DUA PULUH TIGA

DUA PULUH TIGA

VIRA benar-benar nggak menyangka, jalan menuju babak final yang udah terbentang lebar jadi belok-belok lagi. Walau Pak Isman menjamin dirinya bakal masuk tim inti, itu nggak membuat Vira puas. Tampil di Kejurnas emang merupakan impian setiap pemain, termasuk dirinya. Tapi nggak cuman itu tujuan Vira bermain basket. Dia bermain basket untuk hobi, kesenangan, dan memiliki tempat berbagi. Dan Vira nggak seneng kalo kenikmatan bermain basket yang dia rasakan dicampuri hal-hal lain, di luar permainan basket itu sendiri. Main basket ya main basket, nothing else!

Apalagi Pak Isman bilang keputusan pernyatuan kedua tim dipicu oleh kehadiran Stella dalam pertandingan kemarin. Itu membuat Vira jadi merasa bersalah, karena dia yang membujuk dan membawa Stella. Tapi saat itu dia nggak punya pilihan lain. Tanpa Stella, mereka nggak bakal bisa menang.

“Nggak usah merasa bersalah... Bener kata lo, kita nggak bakal menang tanpa Stella. Malah kita semua nggak jadi pergi,” hibur Stephanie saat ketemu Vira malamnya di sebuah kafe di daerah Dago.

“Tapi gue merasa nggak enak aja ama temen-temen. Gue bisa ikut ke babak final, tapi yang lain nggak. Terutama yang dari luar kota kayak Sita. Mereka udah bela-belain dateng ke sini cuman buat pertandingan kemarin, tapi lalu dibikin kayak gini. Gue harus ngomong apa ke mereka?”

Suara HP menghentikan obrolan mereka berdua. Vira mengambil HP dan melihat SMS yang masuk. “Dari Sita... nanyain kapan mulai latihan. Dia bilang belum dapat kabar dari Pak Isman,” kata Vira. “Gue sih udah dapet SMS dari Pak Isman tadi sekitar jam limaan. Besok kita mulai latihan jam t iga sore,” sahut Stephanie. “Gue nggak tau harus jawab apa. Sita salah satu yang paling bersemangat untuk ikut Kejurnas. Dia bahkan rela bolak-balik Tasik-Bandung cuman untuk memastikan keikutsertaan kita. Pemain yang lain juga kurang-lebih begitu. Gue nggak tega liat kekecewaan mereka, yang lalu berbalik menjadi kebencian pada diri gue, karena gue yang udah menghancurkan impian mereka.”

“Jangan berprasangka buruk. Gue yakin anak-anak yang lain pasti bisa ngerti. Lo udah berbuat yang terbaik bagi tim, dan kalo bukan karena lo, kita nggak bakal bisa sejauh ini. Mungkin kita udah gagak di babak kualifikasi.”

“Tapi gue tetep aja merasa nggak enak.”

Akibat terlalu banyak berpikir, Vira jadi pusing sendiri. Akibatnya dia nggak nafsu makan. Sama sekali nggak mau menyentuh makan malam yang udah disiapkan Bi Sum.

“Tadi Non Niken juga nggak mau makan, sekarang Non Vira,” sungut Bi Sum yang merasa jerih payahnya nggak dihargai. “Niken juga nggak mau makan?” tanya Vira. “Tadi pas Bibi tawarin, alasannya masih kenyang. Trus dia masuk ke kamar dan

sampe sekarang nggak keluar- keluar lagi.” Vira heran, kenapa Niken nggak mau makan? Padahal tadi pagi dia kelihatan fine-fine aja, nggak ada masalah. Di kelas juga Niken bersikap biasa. Vira emang sempat beberapa kali memergoki Niken lagi bengong sendiri dan seperti nggak konsen ke pelajaran. Tapi nggak lama.

Pintu kamar Niken ternyata nggak dikunci, dan Niken belum tidur. Dia lagi mengutak-ngutik HP-nya. “Kamu belum makan?” tanya Vira. “Aku belum laper,” jawab Niken. Vira masuk ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur Niken. “Ada apa?” tanya Vira. “Ha?” “Nggak biasanya kamu nggak mau makan, kecuali kalo udah makan di rumah

kamu.” “Nggak ada apa-apa. Aku belum laper kok,” tandas Niken. Tapi kelihatan jelas dia menyembunyikan sesuatu. Tumben, kali ini Vira nggak mau memaksa Niken untuk ngaku. Pikirannya sendiri udah pusing dengan masalahnya, dan dia nggak mau menambah pikirannya dengan masalah lain. Paling nggak malam ini.

