4. Rakai Warak alias Samaragrawira 5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya 7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang 9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa 11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa 13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya 15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Kuno berakhir
e. Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Mataram Kuno
Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas
perekonominan dengan pesat. Bumi Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara dengan hasil budayanya berupa candi-candi seperti Gedong Songo dan Dieng. Dinasti
Syailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan, dan hasil budayanya dengan mendirikan candi-candi seperti candi Borobudur, Mendut, dan
Pawon.
Semula terjadi perebutan kekuasan namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan antara Pikatan Sanjaya yang beragama Hindu dengan
Pramodhawardhani Syailendra yang beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingn secara damai.
2. Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri yang juga disebut Kerajaan Panjalu adalah sebuah kerajaan dengan corak Hindu-Budha. Kerajaan yang berdiri pada tahun 1042 ini merupakan bagian dari
kerajaan yang lebih besar, yaitu Kerajaan Mataram Kuno, dan pusat kerajaannya terletak di tepi sungai Brantas yang merupakan jalur pelayaran besar pada masa itu. Sejarah
Kerajaan Kediri banyak diketahui orang karena peristiwa pemberontakan oleh Ken Arok.
a. Sejarah Berdirinya Kerajaan Kediri
Pada tahun 1019, Airlangga berhasil naik menjadi raja Medang Kamulan. Saat sedang memerintah, Airlangga berhasil mengembalikan kewibawaan Medang
Kamulan dan akhirnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Kahuripan. Pada tahun 1041, Airlangga memerintahkan kerajaan untuk dibagi menjadi dua bagian.
Pembagian itu dilakukan oleh Mpu Bharada, Brahmana yang terkenal sakti. Dua kerajaan yang terbelah tadi lalu dikenal sebagai Jenggala Kahuripan dan Panjalu
Kediri dan dipisahkan oleh gunung Kawi dan Sungai Brantas. Meskipun tujuan awal Airlangga memecah kerajaan menjadi dua adalah agar tidak ada perebutan
kekuasaan, pada praktiknya kedua putra Airlangga tetap bersaing bahkan setelah mereka masing-masing diberi kerajaan sendiri.
b. Perkembangan dan Runtuhnya Kerajaan Kediri
Raja Kediri yang pertama bernama Mapanji Garasakan dan ia tidak memerintah begitu lama, sehingga hampir tidak ada informasi yang cukup banyak
tentangnya. Beliau kemudian digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung pada tahun 1052 dan kembali digantikan oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Karena pertempuran
yang terus berlanjut antara Jenggala dan Panjalu, berita tentang kedua
kerajaan tersebut hilang selama 60 tahun, hingga akhirnya muncul nama Raja Bameswara
pada tahun 1116 yang memerintah hingga tahun 1135. Pada masa itu, pusat pemerintahan tidak lagi berada di Daha melainkan sudah dipindah ke Kediri dan
sejak saat itu Panjalu lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri.
Jatuhnya Kerajaan Jenggala tertulis dalam prasasti Ngantang di tahun 1135. Kejadian ini berlangsung saat Sri Jayabhaya memerintah, dan membuat satu
semboyan yang terkenal yaitu Panjalu Jayati, yang berarti Panjalu menang. Pada masa pemerintahannya juga Kediri mengalami masa keemasannya dimana
wilayahnya meluas hingga seluruh pulau Jawa dan beberapa pulau lain di nusantara. Hal ini juga ditegaskan lewat kronik Tiongkok dengan judul Ling wai
tai ta pada tahun 1178 yang ditulis oleh Chou Ku-fei. Kronik Tiongkok tersebut menceritakan bahwa Jawa adalah negeri paling kaya setelah Tiongkok dan Arab,
bahkan mengungguli Sumatra.
Setelah masa pemerintahan Jayabhaya berakhir pada tahun 1159, Raja Sarweswara naik tahta dan memulai pemerintahannya selama 10 tahun. Sayangnya,
tidak banyak informasi yang tertulis tentang Raja Sarweswara karena terbatasnya jumlah peninggalan yang ditemukan. Salah satu informasi yang dimiliki tentang
Raja Sarweswara adalah ia menggunakan lencana kerajaan berbentuk Ganesha.
Menurut prasasti Angin yang bercerita tentang kisah di tahun 1171, Sri Aryeswara maju untuk menggantikan Sarweswara. Tidak ada yang tahu pasti
kapan Aryeswara naik takhta karena lagi-lagi kurangnya informasi sejarah kerajaan Kediri tentang Aryeswara, yang diketahui hanyalah bahwa lambang Kediri saat itu
tetap berbentuk Ganesha. Sri Ganda menggantikan Aryeswara sebagai raja pada tahun 1181 yang diketahui dari prasasti Jaring. Prasasti tersebut menceritakan
tentang penggunaan nama hewan untuk gelar pangkat.
Pada 1182, Kameswara maju untuk menggantikan Sri Gandra. Sebelum munculnya Kameswara, tidak ada berita yang jelas tentang siapa yang menjadi
Raja Kediri. Pada masa ini, Mpu Darmaja membuat sebuah kitab berisi pemujaan pada raja, yang diberi nama Kitab Kakawin Smaradahana. Kitab Lubdaka yang
bercerita tentang pemburu yang masuk surga dan Wretasancaya yang berisi tentang tembang Jawa kuno yang juga ditulis oleh Mpu Tan Alung di masa pemerintahan
Kameswara.
Raja terakhir yang memerintah dalam sejarah kerajaan Kediri adalah Raja Kertajaya yang juga dikenal dengan sebutan Dandang Gendis. Kisah tentang
Kertajaya yang membuka pintu runtuhnya Kerajaan Kediri tertulis dalam Negarakertagama. Alkisah, Kertajaya berselisih dengan kaum Brahmana yang
akhirnya meminta bantuan Ken Arok yang kebetulan memiliki cita-cita untuk
membuat Tumapel yang saat itu adalah bawahan Kediri merdeka. Perang dengan Tumapel inilah yang akhirnya mengakhiri masa Kerajaan Kediri.
3. Kerajaan Singasari