BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kajian
Muhammad adalah sosok teladan hidup bagi orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu langsung maka cara meneladaninya dapat
mereka lakukan secara langsung, sedang bagi mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah saw, cara mereka meneladaninya dengan mengkaji, memahami dan
mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam sunnah atau hadis Nabi.
1
Sesuai pernyataan di atas jelaslah bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam.
Di antara kelebihan yang ditunjukkan Nabi Muhammad adalah otoritasnya sebagai penjelas lebih lanjut tentang apa yang ada di dalam Al-Quran,
kitab suci yang paling baik dan lengkap. Betapa pentingnya penjelas dan penjabaran Nabi, sehingga menjadi bahasan atau kajian serius bagi kalangan
kaum terpelajar Islam.
2
Hal itu dilakukan sebagai bentuk pembuktian bahwa mana yang sesungguhnya – kata-kata yang jumlahnya ratusan ribu – yang betul-
betul bersumber dari manusia pilihan itu. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al-Quran surat an-Nahl ayat 44:
1 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal. 9
2 Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 27
1
مهههيلإ لزههن اههم ساههننلل ّنينبههتل رّكذنههلا كههيلا انلزنأو رّبزنلاو تانينبلاّب نورك
ن فتي مهلنعلو
“Keterangan-keterangan mu`jizat dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. Q.S. An- Nahl: 44
3
Dalam catatan sejarah, Hadis Nabi yang notabene adalah perkataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal yang disandarkan pada Muhammad
4
tidak semuanya tertulis pada zaman Nabi masih hidup, hal itu dikarenakan Nabi
melarang menulisnya. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis beliau. Hal itu terbukti dengan dimilikinya catatan-catatan
hadis oleh kalangan sahabat Nabi di antaranya Ali bin Abi Thalib w. 40 H, Sumrah bin Jundab w. 60 H, Abdullah Amr bin Ash w. 65 H, Abdullah ibn
Abbas w. 69 H, Jabir bin Abdullah al Anshari w. 78 H, dan Abdullah bin Abiy Awfa’ w. 86 H.
5
Akan tetapi tidak berarti semua hadis telah terhimpun oleh para sahabat di atas. Hal itu sangatlah wajar dikarenakan catatan yang dibuat para
sahabat di atas adalah kehendaknya sendiri dan juga memakai metode yang beragam. Sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti dan mencatat apa saja
yang berasal dari Nabi. Dengan kenyataan tersebut, hadis Nabi yang berkembang pada zaman
Nabi lebih banyak berlangsung secara hafalan daripada tulisan. Hal ini sesuai
3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Karya Toha Putra, 1995, hal. 408
4 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hal. 27
5 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian…., hal. 11
dengan tradisi bangsa Arab yang lebih suka hafalan daripada tulis menulis. Ketentuan mengenai larangan menulis hadis di satu sisi dan membolehkan
menulis hadis di sisi yang lain, dilakukan Nabi dengan pertimbangan bahwa sebagian besar ayat-ayat Al-Quran sudah turun dan sudah banyak para sahabat
yang menghafalnya, sehingga Rasulullah merasa tidak khawatir lagi akan bercampur aduk di antara keduanya. Pemberian ijin penulisan hadis tertuang
dalam sabdanya sebagai berikut:
ق ق حح ل
ل اا ههننما جهرهخنيح احم هادايحّبا ِىس ا فننح ِىذاللا وحفح ب
ن تهّك ن اه
.
6
“Tulis Demi Dzat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar daripada- Nya kecuali yang benar hak”.
Hal tentang pembolehan para sahabat melakukan penulisan hadis ditanggapi serius oleh para sahabat sehingga sepeninggal beliau para sahabat
berupaya keras mencari, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis yang ditulis oleh sebagian sahabat untuk kemudian digabungkan dan dicocokkan
dengan hafalan mereka. Perkembangan penulisan hadis berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin dan pemerintahan khilafah seterusnya.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib disinyalir awal kemunculan hadis palsu. Hadis palsu yang muncul pada masa itu dipengaruhi oleh faktor politik.
Ketegangan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah menyebabkan banyaknya bermunculan hadis palsu. Hal itu demi
mempertahankan dan membela golongan masing-masing. Setelah itu banyak
6 Sunan Abi Daud, juz III, hal. 318-319; Sunan ad Darimi, juz I, h.125; Musnad Ahmad, juz II, h.162
sekali faktor-faktor yang menjadi kemunculan hadis palsu di antaranya kepentingan membela aliran teologi, membela madhab fiqh, memikat hati orang
yang mendengarnya, untuk menjadikan orang lain lebih zahid, mendorong orang lain lebih rajin melakukan ibadah tertentu dan untuk menghancurkan agama
Islam.
