EROSI LEKSIKON BIDANG PERSAWAHAN DI BALI: SUATU KAJIAN EKOLINGUISTIK.

(1)

EROSI LEKSIKON BIDANG PERSAWAHAN DI BALI:

SUATU KAJIAN EKOLINGUISTIK

Oleh

Ni Ketut Ratna Erawati

PS Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana e-mail: ratnaerawati65@yahoo.com / ratna.erawati@ymail.com

ABSTRACT

Balinese language is a communication tool used by ethnic Bali. Balinese language is the language of the heterogeneous environments that tend to influence other languages. If it is historically observed, Balinese language showed signs of scouring the lexicons. It will be observed in the realm of rice field. In Bali, the rice fields there are many swicthes of land function. This land uses change leading to use of lexicons that refer to this environment of diminishing returns. Therefore, these issues are relevant to be discussed based on ecolinguistic theory. This theory is seen as life science, the science and living language, culture, people, and environment. Based on the results of field research, there were some lexicons related to rice fields case in which erosion occured.


(2)

EROSI LEKSIKON BIDANG PERSAWAHAN DI BALI: SUATU KAJIAN EKOLINGUISTIK

1. Pendahuluan

Bahasa Bali merupakan bahasa yang memiliki penutur yang cukup banyak, yaitu diperkirakan di atas 2,5 juta dan merupakan bahasa yang tergolong besar. Bahasa Bali berkembang pesat di Pulau Bali dan daerah-daerah transmigran yang berasal dari Bali, seperti di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, dan daerah-daerah lain. Hal ini menandakan bahasa Bali telah tersebar ke seluruh tanah air yang notabeneakan berimplikasi pada penutur bahasa Bali semakin bertambah. Di Bali bahasa Bali tidak berkembang secara homogen tetapi berkembang secara heterogen. Hal ini disebabkan banyak penutur non-Bali yang masuk pada ranah lingkungan penutur bahasa Bali sehingga interaksi di sekitarnya tidak terelakkan.Lambat laun bahasa Bali cenderung terpengaruh bahasa sekitarnya. Di sisi lain, Bali merupakan daerah tujuan pariwisata baik bertaraf nasional maupun internasional memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan bahasa Bali. Demikian pula,perkembangan teknologi dan taraf perekonomian masyarakat semakin meningkat.

Secara historis dan sinkronis bahasa Bali diprediksi mengalami pergeseran sehingga bahasa Bali yang dikenal dewasa ini lebih bervariatif. Apabila diteropong dari dimensi ruang dan waktu, bahasa Bali tampak telah berevolusi sesuai dengan ranah lingkungannya.Dimensi ruang dan waktu merupakan parameter yang paling andal untuk melihat terjadinya perubahan bahasa yang berakibat pada terevolusi atau tererosinya sebuah bahasa.Di dalam tulisan ini akan dibahas salah satu ranah lingkungan yang diprediksi terdapat pengurangan penguasaan/pengetahuan masyarakat terhadap leksikon-leksikon yang berkaitan dengan bidang persawahan di Bali. Ranah ini cukup menarik untuk ditelaah karena banyak lahan persawahantelah dialihfungsikan ke manfaat lain. Pengalihfungsian lahan ini cenderung membawa akibat tererosinya leksikon-leksikon persawahan karena tempat leksikon-leksikon itu tumbuh telah berubah.


(3)

2. Ekologi Sosial dan Ekolinguistik 2.1 Ekologi Sosial

Terkait dengan prediksi penguasaan masyarakat terhadap leksikon-leksikon pada lingkunan persawahan di atas, dalam hal ini, perlu diungkap hal-hal yang melatari terjadinya peristiwa tersebut.Ekologi sosial merupakan titik awal dari perkembangan atau tergerusnya suatu bahasa.Kata ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos berarti “rumah” atau “tempat untuk hidup”.Secara harfiah, ekologi

adalah pengkajian organisme-organisme “di rumah”.Selanjutnya,ekologi

didefinisikan sebagai pengkajian organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungannya atau hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dan lingkungannya (Odum, 1996). Lingkungan yang mendampingi lingkungan tertentu akan selalu berinteraksi sehingga menimbulkan suatu ekosistem, misalnya sosiologi lingkungan secara umum mengkaji hubungan antarmanusia atau mengkaji tentang kehidupan manusia (social life). Di satu sisi, telah berkembang tentang hukum lingkungan, persoalan ekonomi lingkungan yang muncul pada manusia dan berasal dari metabolisme fisik masyarakat modern, seperti produksi dan konsumsi fisik, usaha-usaha untuk memperoleh sumber daya alam dan pertumbuhannya (Susilo, 2012: 3-4). Dengan demikian, lingkungan sosial akan berpengaruh terhadap perkembangan karakter lingkungan sekitarnya tempat mereka hidup. Manusia dalam interaksinya bersifat

determinisme, serba kemungkinan maupun dialektis antara manusia-lingkungan tidaklah bersifat kekal.Oleh karena sifatnya tidak kekal, lingkungan itu cenderung berubah dimotori oleh manusia.Sejalan dengan hal tersebut,manusialah yang dapat mengatur perkembangan alam ini secara bertahap sehingga alam bebar-benar bisa ditaklukkan.

Seorang guru besar ekologi dari Universitas Parma, Itali bernama Antonio Maroni menyatakan bahwa, episode hubungan manusia dengan lingkungan pararel dengan latar belakang sejarah hubungan manusia dengan alam semesta itu.Menurutnya, tahapan-tahapan yang terpenting dan krusial ini dibagi menjadi tiga tahap, yakni; masa keseimbangan alam, masa ketidakseimbangan alam, dan masa sekarang (William Chang, 2001: 16 dalam Susilo, 2012: 54).


