17
b. Aspek kedua adalah agresi verbal, yaitu respons vokal yang
menyampaikan stimulus yang menyakiti mental atau psikis dalam bentuk penolakan dan ancaman. Seperti mengumpat, menyebarkan
cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat.
c. Aspek ketiga adalah kemarahan, yakni emosi negatif yang
disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Reaksi
emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri,
serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada syaraf otonomi, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian
simpatik dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatik atau jasmani maupun verbal atau
lisan. d.
Aspek keempat adalah hostility atau permusuhan, yakni tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan dan antagonisme
kepada pihak lain.
2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif
Buss Perry dalam Anderson Bushman, 2002 menyatakan faktor –
faktor yang mempengaruhi perilaku agresif. Faktor – faktor tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
18
1. Petunjuk Untuk Melakukan Tindakan Agresif Aggressive Cues
Aggresssive Cues adalah objek yang menimbulkan konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi dalam memori. Contohnya ketika seseorang
dihadapkan pada sebuah senjata, akan lebih agresif dibanding ketika dihadapkan dengan sebuah raket. Selain senjata, objek lain yang termasuk
dalam kategori ini adalah tayangan bermuatan kekerasan di televisi, film, dan video games.
2. Provokasi
Provokasi mencakup hinaan, ejekan, sindiran kasar, agresi fisik, gangguan gangguan yang menghambat pencapaian suatu tujuan dan
sejenisnya. Karyawan yang mendapatkan provokasi untuk mempersepsikan bahwa ia mendapat perlakuan yang tidak adil terbukti lebih agresif di tempat
kerjanya. 3.
Rasa Sakit dan Ketidaknyamanan Kondisi-kondisi fisik lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan
dapat meningkatkan agresivitas. Lingkungan yang bising, terlalu panas, ataupun berbau tidak sedap terbukti meningkatkan perilaku agresif.
4. Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan atau zat-zat seperti kafein atau alkohol dapat meningkatkan perilaku agresif secara tidak langsung. Individu yang berada di
bawah pengaruh alkohol ataupun zat psikotropika, lebih mudah terprovokasi, merasa frustrasi, ataupun menangkap petunjuk untuk melakukan kekerasan
dibanding individu yang tidak menggunakan zat-zat tersebut.
19
2.1.3. Pengukuran Perilaku Agresif
Dibutuhkan strategi-strategi pengukuran yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat perilaku agresif. Catatan perilaku agresif dapat diperoleh
melalui dua pendekatan umum, yaitu observasi dan bertanya Baron dan Richardson dalam Krahe, 2005.
1. Observasi
Tindakan observasional memudahkan pencatatan perilaku agresif pada saat perilaku itu berlangsung dalam konteks alamiah. Misalnya di
kalangan anak-anak ditempat bermain mereka di sekolah, atau di latar laboratoris yang dirancang dengan sengaja.
Variasi pengukuran perilaku agresif melalui observasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Observasi alamiah
Salah satu tujuan observasi dalam konteks alamiah adalah untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk agresi dalam setting
tertentu dan frekuensi kejadiannya. Pendekatan ini bisa disebut sebagai observasi naturalistik.
Sebagai contoh, Humpert dan Dann 1988 mencatat interaksi yang berhubungan dengan agresi selama pelajaran sekolah dengan
menggunakan sistem pengodean yang dikembangkan secara khusus, yang meliputi 10 kategori perilaku agresif, seperti merusak milik
teman sekelas, merampas benda-benda milik orang lain, mengamcam, dan menfitnah teman.
20
Dalam tipe pengukuran observasi alamiah, alur alamiah perilaku pertama-tama dicatat, kemudian dipecah menjadi unit-unit analisis
yang lebih kecil, dan yang terakhir dimasukkan ke dalam kategori- kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaan tentang kapan
dan dimana sampel perilaku diambil dan bagaiman cara menetapkan unit-unit analisis dasar, itu semua sangat penting dalam pendekatan
metodelogis ini. b.
