Prinsip-Prinsip Dasar Etnografi

A. Prinsip-Prinsip Dasar Etnografi

Spradley dalam bukunya berjudul Metode Etnografi (2007) sangat gamblang dan sistematis menjelaskan tentang empat tipe analisis etnografi, yaitu analisis domain, analisis taksonomik, analisis komponen, dan analisis tema. Empat tipe analisis tersebut menempatkan metode etnografi yang dikemukakan Spradley itu dikenal sebagai Etnografi Baru. Etnografi baru berusaha menemukan keunikan dari masyarakat yang ditelitinya. Keunikan itu terletak pada persepsi dan organisasi pikiran masyarakat atas fenomena material yang ada di sekelilingnya. Bukan fenomena material yang menjadi fokus kajian, melainkan persepsi dan struktur pikiran terhadap fenomea material tersebut, yang dihadapinya sehari-hari.

Menurut Spradley etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuannya, untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan Bronislaw Malinowski. Bronislaw Malinowski (dalam Spradley,2007:4) mengemukakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunia. Dengan demikian, etnografi bukan semata mempelajari masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat.

Mempelajari sekaligus belajar dari masyarakat. Kalimat tersebut menjadi pedoman yang harus selalu diingat oleh seorang etnograf. Ada dua hal yang terkandung dalam ungkapan kalimat tersebut. Pertama, tidak seperti kajian-kajian pada umumnya di mana peneliti dan obyek yang diteliti terdapat jarak, di dalam etnografi seorang etnograf masuk menjadi bagian dari masyarakat dan menggunakan sudut pandang penduduk asli untuk memplajari masyarakat tersebut. Kedua, seorang etnograf yang menggunakan sudut pandang penduduk asli dimungkinkan manakala ia belajar menjadi bagian dari masyarakat tersebut.

Spradley mengemukakan, inti etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin ia pahami. Beberapa makna tersebut terekspresi secara langsung dalam bahasa, dan di antara makna yang diterima, banyak disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan. Namun demikian, setiap masyarakat tetap menggunakan sistem makna yang kompleks untuk mengatur tingkah lakunya, untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna inilah merupakan kebudayaan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, etnografi hendak mempelajari sistem makna yang disebut dengan kebudayaan suatu masyarakat. Etnografi tentunya menggunakan teori kebudayaan untuk mempelajarinya.

a. Kebudayaan sebagai Fokus dan Tujuan Etnografi Terdapat berbagai definisi dan perspektif untuk memandang kebudayaan.

Tetapi bagi etnografi, pengertian kebudayaan dikonsepsikan sesuai dengan tujuannya: “untuk memahami sudut pandang penduduk asli”. Pengertian kebudayaan yang sesuai untuk itu menurut Spradley adalah, menunjuk pada pengatahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Dengan demikian, kebudayaan Tetapi bagi etnografi, pengertian kebudayaan dikonsepsikan sesuai dengan tujuannya: “untuk memahami sudut pandang penduduk asli”. Pengertian kebudayaan yang sesuai untuk itu menurut Spradley adalah, menunjuk pada pengatahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Dengan demikian, kebudayaan

Pengertian kebudayaan dalam sudut pandang etnografi adalah sebagai suatu simbol yang mempunyai makna. Konsep ini memiliki persamaan dengan pandangan teori Interaksionisme Simbolik, yaitu suatu teori yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna. Teori ini memiliki tiga premis sebagai landasan teorinya.

1. Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya, orang bertidak memiliki makna dibalik tindakan itu.

2. Makna dari berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interasi sosial seseorang dengan orang lain.

3. Makna ditangani atau dimodivikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi orang tersebut. Orang bukanlah robot yang dikendalikan oleh kebudayaannya, melainkan

mendefinisikan kebudayaannya itu untuk situasi yang terjadi dalam tindakan orang itu. Menurut Spradley, kebudayaan dengan demikian dipandang sebagai suatu peta yang dalam kehidupan sehari-hari manusia merujuk pada peta itu. Sebagai sebuah peta, kebudayaan mengemukakan prinsip-prinsip untuk digunakan dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap suatu kejadian. Etnografi menurut teori Interaksionisme Simbolik perlu secara cermat mempelajari makna. Untuk itu etnografi membutuhkan teori mengenai makna dan metodologis khusus yang dirancang untuk menyelidiki makna. Etnografi menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda dalam antropologi dan sosiologi.