(4)

2.2 Ekolinguistik

Bahasa merupakan simbol kompleks yang dilatarbelakangi oleh pengaruh lingkungan fisik dan sosial kelompok masyarakat.Lingkungan fisik ituseperti; geografi/topografi iklim, pantai, lembah, dan lain-lain yang dianggap sebagai dasar dari perekonomiannya.Pengaruh lingkungan sosial merupakan pengaruh yang dimulai dari pemikiran yang bersifat individu, kelompok, dan organisasi politik.Perkembangan bahasa dapat dipengaruhi oleh sistem pembelajaran yang menyangkut kosa kata, sistem fonetik, sistem gramatikalnya yang menyangkut morfologi dan sintaksis.Kosa kata merupakan cermin paling jelas dalam lingkungan fisik dan sosial penuturnya. Faktor fisik dan sosial masyarakat sangat potensial untuk menghasilkan leksikon-leksikon baru sehingga karakteristik kosa kata dari sekelompok sosial masyarakat akan tercermin.Misalnya, leksikon-leksikon di daerah perbukitan akan berbeda dengan leksikon-leksikon-leksikon-leksikon yang terdapat di daerah pantai/nelayan, demikian pula leksikon-leksikon dalam bidang politik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, bahasa/leksikon-leksikon memiliki makna yang kompleks yang dapat dianalisis lebih jauh/lengkap bukan sekadar analisis deskripsi yang transparan.Oleh karena itu, karakteristik lingkungan akan tercermin dalam bahasanya dan pada tingkat yang lebih besar terjadi dalam lingkugan sosialnya sehingga keuniversalan dapat dideskripsikan secara lengkap. Dengan demikian, kosa kata sebagai cermin lingkungan sosial harus diberikan tempat dan ruang untuk diperkaya secara terus menerus dengan peningkatan kompleksitas budaya dan kompleksitas linguistik. Kedua komplesitas ini digunakan untuk merujuk pada tingkat perkembangan morfologi dan sintaksis (Sapir, dalam Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler , 2001: 13-23).

Terkait dengan lingkungan sosial di atas bahasapun dapat dipengaruhi oleh lingkungan tertentu, misalnya bahasa di lingkungan kelautan/nelayan, bahasa di lingkungan perbukitan (perladangan, persawahan), bahasa di lingkungan politik, bahasa lingkungan ekonomi, dan lain-lainnya. Setiap lingkungan tersebut memiliki sejumlah leksikon yang erat dengan lingkungan mereka berada.Ciri khas dari lingkungan bahasa ini dapat dikaji berdasarkan sebuah teori yang


(5)

masihmudausia, yaitu teori ekolinguistik.Ekolinguistk mulai gencar dibicarakan pada tahun 1990. Konsep-konsep ekolinguistik sudah berkembang sejak tahun 1921 dengan rintisan Edwar Sapir (1884-1939), dilanjutkan oleh Haugen (1972), dan sangat gencar dibicarakan oleh Fill dan Muhlhauslerpada tahun 2001.

Di dalam perspektif ekolinguistik, ekolinguistik dipandang sebagai

lifescience; ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan (bahasa, budaya, manusia, dan lingkungannya).Bahasa dalam perspektif ekolinguistik dipahami sebagai realitas alam dan manusia.Bahasa hidup dan berkembang dalam manusia niscaya dimensi biologis yang insani selalu terkait dengan dimensi sosiologisnya. Bahasa harus dipelajari dan diajarkan pada generasi baru, sekaligus memungsikan bahasa sebagai wahana komunikasi dengan orang lain. Manusia sebagai daya ciptabahasa dapat memahami, menata kehidupan manusia, maka bahasa dapat dipandang seabagi sesuatu yang hidup.Bahasa hidup dalam jiwa raga manusia berdasarkan pada alat-alat ucap (organsofspeech).Bahasa yang dituturkan itu berlandaskan dimensi sosio-kultural.Interaksi antara lingkungan sosial dan budaya yang harmonis dapat melindungi hak hidup bahasa dalam guyub tuturnya. Selanjutnya, asumsi dasar teori ini adalah merekonstruksi bahasa-bahasa lokal sehingga dapat dilestarikannya.

Untuk mengkaji fenomena kebahasaan, ada tiga parameter ekologi, yakni; (1) lingkungan (invironment), (2) keberagaman (diversity), dan (3) interaksi, interelasi, dan interdependensi. Ketiga parameter itu merupakan sendi dasar kajian ekolinguistik (Haugen, 1972:, 325-339; lihat juga Mbete, 2011). Lebih lanjut dikatakannya, kajian ekolinguistik memiliki ruang kajian yang sangat luas yang saling berhubungan, yaitu: linguistik historis komparatif (LHK), demografi, sosiolinguistik, dialinguistik, dialektologi, filologi, linguistik, preskriptif glotopolitik, etnolinguistik, tipologi (Haugen, 1972: 336-337).

Konsep dan teori di atasmanandakan bahasa dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik.Lebih luas lagi, perubahan-perubahan ekologis turut memengaruhi nilai, idiologi, dan budaya sebagai bagian dari identitas keetnikan sebuah masyarakat sebaliknya bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola perilaku manusia.Hubungan timbal balik itu berimplikasi positif ataupun


(6)

negatif.Dampak positif, yaitu dapat berimplikasi terhadap lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial.Misalnya, terpeliharanya lingkungan itu dan keseimbangan,serta terwarisnya lingkungan yang ada pada generasi berikutnya. Dampak negatif,yaitu terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan untuk hal-hal yang berisifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan (al-Gayoni, 2010: 36).

Terkait dengan deskripsi di atas, bahwa bahasa tercipta berdasarkan lingkungannya.Lingkungan rusak berimplikasi pada bahasa, masyarakat, dan budayanya.Selanjutnya, pada tulisan ini akan dibahas perihalleksikon dalam lingkungan persawahan di Bali. Sebagai dasar pemikiran, kajian ini akan diteropong dari dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang adalah lingkungan yang mendukung terciptanya dan tererosinya leksikon-leksikon itu sedangkan dimensi waktu adalah periode atau umur para pemakai leksikon-leksikon tersebut.Adapun masalah yang hendak dijawab adalah Bagaimanakah keberadaan leksikon-leksikon bahasa Bali di bidang persawahan di Bali?

Masalah itu akan dibedah berdasarkan perspektif ekolinguistik. Teori ini cukup relevan karena ekolinguistik menyelidiki tentang bahasa dikaitkan dengan lingkungannya.