Eksperimen lapangan Pengukuran dengan metode eksperimen lapangan menggabungkan
variasi sebuah variabel independen misalnya kekuatan suatu frustrasi dan efeknya terhadap sebuah variabel dependen misalnya intensitas
respon agresif. Metode ini dilakukan Baron 1976 dengan menggunakan situasi kemacetan lalu lintas biasa. Melalui eksperimen
ini, Baron melihat reaksi agresif pengemudi melalui penetapan berdasarkan latensi dan durasi membunyikan klakson untuk melihat
respons terhadap frustasi karena seorang eksperimen sengaja menghalangi mobilnya sehingga pengemudi tidak dapat menjalankan
mobilnya ketika lampu hijau sudah menyala. Contoh penggunaan eksperimen lapangan yang lain dalam
mengukur perilaku agresif misalnya dengan menggunakan situasi pada suatu antrean, orang-orang yang menunggu dalam antrean yang
merasa frustrasi karena seorang petugas eksperimen dengan sengaja
21
menyerobot antrean. Respons – respons agresif mereka dikaji sebagai
fungsi dari seberapa dekat mereka berusaha menuju antrean terdepan. c.
Ekperimen laboratoris Beberapa contoh eksperimen laboratoris yang sangat menonjol
dalam penelitian agresi dapat dilihat dari beberapa temuan seperti berikut:
1 Paradigma guru-murid
Milgram 1974 menggunakan eksperimen belajar dengan cara menunjuk seorang untuk memainkan peran guru yang harus
mempresentasikan tugas asosiasi kata kepada orang lain yang berperan sebagai murid. Untuk kesalahan yang dibuat oleh murid
akan diberikan hukuman oleh guru dengan menerapkan stimulus advertif kepada murid. Penunjukan kedua peran ini dilakukan
secara bergantian sehingga setiap responden berkesempatan memainkan peran guru, yang pilihan intensitas hukumannya
merupakan indeks kritis bagi perilaku agresifnya. 2
Paradigma evaluasi esai Pradigma ini diperkenalkan pertama kali oleh Berkowitz 1962.
Paradigma ini digunakan untuk menginvestigasi perilaku agresif sebagai respons terhadap frustasi atau provokasi yang telah dialami
sebelumnya. Subyek diminta menulis bagi sebuah tugas mengatasi masalah. Kemudian tugas tersebut akan dievaluasi yang akan
diekspresikan dalam bentuk jumlah kejutan listrik. Tanpa
22
memerdulikan kualitas solusi yang subjek tulis, masing – masing
subjek akan menerima satu sampai tujuh kejutan listrik. Dalam fase kedua peran dibalik subjek mendapat kesempatan untuk
mengevaluasi solusi yang dibut orang lain. Jumlah kejutan listrik yang diberilakan oleh subjek merupakan variabel dependen dan
menunjukkan kekuatan respon agresif mereka. 3
Paradigma boneka Bobo Bandura, Ross dan Ross 1963 dalam penelitiannya mengukur
perilaku agresif dengan cara memperlihatkan seorang model yang bertindak agresif terhadap boneka Bobo. Selanjutnya perilaku anak
terhadap boneka Bobo diobservasi dan diukur dalam bentuk frekuensi tindakan yang dilakukan.
4 Agresi verbal
Baron dan Richardson 1994 pengukuran perilaku agresif dilakukan dengan cara subjek dihadapkan pada sejumlah
manipulasi yang dirancang untuk memunculkan respon agresif. Setelah itu reaksi verbal mereka dicatat, baik secara respons bebas
yang nantinya akan dianalisis isi agresifnya maupun sebagai evaluasi terstandar dari orang yang memprovokasi reaksi agresif.
23
2. Bertanya
Pendekatan bertanya dibutuhkan untuk mengukur perilaku agresif yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi, misalnya
tindakan kekerasan, seperti serangan fisik, perkosaan, atau pembunuhan. Pada kasus semacam ini, peneliti harus bersandar pada metode meminta
laporan tentang perilaku, dan dalam konteks lain pernyataan penelitian perlu memfokuskan pada variabel-variabel internal, seperti pikiran dan
khayalan agresif, yang tidak dapat diobservasi. Variasi pengukuran perilaku agresif melalui metode bertanya dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.
