PEMAHAMAN HADIS TENTANG DIPERBOLEHKANYA MENJAMA’ SHALAT DALAM KEADAAN MUQIM (TELAAH MA’ANIL HADIS DENGAN PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS - Institutional Repository of IAIN Tulungagung REVISI BAB I

(1)

A. Latar Belakang Kajian

Muhammad adalah sosok teladan hidup bagi orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu langsung maka cara meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung, sedang bagi mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah saw, cara mereka meneladaninya dengan mengkaji, memahami dan mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam sunnah atau hadis Nabi.1 Sesuai

pernyataan di atas jelaslah bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam.

Di antara kelebihan yang ditunjukkan Nabi Muhammad adalah otoritasnya sebagai penjelas lebih lanjut tentang apa yang ada di dalam Al-Qur'an, kitab suci yang paling baik dan lengkap. Betapa pentingnya penjelas dan penjabaran Nabi, sehingga menjadi bahasan atau kajian serius bagi kalangan kaum terpelajar Islam.2 Hal itu dilakukan sebagai bentuk pembuktian bahwa

mana yang sesungguhnya – kata-kata yang jumlahnya ratusan ribu – yang betul-betul bersumber dari manusia pilihan itu. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 44:

1 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 9

2 Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 27


(2)

مهههيلإ لزههن اههم ساههننلل ّنينبههتل رّكذنههلا كههيلا انلزنأو رّبزنلاو تانينبلاّب

نورك

ن فتي مهلنعلو

“Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Q.S. An-Nahl: 44)3

Dalam catatan sejarah, Hadis Nabi yang notabene adalah perkataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal yang disandarkan pada Muhammad4 tidak

semuanya tertulis pada zaman Nabi masih hidup, hal itu dikarenakan Nabi melarang menulisnya. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis beliau. Hal itu terbukti dengan dimilikinya catatan-catatan hadis oleh kalangan sahabat Nabi di antaranya Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Sumrah bin Jundab (w. 60 H), Abdullah Amr bin Ash (w. 65 H), Abdullah ibn Abbas (w. 69 H), Jabir bin Abdullah al Anshari (w. 78 H), dan Abdullah bin Abiy Awfa’ (w. 86 H).5 Akan tetapi tidak berarti semua hadis telah terhimpun oleh para

sahabat di atas. Hal itu sangatlah wajar dikarenakan catatan yang dibuat para sahabat di atas adalah kehendaknya sendiri dan juga memakai metode yang beragam. Sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti dan mencatat apa saja yang berasal dari Nabi.

Dengan kenyataan tersebut, hadis Nabi yang berkembang pada zaman Nabi lebih banyak berlangsung secara hafalan daripada tulisan. Hal ini sesuai 3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 1995), hal. 408

4 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 27


(3)

dengan tradisi bangsa Arab yang lebih suka hafalan daripada tulis menulis. Ketentuan mengenai larangan menulis hadis di satu sisi dan membolehkan menulis hadis di sisi yang lain, dilakukan Nabi dengan pertimbangan bahwa sebagian besar ayat-ayat Al-Qur'an sudah turun dan sudah banyak para sahabat yang menghafalnya, sehingga Rasulullah merasa tidak khawatir lagi akan bercampur aduk di antara keduanya. Pemberian ijin penulisan hadis tertuang dalam sabdanya sebagai berikut:

ق

ق حح ل

ل اا ههننما جهرهخنيح احم هادايحّبا ِىس

ا فننح ِىذاللا وحفح ! ب

ن تهّك

ن اه

.

6

“Tulis! Demi Dzat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar daripada-Nya kecuali yang benar (hak)”.

Hal tentang pembolehan para sahabat melakukan penulisan hadis ditanggapi serius oleh para sahabat sehingga sepeninggal beliau para sahabat berupaya keras mencari, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis yang ditulis oleh sebagian sahabat untuk kemudian digabungkan dan dicocokkan dengan hafalan mereka. Perkembangan penulisan hadis berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin dan pemerintahan khilafah seterusnya.

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib disinyalir awal kemunculan hadis palsu. Hadis palsu yang muncul pada masa itu dipengaruhi oleh faktor politik. Ketegangan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah menyebabkan banyaknya bermunculan hadis palsu. Hal itu demi mempertahankan dan membela golongan masing-masing. Setelah itu banyak 6 Sunan Abi Daud, juz III, hal. 318-319; Sunan ad Darimi, juz I, h.125; Musnad Ahmad, juz II, h.162


(4)

sekali faktor-faktor yang menjadi kemunculan hadis palsu di antaranya kepentingan membela aliran teologi, membela madhab fiqh, memikat hati orang yang mendengarnya, untuk menjadikan orang lain lebih zahid, mendorong orang lain lebih rajin melakukan ibadah tertentu dan untuk menghancurkan agama Islam.7

Berbagai upaya pemalsuan hadis tersebut telah menyulitkan umat Islam saat ini yang ingin mengetahui berbagai riwayat hadis yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sungguh merupakan anugerah yang luar biasa dan tiada taranya bahwa ternyata para ulama hadis telah bekerja keras menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari “kehancuran”. Dalam hal ini kritik sanad dan matan sangatlah penting demi mengetahui keotentikan suatu hadis.

