34
pikirannya, rasa penasaran dan keinginan ada di video game. Kadang anak juga malas belajar atau sering membolos sekolah hanya untuk bermain video game.
b. Aspek kesehatan
Dari sisi kesehatan, pengaruh video game jelas banyak sekali dampaknya. Penyakit ini semacam nyeri sendi, yang apabila tidak ditangani secara serius
dampak yang terparah adalah menyebabkan kecacatan. c.
Aspek psikologi Berjam-jam duduk untuk bermain video game berdampak juga pada keadaan
psikis. Video game menimbulkan sensasi yang menyenangkan pada perasaan dan emosi yang memberikan dorongan yang sangat kuat untuk kembali bermain.
Sensasi itu timbul oleh rasa senang dan nyaman dalam permainan video game. Secara psikologik video game memberikan kepuasan namun pada gilirannya video
game memberi akibat yaitu seseorang menjadi tidak bisa mengontrol dirinya secara rasional untuk mengendalikan diri terhadap keinginan bermain video game,
secara psikologik subjek akan cenderung terobsesi dengan video game sehingga mencari objek untuk melampiaskan emosi, subjek akan mengungkapkan agresi
verbal.
d. Dampak sosial
Muncul keberanian dan perilaku melanggar janji bahkan aturan sosial dalam masyarakat, antara lain berbohong pada orang tua, tidak peduli terhadap orang tua
dan kewajiban sosial lainnya.
2.2.4. Pengertian Eksposur Kekerasan dalam Video Game
Pengertian eksposur kekerasan dalam video game dapat dijelaskan melalui teori belajar observasional Bandura. Hal ini dikarenakan peneliti menggunakan
kuesioner yang dikembangkan oleh Anderson dan Dill 2000 yang mengacu pada teori belajar observasional Bandura sebagai instrumen untuk mengukur eksposur
kekerasan dalam video game. Teori belajar observasional memiliki asumsi dasar bahwa sebagian besar
perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan observasi dan meniru atas perilaku yang ditampilkan oleh model yang ada disekitarnya
Bandura dalam Koeswara, 1988. Dalam teori Bandura model adalah apa saja
35
yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi, pameran, gambar, video game, atau instruksi Hergenhahn, 2008.
Menurut Bandura dalam Koeswara, 1988 dalam belajar observasional terdapat empat proses yang satu sama lain berkaitan, yakni:
1. Proses atensional, yakni proses individu tertarik untuk memerhatikan
atau mengamati perilaku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.
Model yang sering tampil dan memiliki karakteristik yang menarik dimata pengamat, atau memiliki pengaruh terhadap individu, lebih
mudah mengundang perhatian pengamat dibandingkan dengan model yang jarang tampil, tidak menarik, atau tidak memiliki pengaruh.
2. Proses retensi, yakni proses individu menyimpan perilaku model yang
telah diamatinya didalam ingatannya, baik melalui kode verbal maupun kode imajinal atau pembayangan gerak.
3. Proses reproduksi, yaitu proses individu mencoba mengungkap ulang
perilaku model yang telah diamatinya. Pengungkapulangan atau reproduksi perilaku model ini pada mulanya bersifat kaku dan kasar,
tetapi dengan pengulangan yang intensif lambat laun induvidu bisa mengungkapkan perilaku model itu dengan sempurna atau setidaknya
mendekati perilaku model. 4.
Proses motivasional dan perkuatan. Perilaku yang telah diamati tidak akan diungkapkan oleh individu apabila individu kurang termotivasi.
Seperti teoris belajar umumnya, Bandura percaya bahwa perkuatan
36
positif bisa memotivasi individu kearah pengungkapan perilaku, dalam hal ini perilaku yang telah diamati. Disamping itu perkuatan juga
memengaruhi proses atensional individu. Artinya, individu lebih tertarik untuk mengamati dan mencontoh perilaku yang menghasikan
perkuatan yang besar dibandingkan denga perilaku yang menghasilkan perkuatan yang kecil.
