Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya perusahaan perbankan dipahami sebagai sebuah “going concern ”, yang ada dan tumbuh bukan untuk kepentingan sesaat saja, maka kemampuan untuk menghasilkan dan meningkatkan returnkinerja keuangan haruslah ditingkatkan untuk mencapai dan memelihara keberadaan jangka panjangnya atau dalam istilah Seth dan Thomas 1994 dalam Augusty 2003 adalah “to maintain longterm viability”. Hal itu menunjukkan bahwa tujuan perusahaan perbankan adalah menghasilkan dan memelihara keberadaan jangka panjangnya melalui dihasilkan dan dikembangkannya kinerja keuangan yang baik. Industri perbankan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi sebagai financial intermediary atau perantara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Falsafah yang mendasari kegiatan usaha bank adalah kepercayaan masyarakat. Hal tersebut tampak dalam kegiatan pokok bank yang menerima simpanan dari masyarakat dalam bentuk tabungan, giro, deposito berjangka dan memberikan kredit kepada pihak yang memerlukan dana Standar Akuntansi Keuangan, 2004. Perusahaan perbankan yang ada di Indonesia meliputi bank persero, bank umum swasta nasional devisa, bank umum swasta nasional non devisa, bank pembangunan daerah, bank campuran, dan bank asing. Bank yang digunakan dalam penelitian adalah bank devisa. Bank devisa yaitu bank yang berstatus devisa atau bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang behubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya transfer ke luar negeri, travelers cheque, dan transaksi luar negeri lainnya Kasmir, 2004. Pengertian devisa dapat dikategorikan secara fisik dan non fisik. Secara fisik devisa merupakan valuta asing non logam yang digunakan untuk alat pembayaran yang sah, sedangkan secara non fisik adalah saldo dalam bentuk valuta asing pada Bank Indonesia. Seiring dengan krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang dimulai dengan merosotnya nilai Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi termasuk pada sektor perbankan nasional. Menurut Maharani 2007, terpuruknya sektor perbankan akibat krisis ekonomi, memaksa pemerintah untuk melikuidasi bank-bank yang dinilai tidak sehat dan tidak layak lagi untuk beroperasi. Hal ini mengakibatkan timbulnya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap industri perbankan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga mengakibatkan banyaknya bank yang mengalami kredit macet. Hal tersebut mempengaruhi iklim investasi pasar modal di bidang perbankan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Pohan 2002, krisis moneter di Indonesia secara umum dapat dikatakan merupakan imbas dari lemahnya kualitas sistem perbankan. Liberalisasi sektor perbankan sejak tahun 1988 lebih banyak berimplikasi pada peningkatan kuantitas daripada kualitas lembaga perbankan, sehingga efisiensi dan stabilitas perbankan masih jauh dari yang diharapkan. Rendahnya kualitas perbankan antara lain tercermin dari lemahnya kondisi internal sektor perbankan, lemahnya manajemen bank, moral hazard yang timbul akibat mekanisme keluar yang belum tegas serta belum efektifnya pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia. Sedangkan menurut Ali 2006, penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia bukan lemahnya fundamental ekonomi, tetapi karena merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika. Utang luar negeri swasta jangka pendek sejak awal 1990-an telah terakumulasi sangat besar dimana sebagian besar tidak di-hedging dilindungi nilainya terhadap mata uang asing. Pengertian hedging di pasar komoditas adalah proteksi dari risiko kerugian akibat fluktuasi harga. Hedging ini dapat dilaksanakan melalui bursa berjangka dengan membuka kontrak beli atau jual atas suatu komoditas sejalan dengan perdagangan komoditas tersebut di pasar fisik. Hal inilah yang kemudian menambah tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar hutang yang jatuh tempo beserta bunganya. Kondisi perbankan ini mendorong pihak-pihak yang terlibat didalamnya untuk melakukan penilaian atas kesehatan bank, untuk mengetahui kebelanjutan bank di masa yang akan datang. Salah satu pihak yang perlu mengetahui kinerja dari sebuah bank adalah investor, karena semakin baik kinerja bank tersebut maka jaminan keamanan atas dana yang diinvestasikan juga semakin besar. Dengan menggunakan pertumbuhan rasio keuangan, investor dapat mengetahui kinerja suatu bank. