ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari)

(1)

Muhammad Rizky Widhiarto

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA BERAT

(Studi Kasus Talang Sari)

Oleh:

Muhammad Rizky Widhiarto

Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti contoh peristiwa Talang Sari. Peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan atau pelanggaran HAM yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan: a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat? b. Apakah faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat?

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan diambil menggunakan metode induktif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: a. Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi. Tanggung jawab komandan militer berdasarkan hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi TNI adalah setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada di bawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran secara aktual ataupun secara konstruktif; dan 4) komandan atau atasan dengan


(2)

Muhammad Rizky Widhiarto

kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib (actus reus). b. Faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu 1) faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM berat; 2) sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum proses penyelesaian pelanggaran HAM; 3) masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM.

Adapun saran dalam penelitian ini, yaitu sebaiknya pemerintah untuk sesegera mungkin menuntaskan berbagai peristiwa yang berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM patut disimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana para pelakunya dapat dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando.


(3)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA BERAT

(Studi Kasus Talang Sari)

Oleh:

Muhammad Rizky Widhiarto

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Adijaya pada tanggal 15 Januari 1990, yang merupakan putra tunggal pasangan Bapak Dadi Wiganda dan Ibu Lili Dwi Astuti. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di SD An-Nur Bandarjaya lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi di SMPN 3 Bandarjaya lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan studi di SMAN 1 Terbanggi Besar lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2013 mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kecamatan Kasui, Kabupaten Way Kanan.

Penulis tergabung dalam organisasi HmI di eksternal Fakultas Hukum Universitas Lampung sebagai Bendahara Umum ,dan di internal Fakultas Hukum Universitas Lampung penulis pernah terdaftar di UKM Mahkamah sebagai anggota,di Hima Pidana sebagai Kepala Bidang Minat Bakat,di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai Kepala Bidang Rumah Tangga,dan terakhir di Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) sebagai Sekretaris Dewan.


(7)

PERSEMBAHAN

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta sholawat dan salam tak hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ibuku tersayang, yang dengan penuh memberikan dorongan moril dan kasih sayang, sehingga berhasil menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbingku, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.


(8)

MOTO

Jangan Menyerah Sekalipun,Karena Jika Melihat Ke Belakang Nantinya Kita Akan Bahagia Tidak Melakukannya


(9)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Analisis Pertanggungjawaban Pidana Atasan Militer Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Studi Kasus Talang Sari)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana; 3. Bapak Dr. Eddy Rifa’i, S. H., M. H. selaku Pembimbing I yang telah

memberikan saran dan masukan yang bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan penyelesaian studi;

5. Ibu Diah Gustiniati, S. H., M. H. selaku Pembahas I yang telah membantu memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat;


(10)

6. Bapak Deny Achmad, S.H, M.H. selaku Pembahas II yang yang telah memberi masukan guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini;

7. Dosen Fakultas Hukum Universitas lampung yang telah memberikan wawasan dan cakrawala pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna bagi pengembangan wawasan penulis;

8. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak; dan

9. Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun duka.

10.Untuk orang yang tersayang Ria Andini, M. Levy Rifaldy terimakasih telah setia menemaniku saat susah maupun senang dalam proses pembuatan skripsi ini.

11.Untuk organisasi HMI beserta teman- teman yang bergabung di dalamnya, saya ucapkan terimakasih karena kita pernah berjuang bersama.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 24 April 2015 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teori dan Konsep ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ... 13

B. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 21

C. Pengertian Pelanggaran HAM dan Jenis-Jenis Pelanggaran HAM ... 23

D. Pengertian Pertanggungjawaban Komando ... 28

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C. Penentuan Nara Sumber ... 33

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 33


(12)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Karekteristik Nara Sumber ... 35

B. Pertanggungjawaban Pidana Atasan Militer Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat ... 36

C. Faktor-Faktor Penghambat Penyelesaian Tindak Pidana Pelanggaran .. Hak Asasi Manusia Berat ... 65

V. PENUTUP ... 71

A. Simpulan ... 71

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan demikian membawa konsekuensi bahwa hukum hendaknya dapat dijadikan sebagai kerangka/landasan/dasar pijakan dalam mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan (hukum) dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, tentunya tak satu pun suatu institusi maupun personalnya, apakah itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil lainnya kebal terhadap ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku bila melakukan suatu tindak pidana kejahatan pada umumnya, termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Menurut Bambang Sunggono dan Aries Harianto, sebagai negara hukum, maka harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut:

a. Adanya pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;

b. Peradilan yang bebas, tidak memihak dan dipengaruhi kekuasaan lainnya; dan

c. Menjunjung tinggi asas legalitas.1

1

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 130


(14)