Kebudayaan dengan demikian tidak dapat diamati secara langsung, melainkan menyelami alam pikiran masyarakatnya. Etnografer melihat dan mendengar kemudian membuat kesimpulan tentang hal yang diketahui orang. Kesimpulan itu dibuat berdasarkan tiga sumber, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Pada mulanya kesimpulan itu hanya merupakan hipotesis mengenai hal yang diketahui orang. Oleh karena itu, kesimpulan tersebut harus diuji secara berulang-ulang sampai etnografer memiliki kepastian bahwa orang-orang itu sama-sama memiliki sistem makna budaya yang khsus. Kesimpulan akhir yang diperoleh merupakan sebuah deskripsi budaya. Kemudian, etnografer mengevaluasi dan menguji ketepatan deskripsi itu. Pengevaluasian dan pengujian dilakukan dengan jalan menggunakan statetemn etnografi dalam diskripsi tersebut ke dalam kondisi masyarakat itu. Deskripsi etnografi tersebut merupakan pengetahuan mengenai sistem budaya suatu masyarakat.

Apa yang dikemukakan oleh Spradley di atas dapat disimpulan dalam beberapa pernyataan berikut.

1. Etnografi menggunakan sudut pandang penduduk asli untuk mempelajari sistem kebudayaan suatu masyarakat.

2. Kebudayaan dalam pandangan etnografi bukanlah apa yang dilihat dan didengar (secara material), tetapi alam pikiran mereka (secara kognitif).

3. Sistem kebudayaan dipandang sebagai sistem makna atau peta yang mengandung prinsip-prinsip untuk digunakan dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap suatu kejadian.

4. Prose kerja penelitian etnografi berdasarkan sumber data yang berupa: apa yang

dikatakan orang, apa yang dilakukan orang, dan artefak yang digunakan orang.

5. Tujuan etnografi adalah mendiskripsikan sistem kebudayaan dari sudut pandang penduduk asli. Oleh karena itu, masyarakat yang diteliti adalah objek sekaligus subjek penelitian.

6. Hasil penelitian etnografi adalah diskripsi kebudayaan sebagai sebuah pengetahuan mengenai makna, prinsip, dan peta yang dirujuk oleh masyarakat untuk menginterpretasikan kondisi tindakan yang dihadapi setiap hari.

Dalam konteks keilmuan, etnografi menawarkan suatu strategi yang sangat baik untuk menemukan grounded theory. Grounded teori disebut juga dengan teori substantif adalah teori didasarkan atas data empiris; suatu teori yang dirumuskan berdasarkan abstraksi data-data penelitian. Etnografi bukan menggunakan teori-teori formal, yaitu teori-teori yang sudah tersedia sebelumnya. Seorang etnografer ketika terjun ke dalam masyarakat tidak membawa cara pandang tertentu, karena penelitian etnografi hanya menggunakan satu cara pandang, yaitu yang dimiliki oleh penduduk asli dari masyarakat yang akan diteliti. Ketiadaan teori untuk menemukan teori.

Salah satu strategi etnografi yang sering digunakan adalah wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara mengenai hal yang mereka ketahui. Sedangkan prosedur penelitiannya disebut oleh Spradley sebagai “Alur Penelitian Maju Bertahap” ( The Developmental Research Sequence).

b. Langkah Kerja Penelitian Etnografi Langkah kerja penelitian etnografi disebut sebagai “Alur Penelitian Maju

Bertahap” ( The Developmental Research Sequence). Sebagaimana dijelaskan Spradley dalam bukunya Metode Etnografi (2007), tulisan ini mengemukakan satu strategi penelitian etnografi yang disebut sebagai Strategi Wawancara Etnografis. Strategi ini menggunakan wawancara sebagai sumber datanya. Sebagaimana dalam penelitian pada umumnya, wawancara dilakukan terhadap seorang informan. Namun demikian, terdapat aturan untuk menetapkan informan yang tepat dan relevan bagi penelitian etnografi. Secar garis besar, “Alur Penelitian Maju Bertahap” tersebut dapat diskemakan sebagai berikut.

