DUA PULUH TUJUH

DUA PULUH TUJUH

Tiga bulan kemudian…

“SELAMAT yaa…” Niken saling pelut dan bersalaman dengan teman-teman sekolahnya. Wajahnya terlihat bahagia. Tentu aja, sebab hari ini adalah pengumuman kelulusan Ujian Nasional (UN). Sebetulnya pengumuman UN untuk SMA 31 dan SMA lainnya di Bandung dilakukan secara nggak langsung, yaitu dengan mengirimkan pengumuman kelulusan ke rumah masing-masing. Para siswa juga bisa mengetahui kelulusan mereka dari Internet mulai tengah malam tadi. Tapi namanya tradisi, nggak afdal rasanya kalo nggak ngumpul-ngumpul di sekolah, merayakan kelulusan bareng. Jadi tetap aja anak-anak kelas 3 datang ke sekolah sejak pagi untuk meluapkan kegembiraan bersama teman-temannya. Apalagi ada gosip tahun ini tingkat kelulusan di SMA 31 nggak 100%, jadi wajar mereka sekalian mencari info siapa teman yang nggak lulus.

Tapi berbeda dengan SMA lain, dalam merayakan kelulusan mereka, para siswa SMA 31 sama sekali nggak pakai acara corat-coret baju, baik menggunakan bolpoin, spidol, cat semprot, apalagi pake cat tembak! Itu semua bukan karena anjuran pihak sekolah yang melarang aksi corat-coret baju saat kelulusan, tapi berkat Niken yang dalam beberapa minggu ini mengadakan gerakan sosial yang melibatkan anak-anak Tapi berbeda dengan SMA lain, dalam merayakan kelulusan mereka, para siswa SMA 31 sama sekali nggak pakai acara corat-coret baju, baik menggunakan bolpoin, spidol, cat semprot, apalagi pake cat tembak! Itu semua bukan karena anjuran pihak sekolah yang melarang aksi corat-coret baju saat kelulusan, tapi berkat Niken yang dalam beberapa minggu ini mengadakan gerakan sosial yang melibatkan anak-anak

Karena itu, selain berbagi kegembiraan dengan teman-temannya, Niken juga sibuk menerima sumbangan baju dan peralatan sekolah lainnya, karena dia yang jadi koordinatornya. Dia harus selalu stand by di ruang OSIS yang dijadiin posko pengumpulan sumbangan, dibantu juga oleh dua anak kelas 1 dan 2 yang jadi panitia.

Amel muncul di ruang OSIS bersama sopirnya sambil membawa sebuah dus yang ukurannya lumayan gede. “Hai… nih Amel bawain baju-baju seragam Amel dan juga perlengkapan sekolah lainnya,” kata Amel. “Oya… makasih banget, Mel. Banyak amat…,” balas Niken. “Iya… ditaruh di mana?” “Hmm…” Pandangan Niken berkeliling ke ruangan yang kelihatan penuh

sumbangan dari anak-anak lainnya. “Di situ aja…,” katanya akhirnya sambil menunjuk ke salah satu sudut ruangan yang masih kelihatan cukup kosong. Setelah meletakkan dus yang dibawanya di tempat yang ditunjuk Niken, sopir Amel langsung keluar, sedang Amel masih tinggal di dalam ruangan. “Selamat juga yaa… kamu lulus, kan?” kata Amel sambil memeluk Niken.

“Lulus dong… kamu juga, kan?” sahut Niken sambil membalas pelukan Amel. Nggak lama, lalu mereka melepaskan pelukan mereka. “Vira nggak dateng, ya?” tanya Amel. “Nggak. Katanya mo latihan pagi ini. Kan finalnya ntar sore. Rida juga nggak

dateng tuh,” jawab Niken. “Tapi mereka lulus, kan?” “Lulus kok. Semuanya lulus. Kamu ntar sore mo nonton, kan?” “Iya. Kamu juga? Barengan aja kalo mau,” Amel menawarkan. “Maunya sih… ntar deh kalo kerjaan di sini udah selesai,” jawab Niken.

Suasana di GOR Saparua sore ini ramai, penuh sesak. Selain karena lapangan ini biasa dipakai olahraga pada sore hari, juga karena di lapangan basket yang terletak di salah satu sisi sedang digelar ajang Streetball Competition. Dan setelah berlangsung selama lima hari, Sabtu sore ini digelar pertandingan final.

Niken buru-buru turun dari angkot yang membawanya ke GOR Saparua. Melihat lapangan basket yang ramai dan riuh karena teriakan penonton, dia tahu dirinya datang terlambat. Keterlambatan yang sebetulnya nggak disengaja, karena Niken udah cabut dari sekolah satu setengah jam sebelumnya setelah tugasnya sebagai koordinator sumbangan selesai. Tapi karena weekend, di mana-mana jalan di Bandung macet berat. Apalagi beberapa kali angkot yang ditumpangi terhalang konvoi anak sekolah yang merayakan kelulusan. Nggak heran kalo jarak dari SMA

31 ke Lapangan Saparua yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 45 menit jadi molor hampir dua kali lipatnya. Sampe Niken sempat ketiduran di angkot. Niken langsung menuju lapangan basket. Dia harus berjuang menembus kerumunan penonton, sampai ke bagian tribun mini yang ada di sekeliling lapangan.