2

Berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap HAM di berbagai belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat mudah untuk dilakukan, akan tetapi memerlukan suatu proses panjang yang di dalamnya setidaknya terkait dengan tiga variabel utama yang harus dipertimbangkan. Ketiga variabel tersebut adalah adanya dinamika internasional; instrumen hukum yang ada; dan bagaimana menentukan pendekatan terhadap warisan masa lalu.2

Upaya perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM, bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku.3 Dalam sejarah perkembangan hukum, para pelaku pelanggaran HAM khususnya atasan militer dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando. Yang dimaksudkan dengan pertanggungjawaban komando (command

responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan

militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya.

Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, Namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti

2

Sigit Riyanto, Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, (Yogyakarta: Majalah Mimbar Hukum No.38/VI/2001 FH-UGM, 2001), hlm. 53.

3

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 76-77


(15)

3

contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.4

Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di Dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif.Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabi buta terhadap jemaah dan setelah kehabisan peluru, jemaah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.5

4

http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB.

5Ibid


(16)

4

Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Sekarang disebut TNI).6

Atas kejadian tersebut para korban dan keluarga korban berupaya untuk meminta keadilan atas peristiwa tersebut upaya mereka ini dmulai pada tanggal 7 Mei 2001, setelah perjuangan yang panjang didampingi dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), terdapat secercah harapan ketika dikeluarkannya hasil penyelidikan pro justisia Komisi Nasional HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari, berupa Pembunuhan terhadap 130 orang, Pengusiran Penduduk secara Paksa 77 orang, Perampasan Kemerdekaan 53 orang, Penyiksaan 46 orang, dan Penganiayaan atau Persekusi sekurang-kurangnya berjumlah 229 orang. Namun sampai saat ini setelah hampir lebih dari 25 tahun kenyataan pahitlah yang ditelan oleh para korban dan keluarga korban karena tidak ada penyelesaian yang jelas atas kasus Talang Sari, kasus ini dibuat menggantung dan jalan di tempat, lalu dimanakah posisi negara yang bertugas untuk melindungi rakyatnya.

6

http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB.


(17)

5

Berdasarkan uraian di atas, yang melatarbelakangi masalah dalam penelitian ini, maka diadakan penelitian dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Atasan Militer Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Studi Kasus Talang Sari)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat?

b. Apakah faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat. Penelitian dilakukan pada tahun 2014.


(18)

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. TujuanPenelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

b. Mengetahui faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini, yaitu: a. Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pembuat kebijaksanaan atau pembentuk hukum di bidang hukum pidana militer dalam rangka penyempurnaan sistem yang baik dalam hukum nasional Indonesia .

b. Kegunaan praktis

Penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai data sekunder, khususnya bagi para akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan pembangunan hukum.


(19)

7

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.

Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada di bawah komando atau kendali efektifnya. Berdasarkan pandangan Moeljatno, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk dikatakan bahwa seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan harus memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana seperti berikut:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;

d. Tidak adanya alasan pemaaf.7

Hugo Grotius menggunakan analogi ”tanggung jawab orang tua” (parental

responsibility) untuk menggambarkan pertanggungjawaban komando: orang tua

bertanggung jawab terhadap kesalahan anaknya sepanjang anaknya masih ada dalam kekuasaan mereka. Di sisi lain, walaupun orang tua memiliki anak yang berada di bawah kekuasaannya namun orang tua tersebut tidak mampu lagi untuk mengendalikan mereka, maka orang tua tersebut tidak lagi harus bertanggung

7


(20)

8

jawab kecuali jika ia memiliki pengetahuan. Jadi dalam hal ini seorang dapat dikenakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain apabilamemenuhi dua elemen, yaitu (1) pengetahuan (2) gagal untuk mencegah.8

Akar dari doktrin ini dapat juga ditelusuri melalui sejarah kemiliteran dimana syarat untuk menempatkan tanggung jawab yang paling besar ada di tangan komandan militer. Misalnya, seorang komandan militer yang profesional harus selalu menjalankan fungsi pengendalian terhadap anak buahnya, mengarahkan, memberi petunjuk mengenai pelaksanaan tugas-tugas yang berbahaya, mengawasi pelaksanaan tugas hingga selesai, dan mengambil tindakan disiplin apabila ada anak buahnya tidak atau lalai menyelesaikan tugasnya.