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan rasio keuangan memperlihatkan bagaimana kemampuan perusahaan dalam menjalankan usahanya dari tahun ke tahun, apakah mengalami peningkatan atau justru mengalami penurunan. Selain pertumbuhan rasio keuangan, sensitivitas bank terhadap kondisi ekonomi makro juga mempengaruhi keberlanjutan kinerja perusahaan perbankan secara keseluruhan. Itu disebabkan karena kondisi ekonomi makro dapat mempengaruhi kegiatan bank, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi laba yang diperoleh bank. Laba itu sendiri berfungsi untuk menjamin kontinuitas berdirinya bank. Berbagai kebijakan Bank Indonesia yang ditetapkan setelah krisis, semuanya bertujuan agar perbankan Indonesia tetap viable dalam menghadapi segala goncangan internal maupun eksternal. Kesehatan maupun kondisi keuangan dan non keuangan bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola manajemen bank, dan masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank, serta pihak lainnya. Kondisi bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko Sri Haryati, 2006. Penilaian atas kinerja dan pertumbuhan suatu bank dapat menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio keuangan tersebut adalah: 1 Rasio efesiensi operasional, 2 Rasio kualitas portofolio, dan 3 Rasio kemampuan berkelanjutan. Rasio kemampuan berkelanjutan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: a kemampuan operasional berkelanjutanoperating sustainability, b kemampuan keuangan berkelanjutanfinancial sustainability. Dari ketiga rasio tersebut dapat diketahui bahwa rasio berkelanjutanlah yang merupakan rasio penentu, hal ini disebabkan karena dari rasio ini dapat diketahui sustainability keberlanjutan dan tingkat pertumbuhan bank dalam jangka panjang Luciana, dkk, 2009. Pada penelitian ini, penilaian atas kinerja dan pertumbuhan suatu bank akan lebih difokuskan pada rasio kemampuan keuangan berkelanjutan atau dapat dinyatakan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan rasio kemampuan keuangan berkelanjutan atau Financial Sustainability Ratio FSR pada perusahaan perbankan, memberikan hasil yang berbeda-beda, antara lain: Hasil penelitian Achmad dan Kusuno 2003 menunjukkan bahwa ROA dan LDR merupakan variabel yang tepat digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan bank 3 tahun mendatang. Potensi kebangkrutan bank dapat menghambat bank dalam melanjutkan kinerjanya, atau dalam hal ini potensi kebangkrutan bank berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Hasil penelitian Juniasari dan Suwarno 2005 menunjukkan bahwa CAR, RORA, PBAP, ROTA, LDR, dan Size berpengaruh signifikan terhadap prediksi kegagalan bank. Prediksi kegagalan bank dapat digunakan untuk mengetahui apakah bank tersebut masih dapat melanjutkan kinerjanya atau tidak, dalam hal ini prediksi kegagalan bank berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Hasil penelitian Almilia dan Herdiningtyas 2005 menunjukkan bahwa CAR berpengaruh negatif terhadap kondisi bermasalah suatu bank, sedangkan BOPO berpengaruh positif terhadap kondisi bermasalah suatu bank. Prediksi kondisi bermasalah pada bank dapat digunakan untuk mengetahui apakah bank tersebut masih dapat melanjutkan kinerjanya atau tidak, dalam hal ini prediksi kondisi bermasalah pada bank berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Hasil penelitian Maharani dan Sugiharto 2007 menunjukkan bahwa LDR berpengaruh negatif terhadap kinerja bank devisa dan non devisa. Kinerja bank menunjukkan kemampuan bank dalam melanjutkan kinerja keuangannya, atau dalam hal ini kinerja bank berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Hasil penelitian Nugraheni dan Hapsoro 2007 menunjukkan bahwa CAR, ROE, dan Size berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan, sedangkan NPL, NPM, dan Inflasi berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan. Kinerja keuangan suatu bank dapat digunakan untuk melihat bagaimana kemampuan bank tersebut dalam usaha untuk melanjutkan kinerja keuangannya, atau dalam hal ini kinerja bank berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Hasil penelitian Abdul Mongid 2008 menunjukkan bahwa suku bunga BI berpengaruh negatif terhadap pemberian kredit, sedangkan pertumbuhan DPK, nilai tukar, dan perubahan base money berpengaruh positif terhadap pemberian kredit. Pemberian kredit yang baik menunjukkan proses intermediasi berjalan dengan baik, sehingga dapat dipastikan bahwa kondisi keberlanjutan kinerja keuangan perbankan yang dinyatakan dalam Financial