Berbagai kaidah dan ilmu hadis yang telah diciptakan oleh ulama hadis telah dituangkan dalam berbagai kitab untuk kepentingan penelitian hadis. Hal itu terjadi pada pertengahan abad 4 H pada masa kekuasaan Dinasti Abasiyah yang dipelopori oleh Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi dengan karyanya yang monumental dalam bidang hadis yaitu Al-Muhaddis Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’i. Yang pada masa berikutnya diikuti para tokoh seperti Imam al-Hakim an-Naysaburi, al-Khatib al-Baghdadi al-Qadhi Iyadh. Jasa keilmuan para ulama di

7 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 20


(5)

atas patutlah diberi pengargaan karena telah mampu membangun pondasi awal tentang Ulum al-Hadis.8

Dengan telah terjadinya berbagai pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan penelitian hadis sangatlah penting. Demi menyelamatkan hadis di tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu. Hal itu bertujuan untuk meneliti keshahihan sanad dan matan hadis. Sedangkan untuk kepentingan penelitian tersebut disusunlah kaidah keshahihan sanad hadits sehingga ditemukanlah hadis yang mempunyai taraf sahih, hasan dan daif. Dengan demikian banyak hadis yang mardud (tertolak) karena cacat pada matan dan sanadnya.

Untuk itulah, maka penelitian terhadap suatu hadis guna mengetahui tingkat validitasnya sangat signifikan, agar suatu hadis dapat diketahui apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak dalam menetapkan hukum. Langkah yang harus ditempuh adalah penelitian ulang terhadap hadis-hadis terutama dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrij.9

Dalam pada itu, penulis pernah mendengar suatu hadis tentang kebolehan melaksanakan shalat jama’ dalam keadaan muqim dari salah satu dosen STAIN Tulungagung. Awalnya, terlepas dari status kualitas hadis tersebut apakah shahih atau dhaif, dapat dijadikan hujjah atau tidak, hadis tentang shalat jama’ tersebut terkesan kontroversi dengan pemahaman penulis. Selama ini, informasi yang 8 Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik sampai Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 36


(6)

telah beredar di masyarakat - (terkait dengan madhab yang dianut sebagian besar penduduk di negara Indonesia adalah madhab Syafi’i) - dan juga sepengetahuan penulis bahwa salah satu kemudahan (rukhsah) yang diberikan Nabi Muhammad SAW adalah menjama’ shalat (menggabungkan dua shalat fardu ke dalam satu waktu), dan hal itu dapat dilaksanakan dengan syarat di antaranya dalam keadaan bepergian dengan jarak minimal 89 km10 dan atau dalam keadaan takut (khauf)

sewaktu dalam peperangan ataupun lainnya. Tidak hanya itu saja, penulis juga mengadakan penelusuran dengan bertanya pada beberapa orang, masing-masing dari mereka adalah lulusan pondok pesantren Al-Falah (Ploso, Kediri), santri pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in (Ngunut, Tulungagung), lulusan atau alumni pondok pesantren Al-Islahiyyah (Mayan, Kediri). Mereka memaparkan kepada penulis bahwa belum pernah menjumpai atau mengkaji hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat zuhur dengan ashar dan shalat maghrib dengan isya’ dalam keadaan muqim (tidak sedang bepergian ataupun dalam keadaan takut).

Selain itu, kajian secara akademis baik dalam perkuliahan maupun dialog dan diskusi di luar perkuliahan belum pernah penulis jumpai yang membahas secara detail tentang tema hadis tersebut baik dari segi matan ataupun sanad. Selama ini yang sering penulis jumpai adalah pembahasan tentang berapa jarak diperbolehkannya menjama’ dan mengqasar shalat jika sedang bepergian.


(7)

Bagaimana jika jarak yang ditentukan dapat ditempuh dengan waktu yang singkat? dan sebagainya.

Dari fakta di atas, menjadikan kegundahan tersendiri bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti ulang hadis tersebut, bagaimana sebenarnya status kualitas hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim baik ditinjau dari segi sanad hadis dan dari segi matan hadis, juga bagaimana pula pemahaman kita terkait implikasi dan relevansi hadis tersebut, yang penulis rumuskan dalam suatu judul skripsi yaitu: “Pemahaman Hadis tentang Diperbolehkannya Menjama’ Shalat dalam Keadaan Muqim (Telaah Ma’anil Hadis dengan Pendekatan Sosio-Historis)”

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, penulisan skripsi mengenai pemahaman hadits tentang diperbolehkannya menjama’ shalat zuhur dengan shalat ashar dan shalat maghrib dengan shalat isya’ diarahkan pada pembahasan dan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas sanad hadis diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim?

2. Bagaimana kualitas matan hadis diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim ?

3. Bagaimana pemahaman yang tepat tentang hadis diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim?


(8)

4. Bagaimana implikasi dan relevansi hadis tentang diperbolehkannya menjama’

shalat dalam keadaan muqim?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari kajian kepustakaan ma’ani hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat zuhur dengan shalat ashar dan shalat maghrib dengan shalat isya’ dalam keadaan muqim (tanpa bepergian) adalah:

1. Untuk mengetahui kualitas sanad hadis tentang diperbolehkannya menjama’

shalat dalam keadaan muqim

2. Untuk mengetahui kualitas matan hadis tentang diperbolehkannya menjama’

shalat dalam keadaan muqim

3. Untuk mengetahui pemahaman yang tepat hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim

4. Untuk mengetahui implikasi dan relevansi hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim

D. Kegunaan Penelitian

Bagi akademis a. Secara Teoritis.