Bagan 5 Alur Penelitian Maju Bertahap

Tahapan tersebut sengaja dimodivikasi secara sederhana dari pendapat Spradley bagi penelitian pemula

c. Menetapkan Subjek, Objek Penelitian, dan Merancang Penelitian

Sebagaimana dalam penelitian pada umumnya, penelitian etnografi diawali dengan menetapkan subjek, objek sebagai fokus penelitian, dan merancang penelitian. Subjek penelitian, sebagaimana dikemukakan di muka adalah masyarakat pemilik kebudayaan di mana penelitian etnografi akan dilakukan. Sedangkan objek atau fokus penelitian etnografi adalah aspek kebudayaan suatu masyarakat yang akan dipelajari dan dikaji secara etnografis. Keduanya sesungguhnya dapat dikatakan sebagai objek penelitian, yaitu objek formal dan meterial. Fokus penelitian hendaknya menunjuk pada satu fenomena tindakan masyarakat sebagai peristiwa kultural, yang secara bersama-sama dilakukan dalam masyarakat itu. Namun demikian, yang akan dituju bukanlah peristiwa yang tampak, Sebagaimana dalam penelitian pada umumnya, penelitian etnografi diawali dengan menetapkan subjek, objek sebagai fokus penelitian, dan merancang penelitian. Subjek penelitian, sebagaimana dikemukakan di muka adalah masyarakat pemilik kebudayaan di mana penelitian etnografi akan dilakukan. Sedangkan objek atau fokus penelitian etnografi adalah aspek kebudayaan suatu masyarakat yang akan dipelajari dan dikaji secara etnografis. Keduanya sesungguhnya dapat dikatakan sebagai objek penelitian, yaitu objek formal dan meterial. Fokus penelitian hendaknya menunjuk pada satu fenomena tindakan masyarakat sebagai peristiwa kultural, yang secara bersama-sama dilakukan dalam masyarakat itu. Namun demikian, yang akan dituju bukanlah peristiwa yang tampak,

Hal lain yang perlu dilakukan sebelum terjun ke lapangan adalah, seorang etnografer perlu merancang penelitian. Dalam penelitian pada umumnya disebut dengan desain penelitian. Rancangan penelitian inilah yang akan menjadi pedoman bagi peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan. Tentunya rancangan tersebut harus sesuai dengan konsep-konsep dasar metode etnografi. Di muka telah dikemukakan beberapa konsep dasar metode etnografi. Konsep-konsep dasar metode etnografi tersebut dituangkan ke dalam rancangan penelitian yang meliputi: obyek dan sumber data, metode, teknik, dan prosedur penelitian. Obyek telah dijelaskan di atas, sedangkan sumber data dalam etnografi terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Ketiga sumber data tersebut akan menentukan metode dan teknik yang akan dipakai untuk menggali data penelitian. Dari sumber data (1) diterapkan metode wawancara; dari sumber data (2) diterapkan metode observasi; dan dari sumber data (3) diterapkan metode observasi dan dokumentasi. Dengan demikian, teknik pemerolehan data didasarkan pada sumber data mana yang digunakan.

Sedangkan hal yang berhubungan dengan bagunan teori yang digunakan, studi etnografi menggunakan gounded theory, sebagaimana dikemukan di muka. Gounded theory merupakan teori yang didasarkan atau disusun dari kumpulan data dalam suatu penelitian. Dengan demikian, bangunan teori dalam studi etnografi disusun dalam proses penelitian berdasarkan data-data yang dihimpun, bukan menggunakan teori yang sudah ada. Teori semacam itu disebut juga dengan teori substantif. Oleh karena itu, model penelitian etnografi bersifat induktif.

d. Menetapkan Informan Sebagaimana dikemukan di bagian awal, tulisan tentang model penelitian

etnografi ini menggunakan strategi wawancara etnografi. Dengan demikian, sumber data yang digunakan adalah apa yang dikatakan orang, sehingga metode penelitian yang digunakan adalah wawancara. Wawancara etnografi merupakan upaya menggali data dari informan. Namun demikian, ada beberapa aturan yang harus dilakukan etnografer untuk menetapkan informan yang bagaimana yang layak sebagai sumber data.

Spradley mengemukakan, bahwa meskipun hampir semua orang dapat menjadi informan, tetapi tidak setiap orang dapat menjadi informan yang baik dan layak. Ada lima syarat minimal bagi seorang informan yang baik dan layak badi penelitian etnografi, sebagaimana berikut ini.