Sustainability Ratio FSR akan berjalan dengan baik juga, atau dalam hal ini pemberian kredit berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Hasil penelitian Sri Haryati 2009 menunjukkan bahwa variabel GDPK, GPD, dan inflasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan kredit perbankan Indonesia, sedangkan BI rate dan Exchange Rate ER berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan kredit perbankan Indonesia. Pertumbuhan kredit perbankan mencerminkan kinerja keuangan perbankan yang digunakan untuk mengetahui kondisi keberlanjutan kinerja keuangan perbankan yang dinyatakan dalam Financial Sustainability Ratio FSR, atau dalam hal ini pertumbuhan kredit berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR. Hasil penelitian Luciana, dkk 2009 menunjukkan bahwa variabel CAR berpengaruh negatif terhadap Financial Sustainability Ratio FSR. Financial Sustainability Ratio FSR merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam melanjutkan kinerja keuangannya. Semakin tinggi nilai Financial Sustainability Ratio FSR suatu bank, maka semakin tinggi pula kemampuan bank dalam melanjutkan kinerja keuangannya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan Financial Sustainability Ratio FSR , research gap tampak pada variabel Return On Asset ROA, Capital Adequacy Ratio CAR, Non Performing Loan NPL, Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi BOPO, Loan to Deposit Ratio LDR, suku bunga Bank Indonesia, kurs valasExchange Rate ER, dan inflasi. Sementara itu, prediksi terhadap Financial Sustainability Ratio FSR dapat dilakukan dengan melihat kondisi pertumbuhan rasio-rasio keuangan bank dan sensitivitas bank terhadap kondisi ekonomi makro, sehingga pada penelitian ini pertumbuhan rasio-rasio keuangan yang digunakan adalah Pertumbuhan Return On Asset ∆ROA, Pertumbuhan Capital Adequacy Ratio ∆CAR, Pertumbuhan Non Performing Loan ∆NPL, Pertumbuhan Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi ∆BOPO, dan Pertumbuhan Loan to Deposit Ratio ∆LDR, sedangkan sensitivitas bank terhadap kondisi ekonomi makro yang digunakan adalah Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia, Sensitivitas NIM terhadap Kurs, dan Sensitivitas NIM terhadap Inflasi. Pertumbuhan Return On Asset ∆ROA digunakan untuk mengukur peningkatan atau penurunan Return On Asset ROA antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya. Sedangkan pengertian Return On Asset ROA itu sendiri adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Peningkatan Return On Asset ROA menunjukkan semakin besar tingkat keuntungan yang dicapai bank dan semakin baik posisi bank dari segi penggunaan aset antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya, dan sebaliknya. Pertumbuhan Capital Adequacy Ratio ∆CAR digunakan untuk mengukur peningkatan atau penurunan Capital Adequacy Ratio CAR antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya. Sedangkan pengertian Capital Adequacy Ratio CAR itu sendiri adalah rasio yang digunakan untuk mengukur peningkatan atau penurunan kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan Dendawijaya, 2003. Peningkatan Capital Adequacy Ratio CAR menunjukkan bahwa semakin baik posisi modal bank antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya, dan sebaliknya. Pertumbuhan Non Performing Loan ∆NPL digunakan untuk mengukur peningkatan atau penurunan Non Performing Loan NPL antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya. Sedangkan Non Performing Loan NPL itu sendiri merupakan rasio yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam mengkover risiko pengembalian kredit oleh debitur Komang Darmawan, 2004. Peningkatan Non Performing Loan NPL menunjukkan semakin besar risiko kredit yang ditanggung pihak bank antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan bank dalam kondisi bermasalah semakin besar, dan sebaliknya. Pertumbuhan Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi ∆BOPO digunakan untuk mengukur peningkatan atau penurunan BOPO antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya. Sedangkan Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi BOPO merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya Dendawijaya, 2003. Peningkatan BOPO menunjukkan semakin tidak efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya, dan sebaliknya. Pertumbuhan Loan to Deposit Ratio ∆LDR digunakan untuk mengukur peningkatan atau penurunan Loan to Deposit Ratio LDR antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya. Sedangkan Loan to Deposit Ratio LDR itu sendiri merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya Dendawijaya, 2003. Peningkatan Loan to Deposit Ratio LDR menunjukkan semakin riskan kondisi likuiditas bank antara tahun saat ini dengan tahun sebelumnya, dan sebaliknya. Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia adalah persentase perubahan NIM yang diperoleh bank, dibagi atau dibandingkan dengan persentase perubahan suku bunga Bank Indonesia. Jadi semakin rendah persentase perubahan suku bunga Bank Indonesia dibandingkan persentase perubahan NIM, maka akan semakin tinggi Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia. Sensitivitas NIM terhadap Kurs adalah persentase perubahan NIM yang diperoleh bank, dibagi atau dibandingkan dengan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing. Jadi semakin rendah perubahan kurs dibandingkan persentase perubahan NIM, maka akan semakin tinggi Sensitivitas NIM terhadap Kurs. Sensitivitas NIM terhadap Inflasi adalah persentase perubahan NIM yang diperoleh bank, dibagi atau dibandingkan dengan persentase perubahan inflasi. Jadi semakin rendah persentase perubahan inflasi dibandingkan dengan persentase perubahan NIM, maka akan semakin tinggi Sensitivitas NIM terhadap Inflasi. Kondisi FSR Bank Devisa selama periode penelitian 2003-2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut: Tabel 1.1 Financial Sustainability Ratio FSR Bank Devisa Periode 2003-2009 No Nama Bank 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Mean 1 Bank Artha Graha Internasional, Tbk 102,88 109,70 102,55 102,27 101,28 101,74 108,14 103,87 2 PT. Bank Bukopin 109,36 112,45 113,53 110,54 111,93 110,95 110,03 111,23 3 PT. Bank Bumi Artha, Tbk 115,37 121,06 117,43 115,83 112,18 114,31 115,58 115,55 4 PT. Bank Bumiputera Indonesia 106,69 107,23 94,18 101,16 102,73 100,26 100,62 102,29 5 PT. Bank Centra Asia, Tbk 121,23 131,42 130,15 127,91 130,18 130,05 115,95 125,87 6 PT. Bank Danamon, Tbk 123,88 141,63 125,64 118,69 126,58 111,09 108,56 121,32 7 PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk 114,22 144,64 115,66 110,36 115,60 118,15 119,79 118,51 8 PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk 108,11 125,48 114,78 109,52 110,36 104,29 107,19 110,34 9 PT. Bank Kesawan, Tbk 102,52 101,62 101,61 101,80 102,60 101,35 98,67 101,32 10 PT. Bank Mayapada Internasional 101,27 112,52 105,48 107,90 108,70 106,83 106,36 106,44 11 PT. Bank Mega, Tbk 118,99 121,69 108,17 105,03 116,89 114,27 140,32 116,87 12 PT. Bank Nusantara Parahyangan, Tbk 114,01 116,37 111,00 109,01 109,95 109,11 105,69 110,66 13 PT. Bank PAN Indonesia, Tbk 118,59 141,20 118,74 118,19 122,38 114,85 114,11 118,86 14 PT. Bank Permata, Tbk 118,21 121,93 108,65 106,50 110,58 108,74 107,52 107,24 15 PT. Bank Swadesi, Tbk 113,97 117,44 114,44 107,42 108,16 101,13 128,22 113,50 Mean 112,62 121,76 112,13 110,14 112,67 109,81 112,45 112,26 Sumber: Direktori Perbankan Indonesia 2003-2008 dan Annual Report 2009 diolah Tabel 1.1 di atas menunjukkan nilai Financial Sustainability Ratio FSR masing-masing Bank Devisa pada tahun 2003-2009 mengalami perubahan setiap tahunnya. Nilai Financial Sustainability Ratio FSR terendah terjadi pada PT. Bank Bumiputera Indonesia pada tahun 2005, sedangkan nilai Financial Sustainability Ratio FSR tertinggi terjadi pada PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk pada tahun 2004. Pada tahun 2005, PT. Bank Bumiputera Indonesia memiliki nilai FSR dibawah standar ketetapan BI diatas 100, yaitu 94,18. Pada tahun 2009, PT. Bank Kesawan, Tbk juga memiliki nilai FSR dibawah standar ketetapan BI diatas 100, yaitu 98,67. Kondisi rasio ROA, CAR, NPL, BOPO, dan LDR dibandingakan dengan FSR pada Bank Devisa selama periode penelitian 2003-2009, dapat dilihat pada Tabel 1.2 sebagai berikut: Tabel 1.2 Perbandingan Variabel Penelitian ROA, CAR, NPL, BOPO, dan LDR Terhadap FSR Rasio 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 ROA 1,91 2,40 1,72 1,54 1,80 1,67 1,49 CAR 19,83 19,80 17,38 19,78 19,57 17,16 18,56 NPL 4,53 3,64 3,58 4,13 3,42 2,69 3,23 BOPO 85,78 79,47 84,56 88,23 84,83 85,87 87,43 LDR 60,13 62,70 71,91 69,24 73,14 83,23 73,74 FSR 112,62 121,76 112,13 110,14 112,67 111,10 112,45 Sumber: Direktori Perbankan Indonesia 2003-2008, LPP 2004-2009, dan Annual Report 2009 diolah Rasio ROA pada tahun 2003-2004 mengalami peningkatan 1,91 menjadi 2,40, searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, ROA mengalami penurunan 2,40 menjadi 