Hasil dari pembahasan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pemahaman hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim. Selain itu juga sebagai bahan khazanah keilmuan untuk memperoleh pemahaman yang luas tentang hadis.


(9)

b. Secara Praktis

Sekiranya pembahasan ini dapat digunakan sebagai media untuk meluruskan penyimpangan yang dilakukan sebagian umat Islam dalam menyikapi hadis yang memperbolehkan menjama’ shalat dalam keadaan

muqim. Selain itu agar dapat menambah kadar keimanan kita serta memberikan motivasi untuk berfikir secara kritis dan analitis dalam menyikapi sebuah hadis Nabi.

E. Penegasan Istilah

1. Ma’ani

Secara etimologis ma’ani adalah jamak dari ma’na yang berarti makna atau arti. Secara terminologis adalah ilmu yang membahas bagaimana prinsip-prinsip metotodologi (proses dan prosedur) memahami hadis Nabi, sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud kandungannya secara tepat dan proposional. Untuk memahami hadis harus mempertimbangkan aspek aspek yang meliputi hadis. Aspek aspek yang perlu dipertimbangkan antara lain:

1. Mempertimbangkan posisi Nabi.

2. Situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis Nabi (asbabul wurud).


(10)

3. Mencermati varian redaksi matan.

4. Mencari makna yang relevan dengan konteks kekinian.11

2. Hadis

Menurut bahasa mempunyai beberapa arti: a) jadid artinya yang baru jama’nya: hadis, hadasa dan hudus, b) qarib artinya yang dekat yang belum lama lagi terjadi, c) khabar artinya berita.12 Sedangkan menurut istilah dan

disepakati jumhur muhaddisin adalah:

وأ ارههيرقت وأ لعف وا لوههق ملههسو هههيلع هللا ِىلص ِىبنلل فيضأ ام

اهوحن

ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa

perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya”.

Ta’rif di atas mengandung empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada Nabi saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi’in.

Lebih lanjut, dalam penulisan skripsi ini, penulis mengadakan penelusuran dan pencarian hadis dengan memfokuskan pada kitab Shahih Muslim sebagai sumber primer, untuk selanjutnya dikaji secara lengkap tentang sanad dan matannya. Untuk mendukung keakuratan penelitian penulis

11 Abdul Mustaqim, ilmuMa’anilHadis, (Yogyakarta: Idea Press, 2008), hal. 11 12 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, h. 20


(11)

juga akan mengadakan penelusuran terhadap hadis yang senada dalam kitab yang lain.

3. Shalat jama’

Shalat jama’ yaitu mengabungkan antara shalat zuhur dan ashar atau antara maghrib dan isya’ dalam sebuah perjalanan berjarak safar (89km).13

Maksudnya, dua buah shalat dari shalat lima waktu itu dikerjakan dalam waktu saja. Misalnya: antara shalat zuhur dan ashar dikerjakan pada waktu zuhur saja atau dikerjakan pada waktu ashar saja.

Penulis menganggap pengertian shalat jama’ diatas adalah pengertian yang sangat sempit. Dalam artian yang lebih luas pengertian shalat jama’ adalah penggabungan shalat dalam satu waktu baik dilakukan sewaktu bepergian ataupun yang lain, seperti: karena hujan, khauf, sakit dan lain sebagainya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam agama yang relevan sepanjang zaman. Sebagai salah satu contohnya seorang musafir mendapatkan perlakuan istimewa dari Allah SWT dalam rangka melaksanakan shalatnya yaitu berupa keringanan (rukhsah) dalam mengerjakan shalat, hakikatnya adalah nikmat Tuhan atas manusia. Maka wajarlah jika dikerjakan dengan baik pemberian Tuhan itu.


(12)

4. Takhrij

Takhrij menurut bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat.14 Sedangkan menurut Mahmud at-Tahhan kata at-takhrij menurut

pengertian asal bahasanya ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Pengertian-pengertian yang popular dari takhrij

ialah: (1) al-istimbat (hal mengeluarkan); (2) at-tadrib (hal melatih atau hal pembiasaan); (3) at-tarjih (hal memperhadapkan).15

Sedangkan menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama hadits adalah sebagai berikut:16

1. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.

2. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan menerapkan siapa periwayatnya dan para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.

14 M. Hasby Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Rizki Putra, 1980), hal. 194

15 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian…, hal. 41 16 Ibid., hal. 42


(13)

3. Menunjukkan asal usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para

mukharijnya langsung (yakni para periwayat juga sebagai penghimpun bagi hadits yang mereka riwayatkan).

4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.

5. Mewujudkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli yakni berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitian dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan. Dalam pada itu, takhrij dari segi istilah menurut Syahrin Harahap adalah upaya meneliti kembali atau mengeluarkan suatu hadis dari kitab-kitab hadis untuk menganalisis keadaan sanadnya, baik aspek kesinambungan mata rantai perawi maupun tingkat kredibilitas para perawi. Dengan demikian akan diketahui tingkat validitas hadis.17

Pengertian takhrij yang dikehendaki penulis sama dengan pengertian yang dikemukakan Syuhudi Ismail pada pengertian istilah yang nomer 5 dengan dikuatkan pengertian takhrij oleh Syahrin Harahap seperti yang tertulis di atas.


(14)

Terkait dengan skripsi yang penulis tulis, penulis memfokuskan kajian

ma’aninya pada hadis riwayat Imam Muslim sebagai berikut:

رههيهز ّنههع اههعيمج املس ّنّب نوعو سنوي ّنّب دمحأ انثدح

لاهق ساهبع ّنههّبا ّنهع ريبهج ّنّب ديعس ّنع ريّبز وّبأ انثدح

ةههنيدملاّب اعيمج رصعلاو رهظلا .ام .ص هللا لوسر ِىلص

(ملسم هور) .رفس لو فوخ ريغ ِىف

Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan ‘Aun bin Salam, keduanya dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari Abu Zubair dari Said bin Jubair dari Ibn Abbas berkata (Ibn Abbas)” Rasulullah saw melaksanakan shalat dhuhur dan ashar secara jama’ di madinah (dalam kota) tidak dalam keadaan takut dan tidak sedang bepergian

يههّبأ ّنههع كههلام ِىههلع تأرههق لاههق ِىيحي ّنّب ِىيحي انثدح

ِىلههص لاههق ساههبع ّنههّبا ّنههع ريبههج ّنههّب ديعس ّنع ريّبزلا

اههعيمج رصعلاو رهظلا ملسو هيلع هللا ِىلص هللا لوسر

رفههسلو فوههخ رههيغ يف اعيمج ءاشعلاو بيرغملاو

هور)

( ملسم

18

“Diceritakan dari Yahya bin Yahya , (dia) berkata telah saya bacakan kepada Malik dari Abi Zubair dari Said bin Jubair dari Ibn Abbas, berkata bahwa Rasulullah saw melakukan shalat dhuhur dan ashar dengan jama’ , dan shalat magrib dan isya’ dengan jama’ tidak dalam keadaan takut dan tidak sedang bepergian “.


(15)

Pemilihan obyek kajian tersebut dilatar belakangi oleh keraguan penulis terhadap hadis yang dibukukan oleh Muslim, apakah semua hadis yang dibukukan oleh Muslim sudah pasti memiliki kualitas hadis yang shahih sehingga kitab karangannya disebut Shahih Muslim. Oleh karena itu penulis lebih memilih hadis riwayat Muslim.

Untuk memudahkan penelitian yang penulis lakukan terkait telaah

ma’ani, penulis sebelumnya melakukan takhrij hadis hadis diatas agar keberadaan hadis tersebut dapat diketahui pada kitab lain selain kitab Shahih Muslim. Hal itu nantinya akan memudahkan penulis dalam melakukan i’tibar

guna mengetahui ada tidaknya syahid dan muttabi’.

Pada akhirnya perlu penulis tegaskan terkait judul skripsi yang penulis pilih yaitu Pemahaman Hadis tentang Diperbolehkannya Menjama’

Shalat dalam keadaan Muqim (Telaah Ma’anil Hadis dengan Pendekatan Sosio-Historis) adalah upaya untuk mengetahui kualiyas hadis tetang shalat jama’ dalam keadaan muqim. Setelah itu penulis mengkaji hal hal disekitar hadis saat hadis tersebut muncul, misalnya keadaan Nabi, situasi politik, kebiasaan yang berlaku (adat istiadat).

Selama ini pemahaman tentang shalat jama’ berdasar yang penulis ketahui dikait kaitkan dengan keadaan bepergian dan ada hubungannya dengan shalat qasar. Penulis mencoba menepis segala pemahaman yang telah beredar di masyarakat tersebut dengan mengkaji lebih lanjut hadis tentang shalat jama’.


(16)

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metodologi yang digunakan dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Sumber Kajian

Sumber kajian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi kepustakaan (library research) dengan memposisikan kitab Shahih Muslim sebagai acuan atau sumber primer. Teknik dokumentasi yakni teknik pengumpulan data dari hal-hal yang dibahas atau teori-teori yang digunakan dalam perumusan data yang terkait dalam permasalahan yang akan dibahas.19

b. Bahan primer

Bahan primer adalah bahan yang diambil dengan pengambilan data secara langsung lewat tangan pertama. Dalam hal ini adalah kitab Imam Muslim yang tergolong dalam Kutub At-Tis’ah dan kitab-kitab hadis lainnya. c. Bahan sekunder

Bahan sekunder adalah bahan yang diambil guna menunjang bahan primer, bahan-bahan antara lain Mu’jam Mufahras, Tahdzib al-Tahdzib dan buku-buku penunjang lainnya tentunya yang masih berkaitan.20Disamping

19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 113-114


(17)

menggunakan cara manual, penulis juga menggunakan bantuan CD kitab-kitab hadis untuk membantu mempermudah penulis dalam proses penelusuran atau pelacakan sanad dan matan hadis. Adapun CD yang penulis maksud adalah Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al Tis’ah.

d. Pendekatan Kajian

Hadis bagi umat Islam merupakan suatu yang penting karena didalamnya terungkap berbagai tradisi yang berkembang di masa Rasulullah saw. Tradisi tradisi yang ada pada masa kenabian tersebut mengacu pada pribadi Nabi saw, sebagai utusan Allah swt. Dalam pendekatan ini mengacu pada sosial masyarakat, tradisi, budaya, kebiasaan yang terjadi pada masa Rasulullah saw.