Doktrin ini kemudian menjadi dasar hukum bagi komandan militer atau individu lain yang berada dalam posisi atasan atau pemegang kekuasaan komando lainnya untuk bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian atau kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian terhadap anak buahnya sehingga terjadi kejahatan. Kegagalan bertindak (failure to act) ini dikatakan sebagai tindakan pembiaran

(ommision) sehingga komandan harus bertanggung jawab.

Konsep pertanggungjawaban komando berlaku bagi seorang atasan dalam pengertian yang luas, termasuk kepala negara, kepala pemerintahan, menteri dan pimpinan perusahaan. Dalam doktrin hukum Internasional mengenai pertanggungjawaban komando adalah doktrin yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana secara individual yang dikembangkan melalui

8

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando Suatu Telaah Teoritis, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 4.


(21)

9

kebiasaan dan praktek-praktek pengadilan kejahatan perang, terutama seusai perang dunia ke-II.

Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada di bawah komando atau kendali efektifnya. Pertanggungjawaban komando dalam doktrinnya dikenal adanya tiga lapis pertanggungjawaban komando yang dapat diterapkan pada para pemegang komando:

a. Lapis pertama, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut memerintahkan pasukannya yang berada di bawah komando dan kendali efektifnya untuk melakukan suatu kejahatan (crimes by commission).

b. Lapis kedua, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut mengetahui bahwa pasukannya tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan, tetapi yang bersangkutan tidak mencegahnya (crimes by omission).

c. Lapis ketiga, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bilamana dia tidak menindak pasukan yang berada di bawah komando dan kendali efektifnya yang telah melakukan kejahatan yang dalam hal ini berupa pelanggaran HAM berat utamanya kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.9

Pasal 42 ayat 1 (a) Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mensyaratkan penuntutan pertanggungjawaban komando bilamana ada unsur yang berupa seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu sendiri meliputi:

9

PLT Sihombing, Pertanggungjawaban Komando, (Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM Vol. 2 No. 2 November 2004), hlm. 13


(22)

10

a. kejahatan genosida; dan

b. kejahatan terhadap kemanusian.

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto10, dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti. Agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai istilah yang digunakan dalam penulisan ini. Adapun istilah-istilah yang digunakan adalah:

a. Analisis adalah penyidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya, (memilah milah, asal muasal, duduk perkara).11

10

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 2007), hlm. 4-5.

11


(23)

11

b. Pertanggungjawaban Pidana adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan secara pidana12

c. Atasan Militer ialah kepala/pemimpin pasukan di suatu daerah, kota, atau benteng13

d. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

E. Sistematika Penulisan

Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 32

13


(24)

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: pengertian pertanggung jawaban pidana khususnya atasan militer, latar belakang dan prinsip-prinsip pertanggung jawaban komando.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan nara sumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat dan faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban merupakan salah satu bagian dari unsur-unsur suatu Sistem aturan-aturan dalam moral, agama dan hukum. Sistem aturan-aturan ini dapat bersifat luas dan aneka macam, misalnya hukum perdata, hukum pidana, serta aturan moral. Kesamaan dari ketiga hal tersebut merupakan suatu rangkaian aturan tentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu kelompok tertentu. Jadi Sistem yang melahirkan konsepsi pertanggunganjawaban tersebut itu merupakan Sistem normatif.

Berpangkal tolak kepada sistem normatif yang melahirkan konsepsi tersebut, dicoba menganalisa tentang pertanggunganjawab pidana. Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana? dengan mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban bahwa yang bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu. Bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti bahwa untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu Sistem hukum tertentu, dan Sistem hukum itu berlaku atas perbuatan ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tindakan ini dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Inilah dasar konsepsinya.


(26)

14

Lebih jauh lagi Ross berpendapat bahwa pertanggungan jawab itu dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan. Hubungan antara keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh aturan hukum. Jadi pertanggungan jawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.1

Selanjutnya berdasarkan pandangan Moeljatno, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk dikatakan bahwa seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan harus memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana seperti berikut:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;

d. Tidak adanya alasan pemaaf.2

Untuk dapat memberikan gambaran yang utuh, berikut ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur pertanggungjawaban pidana tersebut, sebagai berikut. 1. Perbuatan Pidana

Sebelum membahas unsur-unsur perbuatan pidana maka sebaiknya terlebih dahulu akan dibahas pula penggunaan istilah serta pengertian perbuatan pidana. Diantara pakar-pakar hukum pidana, penggunaan istilah mengenai perbuatan pidana ini bermacam-macam ragam, ada yang memakai peristiwa pidana, tindak pidana (bahasa Belanda yaitu strafbaar feit).

Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar perbuatan tersebut. Dapat juga dikatakan

1

Moeljatno. Pertanggung Jawab Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 34-35

2


(27)

15

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.3

Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara lain kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian itu tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

Menurut J.E Jonkers, peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum

(wederrechttelijkheid) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan

yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.4 Menurut Vos, Tindak Pidana adalah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.5

3

Moeljatno. Op.cit. hlm. 54-55

4

Adami Chasawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel pidana, Tindak pidana, Teori-teori pemidanaan dan batas berlakunya hukum Pidana) Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005), hlm. 75

5


(28)

16

Bertitik tolak pada uraian-uraian tersebut di atas, maka dalam hal penggunaan istilah perbuatan pidana serta pengertian perbutan pidana penulis sependapat dengan Vos, yang lebih tepat dipakai istilah tindak pidana (strafbaarfeit) bukan perbuatan pidana karena dalam pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan hanya dilakukannya perbuatan pidana tetapi di samping itu harus ada kesalahan yaitu asas yang tidak tertulis yaitu tidak dipidana tanpa kesalahan. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam Konsep KUHP yang memakai tindak pidana.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Setelah mengetahui tentang istilah tindak pidana dan pengertiannya, maka untuk melihat apa itu tindak pidana perlu juga dipahami tentang unsur-unsur tindak pidana itu sendiri. Unsur tindak pidana merupakan unsur yang paling pokok dalam hukum pidana, karena hal tersebut sebagai tolak ukur dalam memutuskan seseorang bersalah atau tidak.

Unsur-unsur perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah: (a) perbuatan, (b) yang dilarang (oleh aturan hukum), (c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Dari unsur-unsur tersebut dapat diterangkan bahwa dalam hal perbuatam artinya perbuatan manusia saja yang dilarang, oleh aturan hukum. Sedangkan ancaman dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu yang benar-benar dipidana.6 Menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah; (a) kelakuan manusia, (b) diancam dengan pidana, (c) dalam peratutan perundang-undangan.7

6

Adam Chazawi, Op.cit., hlm. 79

7

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, (Jakarta: 1991, Sinar Grafika, 1991), hlm. 4


(29)

17

Berdasarkan dari rumusan-rumusan tersebut dapat diambl kesimpulan yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam Undang-Undang, dan diancam dengan pidana bagi pelaku tindak pidana.

c. Mampu Bertanggungjawab

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini sangat penting yaitu sebagai dasar untuk adanya kesalahan. Secara yuridis formal tidak ada batasan tentang kemampuan ini. Apabila dilihat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 44 ayat (1) hanya merumuskan secara negatif, mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu bertanggung jawab dengan berdasarkan dua alasan yaitu (a) jiwanya cacat dalam tumbuhnya, (b) jiwanya terganggu karena penyakit. Selanjutnya secara doktrin yaitu adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada dua hal, yaitu:8

1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (akal);

2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi (kehendak).

d. Kesalahan

Kesalahan berhubungan dengan pertanggung jawaban pidana, karena asas dalam pertanggungjawaban pidana adalah asas culpabilitas, yakni tidak dipidana tanpa ada kesalahan. Menurut Jonkers di dalam keterangannya tentang shuldbegrip (konsep kesalahan) membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan, yaitu (1) selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of shuld); (2) meliputi

8


(30)

18

juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid); (3) kemampuan bertanggung jawab (de wederrechtelijkheid).9

Pengertian di atas, tampak sekali terselip unsur melawan hukum yang terdapat dalam unsur kesalahan, apabila dikaitkan dengan pandangan tentang pengertian tindak pidana (Strafbaarfeit), maka unsur-unsur tindak pidana itu meliputi baik unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut unsur obyektif maupun unsur-unsur pembuatnya (pelaku) yang lazim disebut unsur subyektif. Oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pelaku maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi tindak pidana maka pasti pelakunya dapat dipidana.10

e. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Di dalam membahas tidak ada alasan pemaaf, terlebih dahulu dibahas alasan peniadaan pidana (strafuitsluitingsgronden) serta jenis alasan peniadaan pidana.11 Adapun alasan peniadaan pidana (Strafuitsluitingsgronden) dalam KUHP dibedakan dua golongan yaitu umum dan khusus.12

Menurut Pasal 44 ayat (1) KUHP orang yang menyebabkan peristiwa tidak dipidana karena: (a) jiwa/akal yang tumbuhnya tidak sempurna, (b) jiwa yang diganggu oleh penyakit, dimana pada waktu lahir sehat akan tetapi kemudian

9

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, cetakan ketiga, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 81

10

Muladi,dkk, Demokratisasi Hak Asasi manusia Dan reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hlm.50.

