengan persoalan ekolinguistik, niscaya kemerosotan kualitas hubungan antar manusia, karena lumpuhnya infrastruktur komunikatif. Sehubungan dengan kebahasaan adalah suatu sosok yang hidup dalam lapisan masyarakat terbukti juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari waktu ke waktu (Rahardi, 2006: 69). Adanya perubahan dan pergeseran bahasa itu dengan mudah dapat dilihat dan dicermati pada leksikon sebuah bahasa dengan penambahan, pengurangan, atau mungkin penghilangan. Secara empiris hal ini dapat terjadi pada bahasa Angkola/Mandailing dalam leksikon ekoagraris, khususnya leksikon persawahan dan perladangan.


(36)

2.1.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan

2.1.4.1 Nilai Budaya. Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 mengamanatkan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini, Pemerintah menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Pada era globalisasi, pemerintah berkewajiban melindungi dan melayani masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa.

Kebudayaan menurut Mahsun (2005: 2) terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan tercermin dalam perilaku manusia. Sejalan dengan itu Haviland (1999: 333) mengemukakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, dan apabila dilaksanakan oleh para anggotanya, maka akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut.

Menurut Koentjaraningrat (2004: 85) nilai budaya terdiri dari konsepsi–konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal–hal yang mereka anggap amat mulia.


(37)

Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat- alat, dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia. Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berke mbang pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.

Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain-lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam


(38)

bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

2.1.4.2 Kearifan Lingkungan.

Handayani (2012: 17) adalah pengetahuan yang ada sejak periode yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses ini sangat panjang sehingga melekat dalam kehidupan masyarakat dan menjadi kearifan lokal sebagai sumber eneri potensial dari sistem penegtahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai landasan perilaku seseorang, melainkan mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban

Prinst (2004: 69) juga mengatakan bahwa lingkungan hidup kayu dapat diambil untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk diperdagangkan. Karena jika diperdagnagkan akan dapat menyebabkan keserakahan masyarakat yang ingin mengambil kayu. Namun hal itu dapat juga dilakukan jika ada gantinya dengan menanam pohon dan hasilnya dapat diperjualbelikan.

Jenis kearifan lokal menurut Sibarani (2012: 133) yang menagndung nilai-nilai budaya antara lain: (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran posistif dan rasa syukur.


(39)

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Ekolinguistik

Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa.

Ekolinguistik adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji lingkungan dan bahasa. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner, menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1).

Ekolinguistik adalah studi hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan. Bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.

Dinamika perubahan sosiokultural, sosioekonomis, sosioekologis, dan sosiolinguistik terjadi sangat cepat merasuk ke relung-relung jiwa warga etnik di banyak wilayah tanah air (Aron, 2010). Masyarakat tradisional berbasis etnik Indonesia setingkat jauh lebih dinamis daripada yang diperkirakan umum, sebagaimana negara berkembang lainnya (Dove, 1985).

Dalam The Ecology of Language Shift, Mickey (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:67) menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep


(40)

ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill, 2001:43).

Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi bahasa/bahasa ekologi, dan ekolinguistik. Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Dalam perspektif antropologi, kognitif, seperangkat leksikon yang digunakan merupakan objek, peristiwa, dan tanda aktivitas yang penting di lingkungan (Casson, 1981 dalam M Bete, 2011:2).

Kajian ini pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat bekerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antar bahasa (Haugen dalam Fill & Muhlausler, 2001:57).

Sementara itu, Muhlausler (dalam al-Gayoni, 2012:3) dalam tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan:

Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support system languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times (p.2).

(Ekologi adalah studi tentang keterkaitan fungsional. Dua parameter yang ingin kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Tergantung bab IV pada perspektif seseorang yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Gabungan tersebut merupakan bidang ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan makhluk hidup serta faktor-faktor yang mempengaruhi habitat (tempat) berbagai dewasa ini (hal.2).


(41)

Haugen (1972), lihat Mbete (2009: 11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu:

(1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi;

(3) sosiolinguistik;

(4) dialinguistik; dialektologi; (5) filologi;

(6) linguistik preskriptif; (7) glotopolitik;

(8) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics); dan

(9) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

Ekolinguistik merupakan payung dan wadah bersama yang bersifat lintas bidang keilmuanm menjadi pilihan yang sangat penting dan strategis. Sebagai kajian yang bertolak dari konsep dan parameter ekologi yakni: (1) linguistik (environment), (2) keberagaman (diversity), dan (3) interaksi, interelasi, dan interdependensi. Kajian ekolinguistik menempatkan dan menjadikan fenomena (penggunaan) bahasa dalam suatu perspektif yang lebih integratif, prospektif, dan juga historis.

Sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:17) dalam temuannya tentang ekologi kesungaian. Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan) yakni ekspresi verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya lingkungan. Baik alam sebagai matra kesejagatan yang makrosmos, maupun manusia (dengan tatanan dan sumber


(42)

daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrosmos (jagat kecil), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa adalah sumber daya makna. Termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya dalam kemasan verbal sebagaimana terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya. Baik khazanah leksikon maupun gramatikalnya. Sumber daya tekstual yang kontekstual masa lalu dan masa kini. Secara khusus misalnya gramatika metaforik sebagai khazanah ekspresi verbal manusia alami. Semuanya adalah tanda adanya keterkaitan dan ketergantungan manusia dengan alam di sekitarnya, yang menjadi lahan garapan ekolinguistik.

Dalam kajian ekolingistik hal yang paling terlihat dalam tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelabagi dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multibahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat mempengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (Al-gayoni, 2012: 31).

Peneliti bidang ekolingusitik dapat juga membedah makna-makna sosial-ekologis di balik bahasa, khususnya leksikon, di atas dasar konsep dan landasan teoritis yaitu (1) bahasa yang hidup dan digunakan itu menggambarkan, mewakili, melukis (merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya); (2) dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon. Pada tataran leksikon,


(43)

dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard 2000: 10-11), antara lain:

1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan idelologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat,

2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktik sosial yang bermakna, dan

3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, maupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan adanya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan.

Dimensi bilogis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.

2.2.2 Semantik leksikal

Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata


(44)

merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2010:74). Jadi, menurut semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet dalam Palmer (1976:37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas, dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, ajektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks kalimat.

Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang (symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (sign) (Pateda 2010:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2010: 31). Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu telah turun hujan, tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang ekolinguistik masih sangat terbatas, sehingga masih banyak lagi tugas bagi peneliti dalam lingkup ekolinguististik, khususnya tentang


(45)

ekologi persawahan dan perladangan. Beberapa artikel penelitian ekolinguistik sudah ada yang menelitinya, di antaranya sebagai berikut:

Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat, Langkat oleh Aron Meko Mbete dan Abdurrahman Adisaputera (2009).

Dari hasil tes penguasaan leksikon sosioekologis terhadap responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah. Perubahan dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan diatas, teknik pengumpulan/pemerolehan, dan analisis data. Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat.

Adisaputra (2009) yang meneliti tentang Potensi Kepunahan Bahasa Pada

Komunitas Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,

penelitian ini dilakukan oleh 230 orang responden remaja dari 1500 orang populasi yang dijadikan sebagai sampel. Data yang digunakan adalah pengakuan diri (self report) dengan memilih jawaban yang tersedia pada instrumen kuesioner. Selain itu, data diperoleh melalui pengamatan langsung dengan cara pengamatan berpartisipasi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa adanya pergeseran bahasa dari BML ke BI. Hal ini ditandai oleh tingginya penggunaan BI dalam interaksi


(46)

komunikasi sehari-hari (20%) meskipun masih dalam wilayah Melayu, (2) responden tidak mengakui bahwa BI tidak sama dengan BML. (3) responden tidak lancar dan tidak paham menggunakan BML.

Penelitian ini memberikan kontribusi teori – teori ekolinguistik terhadap penelitian yang akan dilakukan sehingga memberikan motivasi kepada penulis untuk meneliti keterancaman leksikon ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi Kabupaten Tapanuli Selatan: kajian Ekolinguistik. Penelitian yang dilakukan Adisaputra berbeda demgam penelitian ini, Adisaputra membahas tentang pergeseran menuju arah kepunahan bahasa Melayu di Stabat sedangkam penelitian ini adalah keterancaman leksikon ekoagraris dalam persawahan dan perladangan serta nilai budaya dan kearifan lingkungan ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi.

