DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH EMPAT
VIRA terlambat datang pada latihan pertamanya sebagai anggota tim gabungan Jawa Barat. Anggota tim yang lain ternyata udah berkumpul. Untung aja latihan belum dimulai, sebab Pak Isman dan pelatih lainnya belum kelihatan di lapangan.
“Kamu terlambat...,” sapa Rida. “Sori... tadi ada perlu,” sahut Vira. Vira melirik ke arah Stephanie. Kali ini kapten Tim Junior itu terlihat diam, sama
sekali nggak bicara sepatah kata pun. Juga Alexa dan Poppy yang ada di tempat itu. Vira tahu, mereka semua nggak senang dengan apa yang terjadi. Semua merasa dibohongi. Tapi nggak ada yang bisa diperbuat, karena bagaimanapun mereka punya ambisi masing-masing untuk tampil di Kejurnas.
Iseng, Vira menghitung anggota Tim Junior yang datang. Ada lima orang termasuk dirinya. Dan semuanya berasal dari Bandung. Pandangan Vira kemudian beralih ke kerumunan lain di sisi lapangan. Pemain dari Tim Senior berkerumun di sana. Vira menghitung, ada enam orang termasuk Lusi yang kaki kanannya terlihat masih memakai pelindung kaki dan duduk di tribun paling depan dengan dikerumuni rekan-rekannya.
Ada enam orang pemain dari Tim Senior, dan ada lima orang dari Tim Junior. Kalo ada dua belas orang yang bakal dipanggil dan Pak Isman menepati janjinya, Ada enam orang pemain dari Tim Senior, dan ada lima orang dari Tim Junior. Kalo ada dua belas orang yang bakal dipanggil dan Pak Isman menepati janjinya,
“Mo ke mana, Vir?” tanya Rida yang melihat Vira akan beranjak dari tempatnya. “Sebentar...” Vira menuju kerumunan pemain Tim Senior. Kedatangannya tentu aja
menimbulkan kehebohan di kedua kubu. “Vira mo ngapain?” tanya Poppy harap-harap cemas. “Nggak tau,” jawab Alexa. “Nggak usah kuatir... kalian kayak nggak tau Vira aja. Dia kan udah pernah
ngelakuin ini sebelumnya...,” tukas Stephanie sambil tersenyum. Kedatangan Vira yang “tanpa diundang” jelas menjadi perhatian di kubu Tim Senior. “Mo apa kamu?” kata Mira menyambut kedatangan Vira. Vira nggak menggubris perkataan Mira. Dia menuju ke Lusi yang duduk dan
tertutup pemain lain. “Cedera kamu nggak parah, kan?” tanya Vira. “Kenapa? Kamu ngarepin Lusi cedera parah!?” potong Mira. “Mir...” Lusi memperingatkan temannya. Lalu dia menatap ke arah Vira. “Aku harap nggak parah. Sebab kamu sangat dibutuhin dalam tim ini,” lanjut
Vira. Ucapan Vira yang terdengar lembut dan bersahabat membuat tatapan mata Lusi berubah, dari yang tadinya kelihatan “sangar” jadi sedikit melembut.
“Nggak papa kok. Minggu depan juga aku udah bisa main lagi,” jawab Lusi. “Syukur deh kalo begitu...” Vira berhenti sebentar sebelum melanjutkan, “Ya udah... see you later...,”
lanjutnya, lalu kembali ke teman-temannya diikuti tatapan para pemain senior.
“Vira... Vira...,” gumam Stephanie sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lima menit kemudian Pak Isman dan ofisial tim lainnya datang ke lapangan. Melihat kedatangan pelatihnya, Vira segera menghampiri.
“Vira mo ngapain lagi?” tanya Poppy (lagi). “Mo protes, kali...,” jawab Alexa sekenanya. Tanpa diduga, Stephanie beranjak menyusul Vira, diikuti yang lainnya. “Pak, saya mo bicara,” kata Vira. Pak Isman yang baru aja menaruh tasnya di bangku menoleh ke arah Vira. Juga
Pak Dibyo dan ofisial lain yang ada di dekat situ. “Vira? Nanti saja kalau mau bicara. Sekarang kita sudah terlambat latihan,” sahut Pak Isman. “Sebentar saja. Hanya lima detik.” “Oke... kamu mau bicara apa?” Vira menatap tajam wajah pelatihnya. “Saya keluar dari tim,” kata Vira mantap. Ucapannya membuat Pak Isman dan yang lainnya terkejut, termasuk Stephanie
dan pemain Tim Junior lainnya yang ada di belakang Vira. “Apa kata kamu?” tanya Pak Isman. “Maaf... tapi saya nggak bisa masuk dalam tim ini,” kata Vira. “Alasannya?” “Nggak ada alasan bagi saya untuk tetap berada di tim ini. Saya udah nggak
punya lagi motivitasi dan hati untuk bermain di sini. Dan Bapak pasti tahu tanpa itu semua, kita nggak akan bisa bermain dengan baik, dan nggak berguna bagi tim. Karena itu saya lebih baik memberi tempat saya pada orang lain yang mungkin lebih berguna bagi tim.”
Ucapan Vira singkat, tapi langsung menuju sasaran. “Kamu sudah pikirkan baik-baik keputusanmu itu? Kamu adalah salah satu
pemain yang sangat dibutuhkan tim. Salah satu pemain yang bisa mengubah permainan sesuai kondisi d i lapangan, dan kita membutuhkan itu semua.”
Vira mengangguk mantap.
“Tapi saya tidak akan berguna jika tidak bisa bermain sepenuh hati. Dan saya sudah memikirkan masak-masak keputusan ini. Ini keputusan terberat yang pernah saya ambil,” jawabnya.
Pak Isman menghela napas, dan sejenak mengedarkan pandangannya. “Baiklah, walau Bapak menyayangkan keputusan kamu, tapi Bapak tidak bisa
memaksa kamu untuk tetap masuk tim. Semoga ini keputusan terbaik yang kamu buat,” kata Pak Isman akhirnya.
“Terima kasih, Pak. Semoga tim ini juga bisa sukses.” “Tapi kamu tidak akan menolak kalau suatu saat nanti dipanggil lagi untuk
mewakili daerah, kan?” “Tentu saja nggak,” jawab Vira sambil tersenyum.
“Vir...,” ujar Stephanie saat Vira akan pergi. “Ini keputusan gue sendiri, dengan alasan pribadi gue. Gue nggak akan nganjurin yang lain untuk ikut-ikutan mengundurkan diri. Bagi yang ingin tetap bergabung di tim ini silakan saja, nggak usah merasa ada beban. Dan bagi yan ginin keluar, harus punya alasan yang kuat dan keluar dari pribadinya sendiri. Nggak ada solidaritas tim di sini,” kata Vira.