Laporan diri tentang perilaku behavioral self-report Dalam metode ini, subjek diminta untuk memberikan keterangan
verbal mengenai perilaku agresif mereka sendiri, baik dalam konteks survei berskala besar maupun sebagai bagian dari penelitian uji
hipotesis. Berdasarkan tujuan pertanyaannya, subjek dapat diminta untuk melaporkan pola perilaku agresifnya secara umum, atau hanya
tindakan khusus pada ranah tertentu. Ukuran perilaku agresif umum itu diukur, misalnya dengan skala agresi fisik dan verbal dari
kuesioner agresi aggression questionnaire yang disusun oleh Buss dan Perry 1992.
Laporan diri mengenai perilaku agresif dapat dikombinasikan dengan laporan lain, misalnya untuk mengukur korespondensi antara
laporan diri dan laporan orang lain. Contoh skala yang dapat
24
digunakan adalah skala taktik konflik conflict tactics scale yang dikembangkan oleh Straus 1979 untuk mengukur kekerasan rumah
tangga. b.
Nominasi orang lainteman sebaya peerother nominations Metode ini telah digunakan oleh Eron, Husman 1972. Dalam
metode ini membutuhkan peran orang lain yang tahu banyak mengenai subjek diminta untuk menyumbangkan informasinya
mengenai subjek tersebut. Guru, orang tua, teman sebaya, yang memiliki pengetahuan tangan pertama mengenai perilaku agresif
subjek yang dimaksud, diminta membuat catatan perilaku, yang kemudian satu sama lain dapat dilihat konvergensinya dan
dibandingkan dengan laporan diri yang dibuat oleh subjek yang bersangkutan.
c. Catatan arsip
Peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai perilaku agresif yang dilakukan subjek dari data arsip yang dikumpulkan untuk
keperluan lain. Misalnya penelitian Anderson 1989 yang memakai statistik kriminalitas dan catatan suhu udara yang sangat relevan
dalam konteks penelitian agresi. d.
Skala kepribadian dan teknik proyektif Di luar permintaan untuk melaporkan agresi pada tingkat perilaku,
peneliti sering tertarik untuk meneliti kondisi kognitif dan afektif perilaku agresif serta mengidentifikasi perbedaan individual yang
25
bersifat tetap dalam disposisi tindakan agresif. Untuk memenuhi tujuan ini, digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama ada dalam
pengembangan skala kepribadian terstandar dimana responden diminta untuk mendiskripsikan tentang keadaan yang ada dalam
dirinya saat ini atau disposisi yang bersifat lebih menetap. Kuesioner agresi yang dikembangkan oleh Buss dan Perry 1992 berisi dua
skala semacam itu, yaitu mengukur amarah dan permusuhan. Perbedaan antara keadaan saat ini dan ciri sifat yang stabil
dicerminkan dalam state trait anger scale yang dikembangkan oleh Spielberger, Jacobs, Russel, dan Crane 1983.
Pendekatan kedua untuk mengeksplorasi faktor pendukung intrapersonal perilaku agresif melibatkan teknik-teknik proyektif.
Dalam metode ini subjek dihadapkan pada stimulus yang ambigu, seperti bercak-bercak tinta pada tes Rorschach atau picture frustration
test Rosenzweig, 1981. Berdasarkan rumusan tentang metode pengukuran perilaku agresif, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner perilaku agresif yang disusun oleh Buss dan Perry 1992. Melalui kuesioner ini, perilaku agresif diukur berdasarkan
skor yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner perilaku agresif yang berjumlah 29 item dengan ketentuan semakin tinggi skor yang diperoleh berarti
semakin tinggi tingkat perilaku agresif siswa, dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh berarti semakin rendah tingkat perilaku agresif siswa. Sementara
26
itu, pengukuran perilaku agresif juga dapat diidentifikasi melalui aspek agresi verbal, agresi fisik, kemarahan, dan permusuhan.
2.1.4. Upaya Bimbingan dan Konseling dalam Mengatasi Perilaku Agresif