GERAKAN FLP PADA MASA-MASA AWAL

7

2.1. GERAKAN FLP PADA MASA-MASA AWAL

FLP pada masa awalnya dipandang sebagai sebuah gerakan yang mampu melakukan perlawanan terhadap industri fiksi arus utama di Indonesia. Perlawanan itu adalah perlawanan terhadap tema karya fiksi, perlawanan terhadap pola distribusi buku fiksi dan perlawanan terhadap eklusifitas karya fiksi. 2.1.a. Perlawanan Terhadap Tema-Tema Karya Fiksi Salah satu corak karya anggota FLP adalah karya fiksi yang memiliki tema berbeda dengan fiksi-fiksi yang ada di Indonesia ketika itu. FLP mengedepankan fiksi sebagai sarana dakwah. Bagi anggota FLP fiksi adalah sarana untuk mengajak manusia kepada kebaikan. Oleh sebab itu FLP mengutamakan menyampaikan amanat di atas unsur-unsur lainnya yang biasa dipertimbangkan dalam etika karya fiksi. Apa yang dilakukan FLP itu dilakukan dengan harapan agar pembaca tidak menjadi ragu terhadap kebenaran yang hendak disampaikan melalui karya fiksi. Dalam hal ini dapat disebut bahwa FLP melakukan perlawanan melalui tema fiksi yang mereka usung, yaitu fiksi-fiksi yang bertema berbeda dari yang ada di Indonesia. Kesadaran seperti di atas merupakan kesadaran umum di kalangan FLP bahwa mereka sedang berjuang untuk mencerahkan masyarakat salah satunya dengan melakukan perlawanan terhadap tema- tema fiksi mainstream. Namun dalam pandangan teori kritis kesadaran itu hanyalah kesadaran semu, karena sebenarnya yang terjadi adalah industri tidak mau tahu tentang berbagai tema yang akan diusung oleh penulis. Dalam pandangan teori strukturasi agen boleh saja membuat gerakan apapun namun intinya adalah kegiatan atau tema yang diusulkan oleh penulis itu diterima atau tidak oleh pembaca. Karena tema-tema tak umum yang ditulis FLP itu mendapat tanggapan positif dari pasar maka tema-tema itu didukung oleh industri untuk diterbitkan. Di sini jelas bahwa industri tidak bermata, dia tidak melihat tema apa mengusung ideologi apa, yang penting bagi mereka adalah produk yang dihasilkan penulis bisa laku dipasaran dan menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kegiatan industri. Argumen ini menjadi penting untuk menyatakan 8 bahwa industri semata-mata berkepentingan dengan persoalan untung rugi, industri tidak berkepentingan dengan persoalan ideologi. Berkaitan dengan FLP dan kesadaran semu bahwa mereka dalam perjuangan mencerahkan masyarakat, dalam pandangan industri hal itu merupakan bagian dari usaha untuk menjangkau hati pembaca. FLP sebagai sebuah gerakan yang sudah mapan mempunyai massa yang besar, sehingga hal itu butuh diberi ruang untuk mendapatkan bacaan yang sesuai selera pembaca. Disinilah industri memanfaatkan FLP untuk memenuhi kebutuhan massa FLP muslim ini untuk menghadirkan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan massa FLP itu. 2.1.b. Perlawanan Terhadap Pola Distribusi Karya Fiksi Sebagai sebuah komunitas yang melawan arus, FLP menyadari bahwa karya fiksi produk budaya yang dihasilkan tidak akan diterima oleh industri fiksi Indonesia. Banyak alasan mengapa karya FLP pada awalnya ditolak oleh industri fiksi Indonesia, di antaranya adalah kecemasan pihak industri bahwa karya tersebut tidak akan laku di pasaran pembaca buku fiksi Indonesia. Hal itu memang bisa diterima secara logika, industri tentu tidak mau mengambil risiko akan merugi bila terus menerbitkan karya-karya anggota FLP tersebut. Oleh sebab itu pada masa-masa awal FLP awal 2000-an distribusi melalui komunitas menjadi andalan FLP. FLP