11

Mustafa Abdullah, dkk, Intisari HukumPidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm.68.

12Ibid


(31)

19

dihinggapi penyakit, seperti sakit gila. Apabila seseorang mempunyai penyakit seperti di atas maka perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Jonkers daya paksa itu berwajah tiga yaitu: bersifat mutlak, bersifat nisbi (arti sempit) dan overmacht dalam arti noodtoestand atau keadaan darurat. Dalam hal bersifat mutlak yaitu, orang yang terpaksa tidak mungkin dapat berbuat lain. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Dalam hal bersifat nisbi, orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk memilih berbuat yang lain, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan. Beda dengan absolut dan nisbi, kalau absolut orang yang memaksa itu yang berbuat, sebaliknya nisbi orang yang dipaksa itu yang berbuat. Dalam keadaan darurat, kepentingan hukum seseorang berada dalam keadaan bahaya, maka untuk mengelakkan bahaya itu terpaksa melanggar kepentingan hukum orang lain. Keadaan darurat ini terjadi karena, (1) terdapat pertentangan antara dua kepentingan hukum, (2) terdapat pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum. (3) terdapat pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas ada beberapa pakar-pakar hukum pidana menyatakan bahwa daya paksa itu dapat merupakan alasan pemaaf atau pembenar, antara lain pendapat dari Van Hattun dan Moeljatno, yang menyatakan bahwa dalam pasal 48 terdapat alasan pemaaf, dengan alasan apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh orang karena pengaruh daya paksa, otomatis fungsi batinnya tak dapat bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, makanya orang itu dimaafkan kesalahannya.13

13


(32)

20

Pasal 49 ayat (1) KUHP pembelaan terpaksa atau noodweer harus memenuhi beberapa syarat yaitu, (a) harus ada serangan; (b) ada pembelaan; artinya harus ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilanggar dengan kepentingan hukum yang dibela. Kepentingan hukum yang dibela hanya badan, kehormatan, harta sendiri maupun orang lain.14

Pasal 49 ayat (2) noodweer exces/pembelaan yang melampaui batas. Konstruksi perbuatan pembelaan dalam pasal 49 ayat (2) KUHP tersebut mempersyaratkan, bahwa pembelaan tersebut disebabkan adanya kegoncangan jiwa yang hebat. Pembelaan terpaksa melampaui batas yang tidak disebabkan adanya kegoncangan jiwanya yang hebat, tidak menghapuskan pidana.

Pasal 50 KUHP (Wettelijk voorschrif)/peraturan Undang-Undang

Dalam hal ini ditentukan bahwa tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan. Arti dari penentuan tersebuat, yaitu apa yang diperintahkan oleh sesuatu undang atau wewenang yang diberikan oleh sesuatu undang-undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap seperti suatu peristiwa pidana. Dalam hal ini adanya alasan pembenar, karena apa yang dilakukan oleh seseorang adalah benar ia melakukan karena adanya perintah dari undang-undang.

14


(33)

21

Pasal 51 (Perintah Jabatan (ambtelijk bevel)) Pasal 51 ayat (1) menyatakan:

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

Pasal 51 ayat (2) menyatakan::

Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Alasan peniadaan pidana secara khusus, dalam hal ini hanya berlaku terhadap delik-delik tertentu seperti Pasal 166 KUHP yang dihubungkan dengan Pasal 165 dan 164, tidak dapat diterapkan kepada orang-orang yang karena hubungan keluarga antara seseorang yang megetahui perbuatan suatu kejahatan dengan orang yang melakukan kejahatan tersebut.15

B. Pengertian Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 memberikan pengertian tentang hak asasi manusia yaitu: seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

15

Prodjohamidjojo Martiman, Memahami Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia Bagian 2, (Bandung: Pradnya paramita, 1997), hlm. 54.


(34)

22

Dasar hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Secara definitif, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak asasi juga bersifat supralegal, artinya tidak tergantung pada Negara atau undang-undang dasar, dan kekuasaan pemerintah, bahkan HAM memiliki kewenangan lebih tinggi karena berasal dari sumber yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Di Indonesia, hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada Hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME.