1. Sosiologis

Pendekatan sosiologis adalah upaya memahami hadis nabi dengan cara menyorotiya dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu.21 Pendekatan ini juga dapat diartikan sebagaimana

pendekatan agama melalui ilmu ilmu sosial, karena di dalam agama banyak timbul permasalahan sosial.22 Melalui pendekatan sosial, hadis

Nabi dapat dipahami dengan mudah karena hadits Nabi berisi tentang kehidupan sosial di jaman Nabi.

21 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001), hal. 26

22 Akhmad Taufik, Weldan, M. Dimyati Huda, Metodologi Studi Islam, (Malang : Bayumedia, 2004), hal. 16


(18)

2. Historis

Pendekatan historis adalah pendekatan dalam memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi saw.23 Atau bisa juga disebut pendekatan melalui

ilmu sejarah. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Melalui pendekatan ini, seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.

Pendekatan ini tergantung pada dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder.24 Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu

penulis secara langsung melakukan penelitian pada kitab aslinya yaitu kitab Shahih Muslim. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber sekunder yaitu penulis melakukan penelitian pada buku buku lain dengan menggunakan hasil penelitian pada kitab pertama yang dijadikan acuannya. Diantara kedua sumber tersebut, sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan diberi prioritas dalam pengumpulan data.25

23 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001), hal. 26

24 Akhmad Taufik, Weldan, M. Dimyati Huda, Metodologi Studi Islam, (Malang : Bayumedia,2004), hal. 18


(19)

e. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara:

1. Takhrij hadis, yakni penelusuran dan pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang didalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.26

2. I’tibar sanad yakni menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang hadis tersebut pada bagian sanad nya27 tampak hanya

seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad tersebut akan diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari hadis yang dimaksud. Untuk itu nantinya dapat diketahui seluruh jalur sanad yang diteliti akan dapat diketahui begitu pula nama periwayat dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan serta keadaan sanad yang diteliti terdapat syahid28 dan muttabi29 atau tidak.30

26 Moh. Musta’in, Takhrij Hadis Kepemimpinan Wanita, (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2001), hal. 23

27 Sanad atau thoriq ialah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad. Lihat Ibid.,hal. 24

28 Syahid yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat secara lafal atau makna sesuai dengan yang diriwayatkan oleh sahabat lain. Lihat Syahrin Harahap, Metodologi…, hal. 37

29 Muttabi yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, tapi pada rowi yang berada di tingkat bawahnya (tabi’ atau taba’ at-tabiin) terdapat perbedaan nama rawi pada masing-masing jalur. Lihat Ibid., hal.37


(20)

f. Metode Analisa Data

Adapun analisis yang digunakan, langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Meneliti kualitas pribadi masing-masing perawi (periwayat hadis) baik dari sisi keadilan maupun kedhabitannya,31 dan siqah tidaknya

seorang perawi. ‘Adil disini berkaitan dengan kualitas pribadi perawi sedang dhabit berkaitan dengan kualitas intelektualnya. Dalam hal ini penulis menggunakan kitab acuan: Jarh wa Ta’dil, Tahdzib al-Tahdzib, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar Rijal.32

2. Meneliti persambungan sanad yaitu dengan meneliti lafal-lafal yang dipergunakan oleh periwayat dalam menerima maupun meriwayatkan hadis.

3. Meneliti syaz33 dan illat34 hadis, hal ini untuk mengetahui adanya

kejanggalan dan cacat yang terdapat dalam sebuah hadis.35

31 Dhabit ialah orang yang kuat ingatannya. Lihat Fatchur, Ikhtisar…, hal. 99 32 M. Syahrin Harahap, Metode Studi dan Penelitian…, hal. 37-38

33 Syaz ialah kejanggalan pada matan hadis. Hadis syaz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (siqah) menyalahi iwayat orang yang lebih rajih lantaran mempunyai kelebihan kedhabitan atau banyak sanadnya. Lihat, Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal.234

34 Illat ialah sebab tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis, lihat M. Syuhudi Ismail,

Kaedah keshahihan..., hal. 147 35 Ibid., h. 37-38


(21)

g. Metode Pemahaman 1. Tekstual

Para sahabat generasi pertama menyandarkan fatwa-fatwa mereka pada nash-nash Al- Qur’an dan hadis Nabi saw. Bila mereka tidak menemukan sandaranya dalam Al- Qur’an dan hadis nabi saw., mereka melakukan Ijtihad dengan membuat analogi-analogi (Qiyas). Masa berikutnya digunakan pendekatan ra’yu (rasio) dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis.