Yusradi Usman (2010) meneliti tentang Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: pendekatan Ekolinguistik.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan hasil dalam penelitian ini adalah (1) konsep tutur dalam masyarakat Gayo; munculnya tutur dalam msyarakat Gayo tidak berdiri sendriri melainkann ada faktor sosial budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai budaya Gayo yang terdiri dari pelbagai nilai. Nilai-nilai yang dimaksud adalah imen (iman), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitf). Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai social yang membentuk tutur masyarakat Gayo. (2)


(47)

klasifikasi, bentuk, dan fungsi tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi beberapa buntuk tutur yaitu: 1) patut atau muperdu bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/seharusnya); 4) uru-uru (tindak betutur akibat ikut – ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur yang kerap berubah – ubah). (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang terjadi di dataran tinggi tanoh Gayo sangat mempengaruhi penyusutan tutur hkususnya di daerah Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik, hal ini dapat mempengaruhi masyarakat Gayo secara psikologis dan sosial dalam bertutur. (4) bentuk tutur baru (variasi tutur); yaitu : tetap, jarang, dan tidak dipakainya lagi tutur serta tercipta bentuk tutur baru.

Penelitian penyusutan tutur dalam masyarakat Gayo memberikan kontribusi dalam hal teori – teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian yang dilakukan Usman Yusradi dengan penelitian ini adalah penelitian Usman Yusradi mengenai penyusutan tutur sedangkan penelitian ini keterancaman leksikon. Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik (Sukhrani. 2010)

Penelitian yang dilakukan oleh Sukhrani (2010) dalam “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar adalah menggunakan metode penelitian kualitatif. Pemerolehan data leksikon bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Selanjutnya hasil penelitian menyangkut gambaran pemahaman leksikon nomina bahasa Gayo guyub tutur dengan lingkungan ragawi Lut Tawar adalah (1) saat ini sebagian besar penutur


(48)

bahasa Gayo pria dan wanita dari masing-masing kelompok usia masih mengenal dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar (2) Leksikon kedanauan

Lut Tawar yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena

begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau dan nama alat tangkap ikan, dan (3) Leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penuntur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyab Tutur Bahasa Bima dalam Perspektif Ekolinguistik Kritis (Umiyati, 2011)

Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa bima dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi serta publikasi serta hasil interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.

Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik pandangan green


(49)

grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan kalimat/klausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam.

Penelitian yang berjudul Ketahanan khazanah LingualPertanian Guyub

Tutur Bahasa Bima dalam Persfektif Ekolinguistik Kritis ini memberikan

kontribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan dalam hal teori ekolinguistik yang terbilang baru di Indonesia dalam usaha pelestarian lingkungan.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Umiyati dengan penelitian ini adalah mengenai bentuk metafora dari sejumlah leksikon pertanian dan pandangan kajian green grammar dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima. Penelitian ini mendeskripsikan leksikon ekoagraris bahasa Angkola Mandailing khususnya leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi dan mendeskripsikan nilai budaya serta kearifan lingkingan terhadap ekoagraris di daerah ini.

Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan (Pemahaman leksikon pada Remaja di Padangsidempuan), (Amri, 2011)

Penelitian yang dilakukan Amri (2011) menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dia menyimpulkan pertama, tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Padangsidempuan merupakan suatu kebiasaan dan masih terselenggara. Kedua, tradisi lisan upacara adat yang dianalisis adalah leksikon yang berasal dari lingkungan sebnyak 272 kata yang dikelompokkan menjadi 16 kelompok.

Hasil penelitian tersebut terjadi penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan upacara adat Tapanuli Selatan. Faktor utama penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara adat tersebut karena


(50)

ketua adat belum maksimal menyampaikan atau mengajari orosedur adat pada generasi berikutnya. Lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, pagelaran budaya adat sangat jarang diselenggarakan. Nilai kearifan lokal tradisi lisan upacara adat mengandung nilai kegotong-royongan, kerukunan, keikhlasan, identitas, kekerabatan. Kontribusi penelitian Amri terhadap penelitian leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola Mandailing khusunya leksikon persawahan dan perlangan di Kecamatan Sayurmatinggi adalah cara pengolahan data kuantitatif.

Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik (Surbakti, 2011)

Penelitian ini dilakukan oleh Surbakti yang bertujuan untuk mendeskripsikan leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, mendeskripsikan pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesuangaian Lau Bingei dan menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis data ini juga dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Sumber data primer penelitian ini adalah kata-kata dari informan yang berprofesi sebagai pembuat obat tradisional dan petani di lingkungan irigasi Namo Sira-sira Kecamatan Sei Bingei. Selanjutnya, data sekunder merupakan dokumen tertulis berupa kamus bahasa Karo dan buku-buku yang berhubungan dengan lingkungan kesungaian Lau Bingei.