7
Berbagai upaya pemalsuan hadis tersebut telah menyulitkan umat Islam saat ini yang ingin mengetahui berbagai riwayat hadis yang benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sungguh merupakan anugerah yang luar biasa dan tiada taranya bahwa ternyata para ulama
hadis telah bekerja keras menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari “kehancuran”. Dalam hal ini kritik sanad dan matan sangatlah penting demi mengetahui
keotentikan suatu hadis. Berbagai kaidah dan ilmu hadis yang telah diciptakan oleh ulama hadis
telah dituangkan dalam berbagai kitab untuk kepentingan penelitian hadis. Hal itu terjadi pada pertengahan abad 4 H pada masa kekuasaan Dinasti Abasiyah yang
dipelopori oleh Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi dengan karyanya yang monumental dalam bidang hadis yaitu Al-Muhaddis Fashil Baina ar-Rawi wa al-
Wa’i. Yang pada masa berikutnya diikuti para tokoh seperti Imam al-Hakim an- Naysaburi, al-Khatib al-Baghdadi al-Qadhi Iyadh. Jasa keilmuan para ulama di
7 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 20
atas patutlah diberi pengargaan karena telah mampu membangun pondasi awal tentang Ulum al-Hadis.
8
Dengan telah terjadinya berbagai pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan penelitian hadis sangatlah penting. Demi menyelamatkan hadis di
tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu. Hal itu bertujuan untuk meneliti keshahihan sanad dan matan hadis. Sedangkan untuk kepentingan
penelitian tersebut disusunlah kaidah keshahihan sanad hadits sehingga ditemukanlah hadis yang mempunyai taraf sahih, hasan dan daif. Dengan
demikian banyak hadis yang mardud tertolak karena cacat pada matan dan sanadnya.
Untuk itulah, maka penelitian terhadap suatu hadis guna mengetahui tingkat validitasnya sangat signifikan, agar suatu hadis dapat diketahui apakah
dapat dijadikan hujjah atau tidak dalam menetapkan hukum. Langkah yang harus ditempuh adalah penelitian ulang terhadap hadis-hadis terutama dari segi
sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrij.
9
Dalam pada itu, penulis pernah mendengar suatu hadis tentang kebolehan melaksanakan shalat jama’ dalam keadaan muqim dari salah satu dosen STAIN
Tulungagung. Awalnya, terlepas dari status kualitas hadis tersebut apakah shahih atau dhaif, dapat dijadikan hujjah atau tidak, hadis tentang shalat jama’ tersebut
terkesan kontroversi dengan pemahaman penulis. Selama ini, informasi yang
8 Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2004, hal. 36
9 Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian…, hal. 27
telah beredar di masyarakat - terkait dengan madhab yang dianut sebagian besar penduduk di negara Indonesia adalah madhab Syafi’i - dan juga sepengetahuan
penulis bahwa salah satu kemudahan rukhsah yang diberikan Nabi Muhammad SAW adalah menjama’ shalat menggabungkan dua shalat fardu ke dalam satu
waktu, dan hal itu dapat dilaksanakan dengan syarat di antaranya dalam keadaan bepergian dengan jarak minimal 89 km
10
dan atau dalam keadaan takut khauf sewaktu dalam peperangan ataupun lainnya. Tidak hanya itu saja, penulis juga
mengadakan penelusuran dengan bertanya pada beberapa orang, masing-masing dari mereka adalah lulusan pondok pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, santri
pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in Ngunut, Tulungagung, lulusan atau alumni pondok pesantren Al-Islahiyyah Mayan, Kediri. Mereka memaparkan
kepada penulis bahwa belum pernah menjumpai atau mengkaji hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat zuhur dengan ashar dan shalat maghrib
dengan isya’ dalam keadaan muqim tidak sedang bepergian ataupun dalam keadaan takut.
Selain itu, kajian secara akademis baik dalam perkuliahan maupun dialog dan diskusi di luar perkuliahan belum pernah penulis jumpai yang membahas
secara detail tentang tema hadis tersebut baik dari segi matan ataupun sanad. Selama ini yang sering penulis jumpai adalah pembahasan tentang berapa jarak
diperbolehkannya menjama’ dan mengqasar shalat jika sedang bepergian. 10
Alimin Koto El-Majid, Tuntunan Safar, Jakarta: Sahara Publishers, 2006, hal. 218
Bagaimana jika jarak yang ditentukan dapat ditempuh dengan waktu yang singkat? dan sebagainya.
Dari fakta di atas, menjadikan kegundahan tersendiri bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti ulang hadis tersebut, bagaimana sebenarnya status kualitas
hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim baik ditinjau dari segi sanad hadis dan dari segi matan hadis, juga bagaimana pula
pemahaman kita terkait implikasi dan relevansi hadis tersebut, yang penulis
rumuskan dalam suatu judul skripsi yaitu: “Pemahaman Hadis tentang Diperbolehkannya Menjama’ Shalat dalam Keadaan Muqim Telaah Ma’anil
Hadis dengan Pendekatan Sosio-Historis”
B. Rumusan Masalah