3. Pembahasan

Sawah sebagai suatu ekosistem memiliki ciri khas yang paling menarik, yaitu sawah itu sangat stabil dan tahan lama, Sawah itu secara berkesinambungan menghasilkan panen yang boleh dikatakan tak berkurang dari tahun ke tahun, bahkan bisa dua kali dalam setahun. Areal persawahan mesti memiliki tata kelola yang baik untuk mendapatkan padi tumbuh subur dan hasil yang baik. Misalnya, sistem irigasi yang baik, debit air yang memadai, dan sebagainya. .Eric R. Wolf (1966) menjelaskan bahwa, sistem sawah memberikan landasan yang kokoh bagi masyarakat petani, tempat lahan-lahan ini memerlukan banyak air untuk penanamannya karena membutuhkan pengairan. Pembangunan sistem pengairan


(7)

yang besar berkaitan dengan kekuasaan politik (Fahmi, 2010: 25). Situasi politik seperti itu, dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat yang dapat merubah prilaku masyarakat itu sendiri. Di Bali,misalnya telah banyak terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam bertani dan beralih pekerjaan.

Masyarakat Bali di era sekarang terdiri atas berbagai etnik. Oleh karena itu, bahasa Bali berkembang cukup pesat sehingga lambat laun bahasa Bali bisa terkontaminasi oleh bahasa lain. Multietnik dan kemajuan ekonomi dapat membawa implikasi langsung terhadap perubahan perilaku masyarakat. Misalnya, pengalihan lahan sawah menjadi perumahan, perkebunan menjadi vila, dan lain sebagainya. Perubahan alih fungsi itu dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan terhadap bahasa Bali. Hal ini menyebabkan sejumlah leksikon yang terkait dengan faktor lingkungan dapat mengalami perubahan pula. Khusus dalam bidang persawahan di Bali ada sejumlah leksikon yang penggunaannya tidak umum lagi bahkan cenderung dilupakan terutama oleh generasi muda. Beberapa tahun ke depan leksikon/istilah itudiprediksi akan menjadi kenangan sejarah bahasa semata dan hanya tertera dalam kamus sehingga terasa asing bagi generasi berikutnya. Beberapa leksikon dalam bidang persawahan di Bali akan diklasifikasi menjadi dua, yaitu kelompok nominal dan kelompok verbal. Di samping itu, akan dilengkapi dengan beberapa leksikon yang berkaitan dengan bidang persawahan sebagai metafora.Penelaah tulisan kecil ini dengan menggunakan 30 orang responden berdasarkan kriteria umur.

3.1 Leksikon-Leksikon bidang Persawahan

Pengelompokan leksikon bidang persawahan ini akan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok nominal (nomina kongkret,nomina yang bersifat magis, dan nomina bilangan) dan kelompok verbal.Masing-masing kelompok tersebut dideskripsikan seperti berikut ini.

3.1.1 Nomina kongkret :

1. lampit„alat penghancur‟,

2. pemlasahan„alat meratakan‟,


(8)

4. sorok„alat pembersih pematang dengan cara dari atas ke bawah‟,

5. seser„alat penjaring binatang sawah‟,

6. singkal„mata bajak‟,

7. tenggala„bajak‟,

8. kroso ‟alat penutup mulut sapi pada saat membajak‟, juga sebagai wadah belut,

9. capil/capilcukup‟terbuat dari daun kelapa/pelapah pinang‟,

10. anggapan‟anai-anai‟,

11. bulih„bibit padi yg siap ditanam‟,

12. empelan„bendungan‟

11. temuku„alat/sarana pembagian air lebih banyak(besar)‟,

12. sekundan„pembagian air dalam sekup yang lebih kecil‟,

13. kekalen„kolam kecil di pinggir sawah‟,

14. cakar 'alat pembersih gulma di sawah'

15. lelakut/petakut „orang-orangan‟ (yang dibuat untuk menakut-nakuti burung pemakan padi).

16. medang„bulupadi‟

17. uga„alat penjangka ditaruh di atas leher sapi/kerbau supaya sapi/kerbau tidak bergerak ke mana-mana/salah arah‟

18. jubel, blauk, klipes, cucutan, lelintah, pici-pici, kakul, kraca „binatang/serangga yang hidup di sawah‟

19. gelanggang „alat pengangkut padi‟ (padi yang diikat seperti pada kata

bilangan)

Leksikon-leksikon di atas hanya dipergunakan dalam lingkungan persawahan.Leksikon ditemukan sebanyak sembilan belas buah.Leksikon tersebut diprediksi terancam mengalami erosi. Hal itu disebabkan, lahan tempat leksikon itu digunakan semakin berkurang bahkan banyak tergantikan oleh lahan lain. Berdasarkan penyebaran kuisioner dan wawancara dengan beberapa petani, leksikon medangpadi „bulupadi‟ leksikon tersebut tidak pernah lagi digunakan untuk merujuk pada padi. Hal itu dikarenakan, di Bali sistem tanam padi telah berkurang dan jenis padinya pun berganti dari padi Bali yang banyak bulunya yang tidak mudah rontokmenjadi jenis PB 5 yang tidak berbulu dan mudah rontok. Berdasarkan daftar koesioner yang diedarkan, bahwa anak-anak yang berumur di bawah 30 tahun menjawab 70 % dengan tidak pernah melihat

medangpadi. Responden yang berumur 30 – 50 tahun menjawab 40 % pernah mendengar saja, dan responden yang berumur di atas 50 tahun mengetahui dan pernah melihat. Jadi leksikonmedangpadi „bulu padi‟ ini telah menghilang.Kata


(9)

lagi bendanya. Penggunaannya alat ini telah digantikan dengan alat pemotong padi yang lain sehingga penggunaan leksikon ini telah tererosi. Di Bali penggunaan alat ini hanya digunakan pada lingkungan sawah saja.