Golongan yang memahami hadis secara tekstual adalah kelompok yang bepegang pada arti lahiriyah nash tanpa mencari illat yang terdapat pada masalah-masalah yang mereka hadapi. Pada masa yang relatif masih dekat dengan kehidupan Rasulullah saw. dan persoalan-persoalan belum begitu kompleks, sikap seperti ini dapat dipahami. Sebab, persoalan-persoalan yang timbul masih dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw. Jadi pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis dari arti yang tampak, secara lahiriyah tanpa mempedulikan hal hal disampingnya,

asbab al wurud, sosial budaya, adat istiadat. 2. Kontekstual

Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau


(22)

kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.36 Kedua arti ini dapat digunakan

karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis.

Ketika para ulama hadis menetapkan lima syarat bagi sahih-nya sebuah hadis, hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka dalam menyeleksi hadis Nabi saw. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, disamping sanad harus bersambung, semua perawinya harus

dhabit37 dan siqah. Sedangkan yang berkaitan dengan matan, adalah

keharusan tidak adanya syaz dan ‘illat.

Pemahaman hadis secara kontekstual yaitu dengan melihat kondisi dan situasi saat ia diucapkan, dan apa pula ‘illat yang terkandung di dalamnya. Berdasar kenyataan seperti itu, muncul pertanyaan, apakah suatu hadis yang dulunya dapat diamalkan (ma’mul bih) dapat berubah menjadi ghairu ma’mul bih. Dari pendekatan tekstual, jawabannya harus “ya”. Tetapi, dari pendekatan kontekstual, “tidak”. Sebab, selain melihat kondisi dan situasi saat hadis itu diucapkan, pendekatan tersebut menekankan pada ‘illat.

36 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed.3, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 591

37Dhabit adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatnya lebih banyak dari lupanya dan kebenarannya lebih banyak dari salahnya, lihat,Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal. 42


(23)

Artinya, sepanjang yang dimaksud dengan Quraisy di situ bukan berarti suku, tetapi sifat atau ciri, maka ia dapat tetap ma’mul bih.

Pada penulisan skripsi ini penulis menerapkan kedua metode yang ada yaitu metode tekstual dam kontekstual guna mendapatkan pemahaman yang lebih sempurna dalam memahami hadis Nabi.

G. Telaah Pustaka

Kajian keislaman mengenai shalat jama’ mungkin banyak kita jumpai seperti halnya di pesantren, di sekolah ataupun dalam dialog keagamaan, tetapi kebanyakan pembahasannya hanya pada ranah pengertian, mengetahui syarat syaratnya, cara atau kaifiyah pengerjaannya, lafal niatnya. Dalam pada itu penulis belum menemukan baik dalam bentuk buku-buku, artikel, dan jurnal yang khusus membahas tentang hadis yang memperbolehkan menjama’ shalat dalam keadaan

muqim, dalam artian tidak dalam keadaan bepergian, takut, ataupun sedang melaksanakan ibadah haji.

Dalam penelusuran yang dilakukan penulis, penulis menemukan buku yang salah satu isinya mengangkat tema shalat jama’ yang dilakukan oleh kaum Syi’ah imamiah. Buku itu berjudul “Meluruskan Penyimpangan Syi’ah” karangan. Musa Al Musawi. Dalam buku itu ditulis berbagai penyimpangan penyimpangan yang dilakukan oleh kaum Syi’ah , termasuk di dalamnya praktek shalat jama’. Mengenai shalat jama’ kaum Syi’ah membolehkan menjama’ shalat


(24)

Zuhur dan Ashar atau Magrib dan Isya’ ketika tidak sedang bepergian. Hal itu sudah biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah. Anehnya, dalam teorinya, mayoritas fuqaha Syi’ah seringkali menfatwakan lebih baiknya melaksanakan shalat pada waktu waktu yang telah ditetapkan.38 Mengerjakan shalat pada masing masing

waktunya adalah mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

هللاوههجري ناههّك ّنههمل هنههسح ةوههسا هههللا لوسر يف مكل ناّك دقل

اريثّك هللا رّك ذو رخلا امويلاو

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasululloh itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh”.(QS Al Ahzab 21)39

Musa al Musawi mengatakan belum menemukan alasan kaum Syi’ah memperbolehkan menjama’ shalat tanpa alasan yang tepat. Apakah hal itu muncul karena dorongan untuk mencari kebaikan? Ataukah itu perbuatan yang direkayasa oleh orang orang yang bertujuan menjauhkan Syi’ah dari upaya persatuan, yang kemudian didukung oleh fuqaha dan imam imam masjid, secara sadar ataupun tidak?. Yang jelas Musawi hanya menghimbau para imam masjid Syi’ah dan kaum Syi’ah umumnya agar melaksanakan shalat pada waktunya masing masing. Hendaklah mereka menjadikan shalat lima waktu yang dipraktekkan oleh Rasulullah sebagai pedoman mereka. Al-Musawi juga

38 Musa al Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah, (Jakarta: QALAM, 1995), hal. 199 39 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 1995), hal. 408


(25)

menukilkan ucapan imam Ali ketika ia menyurati para gubernurnya untuk menerangkan masalah shalat dan waktu waktunya.