Untuk menjelaskan belajar observasional observasional learning Bandura dalam Koeswara, 1988 melakukan percobaan terhadap dua kelompok
anak. Kelompok I disuruh melihat perilaku model, yaitu sekelompok orang dewasa yang berebut menyerbu bola. Kemudian kelompok II tidak disuruh
melihat model. Kemudian kelompok I dan II disuruh memasuki suatu ruangan yang didalamnya terdapat boneka yang lucu-lucu. Hasilnya terdapat perbedaan
perilaku anak dari kelompok I dan II. Kelompok I secara beramai-ramai menyerbu boneka dan kelompok II tidak menyerbu boneka. Kesimpulan yang dapat diambil
dari percobaan itu ialah bahwa derajat imitasi peniruan dari anak sangat tergantung dari dua hal yaitu:
1. Karakteristik penonton : anak yang memerhatikan dengan sungguh-
sungguh perilaku sebuah model, cara menirunya berbeda dengan yang tidak sungguh-sungguh.
2. Karakteristik model : model yang disenangi atau mempunyai status
tertentu, lebih diperhatikan dari pada model yang pribadinya tidak disenangi atau kurang bermanfaat bagi anak.
37
Dalam teori belajar observasional memberikan sebuah kerangka teoritis untuk melihat pengaruh eksposur kekerasan dalam video game terhadap perilaku
agresif. Dalam teori belajar observasional, video game merupakan salah satu contoh model yang ada disekitar individu. Adegan kekerasan dalam video game
jenis kekerasan, seperti pembunuhan, perusakan, dan perilaku lain yang mencelakakan atau menyakiti subjek atau orang lain adalah bagian yang
umumnya dianggap menarik dalam sebuah tayangan video game Baron, dkk, 2006. Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis akan menyebabkan
orang makin terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan daripada mencari solusi alternatif Bandura, 1986. Kekerasan bukan hanya digambarkan bisa
membuahkan hasil, tetapi juga sering dipakai oleh tokoh pahlawan, yang menghabisi musuhnya dengan cepat seolah-olah nyawa tidak ada harganya sama
sekali. Adegan-adegan kekerasan dalam video game digemari pemain sehingga frekuensi dan intensitas kemunculannya makin meningkat. Oleh karenanya model
berupa kekerasan yang ditampilkan dalam video game dapat menjadi teladan perilaku agresif bagi pemainnya. Anderson Dill 2000 menyatakan bahwa efek
bermain video game jenis kekerasan memiliki potensi merugikan yang lebih besar dibandingkan kekerasan di film bioskop atau di televisi. Hal ini disebabkan
pertama, bermain video game mengharuskan pemainnya mangadopsi peran penyerang dan bertindak menurut sudut pandang penyerang di sepanjang
permainan. Kedua, video game memaksa pemain untuk berpartisipasi aktif dan bukan sekedar menjadi penerima pasif. Ketiga, permainan itu bersifat adiktif
38
menimbulkan ketergantungan karena mediumnya tersedia secara konstan dan bersifat menguatkan.
Dengan mengacu pada teori Bandura, dalam penelitian ini peneliti membuat definisi operasional bahwa eksposur kekerasan dalam video game
didefinisikan sebagai frekuensi dan intensitas seseorang bermain video game jenis kekerasan sehingga dapat mengimitasi atau meniru agresi yang dilihatnya. Dalam
hal ini frekuensi diartikan sebagai keseringan atau lama waktu yang dibutuhkan oleh individu dalam bermain video game. Intensitas adalah tingkat atau kadar
kekerasan yang diterima oleh individu dari tayangan video game. Imitasi atau meniru adalah suatu proses melakukan tindakan maupun aksi atensional, retensi,
reproduksi dan motivasi seperti yang dilakukan oleh model berupa video game berjenis kekerasan.
2.2.5. Pengukuran Eksposur Kekerasan dalam Video game