Hakekat penghormatan dan perlindungan tehadap HAM ialah menjaga keselamatan manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Hakekat dari asasi manusia adalah keterpaduan antara hak asasi manusia (HAM), kewajiban asasi manusia, dan tanggung jawab asasi manusia yang berlangsung secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsure asasi yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dan pergaulan global, dapat dipastikan tidak akan menimbulkan kekacauan, anarkisme, dan kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan umat.


(35)

23

C. Pengertian Pelanggaran HAM dan Jenis-Jenis Pelanggaran HAM

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.

Pelanggaran HAM dibedakan menjadi pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM biasa. Pengertian pelanggaran HAM yang berat pertama sekali muncul dalam hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7


(36)

Undang-24

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menentukan pelanggaran HAM yang berat meliputi:

a. kejahatan genoside;

b. kejahatan terhadap kemanusiaan.

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan tentang pengertian kejahatan genosida yaitu: setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau


(37)

25

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan;

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum;

i. penghilangan orang secara paksa, atau j. kejahatan apartheid.


(38)

26

Apabila dibandingkan rumusan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, dengan rumusan yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal

Court/ICC) adalah lebih singkat, karena hanya mengambil 2 (dua) elemen dari

yang terdapat di dalam ICC yaitu “kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan”, padahal yang digolongkan dalam kejahatan berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma menentukan: Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan, dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan sebagai berikut:

a. kejahatan genosida (the crime of genocide);

b. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); c. kejahatan perang (war crimes);

d. kejahatan agresi (the crime of aggression).

Kejahatan Perang dan Agresi tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kejahatan perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma digolongkan atas 4 (empat) kategori yaitu:

a. Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa.


(39)

27

b. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis kejahatan perang.

c. Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 4 (empat) jenis kejahatan perang.

d. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 12 (dua belas) jenis kejahatan perang spesifik.

Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2004, yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 392 sampai dengan Pasal 395.16 Oleh karena itu kalau RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur dalam Statuta Roma.17

Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma

16

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, (2004), hlm. 95-99.

17

Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana Nasional, (Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1), hlm. 100.


(40)

28

1998 dilaksanakan telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa:

thec crimes aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya

agresi menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya, oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis negara pihak.18

Selain pelanggaran HAM berat di atas, terdapat pula pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran HAM yang biasa, meliputi:

a. Pemukulan; b. Penganiayaan;

c. Pencemaran nama baik;

d. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya; dan e. Menghilangkan nyawa orang lain.

D. Pengertian Pertanggungjawaban Komando

Pembahasan tentang konsep pertanggungjawaban komando berlaku bagi seorang atasan dalam pengertian yang luas, termasuk kepala negara, kepala pemerintahan, menteri dan pimpinan perusahaan. Dalam doktrin hukum Internasional mengenai pertanggungjawaban komando adalah doktrin yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana secara individual yang dikembangkan melalui kebiasaan dan praktek-praktek pengadilan kejahatan perang, terutama seusai perang dunia ke-II.

18

Suwardi Martowinoto. Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, (Varia Peradilan, Jakarta, April, 2000, Edisi XV No. 175), hlm. 109.


(41)

29

Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada di bawah komando atau kendali efektifnya.

Pertanggungjawaban komando dalam doktrinnya dikenal adanya tiga lapis pertanggungjawaban komando yang dapat diterapkan pada para pemegang komando:

a. Lapis pertama, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut memerintahkan pasukannya yang berada dibawah komando dan kendali efektifnya untuk melakukan suatu kejahatan (crimes by commission).

b. Lapis kedua, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut mengetahui bahwa pasukannya tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan, tetapi yang bersangkutan tidak mencegahnya (crimes by omission).

c. Lapis ketiga, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bilamana dia tidak menindak pasukan yang berada dibawah komando dan kendali efektifnya yang telah melakukan kejahatan yang dalam hal ini berupa pelanggaran HAM berat utamanya kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.19

Pasal 42 ayat 1 (a) Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mensyaratkan penuntutan pertanggungjawaban komando bilamana ada unsur yang berupa seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu sendiri meliputi:

19

PLT Sihombing, Pertanggungjawaban Komando, (Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM Vol. 2 No. 2 November 2004), hlm. 13


(42)

30

a. kejahatan genosida; dan

b. kejahatan terhadap kemanusian.

Kategori kejahatan kemanusiaan yang dimaksud pada doktrin lapis ketiga pertanggungjawaban komando tercantum pada Pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.