ِىتههح رهههظلا ساههنلااّب اولههصف ، دههعّب اههمأ

ّنههم سمههشلاءيفت

اولههصو... ةيحءاههضيّب سمشلاورصعلا مهّب اولصو زنعلا ضّبرم

ّنههيح ءاشعلا مهّب اولصو ...مئاصلا رطفي ّنيح بيرغملا مهّب

لههجرلاو ةادههغلا مهههّب اولههصو لههيللا ثههلث ِىههلا قفشلا ِىراوتي

هبحاص هجو فرعي

Kemudian,shalatlah Zuhur bersama kaum muslimin sampai matahari hilang

panasnya; dan shalatlah Ashar ketika mtahari masih bersinar terang; dan shalatlah Magrib bersama mereka ketika orang berbuka puasa; dan shalatlah Isya’ ketika warna merah di langit senja mulai hilang sampai sepertiga malam; dan shalatlah subuh bersama mereka ketika seseorang telah dapat melihat wajah sahabatnya”.40

Lebih lanjut dalam penelitian ini, selain untuk mengetahui kualitas hadis yang membolehkan shalat jama’ dalam keadaan mukim baik dari segi sanad maupun matan, juga untuk mengetahui pemahaman tentang hadis tersebut guna mengetahui implikasi dan relevansinya terhadap keberagaman umat Islam.

H. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(26)

Bab Pertama adalah Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian, Telaah Pustaka dan Sistematika Pembahasan.

Bab Kedua adalah Pembahasan tentang Tinjauan Umum Tentang Shalat yang terdiri dari Ta’rif Shalat, Pengertian Shalat Jama’, Macam macamnya Shalat

Jama’, Alasan Yang Membolehkan Shalat Jama’, Pendapat Ulama tentang Shalat

jama’, Dasar Hukum Mendirikan Shalat dan Waktu waktu Shalat.

Bab ketiga adalah Hadis Hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim (tanpa bepergian) yang terdiri dari I’tibar, Kritik sanad, Kritik matan.

Bab keempat adalah Pemaknaan Hadis hadits tentang diperbolehkannya Menjama’ Shalat dalam keadaan Muqim (tanpa bepergian) yang terdiri dari Analisis Kebahasaan, Analisis Sosio-Historis, Analisis kekinian, Implikasi dan Relevansi hadis tentang shalat jama’ terhadap keberagaman agama Islam.


(1)

g. Metode Pemahaman 1. Tekstual

Para sahabat generasi pertama menyandarkan fatwa-fatwa mereka pada nash-nash Al- Qur’an dan hadis Nabi saw. Bila mereka tidak menemukan sandaranya dalam Al- Qur’an dan hadis nabi saw., mereka melakukan Ijtihad dengan membuat analogi-analogi (Qiyas). Masa berikutnya digunakan pendekatan ra’yu (rasio) dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis.

Golongan yang memahami hadis secara tekstual adalah kelompok yang bepegang pada arti lahiriyah nash tanpa mencari illat yang terdapat pada masalah-masalah yang mereka hadapi. Pada masa yang relatif masih dekat dengan kehidupan Rasulullah saw. dan persoalan-persoalan belum begitu kompleks, sikap seperti ini dapat dipahami. Sebab, persoalan-persoalan yang timbul masih dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw. Jadi pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis dari arti yang tampak, secara lahiriyah tanpa mempedulikan hal hal disampingnya, asbab al wurud, sosial budaya, adat istiadat.

2. Kontekstual

Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau


(2)

kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.36 Kedua arti ini dapat digunakan

karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis.

Ketika para ulama hadis menetapkan lima syarat bagi sahih-nya sebuah hadis, hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka dalam menyeleksi hadis Nabi saw. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, disamping sanad harus bersambung, semua perawinya harus dhabit37 dan siqah. Sedangkan yang berkaitan dengan matan, adalah

keharusan tidak adanya syaz dan ‘illat.

Pemahaman hadis secara kontekstual yaitu dengan melihat kondisi dan situasi saat ia diucapkan, dan apa pula ‘illat yang terkandung di dalamnya. Berdasar kenyataan seperti itu, muncul pertanyaan, apakah suatu hadis yang dulunya dapat diamalkan (ma’mul bih) dapat berubah menjadi ghairu ma’mul bih. Dari pendekatan tekstual, jawabannya harus “ya”. Tetapi, dari pendekatan kontekstual, “tidak”. Sebab, selain melihat kondisi dan situasi saat hadis itu diucapkan, pendekatan tersebut menekankan pada ‘illat.

36 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed.3, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 591

37Dhabit adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatnya lebih banyak dari lupanya dan kebenarannya lebih banyak dari salahnya, lihat,Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal. 42


(3)

Artinya, sepanjang yang dimaksud dengan Quraisy di situ bukan berarti suku, tetapi sifat atau ciri, maka ia dapat tetap ma’mul bih.

Pada penulisan skripsi ini penulis menerapkan kedua metode yang ada yaitu metode tekstual dam kontekstual guna mendapatkan pemahaman yang lebih sempurna dalam memahami hadis Nabi.