Kata tenggala „bajak‟ dan singkal „mata bajak‟ adalah alat ini digunakan secara bersamaan dalam membajak sebagai alat penggembur tanah. Saat ini penggunaan alat itu telah tergantikan oleh alat yang berbasiskan teknologi, yaitutraktor. Berdasarkan jawban responden, bahwa responden yang berumur di bawah 30 tahun 90 % mengatakan tidak pernah mengetahui leksikon itu, responden yang berumur 30-50 tahun menjawab 70% tidak mengetahui, sedangkan responden yang berumur di atas 50 tahun menjawab pernah melihat dan pernah memakai. Kalau dibandingkan prosentase yang diperoleh bahwa telah terjadi proses ketidaktahuan telah menunjukkan peningkatan. Jadi dapat dikatakan erosi penggunaan leksikon ini semakin meningkat dan cenderung tererosi.Selanjutnya, kata jubel, blauk, klipes, cucutan, lelintah „sejenis binatang hanya hidup di sawah‟. Kata jubel dan cucutan berdasarkan jawaban responden dapat dikatakan, bahwa responden yang berumur di bawah 30 tahun dan responden yang berumur 30-50 tahun menjawab 60% tidak pernah/sama sekali tidak mengetahui, sedangkan responden yang berumur di atas 50 tahun masih mengenali leksikon-leksikon tersebut dan masih bisa membayangkan wujudnya. Namun, binatangnya tidak dapat dijumpai lagi (punah). Sementara generasi muda 30 tahun ke bawah bahkan tidak pernah tahu sama sekali istilah itu apalagi melihatnya. Berdasarkan hasil pengamatan itu, leksikon seperti itu telahtererosi oleh karena lahan mereka untuk hidup telah hilang akhirnya orang-orang tidak pernah melihat binatang seperti itu. Kalau lahan itu telah digantikan dengan lahan lain berarti telah terjadi perubahan terhadap lingkungan lahan itu dari lahan sawah menjadi perumahan. Oleh karena lingkungan sawah tidak ada lagi, secara otomatis leksikon-leksikon yang pernah ada, tidak akan pernah digunakan dan lama-lama menjadi tererosi. Kata singkal dantenggala, kemajuan teknologi menyebabkan alat ini tergantikan oleh alat mesin, yaitu traktor. Kata traktor itu akan membentuk leksikon baru dalam Bahasa Bali, seperti yang terjadi pada leksikon verba nraktor yang dijelaskan subleksikon verba.


(10)

3,1,2 Nomina yg bersifat magis.

Di samping leksikon di atas, ditemukan pula leksikon-leksikon dalam bahasa Bali yang mengandung nilai magis.Leksikon yang dimaksudkan dapat dilihat seperti berikut ini.

1. sambungtulang „dipercaya sebagai alat penghalau sayong (kabut) agar bulir pada tetap bernas‟;

2. nini/sri „simbolik yang dibuat dari padi untuk memuja dewi sri (dewa kemakmuran), jika pemilik sawah tidak membuat sri/nini itu dipercaya akan boros‟;

3. tegakannini/linggih nini„sebakul padi sebagai tempat duduk nini’; 4. biukukung„upacara ketika padi menjelang tumbuh bakal biji‟ dipercaya

agar padi dapat tumbuh subur‟

Kata sambungtulang menurut kepercayaan masyarakat yang mengerjakan lahan tanam padi.Sambungtulang dipercaya masyarakat Bali dapat menghalau kabut yang bisa merusak tanaman padi.Ketika padi sedang tumbuh bakal biji maka ditaruhlah pohon sambungtulang itu.Pohon itu dipercaya dapat menyebabkan padi tumbuh subur dan berhasil baik.Leksikon ini tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat petani padi, oleh karena pola tanam padi telah berubah menjadi padi unggul.Penggunaan sambungtulang saat ini tidak digunakan lagi.Kepercayaan tersebut berangsur-angsur pudar.Hal ini disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang lebih realistis dan ilmiah.Seiring dengan tingkat kemajuan perekonomian dan pendidikan.Kepercayaan itu telah menghilang dan dibuktikan dengan hasil jawaban responden. Responden yang berumur di atas 50 tahun 70% masih mengenali istilah itu, responden yang berumur di antara 30 – 50 tahun 60% pernah mendengar, sedangkan responden di bawah umur 30 tahun menjawab 80% tidak pernah mengetahui sama sekali. Oleh karena leksikon ini merupakan suatu kepercayaan, ada kemungkinan di suatu daerah kabupaten di Bali tidak menggunakan leksikon seperti itu. Namun, berdasarkan kuisioner umur tersebut dapat dikatakan leksikon itu semakin berkurang dan lambat laun akan punah. Demikian pula, leksikonnini/sri, tegakan/linggihnini, upacara biukukung harus dilaksanakan oleh petani padi itu. Dengan adanya sistem pembelian padi di sawah saat ini (sistem grosiran), banyak petani tidak membuat nini dengan alasan tidak ada padi lain yang diupacarai pada hari-hari suci yang berhubungan dengan padi.


(11)

Sistem pola jual-beli padi itu lama-kelamaan menyebabkan leksikon ini tererosi karena wujud nini itu tidak dibuat lagi dan akhirnya generasi berikutnya tidak mengetahuinya. Pernyataan itu dapat didukung dengan hasil jawaban responden, yaitu responden yang berumur di atas 50 tahun 70% pernah mengenal dan mengetahui leksikon-leksikon itu, responden yang berumur 30-50 tahun 70% tidak mengetahui sama sekali, dan responden dengan umur di bawah 30 tahun 90% tidak mengetahui sama sekali. Berdasarkan hasil tersebut leksikon-leksikon ini pengenalannya semakin tererosi dan akhirnya menjadi punah.

3.1.3 Nomina Bilangan

Sejumlah leksikon nomina bilangan yang dikenal dalam bidang persawahan di Bali, yaitu: ategen, apentel, aseet, ageleng, aseping, acekel. Leksikon-leksikon itu menyatakan ukuran padi. Leksikon-leksikon itu digunakan untuk menyatakan ukuran padi dari ukuran terbesar sampai ukuran terkecil.

Leksikon-leksikon bilangan di atas, menyangkut ukuran padi dan sangat berhubungan dengan leksikon gelanggang di atas. Contoh: dua seet padi akan diangkut dengan gelanggang oleh petani laki-laki sehingga membentuk leksikon

ategen; kumpulan cekel digabungkan akan membentuk ukuran aseping, kumpulan beberapa seping akan dinamai ageleng, kumpulan beberapa geleng akan membentuk aseet, dan seterusnya. Berdasarkan hasil kuesioner yang didasari oleh kriteria umur responden didapatkan, bahwa leksikon asepingkriteria umur responden di bawah 30 tahun 90% menjawab tidak pernah mengetahui leksikon itu, responden yang berumur 30- 50 tahun 60% tidak mengetahui, dan responden yang berumur di atas 50 tahun 90% pernah mengetahui, namun saat ini tidak pernah digunakan lagi. Berdasarkan perbandingan itu dapat dikatakan penggunaan leksikon-leksikon tersebut mengalami penurunan.Akhirnya, leksikon bilangan tersebut tidak umum lagi digunakan lagi di area persawahan karena pola tanam padi telah berubah.Ukuran tersebut ,berdampingan dengan leksikon seperti;

akampil 'satu kampil'. Berdasarkan hasil responden yang memberi jawaban terhadap kuesioner yang diedarkan, bahwa responden yang berumur di bawah 30 tahun 90% mengetahui leksikon ngampilin 'memasukkan ke dalam kampil'.