“Ya udah... aku mo ke kamar dulu. Kamu belum mo tidur?” kata Vira. “Bentar lagi.” Vira beranjak keluar kamar Niken. Tapi saat mencapai pintu, Niken

memanggilnya. “Ada apa lagi?” tanya Vira. “Hmm... Waktu Sita tinggal di sini dan aku lagi nginep di rumah, apa Rei sering

ke sini?” Vira tertegun mendengar pertanyaan Niken. Jadi dia akhirnya tahu juga! batin Vira. “Vir?” “Eh... nggak tau. Pas ada aku di rumah sih nggak pernah tuh. Paling sekali Rei

ke sini, tapi dia nanyain kamu, trus pergi lagi deh,” jawab Vira. Paling nggak dia ngasih jawaban yang jujur, karena Rei emang nggak pernah datang saat dia ada di rumah.

Niken termangu mendengar jawaban Vira. “Emang kenapa?” tanya Vira. Dia bertanya bukannya belum tahu, tapi ingin

mengorek, sejauh mana Niken tahu soal Rei dan Sita.

“Aku nggak nyangka. Rei dan Sita...” Niken nggak melanjutkan ucapannya. Dia lalu menghela napas. “Udahlah. Lagi pula, aku kan udah putus ama dia. Kenapa masih pusing-pusing? Dia mo pacaran lagi kek, ama siapa aja, itu udah bukan urusanku lagi.” Niken mencoba menghibur dirinya sendiri. Tapi Vira bisa melihat dengan jelas, mata Niken berkaca-kaca.

Tega kamu, Rei! batin Vira. Tapi dia udah bersumpah untuk nggak mengatakan apa pun tentang yang diketahuinya soal Rei pada Niken. Dan Vira nggak mau melanggar sumpahnya, walau hatinya sering merasa miris kalo melihat Niken memikirkan soal Rei dan hubungan mereka. Vira tahu, Niken sebetulnya masih sayang pada Rei, tapi dia nggak mau menunjukkannya secara terbuka.

“Katanya kamu mo ke kamar? Kok malah bengong?” suara Niken membuyarkan lamunan Vira. “Eh... iya... tapi, kamu mo ngomong sesuatu? Atau cerita? Nggak papa kok... aku juga belum begitu ngantuk,” balas Vira. Niken menggeleng. “Nggak. Aku mo tidur. Besok jadwal piketku, jadi aku harus berangkat lebih

pagi,” jawab Niken dengan suara masih bergetar. “Ya udah kalo begitu.” “Kamu juga mo tidur?” “Iya.” “Nggak main streetball?” Ucapan Niken kembali mengejutkan Vira. Niken tahu dia sering main streetball?

Dari mana? “Nggak usah ngelak. Kamu kira aku nggak tau kamu sering keluar malem buat main streetball? Kadang-kadang juga ama Rei, kan? Kalian berdua emang kompak kalo soal begini.”

Vira berpikir, apa Niken juga tahu Rida pernah ikutan main? “Malme ini kamu nggak main?” tanya Niken lagi. “Nggak. Aku capek.” “Soal Kejurnas, ya? Nggak usah dipikirin. Toh kamu dan Rida tetep masuk

dalam tim.”

“Bukan itu masalahnya...” “Aku tau. Kamu ngerasa nggak enak dengan yang lain, kan?” Vira cuman diam. Semua itu tergantung kamu. Apa pun keputusan yang kamu

ambil, aku yakin itu yang terbaik. Aku akan selalu mendukung kamu,” tandas Niken.

“Thanks...” “Ya udah, kamu mo tidur, kan? Jangan sampe besok telat bangun.” Gaya Niken

udah kayak Mama Vira aja. Vira tersenyum, lalu beranjak menuju pintu kamar. “Goodnight...,” ujar Vira. “Goodnight to you too...”