1,72, searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, ROA mengalami penurunan 1,72 menjadi 1,54, searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, ROA mengalami peningkatan 1,54 menjadi 1,80, searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, ROA mengalami penurunan 1,80 menjadi 1,67, searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, ROA mengalami penurunan 1,67 menjadi 1,49, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Rasio CAR pada tahun 2003-2004 mengalami penurunan 19,83 menjadi 19,80, tidak searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, CAR mengalami penurunan 19,80 menjadi 17,38, searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, CAR mengalami peningkatan 17,38 menjadi 19,78, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, CAR mengalami penurunan 19,78 menjadi 19,57, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, CAR mengalami penurunan 19,57 menjadi 17,16, searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, CAR mengalami peningkatan 17,16 menjadi 18,56, searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Rasio NPL pada tahun 2003-2004 mengalami penurunan 4,53 menjadi 3,64, tidak searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, NPL mengalami penurunan 3,64 menjadi 3,58, searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, NPL mengalami peningkatan 3,58 menjadi 4,13, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, NPL mengalami penurunan 4,13 menjadi 3,42, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, NPL mengalami penurunan 3,42 menjadi 2,69, searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, NPL mengalami peningkatan 2,69 menjadi 3,23, searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Rasio BOPO pada tahun 2003-2004 mengalami penurunan 85,78 menjadi 79,47, tidak searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, BOPO mengalami peningkatan 79,47 menjadi 84,56, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, BOPO mengalami peningkatan 84,56 menjadi 88,23, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, BOPO mengalami penurunan 88,23 menjadi 84,83, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, BOPO mengalami peningkatan 84,83 menjadi 85,87, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, BOPO mengalami peningkatan 85,87 menjadi 87,43, searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Rasio LDR pada tahun 2003-2004 mengalami peningkatan 60,13 menjadi 62,70, searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, LDR mengalami peningkatan 62,70 menjadi 71,91, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, LDR mengalami penurunan 71,91 menjadi 69,24, searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, LDR mengalami peningkatan 69,24 menjadi 73,14, searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, LDR mengalami peningkatan 73,14 menjadi 83,23, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, LDR mengalami penurunan 83,23 menjadi 73,74, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Berdasarkan Tabel 1.2, fenomena gap tampak pada variabel ROA, CAR, NPL, BOPO, dan LDR. Konsistensi hubungan tidak searah antara variabel ROA dan FSR terjadi pada tahun 2008-2009, sedangkan pada tahun 2003-2004, 2004-2005, 2005-2006, 2006-2007, dan 2007-2008, hubungan antara ROA dan FSR menunjukkan arah yang sama. Pada tahun 2003-2004, 2005-2006, dan 2006-2007, hubungan antara CAR dan FSR menunjukkan arah yang tidak sama, namun pada tahun 2004-2005, 2007-2008, dan 2008-2009, hubungan antara CAR dan FSR menunjukkan arah yang sama. Pada tahun 2004-2005, 2007-2008, 2008-2009, NPL konsisten searah dengan FSR, namun pada tahun 2003-2004, 2005-2006, dan 2006-2007, hubungan antara NPL dan FSR menunjukkan arah yang berbeda. Pada tahun 2003-2004, 2004-2004, 2005-2006, 2006-2007, dan 2007-2008, hubungan antara BOPO dan FSR menunjukkan arah yang berbeda, namun pada tahun 2008-2009, hubungan antara BOPO dan FSR menunjukkan arah yang sama. Pada tahun 2003-2004, 2005-2006, dan 2006-2007, LDR konsisten searah dengan FSR, namun pada tahun 2004-2005, 2007-2008, dan 2008-2009, hubungan antara LDR dan FSR menunjukkan arah yang berbeda. Kondisi Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia, Sensitivitas NIM terhadap Kurs, dan Sensitivitas NIM terhadap Inflasi pada Bank Devisa, dibandingkan dengan FSR selama periode penelitian 2003-2009, dapat dilihat pada Tabel 1.3 sebagai berikut: Tabel 1.3 Perbandingan Variabel Penelitian Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia, Sensitivitas