G. Telaah Pustaka

Kajian keislaman mengenai shalat jama’ mungkin banyak kita jumpai seperti halnya di pesantren, di sekolah ataupun dalam dialog keagamaan, tetapi kebanyakan pembahasannya hanya pada ranah pengertian, mengetahui syarat syaratnya, cara atau kaifiyah pengerjaannya, lafal niatnya. Dalam pada itu penulis belum menemukan baik dalam bentuk buku-buku, artikel, dan jurnal yang khusus membahas tentang hadis yang memperbolehkan menjama’ shalat dalam keadaan muqim, dalam artian tidak dalam keadaan bepergian, takut, ataupun sedang melaksanakan ibadah haji.

Dalam penelusuran yang dilakukan penulis, penulis menemukan buku yang salah satu isinya mengangkat tema shalat jama’ yang dilakukan oleh kaum Syi’ah imamiah. Buku itu berjudul “Meluruskan Penyimpangan Syi’ah” karangan. Musa Al Musawi. Dalam buku itu ditulis berbagai penyimpangan penyimpangan yang dilakukan oleh kaum Syi’ah , termasuk di dalamnya praktek shalat jama’. Mengenai shalat jama’ kaum Syi’ah membolehkan menjama’ shalat


(4)

Zuhur dan Ashar atau Magrib dan Isya’ ketika tidak sedang bepergian. Hal itu sudah biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah. Anehnya, dalam teorinya, mayoritas fuqaha Syi’ah seringkali menfatwakan lebih baiknya melaksanakan shalat pada waktu waktu yang telah ditetapkan.38 Mengerjakan shalat pada masing masing

waktunya adalah mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

هللاوههجري ناههّك ّنههمل هنههسح ةوههسا هههللا لوسر يف مكل ناّك دقل

اريثّك هللا رّك ذو رخلا امويلاو

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasululloh itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh”.(QS Al Ahzab 21)39

Musa al Musawi mengatakan belum menemukan alasan kaum Syi’ah memperbolehkan menjama’ shalat tanpa alasan yang tepat. Apakah hal itu muncul karena dorongan untuk mencari kebaikan? Ataukah itu perbuatan yang direkayasa oleh orang orang yang bertujuan menjauhkan Syi’ah dari upaya persatuan, yang kemudian didukung oleh fuqaha dan imam imam masjid, secara sadar ataupun tidak?. Yang jelas Musawi hanya menghimbau para imam masjid Syi’ah dan kaum Syi’ah umumnya agar melaksanakan shalat pada waktunya masing masing. Hendaklah mereka menjadikan shalat lima waktu yang dipraktekkan oleh Rasulullah sebagai pedoman mereka. Al-Musawi juga

38 Musa al Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah, (Jakarta: QALAM, 1995), hal. 199 39 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 1995), hal. 408


(5)

menukilkan ucapan imam Ali ketika ia menyurati para gubernurnya untuk menerangkan masalah shalat dan waktu waktunya.

ِىتههح رهههظلا ساههنلااّب اولههصف ، دههعّب اههمأ

ّنههم سمههشلاءيفت

اولههصو... ةيحءاههضيّب سمشلاورصعلا مهّب اولصو زنعلا ضّبرم

ّنههيح ءاشعلا مهّب اولصو ...مئاصلا رطفي ّنيح بيرغملا مهّب

لههجرلاو ةادههغلا مهههّب اولههصو لههيللا ثههلث ِىههلا قفشلا ِىراوتي

هبحاص هجو فرعي

“Kemudian,shalatlah Zuhur bersama kaum muslimin sampai matahari hilang panasnya; dan shalatlah Ashar ketika mtahari masih bersinar terang; dan shalatlah Magrib bersama mereka ketika orang berbuka puasa; dan shalatlah Isya’ ketika warna merah di langit senja mulai hilang sampai sepertiga malam; dan shalatlah subuh bersama mereka ketika seseorang telah dapat melihat wajah sahabatnya”.40

Lebih lanjut dalam penelitian ini, selain untuk mengetahui kualitas hadis yang membolehkan shalat jama’ dalam keadaan mukim baik dari segi sanad maupun matan, juga untuk mengetahui pemahaman tentang hadis tersebut guna mengetahui implikasi dan relevansinya terhadap keberagaman umat Islam.

H. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(6)

Bab Pertama adalah Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian, Telaah Pustaka dan Sistematika Pembahasan.

Bab Kedua adalah Pembahasan tentang Tinjauan Umum Tentang Shalat yang terdiri dari Ta’rif Shalat, Pengertian Shalat Jama’, Macam macamnya Shalat Jama’, Alasan Yang Membolehkan Shalat Jama’, Pendapat Ulama tentang Shalat jama’, Dasar Hukum Mendirikan Shalat dan Waktu waktu Shalat.

Bab ketiga adalah Hadis Hadis tentang diperbolehkannya menjama’ shalat dalam keadaan muqim (tanpa bepergian) yang terdiri dari I’tibar, Kritik sanad, Kritik matan.

Bab keempat adalah Pemaknaan Hadis hadits tentang diperbolehkannya Menjama’ Shalat dalam keadaan Muqim (tanpa bepergian) yang terdiri dari Analisis Kebahasaan, Analisis Sosio-Historis, Analisis kekinian, Implikasi dan Relevansi hadis tentang shalat jama’ terhadap keberagaman agama Islam.