(12)

Leksikon tersebut berasal dari leksikon kampil yang mendapat prefiksasi nasal sehingga membentuk verba ngampilin.Akhirnya, nomina bilangan seperti disebutkan di atas, tergantikan dengan nomina bilangan yang baru, seperti leksikon akampil, akarung, aplastik, dan lain-lain.Cara mengangkutnya pun sekarang berubah menjadi mikul. Misalnya, dalam penggunaan tuturan:

Tegenpadineene! 'pikul padi ini', orang beranggapan bahwa orang negen akan berorientasi pada alat gelanggang, berbeda dengan tuturan: Tikulpadineene! 'pikul padi ini', orang beranggapan bahwa alat yang digunakan bukannya gelanggang. Dengan demikian, dapat dikatakan satuan ukuran itu semakin berkurang dan akhirnya tidak dikenali lagi pada generasi berikutnya.Perubahan pola tanam dapat pula mempengaruhi hilangnya leksikon-leksikon itu,demikian pula munculnya leksikon-leksikon baru.

3.2Verbal

Leksikon-leksikon bahasa Bali yang digolongkan ke dalam kategori verba merupakan kata yang banyak mengalami proses morfologis, seperti afiksasi nasal. Verbal itu dapat dilihat seperti di bawah ini.

1. Mamulih„membuat benih padi/semai padi‟

2. Matekap„meratakan tanah setelah ditenggala/cangkul‟

3. Mlasah„meratakan tanah sawah yang lebih halus shg siap ditatami padi(bulih)

4. Nenggala„menggemburkan tanah dg tenggala‟

5. Nglampit„menggemburkan tanah sawah‟

6. Nyahcahin„mengemburkan tanah sebelum diplasah‟

7. Munuh/ngunuh„memungut padi yang tercecer‟ 8. nraktor„menraktor‟

9. ngampilin memasukkan ke kampil‟ 10.Manyi„panen khusus untuk padi-padian‟ 11.aad„belok kiri‟

12.sus„belok kanan‟

13.nampad 'membersihkan rumput di pematang sawah' 14.majukut membersihkan tanaman pengganggu padi

Dalam bahasa Bali leksikon verba di atas dapat dibentuk dari leksikon nomina.Di samping itu, ada verba tersebut mengandung makna inheren tindakan. Verba denominal mengandung makna sesuai dengan morfem dasarnya. Misalnya,


(13)

verba nglampit „menggemburkan tanah sawah dengan lampit‟.Nraktor „menggemburkan tanah dengan traktor, dan sebagainya.Pembentukan verba ini dengan membubuhi prefiks nasal saja.Penggunaan leksikon verba di atas sangat berkorelasi dengan leksikon nominanya.Contoh diambil dengan maksimal jawaban responden, yaitu kata pemlasahan.Berdasarkan jawaban yang diberikan respondenyang dikelompokkan dengan kriteria umur, yaitu responden di bawah 30 tahun 90% menjawab „tidak mengetahui sama sekali‟ leksikon

pemlasahan.leksikon ini berakibat pula pada leksikon verba mlasah'meratakan tanah'.Kriteria umur 30-50 tahun 60% tidak mengetahui kedua leksikon tersebut, sedangkan kriteria umur di atas 50 tahun 90% mengetahui.

Korelasi di antara leksikon dalam bentuk nomina di atas, berimplikasi pada pembentukan leksikon verba. Dengan kata lain, apabila leksikon nomina tidak diketahui/tidak terpakai lagi, ada kecenderungan verba-verba ini tidak digunakan pula.Sama halnya, seperti leksikon lampit(N) dan nglampit(V). Di samping itu, kata singkal 'mata bajak' yang berkaitan dengan leksikon nenggala „membajak‟ telah tergantikan dengan leksikon verba nraktor. Kata nraktor ini berasal dari leksikon nomina traktor.Traktor adalahalat pembajak dengan tenaga mesin mendapat prefiks nasal sehingga terbentuk verba nraktor.Leksikon nraktor

sudah umum digunakan sampai ke pelosok-pelosok.Akhirnya leksikon nenggala

penggunaannya menjadi tererosi karena perubahan teknologi. Demikian pula, kata

manyi „mengetam padi‟ katamanyi ini khusus digunakan oleh petani untuk mengetam padi dengan alat anggapan seperti di atas. Sekarang, leksikon itu tidak dipakai lagi karena tergantikan dengan leksikon ngedig padi/magedigan „memukul padi‟.Perubahan pola panen ini disebabkan oleh jenis padi yang dihasilkan.Demikian pula, alat yang digunakan akan berubah. Di samping itu pula, sekarang sudah ada mesin potong padi sampai menghasilkan gabah.Leksikon ngedigpadi/magedigan dapat pula diprediksi akan bergeser yang dikarenakan kemajuan teknologi. Leksikon-leksikon seperti itu, penggunaannya makin terkikis dan cenderung hilang sehinggaakan muncul leksikon baru untuk menggantikannya.


(14)

3.3Metafora

Beberapa metafora yang menggunakan perumpamaan dengan alat/benda yang berhubungan dengan leksikon di bidang persawahan dapat dilihat seperti berikut ini.

1. ada uga ada sampi„ pemberian yang iklas selalu menyenangkan‟

2. betekan batisne cara beliangan padi„betisnya indah‟

3. angkaban barong sumi„banyak gerakan tapi tak berharga‟

4. apang cara padine sayan misi sayan nguntul„makin berisi semakin

merendah‟

5. matulak singkal„prilaku selalu terbalik‟

6. gigine cara cakar„giginya renggang‟

7. blauk ngindang > ngapung„tidak ada artinya‟

Leksikon-leksikon di atas merupakan metafora bahasa Bali. Ungkapan tersebut menggunakan perumpamaan dengan mengambil leksikon yang berhubungan dengan persawahan. Ada uga ada sampi jika dicari makna

metafornya „ada lega ada tampi „pemberian yang iklas selalu menyenangkan.