Pengumpulan data penelitian ini terkait dengan nomina dan verba melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan. Selanjutnya proses analasis data


(51)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Miles and Hubberman. Hasil penelitian ini terdapat 14 kelompok leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei sebanyak 520, masing-masing terdiri dari 409 leksikon nomina dan 111 leksikonverba. Nilai budaya yang terdapat dalam leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei yaitu (1) nilai sejarah (2) nilai religious dan keharmonisan (3) nilai sosial dan budaya (4) nilai kesejahteraan (5) nilai ciri khas. Sementara, nilai kearifan lingkungan yaitu (1) nilai kedamaian (2) nilai kesejahteraan gotong royong (3) penentuan batas wilayah, dan (4) penentuan arah.

Penelitian Surbakti memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal teori-teori ekolinguistik dan metode penelitian. Perbedaan penelitian Surbakti ini adalah mengenai leksikon ekologi kesungaian sedangkan penelitian ini keterancaman leksikon ekoagraris.


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sayurmatinggi Kabupaten Tapanuli Selatan. Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas delapan belas desa dan satu kelurahan, yaitu (1) Desa Sialang, (2) Desa Sipange Julu, (3) Desa Sipange Godang, (4) Desa Tolang Julu, (5) Desa Sipange Siunjam, (6) Desa Janji Mauli Baringin, (7) Desa Mondang, (8) Desa Tolang Jae, (9) Desa Bange, (10) Desa Bulu Gading, (11) Desa Silaiya Tanjung Leuk, (12) Desa Silaiya, (13) Desa Aek Libung, (14) Kelurahan Sayurmatinggi, (15) Desa Lumban Huayan, (16) Desa Aek Badak Jae, (17) Desa Aek Badak Julu, (18) Desa Hutapardomuan, (19) Desa Somanggal Parmonangan. (Sumber: BPS. Kabupaten Tapanuli Selatan Kecamatan Sayurmatinggi dalam Angka 2013).

Kecamatan ini dipilih sebagai lokasi penelitian disebabkan, Kecamatan Sayurmatinggi adalah memiliki areal persawahan dan perladangan yang luas, Kecamatan Sayurmatinggi adalah pusat sumber air irigasi Bendungan Batang Angkola yang mengairi persawahan dua wilayah kabupaten, Kecamatan Sayurmatinggi adalah pusat perdagangan hasil bumi dari dua wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sayurmatinggi dan Kecamatan Tantom Angkola, Kecamatan Sayurmatinggi adalah salah satu lumbung padi terbesar di Kabupaten Tapanuli Selatan, Masyarakat Kecamatan Sayurmatinggi dalam melaksanakan budidaya tanaman padi dan palawija secara tradisional mulai hilang. Semuanya ini berpengaruh pada kekayaan leksikon ekoagraris yang ada di Kecamatan ini.


(53)

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian

Secara umum penelitian tentang ekoagraris masih terbatas khususnya leksikon persawahan dan perladangan yang hingga saat ini belum pernah diteliti khususnya di Kecamatan Sayurmatinggi, oleh karena itu leksikon-leksikon yang ditemukan akan ditabulasi dan dianalisis berdasarkan perangkat ekoagraris dalam persawahan dan perladangan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, dan disokong oleh pendekatan kuantitatif dengan tujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan data penelitian serta, melihat fenomena yang sedang terjadi dalam ekologi persawahan dan perladangan.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong 2006:6). Sebagaimana dikatakan (Moleong, 2006: 9) penggunaan metode kualitatif disebabkan beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah jika dihadapkan dengan kenyataan yang jamak; kedua karena metode menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan; ketiga karena metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama pola-pola nilai yang dihadapi. Metode ini sangat tepat dan alami untuk menemukan dan menganalisis data.


(1)

13 bunga katarak 14 bunga kunir 15 bunga raya

16 bunga

rudang

17 bunga

sambang

18 bunga

sikulupat

19 bunga

sonduk 20 bunga suat 21 bunga rutu 22 bunga tinta 23 bunga waru 24 burangir 25 camin-camin 26 daun salam

27

dingin-dingin 28 gallinga ng 29 galuga 30 inggu 31 jombang 32 kacapling/sa

ribu guna 33 kapulaga 34 kumis kucing 35 lada

36 lampu yang 37 lasiak jawa 38 lidah buaya

39 mahkota

dewa

40

manir-maniran 41 oppu-oppu

42 padang

43 panyambung

nyawa 44 pege narara 45 pultak-pultak 46 pusuk-pusuk

pangir 47 rimbang 48 ruhu-ruhu 49 sabiroto 50 saga 51 salim batuk

52 sampilulut sidaguri 53 sanduduk

54

sanggar-sanggar 55 selasih


(2)