(43)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Peneliti dalam melakukan penelitian ini mengunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan, yaitu pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian prilaku, pendapat dan sikap pihak-pihak yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan. Data primer dalam penelitian ini, diperoleh dengan mengadakan wawancara pihak-pihak yang terkait dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.


(44)

32

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan 4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, dan petunjuk pelaksanaan maupun teknis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini, yaitu antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti makalah, jurnal hukum, ensiklopedi, kamus dan bahan yang didapat dari internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini.


(45)

33

C. Penentuan Nara Sumber

Nara sumber dalam penelitian ini adalah anggota Kominasi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Jumlah nara sumber dalam penelitian ini adalah:

1. Komisioner Komnas HAM : 1 (satu) orang

2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 2 (dua) orang + Jumlah: 3 (tiga) orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menelaah bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang tersusun dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta ada kaitannya dengan permasalahan yang berkaitan dalam penulisan skripsi ini. b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data primer. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data primer tersebut dengan mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.


(46)

34

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas;

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan;

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasannya sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk uraian kalimat. Peneliti dalam mengambil kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(47)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada uraian bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi. Tanggung jawab komandan militer berdasarkan hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi TNI adalah setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Sebagai contoh, Komandan Batalyon sebagai atasan langsung dari Komandan Kompi, sedangkan Komandan Kompi merupakan atasan langsung dari Komandan Peleton, dan Komandan Peleton sebagai atasan langsung dari Komandan Regu. Komandan regu bertanggung jawab langsung terhadap Prajurit di bawah komandonya. Tetapi keterlibatan Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton secara bersama-sama bisa saja terjadi apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM, dalam Pasal 36 sampai Pasal 42


(48)

72

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada di bawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran secara aktual ataupun secara konstruktif; dan 4) komandan atau atasan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib (actus reus).

2. Faktor-faktor yang menghambat proses penyelesaian pelanggaran HAM, yaitu:

a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM berat khususnya Kasus Talang Sari sebagaimana telah diamanatkan dalm Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum proses penyelesaian pelanggaran HAM. Sarana atau fasilitas yang dimaksud di sini salah satunya adalah sarana yang digunakan untuk mendapatkan alat bukti yang dapat mengungkapkan aktor atau dalang dari kasus Talang Sari. Selain itu, kasus ini sudah lama terjadi sehingga untuk mendapatkan


(49)

73

bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung pembuktian di persidangan terasa sulit.

c. Faktor masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM, sehingga menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat untuk mengartikulasikan hak-haknya. Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia kurang memperdulikan proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi khususnya pada kasus Talang Sari. Ini dikarenakan kejadian tersebut sudah terjadi cukup lama.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, Peneliti menyarankan:

1. Sebaiknya aparat penegak hukum bersama pemerintah serius dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh militer seperti pada kasus Talang Sari dan mengadili aktor aatau pelakunya sesuai dengan undang-undang yang berlaku..

2. Sebaiknya pemerintah untuk sesegera mungkin menuntaskan berbagai peristiwa yang berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM patut disimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana para pelakunya dapat dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando, namun realitasnya mengakibatkan kontroversi yang hingga kini tidak jelas jelas penyelesaiannya.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2004.

Adami Chasawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel pidana, Tindak pidana,

Teori-teori pemidanaan dan batas berlakunya hukum Pidana) Bagian I,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008.

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi

Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996

Leden Marpaung, Unsur-unsur perbuatan yang dapat dihukum, Sinar Grafika, Jakarta,1991.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando

Suatu Telaah Teoritis, Jakarta, 2005

Moeljatno, Pertanggung Jawab Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987.

Muladi,dkk, Demokratisasi Hak Asasi manusia Dan reformasi Hukum Di

Indonesia, the Habibie Center, Jakarta, 2002.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1998.


(51)

Position Paper Advokasi RUU KUHP seri #7,dalam Ke arah Mana Pembahauan

KUHP?, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),

Jakarta, 2005.

Prodjohamidjojo Martiman, Memahami Dasar-dasar hukum Pidana

Indonesia Bagian 2, Pradnya paramita, Bandung, 1997.

PLT Sihombing, Pertanggungjawaban Komando, Jurnal HAM Komnas HAM Vol. 2 No. 2 Nopember 2004.

Roeslan Saleh, dalam Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua

pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, cetakan ketiga, Aksara Baru,

1983.

---, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia, Indonesia, 1982.

