14
pornografi lainnya. Standarisasi moral ini dalam kacamata berbeda dapat dilihat sebagai proses standarisasi untuk mencirikan karya tersebut.
2.2.2.b. Standar Tema Cerita Karya Anggota FLP
Standarisasi karya anggota FLP. Pada bagian ini dapat dilihat bahwa standarisasi akhirnya terjadi karena tuntutan dunia industri. Ketika masyarakat sudah mengenal dan akrab
dengan sastra karya anggota FLP mau tidak mau penerbit buku dan juga majalah membutuhkan banyak karya untuk dipasarkan kepada masyarakat. Banyaknya karya ini pada masa-masa awal
dapat diidentifikasi dengan jelas bahwa karya-karya FLP pada umumnya bertemakan perjuangan orang-orang tertindas di berbagai belahan dunia, seperti di Palestina, Afganistan, Bosnia dan di
dalam negeri sendiri seperti tragedi Aceh, Ambon dan kerusuhan antar agama lain. Selain itu tema-tema yang standar ditemui adalah tema pertobatan dimana seorang tokoh ingin bertobat
atau menemukan hidayahnya dalam suatu persoalan.
2.2.2.c. Standar Bahasa dalam Fiksi Karya Anggota FLP
Standarisasi lainnya dalam karya anggota FLP adalah standar bahasa dalam fiksi karya anggota FLP. Dalam dunia sastra Indonesia FLP menjadi media transformasi kosakata baru
dalam Bahasa Indonesia. Bahasa komunitas kelompok tabiyah atau harakah ikhwan, akhwat, akhi, ukhti, ana, antum
dll menjadi bahasa yang akrab dipakai dalam karya anggota FLP. FLP menjadi komunitas sastra terbesar yang berhasil memasarkan bahasa-bahasa tersebut. Walau
sebelumnya bahasa-bahasa tersebut sudah dikenal masyarakat melalui komunitas Arab di Indonesia, namun menjadi lebih besar ketika diangkat ke dalam buku-buku atau majalah. Hal
itulah yang dilakukan oleh FLP, dia mengangkat bahasa-bahasa komunitas yang sebelumnya dugunakan sangat terbatas, hanya di kalangan kelompok masyarakat tertentu menjadi umum
dalam pergaulan masyarakat Indonesia.
2.2.3. MASSIFIKASI FIKSI
Dampak industrialisasi yang jelas terlihat di FLP adalah massifikasi fiksi. FLP sebagai organisasi yang memiliki misi untuk melahirkan banyak penulis akhirnya juga melahirkan
banyak karya sastra. Dalam hal ini sastra tidak lagi menjadi sesuatu yang ekslusif. Siapa saja bisa
15
menulis karya sastra, anak-anak, orang dewasa, pekerja domestik, bahkan orang tua. Munculnya produk fiksi secara masal dimungkinkan karena FLP memiliki program kerja yang sejalan
dengan hal itu seperti memunculkan banyak penulis dan melahirkan banyak karya. Massifikasi karya sastra tidak dapat dielakkan karena pada akhirnya juga bermunculan hal-hal yang merusak
nilai karya sastra itu sendiri, namun menguntungkan untuk penggerak industri seperti:
2.2.3.a. Munculnya karya-karya epigon di FLP
Hal ini menunjukkan menurunnya nilai karya sastra tinggi menjadi sastra popular. Kelahiran sebuah karya yang fenomenal akan diikuti oleh karya-karya yang menyerupainya, baik
berupa judul maupun isi dan temanya. Munculnya karya-karya epigon itu bukan hanya berasal dari kalangan penulis, tetapi juga karena penerbit yang mendorong penulis untuk menulis karya
yang mengikuti karya besar itu. Dalam setiap persoalan maka hal ini bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Bagi penulis, menulis seperti karya-karya laris barangkali bisa mereka
sebut terinspirasi setelah membaca karya besar itu, tapi bagi penerbit hal itu mereka lihat sebagai peluang bisnis agar produk yang mereka ciptakan itu laku di pasaran. Larisnya buku-buku epigon
ini tentu dapat dipahami karena untuk mempromosikan buku itu mereka cukup menunggangi karya besar itu. Artinya tanpa susah payah mempromosikannya, buku tersebut sudah terkenal di
masyarakat.
2.2.3.b. FLP sebagai pabrik penulis karya sastra
Koran Tempo pernah menyebut FLP sebagai pabrik penulis cerita di Indonesia, penulis membahasakannya sebagai Rumah Besar Penulis Sastra Indonesia. Gerakan pembelajaran,
menciptakan penulis-penulis muda bertalenta. Hal ini tentu saja sesuai dengan misi FLP untuk melahirkan banyak penulis di Indonesia. Misi itu diwujudkan melalui berbagai hal seperti
pelatihan berkala ataupun pelatihan insidental. Selama bertahun-tahun gerakan literasi FLP itu membuahkan hasil, terbukti munculnya nama-nama di jagad sastra Indonesia yang berasal dari
kawah candradimuka yang bernama FLP.
2.2.3.c. Produksi Massal Fiksi oleh FLP
Banyaknya penulis berbanding lurus dengan kelahiran karya sastra. Dalam hal ini patut diakui bahwa FLP adalah salah satu organisasi yang berperan menggairahkan sastra Indonesia
16
pada sejak 1990-an akhir. FLP berhasil menjadi lokomotif yang membangkitkan sastra Indonesia dari kelesuan dan ketidak bergairahannya. FLP menjadi penyedia konten sastra terbesar bagi
penerbit-penerbit di Indonesia bahkan Mizan sejak tahun 2003 memberikan kesempatan kepada FLP untuk mengelola salah satu lini penerbitan mereka yaitu LPPH Lingkar Pena Publishing
House. Seiiring perkembangan waktu LPPH pun kemudian membuka lini khusus untuk menerbitkan karya fiksi terjemahan yang diberi nama Orange Books.
Menciptakan karya fiksi secara masal ini terjadi karena tuntutan dunia industri. Ketika semakin banyak peminat karya anggota FLP mau tidak mau penerbit berburu tulisan karya
anggota FLP. Bahkan tuntutan penerbit itu tidak bisa dipenuhi oleh anggota FLP itu. Di sisi lain ada penulis-penulis yang memang menggantungkan kehidupan ekonominya dari menulis, maka
terjadilah hukum ekonomi dimana semakin banyak permintaan “produsen” harus menyediakan banyak barang. Hal ini akhirnya sama dengan apa yang disampaikan Adorno 1991 bahwa
ketika budaya massa memasuki ranah indutri maka akan terjadi penurunan nilai budaya itu. Ramalan Adorno itu bisa dipahami juga terjadi di FLP karena dalam beberapa kasus demi
memenuhi tuntutan penerbit penulis harus berkejaran dengan waktu untuk menghasilkan sebuah karya. Berdasarkan keterangan salah seorang anggota FLP ada penulis yang menulis novel 100-
150 halaman hanya dalam waktu 3 hari sampai satu minggu. Fakta lain adalah ada karya-karya yang dibuat memang dengan tujuan bisnis, sehingga terjadi diversifikasi karya.
III. KESIMPULAN DAN SARAN