Metaforaadaugaadasampi, berdasarkan jawaban responden dengan kriteria umur 30-50 tahun 100% tidak pernah tahu metafora seperti itu, kriteria umur di bawah 30 tahun 60% pernah mendengar, kriteria umur di atas 50 tahun 70% mengetahui. Pengetahuan metafora seperti itu sangat didukung oleh latar belakang pendidikan. Responden dengan kriteria umur di bawah 30 tahun tersebut pengetahuan tentang metafora itu didapat dari dunia pendidikan formal tentang bahasa, sedangkan kriteria umur 30-50 tahun tidak mengetahuinya dilatari oleh pendidikannya jauh dari pendidikan bahasa. Leksikon matulaksingkal „prilaku selalu terbalik‟.

Metaforamatulaksingkal, dari kriteria umur responden di bawah 30 tahun dan umur 30-50 tahun sama-sama 80% tidak pernah mengetahui sama sekali metafor tersebut, kriteria umur 50 tahun ke atas 80% mengetahui metafor seperti itu. Perbandingan pengetahuannya, kriteria umur di bawah 30 tahun 70% tidak pernah mengetahui sama sekali, umur 30-50 tahun 70% tidak mengetahui, kriteria umur di atas 50 tahun 50% mengetahui dan 50% lagi tidak mengetahui.Leksikon cakar

telah hilang bahkan orang-orang tidak tahu cakar sehingga metaphor itu juga menjadi punah tidak pernah ada orang menggunakan sebagai perumpamaan lagi.Blaukngindang 'tidak ada artinya'. Metafor blaukngindang dibentuk dari kata


(15)

blauk 'salah satu jenis binatang di sawah' dipadukan dengan verba ngindang

'terbang melayang' metafor ini tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari karena binatang sawah ini sudah punah. Punahnya binatang ini disebabkan oleh perubahan pola tanam padi dan penggunaan zat kimia pembasmi serangga yang dapat mengganggu pertumbuhan padi.Pola tanam padi seperti itu dapat mengakibatkan binatang itu punah dan akhirnya tidak dapat dikenali lagi.Di samping itu, peralihan lahan fungsi, seperti dijelaskan di atas dankemajuan teknologi juga dapat memengaruhi lingkungan leksikon-leksikon persawahan tidak dikenali lagi. Akhirnya, leksikon-leksikon itu tentu akan menjadi terkikis. Lama-kelamaan metapora itu hanya tinggal nama karena benda yang dimaksudkan tidak ditemukan lagi dan akhirnya punah.

Di sisi lain, terdapat metafor apang cara padine sayan misi sayan nguntul

'semakin berisi semakin merunduk'. Metafor ini cukup bertahan. Berdasarkan jawaban responden,di bawah umur 30 tahun 90% mengetahui, 30-50 tahun 80% mengetahui, di atas 50 tahun 100% mengetahui dan pernah menggunakannya sebagai perumpamaan. Kriteria yang cukup tinggi ini menyebabkan metafor ini bertahan sampai sekarang. Hal yang menjadi penyebab bertahannya metafor seperti itu, adalah adanya padanan tentang metafor itu dalam bahasa Indonesia yakni; seperti ilmu padi semakin berisi semakin merunduk diperkirakan memiliki makna 'semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin tidak sombong'. Demikian pula, metafor dalam bahasa Bali tersebut memiliki makna yangsama dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia. Jadi metafor apang cara padine sayan misi sayan nguntul cukup bertahan dalam bahasa Bali. Secara keseluruhan metafor dalam bahasa Bali banyak responden yang tidak mengetahui. Ini berarti ada kecenderungan ungkapan tersebut akan tererosi sedangkan yang mengandung ungkapan yang sama dengan bahasa Indonesia cukup bertahan.


(16)

4. Simpulan dan Saran

4.1Simpulan

Berdasarkan analisis di atas dapat dikatakan bahwa bahasa mengalami perubahan apabila ekologi yang menunjangnya berubah pula.Banyak ditemukan leksikon-leksikon yang berkaitan dengan persawahan cenderung tidak pernah digunakan dan akhirnya hilang. Berdasarkan hasil jawaban responden dapat dikatakan, bahwa kadar ketidaktahuan generasi muda terhadap leksikon-leksikon bidang persawahan berada pada 80% ke atas tidak mengetahuinya dan kecenderungan punah. Demikian pula dengan adanya kemajuan zaman dan kemajuan teknologi bahasa Bali banyak yang tergantikan oleh leksikon-leksikon baru.Di satu sisi, ada kata-kata/leksikon yang tererosi, kemudian menghilang dan di satu sisi tumbuh kembang leksikon pengganti.Jadi perubahan bahasa tidak semata-mata dipengaruhi oleh manusia tetapi lingkungan juga sangat menunjang terjadinya perubahan itu.

4.2 Saran

Hal yang perlu disarankan terkait dengan bahasa Bali, yaitu masih banyak leksikon-leksikon lain mungkin mengalami nasib yang mirip dengan leksikon bidang persawahan di atas. Untuk itu perlu dilakukan penataan lingkungan dengan baik sehingga leksikon-leksikon akan terpelihara dengan baik bahkan dapat berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi. Dengan hilangnya beberapa leksikon dalam bahasa Bali itu, kajian ekolinguistik sangat membantu untuk memelihara dan mengingatkan kembali terhadap leksikon-leksikon bahasa Bali yang telah hilang. Lingkungan yang tertata dengan baik dapat menjaga perilaku masyarakat baik bahasa maupun budayanya.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Campur Alih Bahasa Gayo".

www.theglobejournal.com (2 April 2010).

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya".

www.theglobejournal.com (20 Pebruari 2010).

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. " Serial Petatah-Petitih Gayo".

http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/22/ serial-petatah-petitih-gayo/(22 Februari 2010).

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (tesis). Medan: Sekolah Pascasarjana USU.

Fill, Alwin. 2001. “Language and ecology: ecolinguistic perspectives for 2000 and beyond”. David Graddo (editor)dalamAppleid linguistics for the 21s century.

Fill, Alwin, dan Peter Muhlhausler. 2001 (ed.). The ecolinguistics Reader, Language, Ecology, and Environment.London and New York: Continuum.

Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. California: Sanford University Press.

Mbete, Aron Meko. 2009. "Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif". Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pasacasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009.

Mufwene, Salikoko S. 2001. The Ecology of Language Evolution. Cambridge: Cambridge University Press.

