SEMBILAN BELAS

SEMBILAN BELAS

Beberapa jam sebelumnya...

“GUE butuh bantuan lo buat ngalahin mereka,” kata Vira. Stella yang berdiri di hadapannya cuman diam nggak menjawab. Dia masih nggak percaya, pagi-pagi Vira udah nongol di depan rumahnya, tepat saat dirinya akan pergi latihan basket di SMA Altavia.

“Gue masih tetap sebel ama lo, tapi demi tim, gue lupain sementara rasa sebel gue. Gue sadar gue butuh tenaga lo kalo mo menang lawan Tim Senior. Lo juga tau gimana hebatnya mereka. Skill individu, pengalaman, kerja sama, semua di atas rata-rata tim kita. Untuk bisa nandingin apalagi ngalahin, kita harus bisa seperti mereka, atau paling nggak mendekati. Kalo ada lo, paling nggak kekuatan tim kita bertambah...”

Vira ingat ucapan Hera tadi malam. “Gue lihat pertandingan kualifikasi Kejurnas kemaren. Menurut gue, tim lo bagus, tapi

serasa ada yang kurang. Kemampuan lo nggak keluar semua di tim itu,” kata Hera.

“Iya, gue juga ngerasa gue nggak maksimal mainnya. Nggak tau kenapa,” balas Vira. “Gue tau kenapa. Karena lo nggak punya partner yang tepat.” “Tapi gue bisa maen dengan siapa aja kok...”

“Gue tau, tapi partner lo nggak ada yang bisa ngeluarin kemampuan terbaik lo. Gue udah pernah liat lo waktu bermain di Altavia, dan gue tau cuman satu orang yang bisa bikin lo dan tim lo sekarang ini jadi lebih baik lagi.”

“Yang lo maksud... dia?” “Kalo gue nggak mau?” Stella akhirnya buka suara. “Ya udah, gue nggak bisa maksa lo. Tapi gue harap lo masih punya hati nurani.

Lo jangan lakuin ini buat gue, tapi buat temen-temen tim, yang juga temen-temen lo. Apa lo tega ngeliat impian mereka kandas begitu aja?” ujar Vira. “Gue nggak minta lo sekali ini aja. Cuman satu pertandingan dan gue nggak akan ganggu lo lagi. Terserah lo mo ikut ke Jakarta atau nggak,” lanjutnya.

“Lo udah ketemu Hera, kan?” tanya Vira, setelah melihat Stella tetap terdiam. “Gue nggak mau bahas soal itu...,” sentak Stella. “Gue juga nggak mau bahas itu. Gue ke sini cuman mo minta... mungkin

istilahnya bantuan, ya? Sebab gue udah perhitungin, tanpa lo kita nggak mungkin bisa menang. Lo udah tau juga kan kemampuan mereka saat Kejurnas dua tahun lalu? Kita kan nonton bareng finalnya di Jakarta.”

“Iya... gue nggak lupa.” “Lo pasti juga penasaran kan, pengin menjajal kemampuan mereka?

Pertandingan nya ntar jam tiga sore di GOR Padjajaran,” kata Vira. “Liat ajar ntar. Kalo mood gue lagi bagus, gue akan dateng. Tapi jangan ngandelin gue, karena gue nggak mau disalahin kalo tim lo kalah,” tandas Stella. “Bukan tim gue... tapi tim kita...,” ralat Vira.

Kembali ke pertandingan...

“Emang apa senjata rahasia kita?” tanya Alexa pada Stephanie. “Lo jangan nanya melulu ke gue... Gue aja nggak tau apa yang ada di pikiran Vira sekarang,” jawab Stephanie sedikit sewot.

“Trus, kita harus ngapain nih? Nggak ada yang kasih instruksi,” sambung Hanna. “Tunggu aja sampe Vira balik. Mudah-mudahan dia membawa kabar baik untuk kita...,” jawab Stephanie. “...dan keajaiban,” sambung Alexa.

Tapi sampai berakhirnya quarter kedua, Vira belum balik. “Gimana nih?” tanya Monica dengan napas senen-kemis. Saat ini kedudukan adalah 30-17, masih untuk Tim Senior. “Gue susul dia ke ruang ganti,” Stephanie mengambil keputusan. “Biar gue aja...,” potong Hanna, lalu dia beranjak pergi. Tapi baru beberapa

langkah, Hanna berhenti. “Tuh Vira udah balik!” Seluruh anggota tim berbalik ke arah yang ditunjuk Hanna. Vira terlihat masuk dari pintu timur. Dan dia nggak sendiri.

“Non Niken... ada tamu...” “Siapa, Bi?” “Nggak tau, Non.” Niken keluar dari kamarnya di lantai atas dan terkejut begitu melihat siapa yang

ada di ruang tamu. “Kak Aji?”