Setelah lama mengedarkan pandangannya ke seluruh tribun, Niken akhirnya melihat Amel yang duduk di bagian depan. Dengan susah payah, Niken akhirnya bisa sampai ke tempat Amel.

“Hai… sori telat…,” kata Niken. “Kok baru dateng?” tanya Amel sambil mengambil tasnya yang dia letakkan di

sampingnya. Tas itu rupanya untuk menutupi tempat duduk di sebelahnya supaya nggak diduduki orang lain. Niken duduk di sebelah Amel.

“Iya… kerjaan baru beres, trus tadi macet banget. Parah…,” ujar Niken. Lalu dia melihat ke lapangan. “Udah lama mulai, ya?” tanyanya. “Udah mo selesai kayaknya.” “Kok cepet amat.” “Lama permainan streetball emang nggak sama dengan basket biasa. Bukan dari

waktu, tapi dari siapa yang mencapai angka tertentu lebih dulu, ” Amel menjelaskan. “Oooo… gitu…” NIken kembali mengarahkan pandangan ke lapangan (atau tepatnya setengah

lapangan karena pertandingan hanya menggunakan setngah lapangan basket normal dan satu ring basket). Ada enam cewek yang bertanding di sana, dan dua di antaranya tentu aja dikenal baik oleh Niken. Mereka adalah Vira dan Rida. Sedang yang seorang lagi dikenal Niken, cuman hubungannya nggak begitu baik, yaitu … Stella.

Niken baru kali ini melihat streetball, jadi dia sama sekali nggak tahu peraturannya. Bola basket biasa aja dia nggak tahu, apalagi ini. Dia ingin bertanya pada Amel, tapi nggak enak setelah melihat Amel lagi asyik menonton pertandingan, kadang-kadang sampe berteriak memberi semangat saking tegangnya.

“Siapa yang menang?” tanya Niken. “Eh… D‟Roses…,” jawab Amel. “D‟Roses?” Niken mengernyitkan kening. Dia melihat ke papan skor. Di papan

skor terlihat dua tim yang bertanding, FUZZY versus D ‟ROSES dengan kedudukan sekarang 11-13 untuk D ‟Roses.

Vira dan Ria kira-kira masuk tim yang mana ya? tanya Niken dalam hati sambil menduga-duga.

Dalam posisi menyeang, Stella memimpin serangan. Waktu lagi mendribel, dia dihadang seorang pemain lawan. Stella memutar tubuh dan coba berkelit. Ketika lawan coa menghadang pergerakan bolanya, Stella mengangkat tangan dan mengoper bola ke belakang.

Blind Pass! Dari belakang muncul Vira yang menerima blind pass dari Stella dan langsung

menusuk ke ring. Seorang pemain lawan yang berbadan lebih besar coba menghalangi, tapi Vira lebih cerdik. Dia meliukkan tubuh agak rendah, hingga lawannya kesulitan menghalangi geraknya. Tapi posisi Vira jadi sulit untuk menembak.

“Oper…” Sebuah suara terdengar di belakang Vira. Itu suara Rida! Vira nggak punya

pilihan lain. Dia mengoper bola dengan cara yang unik, yaitu menggelindingkannya!

Rida menerima bola dari VIra dan langsung menembak dari suut yang sempit. Masuk! “Iya.. satu angka lagi dan D‟Roses akan memenangi pertandingan!” Demikian

suara komentator pertandingan yang terus cuap-cuap kayak tukang obat di pinggir jalan.

Niken melihat papan skor berubah 11-14, untuk keunggulan D ‟Roses. Dalam pertandingan ini, tiap bola yang masuk emang akan dihitung satu angka, dari jarak berapa pun. Jadi nggak ada angka khusus untuk tembakan tiga angka.

Jadi namanya D ‟Roses! batin Niken. Sebuah tembakan lain dari Rida dapat diblok lawan, hingga sekarang giliran tim Fuzzy menyerang. Seorang pemain lawan yang merupakan kapten tim mencoba masuk ke daerah pertahanan D ‟Roses. Stella menghadangnya dengan ketat. Tubuh Stella yang lebih tinggi membuat dia dapat menahan lawannya hingga lawannya terpaksa mengoper bola pada temannya. Tapi di situ ada Vira, dan dia langsung mencega bola operan lawannya. Steal!

“Satu angka lagi…,” kata Vira pada Stella.

“Gue tau…” Tim D ‟Roses ganti menyerang. Kali ini Vira bermain lambat dengan mendribel

bola dengan santai. saat salah seorang lawannya datang mendekat, dia langsung meliuk dan menyusuri sisi kiri lapangan. Gerakan Vira memancing seorang lawannya mendekat, hingga dia dikerumuni dua orang.

“Foul!” teriak salah seorang penonton. Dalam streetball emang ada peraturan satu pemain hanya boleh dihadapi oleh satu orang. Tapi anehnya, wasit nggak meniup peluit tanda pelanggaran. Itu karena salah seorang pemain yang pertama kali membayangi Vira lalu mundur dan menyerahkan tugas pada temannya, yang lalu mendesak Vira hingga ke sudut lapangan. Nggak ada jalan lain, Vira terpaksa mengoper pada Rida.

Operan tinggi dari Vira menuju Rida. Rida melompat menyambut operan Vira dengan dibayangi oleh salah seorang pemain lawan. Tapi anehnya, Rida nggak menangkap bola operan Vira, tapi malah mendorongnya ke sisi kanan. Di sana telah ada yang menunggunya … Stella.