menjual karya-karya fiksi melalui anggota yang tersebar diseluruh Indonesia. Pada masa itu anggota FLP sangat bisa diandalkan untuk menyerap karya anggota FLP yang lainnya. Dengan demikian pola distribusi karya anggota FLP itu berbeda dengan pola distribusi industri buku kebanyakan yang mengandalkan distributor dan toko buku. Kekuatan komunitas inilah yang membuat kalangan industri Mizan, Gramedia, dll tertarik untuk menerbitkan karya anggota FLP. Ternyata memang benar, dalam beberapa waktu karya anggota FLP yang diterbitkan oleh penerbit besar berhasil menjadi karya yang laris di pasaran industri buku. Keberhasilan melawan pola distribusi dianggap sebagai prestasi FLP dalam menerobos industri fiksi. Namun sebenarnya hal itu tidak menjadi masalah besar bagi industri. Karena sesungguhnya bagi industri yang terpenting adalah buku-buku fiksi yang dihasilkan oleh FLP itu laku dengan cara distribusi apapun. Tidak penting lewat toko buku jalur modern atau lewat komunitas jalur tradisional. Malah belakangan jalur tradisional atau komunitas ini menjadi 9 sasaran empuk penerbit dengan membuat buku-buku khusus untuk komunitas dan buku-buku bernuansa lokal untuk membidik pembaca pada etnis tertentu. 2.1.c. Perlawanan Terhadap Eksklusifitas Karya Fiksi Pada awalnya kerja kreatif menulis sebuah karya sastra adalah milik sekelompok orang saja. Tidak semua orang bisa menulis karya sastra itu, walaupun sebenarnya semua orang bisa menulis. Namun untuk diterbitkan di koran atau majalah hanya orang-orang tertentu saja yang bisa. Hal inilah yang dilawan oleh FLP. FLP mengajak semua orang untuk menulis fiksi. Hal itu bukan hanya sekadar mengajak akan tetapi juga melatih masyarakat untuk menulis karya fiksi melalui kepengurusan FLP yang ada di seluruh Indonesia. FLP melawan budaya yang sudah ada bahwa menulis karya fiksi hanya miliki sekelompok orang saja. FLP melalui berbagai kegiatan yang diadakan menunjukkan bahwa menulis fiksi tidak ekslusif karena bisa dilakukan oleh siapa saja. Perlawanan FLP sebagaimana yang telah ditunjukkan di atas pada satu sisi adalah bukti keberhasilan FLP dalam melakukan perlawanan terhadap industri budaya media. Namun pada sisi lain hal itu juga merupakan kekalahan FLP sendiri karena akhirnya organisasi ini terjebak dalam industri fiksi Indonesia. Apa yang disebut oleh FLP sebagai perlawanan terhadap ekslusifitas fiksi itu bagi industri fiksi adalah usaha untuk menjadikan fiksi sebagai produk budaya massal yang digemari oleh banyak masyarakat. Jadi kesadaran yang terbentuk mendobrak ekslusifitas fiksi itu hanyalah kesadaran semu yang menguntungkan untuk dunia industri. Kondisi sebagaimana di atas, dimana FLP memasyarakatkan karya fiksi adalah usaha untuk mengampanyekan produk industri agar dibaca masyarakat luas. Dengan terbangunnya masyarakat yang gemar membaca, mau tidak mau industri mendapatkan keuntungan karena buku-buku atau produk budaya yang mereka produksi semakin banyak diserap oleh pasar. Adapun kesadaran semu yang menyatakan FLP semakin berhasil mendobrak ekslusifitas karya fiksi, bagi industri hal itu tidak menjadi masalah utama. Karena yang terpenting bagi mereka bukanlah pembacanya adalah orang-orang yang ekslusif atau kelas atas, tetapi bagi industri yang terpenting adalah jumlah. Semakin banyak masyarakat yang membaca hal itu bisa dipastikan semakin besar uang yang dikeluarkan masyarakat untuk membeli buku. 10

2.2. FLP PADA MASA KEBERHASILAN MENEMBUS INDUSTRI FIKSI INDONESIA