Sigit Riyanto, Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, Majalah Mimbar Hukum No.38/VI/2001 FH-UGM, Yogyakarta, 2001.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983.

Internet


(1)

34

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas;

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan;

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasannya sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk uraian kalimat. Peneliti dalam mengambil kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada uraian bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi. Tanggung jawab komandan militer berdasarkan hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi TNI adalah setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Sebagai contoh, Komandan Batalyon sebagai atasan langsung dari Komandan Kompi, sedangkan Komandan Kompi merupakan atasan langsung dari Komandan Peleton, dan Komandan Peleton sebagai atasan langsung dari Komandan Regu. Komandan regu bertanggung jawab langsung terhadap Prajurit di bawah komandonya. Tetapi keterlibatan Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton secara bersama-sama bisa saja terjadi apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM, dalam Pasal 36 sampai Pasal 42


(3)

72

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada di bawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran secara aktual ataupun secara konstruktif; dan 4) komandan atau atasan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib (actus reus).

2. Faktor-faktor yang menghambat proses penyelesaian pelanggaran HAM, yaitu:

a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM berat khususnya Kasus Talang Sari sebagaimana telah diamanatkan dalm Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum proses penyelesaian pelanggaran HAM. Sarana atau fasilitas yang dimaksud di sini salah satunya adalah sarana yang digunakan untuk mendapatkan alat bukti yang dapat mengungkapkan aktor atau dalang dari kasus Talang Sari. Selain itu, kasus ini sudah lama terjadi sehingga untuk mendapatkan


(4)

73

bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung pembuktian di persidangan terasa sulit.

c. Faktor masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM, sehingga menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat untuk mengartikulasikan hak-haknya. Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia kurang memperdulikan proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi khususnya pada kasus Talang Sari. Ini dikarenakan kejadian tersebut sudah terjadi cukup lama.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, Peneliti menyarankan:

1. Sebaiknya aparat penegak hukum bersama pemerintah serius dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh militer seperti pada kasus Talang Sari dan mengadili aktor aatau pelakunya sesuai dengan undang-undang yang berlaku..

2. Sebaiknya pemerintah untuk sesegera mungkin menuntaskan berbagai peristiwa yang berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM patut disimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana para pelakunya dapat dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando, namun realitasnya mengakibatkan kontroversi yang hingga kini tidak jelas jelas penyelesaiannya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2004.

Adami Chasawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel pidana, Tindak pidana, Teori-teori pemidanaan dan batas berlakunya hukum Pidana) Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008.

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996

Leden Marpaung, Unsur-unsur perbuatan yang dapat dihukum, Sinar Grafika, Jakarta,1991.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando Suatu Telaah Teoritis, Jakarta, 2005

Moeljatno, Pertanggung Jawab Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987.

Muladi,dkk, Demokratisasi Hak Asasi manusia Dan reformasi Hukum Di Indonesia, the Habibie Center, Jakarta, 2002.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1998.


(6)

Position Paper Advokasi RUU KUHP seri #7,dalam Ke arah Mana Pembahauan

KUHP?, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),

Jakarta, 2005.

Prodjohamidjojo Martiman, Memahami Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia Bagian 2, Pradnya paramita, Bandung, 1997.

PLT Sihombing, Pertanggungjawaban Komando, Jurnal HAM Komnas HAM Vol. 2 No. 2 Nopember 2004.

Roeslan Saleh, dalam Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, cetakan ketiga, Aksara Baru, 1983.

---, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia, Indonesia, 1982.

Sigit Riyanto, Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, Majalah Mimbar Hukum No.38/VI/2001 FH-UGM, Yogyakarta, 2001.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983.

Internet


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemny ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/Pn.Md

3 88 109

Tinjauaan Hukum Internasional Terhadap Perlakuan Diskriminatif terhadap Etnis Minoritas (studi kasus : Etnis Muslim Uighur di China)

10 98 125

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Persetujuan Istri Yang Sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)

2 54 126

Pertanggungjawaban Pidana Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Ciptaan yang Dilindungi Dalam UU No.19 Tahun 2002 (Studi Kasus No.3683/Pid.B/2008/PN.Mdn)”.

2 74 97

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)

4 126 126

Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46)

0 47 117

Aspek Hukum Peradilan Pidana In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi (Study Kasus Mantan Bupati...

0 27 3

Implementasi Instrumen Hak Asasi Manusia Dalam Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

0 0 2

Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP

0 0 63

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari) Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. Email: rizkywidhiartogmail.com. ABSTRAK - ANALISIS PERTANGGUNGJAW

0 4 16