“Jadi, ini senjata rahasia kita?” tanya Stephanie.

“Senjata rahasia? Senjata rahasia apaan?” Stella yang datang bersama Vira jadi bingung. “Udah... udah... sekarang kita harus fokus pada pertandingan. Sekarang udah menit keberapa?” potong Vira. “Menit apaan? Quarter dua udah abis, Non... sekarang udah mo quarter tiga,” sambar Stephanie. “O iya... iya...” Vira melirik ke papan skor, melihat skor sementara. Lumayan juga ketinggalannya! batin Vira. “Trus, gimana nih?” tanya Hanna.

Quarter ketiga dimulai. Di quarter ketiga ini Tim Junior menurunkan formasi pemain Vira, Stephanie, Stella, Hanna, dan Alexa.

“Mereka nurunin pemain baru tuh! Siapa?” tanya Mira. Melihat Stella, kontan wajah Lusi berubah. “Kenapa, Lus?” tanya Mira. “Nggak... nggak papa.” “Kamu kenal dengan pemain baru mereka?” “Stella... dia dulu anggota mereka, tapi keluar karena masalah pribadi.” “Oooo... dia bagus?” “Lumayan... makanya kita jangan sampai lengah.”

Nggak cuman di kubu lawan, komentar saat Stella masuk lapangan juga terdengar di tribun penonton.

“Itu bukannya pemain kita yang udah ngundurin diri...? Siapa namanya? Ssstt... Sttt...,” tanya Pak Nurdin. “Stella. Stella Winchest,” jawab Pak Isman. “Iya... apa dia masuk tim kita lagi? Kok saya belum dengar soal itu?”

“Hmm... sebenarnya, Vira sudah bicara dengan saya soal ini,” sahut Pak Isman lagi. “Kapan? Kenapa saya tidak diberitahu?”

“Udah damai nih...?” goda Stephanie pada Vira. “Siapa bilang?” Vira ingat ucapan Stella saat di kamar ganti. “Gue lakuin ini bukan karena gue mo baikan ama lo. Gue lakuin ini, karena di dalam tim

ada temen-temen gue juga, anak-anak basket Altavia. Dan demi mereka gue rela ngelupain sebentar permusuhan kita. Tapi setelah ini, jangan harap sikap gue ke lo berubah. Nggak sama sekali!” Stella menegaskan.

“Iya... gue tau...” “Vir?” Sapaan Stephanie mengembalikan Vira ke alam nyata. “Ini seperti saat kejuaraan antar-SMA se-Jawa-Bali, kan?” tanya Stephanie. Stephanie benar, formasi Tim Junior saat ini emang hampir sama dengan

formasi starter saat SMA Altavia juara di turnamen antar-SMA se-Jawa-Bali setahun yang lalu. Bedanya cuman Hanna, yang dulu nggak masuk sebagai starter.

“Untuk ngalahin mereka, kita harus punya tim yang solid, dan itu nggak bisa kita wujudkan dalam waktu satu hari. Satu-satunya jalan adalah memakai tim yang udah terbukti solid dan udah tau kemampuan pemainnya satu sama lain,” Vira menjelaskan.

“Itu kita, kan? Tim bola basket terbaik yang pernah dimiliki oleh SMA Altavia?” “Yup. Gue sengaja nggak nyebut-nyebut soal ini di hadapan yang lain, takut

menyinggung perasaan mereka karena ngerasa nggak dibutuhin. Padahal kita tetap butuh yang lain sebagai pemain pengganti.”

“Karena itu kita butuh Stella. Tanpa dia, tim kita akan pincang. Bener, kan?” “Lo udah ngerti...”

“Itulah kenapa gue dipilih jadi kapten tim dulu hee... hee... hee...” Stephanie jadi narsis. Tapi dia segera kembali tersadar pada kondisi yang sedang mereka hadapi. “...tapi kita udah lama nggak pernah bermain bersama. Trus soal lo dan Stella?” tanyanya lagi. “Jangan kuatir... gue ama Stella udah sepakat bakal ngelupain persoalan antara kami sementara ini. Gue tau Stella. Dia pasti bakal bersi fat profesional.” Peluit tanda quarter ketiga dimulai berbunyi. The battle continues...

“Kak Aji nggak pergi ke GOR Padjajaran?” tanya Niken. “Ke GOR? Ngapain?” tanya Aji sambil makan kue nastar yang disuguhkan Niken. “Nonton basket.” “Kamu tau kan kalo aku nggak suka basket?” “Tau... cuman kan ini Vira yang main... Kak Aji belum ketemu Vira, kan?” Aji mengangguk males-malesan. Kayaknya dia setengah hati untuk pergi

memenuhi permintaan Niken.