Odum, Eugene P. 1996.Dasar-Dasar Ekologi. (edisi terjemahan oleh Ir. Tjahjono Samingan, M. Sc.dari buku asli berjudul Fundamentals of EcologythirdEdition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.


(1)

Leksikon tersebut berasal dari leksikon kampil yang mendapat prefiksasi nasal sehingga membentuk verba ngampilin.Akhirnya, nomina bilangan seperti disebutkan di atas, tergantikan dengan nomina bilangan yang baru, seperti leksikon akampil, akarung, aplastik, dan lain-lain.Cara mengangkutnya pun sekarang berubah menjadi mikul. Misalnya, dalam penggunaan tuturan: Tegenpadineene! 'pikul padi ini', orang beranggapan bahwa orang negen akan berorientasi pada alat gelanggang, berbeda dengan tuturan: Tikulpadineene! 'pikul padi ini', orang beranggapan bahwa alat yang digunakan bukannya gelanggang. Dengan demikian, dapat dikatakan satuan ukuran itu semakin berkurang dan akhirnya tidak dikenali lagi pada generasi berikutnya.Perubahan pola tanam dapat pula mempengaruhi hilangnya leksikon-leksikon itu,demikian pula munculnya leksikon-leksikon baru.

3.2Verbal

Leksikon-leksikon bahasa Bali yang digolongkan ke dalam kategori verba merupakan kata yang banyak mengalami proses morfologis, seperti afiksasi nasal. Verbal itu dapat dilihat seperti di bawah ini.

1. Mamulih„membuat benih padi/semai padi‟

2. Matekap„meratakan tanah setelah ditenggala/cangkul‟

3. Mlasah„meratakan tanah sawah yang lebih halus shg siap ditatami padi(bulih)

4. Nenggala„menggemburkan tanah dg tenggala‟ 5. Nglampit„menggemburkan tanah sawah‟

6. Nyahcahin„mengemburkan tanah sebelum diplasah‟ 7. Munuh/ngunuh„memungut padi yang tercecer‟ 8. nraktor„menraktor‟

9. ngampilin memasukkan ke kampil‟ 10.Manyi„panen khusus untuk padi-padian‟ 11.aad„belok kiri‟

12.sus„belok kanan‟

13.nampad 'membersihkan rumput di pematang sawah' 14.majukut membersihkan tanaman pengganggu padi

Dalam bahasa Bali leksikon verba di atas dapat dibentuk dari leksikon nomina.Di samping itu, ada verba tersebut mengandung makna inheren tindakan. Verba denominal mengandung makna sesuai dengan morfem dasarnya. Misalnya,


(2)

verba nglampit „menggemburkan tanah sawah dengan lampit‟.Nraktor „menggemburkan tanah dengan traktor, dan sebagainya.Pembentukan verba ini dengan membubuhi prefiks nasal saja.Penggunaan leksikon verba di atas sangat berkorelasi dengan leksikon nominanya.Contoh diambil dengan maksimal jawaban responden, yaitu kata pemlasahan.Berdasarkan jawaban yang diberikan respondenyang dikelompokkan dengan kriteria umur, yaitu responden di bawah 30 tahun 90% menjawab „tidak mengetahui sama sekali‟ leksikon pemlasahan.leksikon ini berakibat pula pada leksikon verba mlasah'meratakan tanah'.Kriteria umur 30-50 tahun 60% tidak mengetahui kedua leksikon tersebut, sedangkan kriteria umur di atas 50 tahun 90% mengetahui.

Korelasi di antara leksikon dalam bentuk nomina di atas, berimplikasi pada pembentukan leksikon verba. Dengan kata lain, apabila leksikon nomina tidak diketahui/tidak terpakai lagi, ada kecenderungan verba-verba ini tidak digunakan pula.Sama halnya, seperti leksikon lampit(N) dan nglampit(V). Di samping itu, kata singkal 'mata bajak' yang berkaitan dengan leksikon nenggala „membajak‟ telah tergantikan dengan leksikon verba nraktor. Kata nraktor ini berasal dari leksikon nomina traktor.Traktor adalahalat pembajak dengan tenaga mesin mendapat prefiks nasal sehingga terbentuk verba nraktor.Leksikon nraktor sudah umum digunakan sampai ke pelosok-pelosok.Akhirnya leksikon nenggala penggunaannya menjadi tererosi karena perubahan teknologi. Demikian pula, kata manyi „mengetam padi‟ katamanyi ini khusus digunakan oleh petani untuk mengetam padi dengan alat anggapan seperti di atas. Sekarang, leksikon itu tidak dipakai lagi karena tergantikan dengan leksikon ngedig padi/magedigan „memukul padi‟.Perubahan pola panen ini disebabkan oleh jenis padi yang dihasilkan.Demikian pula, alat yang digunakan akan berubah. Di samping itu pula, sekarang sudah ada mesin potong padi sampai menghasilkan gabah.Leksikon ngedigpadi/magedigan dapat pula diprediksi akan bergeser yang dikarenakan kemajuan teknologi. Leksikon-leksikon seperti itu, penggunaannya makin terkikis dan cenderung hilang sehinggaakan muncul leksikon baru untuk menggantikannya.


(3)

3.3Metafora

Beberapa metafora yang menggunakan perumpamaan dengan alat/benda yang berhubungan dengan leksikon di bidang persawahan dapat dilihat seperti berikut ini.

1. ada uga ada sampi„ pemberian yang iklas selalu menyenangkan‟ 2. betekan batisne cara beliangan padi„betisnya indah‟

3. angkaban barong sumi„banyak gerakan tapi tak berharga‟

4. apang cara padine sayan misi sayan nguntul„makin berisi semakin merendah‟

5. matulak singkal„prilaku selalu terbalik‟ 6. gigine cara cakar„giginya renggang‟