NIM terhadap Kurs, dan Sensitivitas NIM Terhadap Inflasi terhadap FSR Rasio 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 S_BI 0.94 -1.39 -0.33 -0.03 -0.12 0.05 -0.04 S_Kurs -0.00248 0.00084 -0.00092 -0.00013 0.00051 0.00004 -0.00008 S_Inflasi -0.2366 0.51741 -0.0413 -0.0087 -20.333 0.01477 -0.014 FSR 112.62 121.76 112.13 110.14 112.67 111.10 112.45 Sumber: Direktori Perbankan Indonesia 2003-2008, Annual Report 2009, dan SEKI 2002-2009 diolah S_BI = Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia S_Kurs = Sensitivitas NIM terhadap Kurs S_Inflasi= Sensitivitas NIM terhadap Inflasi Tingkat Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia pada tahun 2003-2004 mengalami penurunan 0,94 menjadi -1,39, tidak searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia mengalami peningkatan -1,39 menjadi -0,33, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia mengalami peningkatan -0,33 menjadi -0,03, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia mengalami penurunan -0,03 menjadi -0,12, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia mengalami peningkatan -0,12 menjadi 0,05, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia mengalami penurunan 0,05 menjadi -0,04, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Tingkat Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia pada tahun 2003-2009 menunjukkan konsistensi hubungan tidak searah dengan FSR. Tingkat Sensitivitas NIM terhadap Kurs pada tahun 2003-2004 mengalami peningkatan -0,00248 menjadi 0,00084, searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Kurs mengalami penurunan 0,00084 menjadi -0,00092, searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Kurs mengalami peningkatan -0,00092 menjadi -0,00013, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Kurs mengalami peningkatan -0,00013 menjadi 0,00051, searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Kurs mengalami penurunan 0,00051 menjadi 0,00004, searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Kurs mengalami penurunan 0,00004 menjadi -0,00008, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi pada tahun 2003-2004 mengalami peningkatan -0,2366 menjadi 0,51741, searah dengan FSR yang mengalami peningkatan 112,62 menjadi 121,76. Pada tahun 2004-2005, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi mengalami penurunan 0,51741 menjadi -0,0413, searah dengan FSR yang menunjukkan penurunan 121,76 menjadi 112,13. Pada tahun 2005-2006, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi mengalami peningkatan -0,0413 menjadi -0,0087, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 110,14. Pada tahun 2006-2007, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi mengalami penurunan -0,0087 menjadi -20,333, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 110,14 menjadi 112,67. Pada tahun 2007-2008, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi mengalami peningkatan -20,333 menjadi 0,01477, tidak searah dengan FSR yang turun hingga 111,10. Pada tahun 2008-2009, tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi mengalami penurunan 0,01477 menjadi -0,014, tidak searah dengan FSR yang menunjukkan peningkatan 111,10 menjadi 112,45. Berdasarkan Tabel 1.3, fenomena gap tampak pada variabel Sensitivitas NIM terhadap Kurs dan Sensitivitas NIM terhadap Inflasi. Konsistensi hubungan searah antara variabel Sensitivitas NIM terhadap Kurs dan FSR terjadi pada tahun 2003-2004, 2004-2005, 2006-2007, dan 2007-2008, sedangkan pada tahun 2005-2006 dan 2008-2009, hubungan antara tingkat Sensitivitas NIM terhadap Kurs dan FSR menunjukkan arah yang berbeda. Pada tahun 2003-2004 dan 2004-2005, hubungan antara tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi dan FSR menunjukkan arah yang sama, sedangkan pada tahun 2005-2006, 2006-2007, 2007-2008, dan 2008-2009, hubungan antara tingkat Sensitivitas NIM terhadap Inflasi dan FSR menunjukkan arah yang berbeda. Berdasarkan pada fenomena gap dan keragaman argumentasi research gap hasil penelitian yang ada mengenai pengaruh faktor internal dan eksternal perusahaan perbankan terhadap FSR mendorong untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini menggunakan variabel ROA, CAR, NPL, BOPO, LDR, Sensitivitas NIM terhadap Suku Bunga Bank Indonesia, Sensitivitas NIM terhadap Kurs, dan Sensitivitas NIM terhadap Inflasi untuk mengetahui pengaruh variabel tersebut terhadap FSR pada Bank Devisa di Indonesia tahun 2003-2009.

1.2 Rumusan Masalah