56 siasur 57 silinjuang

58 simok-mok

59 sindulang 60 singgolom 61 singkoru 62 sudu-sudu

63 sumangge

darat 64 tapak leman 65 tindo tasik 66 tomu lawak 67 unik burle

68 unik

nabontar

69 unte

mungkur 70 unte susu

71 unte ambeng

72 unte

limasoring

IX Leksikon fauna dalam persawahan dan perladangan

1 ala

2 alihi

3 aluang

4 agas

5 antingano

6 aporas

7 aruting

8 bajonggir

9

borong-borong

10 buntat

11 burung tasik

12 bodat

13 cacibang

14 capet

15 garap

16 gayo

goya

17 ikan tima

18 inggit-inggit

19 kotok

20

kabang-kabang

21 keong

22 lompong

23 limatok


(3)

30 ruak-ruak

31 rama-rama

32 rongit

33 silopak

34 silisit

35 salim

bor-bor

36 salim pot-pot

37 siapor

38 siborok

39 sikurindik 40 siri-siri

41 suruk

42 tangkulapa

43 tingkalang

44 tilan

45 tungir

udang

46 wereng

nacoklat

47 wereng

narata

X Alat penangkap ikan

1 durung mandurung

2 kail mangkail

3 lobu-lobu

marlobu-lobu

4 luka marluka

5 mandehe

6 mancet-cet

7 mametok

8 rambang mangaramb

ang 9 sindiran

10 siturum manyiturum

11 sulu marsulu

12 tambun manambun

13 taot martaot

14 tuba manuba

xi alat penangkap burung

1 katapel mangkatapel

2 pike marpike

3 pulut mamulut

4 sambat manyambat

5 sinapang

angin


(4)

Lampiran 7

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA INFORMAN Nama :

TempatLahir : Usia : Alamat :

Jenis Kelamin: Laki-laki/Wanita

DaftarPertanyaan:

1. Apa fungsi sawah dan ladang buat saudara? (saudara di sini dapat diganti sesuai dengan tutur dalam bahasa Angkola/Mandailing)

2. Pernahkah kamu mendengar, melihat dan memakai leksikon persawahan dan perladangan dalam pengolahan lahan sawah dan ladang?

3. Leksikon ekoagraris apa yang digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Sayurmatinggi?

4. Leksikon ekoagraris apa yang terancam punah pada guyub tutur di Kecamatan Sayurmatinggi?

5. Bagaimana nilai budaya dan kearifan lingkungan dalam leksikon ekoagraris di KecamatanSayurmatinggi?

6. Sebutkan contoh perubahan kata dari nomina ke verba (derivasi)! (penulis menggunakan cara atau bahasa yang sederhana untuk proses ini)

7. Apakah guna leksikon ini terhadap nilai budaya dalam masyarakat Sayurmatinggi?

8. Bagaimanakah nilai-nilai leksikon ini terhadap lingkungan?


(5)

10.Apakah peratuaran-peraturan dan norma budaya masyarakat Sayurmatinggi masih digunakan untuk menjaga atau melestarikan persawahan dan perladangan?

11.Apakah lahan sawah dan lading ada digunakan untuk perumahan/pemukiman dan perluasan lahan perkebunan?

12.Apa sajakah manfaat tradisi ini terhadap guyub tutur di Kecamatan Sayurmatinggi?

13.Berapakah pendapatan perkapita masyarakat saat ini di Kecamatan Sayurmatinggi?

14.Apakah menurut kamu persawahan dan perladangan dapat membantu kesejahteraan masyarakat Kecamatan Sayurmatinggi?

15.Apa sajakah alat pertanian tradisional yang bergeser ke alat modern dalam persawahan dan perladangan?


(6)

Lampiran 8

No Informan Nama Tempatlahir Umur/Thn Alamat

1 Faisal Azhar

Pulungan Sayurmatinggi 37 Jl. Mesjid Raya No 138 Kel. Sayurmatinggi 2 Handayani

Pulungan Sayurmatinggi 35 Desa Bange 3 Marasonang

Batubara Sayurmatinggi 60 Aek Garugur 4 M. Solih

Hasibuan Sayurmatinggi 62 Aek Karse 5 Syawaluddin

Nasution Sayurmatinggi 65 Gg. Beker 6 Masniari

Lubis Sayurmatinggi 50 Desa Silaiya 7 Pandapotan

Hasibuan Sayurmatinggi 48 Sipange Godang 8 Derhani

Nasution Sayurmatinggi 40 Tolang Julu 9 Ali Armawi

Nasution Sayurmatinggi 45 Tolang Jae