7. blauk ngindang > ngapung„tidak ada artinya‟

Leksikon-leksikon di atas merupakan metafora bahasa Bali. Ungkapan tersebut menggunakan perumpamaan dengan mengambil leksikon yang berhubungan dengan persawahan. Ada uga ada sampi jika dicari makna metafornya „ada lega ada tampi „pemberian yang iklas selalu menyenangkan. Metaforaadaugaadasampi, berdasarkan jawaban responden dengan kriteria umur 30-50 tahun 100% tidak pernah tahu metafora seperti itu, kriteria umur di bawah 30 tahun 60% pernah mendengar, kriteria umur di atas 50 tahun 70% mengetahui. Pengetahuan metafora seperti itu sangat didukung oleh latar belakang pendidikan. Responden dengan kriteria umur di bawah 30 tahun tersebut pengetahuan tentang metafora itu didapat dari dunia pendidikan formal tentang bahasa, sedangkan kriteria umur 30-50 tahun tidak mengetahuinya dilatari oleh pendidikannya jauh dari pendidikan bahasa. Leksikon matulaksingkal „prilaku selalu terbalik‟. Metaforamatulaksingkal, dari kriteria umur responden di bawah 30 tahun dan umur 30-50 tahun sama-sama 80% tidak pernah mengetahui sama sekali metafor tersebut, kriteria umur 50 tahun ke atas 80% mengetahui metafor seperti itu. Perbandingan pengetahuannya, kriteria umur di bawah 30 tahun 70% tidak pernah mengetahui sama sekali, umur 30-50 tahun 70% tidak mengetahui, kriteria umur di atas 50 tahun 50% mengetahui dan 50% lagi tidak mengetahui.Leksikon cakar telah hilang bahkan orang-orang tidak tahu cakar sehingga metaphor itu juga menjadi punah tidak pernah ada orang menggunakan sebagai perumpamaan


(4)

blauk 'salah satu jenis binatang di sawah' dipadukan dengan verba ngindang 'terbang melayang' metafor ini tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari karena binatang sawah ini sudah punah. Punahnya binatang ini disebabkan oleh perubahan pola tanam padi dan penggunaan zat kimia pembasmi serangga yang dapat mengganggu pertumbuhan padi.Pola tanam padi seperti itu dapat mengakibatkan binatang itu punah dan akhirnya tidak dapat dikenali lagi.Di samping itu, peralihan lahan fungsi, seperti dijelaskan di atas dankemajuan teknologi juga dapat memengaruhi lingkungan leksikon-leksikon persawahan tidak dikenali lagi. Akhirnya, leksikon-leksikon itu tentu akan menjadi terkikis. Lama-kelamaan metapora itu hanya tinggal nama karena benda yang dimaksudkan tidak ditemukan lagi dan akhirnya punah.

Di sisi lain, terdapat metafor apang cara padine sayan misi sayan nguntul 'semakin berisi semakin merunduk'. Metafor ini cukup bertahan. Berdasarkan jawaban responden,di bawah umur 30 tahun 90% mengetahui, 30-50 tahun 80% mengetahui, di atas 50 tahun 100% mengetahui dan pernah menggunakannya sebagai perumpamaan. Kriteria yang cukup tinggi ini menyebabkan metafor ini bertahan sampai sekarang. Hal yang menjadi penyebab bertahannya metafor seperti itu, adalah adanya padanan tentang metafor itu dalam bahasa Indonesia yakni; seperti ilmu padi semakin berisi semakin merunduk diperkirakan memiliki makna 'semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin tidak sombong'. Demikian pula, metafor dalam bahasa Bali tersebut memiliki makna yangsama dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia. Jadi metafor apang cara padine sayan misi sayan nguntul cukup bertahan dalam bahasa Bali. Secara keseluruhan metafor dalam bahasa Bali banyak responden yang tidak mengetahui. Ini berarti ada kecenderungan ungkapan tersebut akan tererosi sedangkan yang mengandung ungkapan yang sama dengan bahasa Indonesia cukup bertahan.


(5)

4. Simpulan dan Saran 4.1Simpulan

Berdasarkan analisis di atas dapat dikatakan bahwa bahasa mengalami perubahan apabila ekologi yang menunjangnya berubah pula.Banyak ditemukan leksikon-leksikon yang berkaitan dengan persawahan cenderung tidak pernah digunakan dan akhirnya hilang. Berdasarkan hasil jawaban responden dapat dikatakan, bahwa kadar ketidaktahuan generasi muda terhadap leksikon-leksikon bidang persawahan berada pada 80% ke atas tidak mengetahuinya dan kecenderungan punah. Demikian pula dengan adanya kemajuan zaman dan kemajuan teknologi bahasa Bali banyak yang tergantikan oleh leksikon-leksikon baru.Di satu sisi, ada kata-kata/leksikon yang tererosi, kemudian menghilang dan di satu sisi tumbuh kembang leksikon pengganti.Jadi perubahan bahasa tidak semata-mata dipengaruhi oleh manusia tetapi lingkungan juga sangat menunjang terjadinya perubahan itu.

4.2 Saran

Hal yang perlu disarankan terkait dengan bahasa Bali, yaitu masih banyak leksikon-leksikon lain mungkin mengalami nasib yang mirip dengan leksikon bidang persawahan di atas. Untuk itu perlu dilakukan penataan lingkungan dengan baik sehingga leksikon-leksikon akan terpelihara dengan baik bahkan dapat berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi. Dengan hilangnya beberapa leksikon dalam bahasa Bali itu, kajian ekolinguistik sangat membantu untuk memelihara dan mengingatkan kembali terhadap leksikon-leksikon bahasa Bali yang telah hilang. Lingkungan yang tertata dengan baik dapat menjaga perilaku masyarakat baik bahasa maupun budayanya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Campur Alih Bahasa Gayo". www.theglobejournal.com (2 April 2010).

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya". www.theglobejournal.com (20 Pebruari 2010).

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. " Serial Petatah-Petitih Gayo".

http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/22/

serial-petatah-petitih-gayo/(22 Februari 2010).

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. "Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (tesis). Medan: Sekolah Pascasarjana USU. Fill, Alwin. 2001. “Language and ecology: ecolinguistic perspectives for 2000

and beyond”. David Graddo (editor)dalamAppleid linguistics for the 21s century.

Fill, Alwin, dan Peter Muhlhausler. 2001 (ed.). The ecolinguistics Reader, Language, Ecology, and Environment.London and New York: Continuum.

Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. California: Sanford University Press.

Mbete, Aron Meko. 2009. "Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif". Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pasacasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009.

Mufwene, Salikoko S. 2001. The Ecology of Language Evolution. Cambridge: Cambridge University Press.

Odum, Eugene P. 1996.Dasar-Dasar Ekologi. (edisi terjemahan oleh Ir. Tjahjono Samingan, M. Sc.dari buku asli berjudul Fundamentals of EcologythirdEdition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.