1) Enkulturasi penuh; informan yang baik adalah yang mengetahui secara baik budayanya tanpa harus memikirkannya. Informan semacam ini melakukan segala hal secara otomatis berdasarkan pengalamannya. Salah satu cara untuk 1) Enkulturasi penuh; informan yang baik adalah yang mengetahui secara baik budayanya tanpa harus memikirkannya. Informan semacam ini melakukan segala hal secara otomatis berdasarkan pengalamannya. Salah satu cara untuk

2) Keterlibatan langsung. Seorang yang telah terenkulturasi penuh dapat saja bukan seorang informan yang baik apabila telah meninggalkan atau tidak terlibat lagi dalam suasana budaya. Oleh karena itu, seorang yang baik untuk menjadi informan apabila masih terlibat langsung dalam suasana budaya itu. Seorang yang telah 15 tahun menjadi gelandangan atau menjadi pawang di suatu masyarakat misalkan, tetapi karena profesi itu tidak lagi dilakukan, ia sesungguhnya telah mengalami ketidak-terlibatan langsung. Ia mungkin telah melupakan detil-detilnya, sehingga yang diingat hanya garis besarnya saja. Dengan begitu, orang tersebut meskipun telah terenkulturasi, tetapi tidak baik menjadi informan karena sudah tidak terlibay langsung lagi.

3) Suasana budaya yang tidak dikenal. Syarat ini sesungguhnya berkaitan dengan hubungan antara etnografer sendiri dengan informan. Artinya, ada hubungan yang sangat produktif antara seorang etnografer dengan informannya. Hubungan produktif tersebut kadangkala tidak terjadi kalau antara kedua sama-sama telah mengenal kebudayaan itu. Seorang informan akan enggan menjawab pertanyaan etnografer karena menganggap percuma saja pertanyaan itu dijawab lantaran etnografernya sudah mengenal apa yang ditanyakan itu. Bahkan kadangkala informan beranggapan kalau etnografer menguji mereka. Oleh karena itu, wawancara etnografi akan terjadi dalam hubungan yang produktif apabila etnografer tidak mengenal budaya yang akan ditanya kepada informan. Dengan demikian, etnografer tidak terenkulturasi penuh dan informan terenkulturasi penuh.

4) Cukup waktu. Karena wawancara etnografis selalau diselingi dengan analisis hasil wawancara yang cerman, maka dibutuhkan beberapa kali wawancara. Untuk itu, perlu kiranya diperkirakan apakah seorang calon informan mempunyai cukup waktu untuk berpartisipasi. Apabila terjadi permasalahan dalam kaitan dengan ketercukupan waktu wawancara, salah satu cara yang bisa digunakan adalah informan ganda. Informan ganda merupakan seorang yang direkomendasikan oleh informan lain yang mempunyai permasalahan dalam waktu wawancara.

5) Non-Analitik. Informan yang baik sesuai dengan kriteria ini adalah, informan yang menggunakan perspektif penduduk asli untuk menganalisis dan menginterpretasikan berbagai kejadian atau tindakan sebagaimana yang ditanyakan oleh etnografer. Sedangkan apabila seorang informan menggunakan perspektif teori atau ilmu tertentu untuk menganalisis dan menjelaskan tingkah laku atau tindakan yang ditanyakan oleh seorang etnografer, maka ia bukan seorang informan yang baik. Oleh karena itu, seorang informan yang pandai 5) Non-Analitik. Informan yang baik sesuai dengan kriteria ini adalah, informan yang menggunakan perspektif penduduk asli untuk menganalisis dan menginterpretasikan berbagai kejadian atau tindakan sebagaimana yang ditanyakan oleh etnografer. Sedangkan apabila seorang informan menggunakan perspektif teori atau ilmu tertentu untuk menganalisis dan menjelaskan tingkah laku atau tindakan yang ditanyakan oleh seorang etnografer, maka ia bukan seorang informan yang baik. Oleh karena itu, seorang informan yang pandai

Kelima kriteria di atas merupakan kriteria minimal. Seorang etnografer dapat menggunakan kriteria lain, tetapi tetap juga menggunakan kelima kriteria tersebut, sebagai tambahan. Keterpenuhan lima kriteria tersebut selanjutnya penelitian dapat dilaksanakan. Informan yang mana yang relevan dengan lima kriteria tersebut. Dalam penelitian etnografi terdapat informan utama dan informan tambahan atau pun informan ganda.

e. Mewawancarai informan Spradley mengemukakan bahwa wawancara etnografis merupakan jenis

peristiwa percakapan yang khusus. Artinya, peristiwa wawancara etnografis berlangsung dalam konteks persahabatan, menggunakan sudut pandang penduduk asli, dan memperhatikan tujuan etnografis dan pertanyaan etnografis. Tujuan etnografis beserta penjelasannya harus diberikan sejak awal wawancara dilaksanakan agar wawancara dapat terarah. Seorang informan harus mengetahui persis apa tujuan wawancara dan apa yang harus dilakukan pada saat wawancara beserta alat-alat apa yang akan digunakan dalam wawancara, misalnya perekaman, demontrasi atau permintaan untuk memperagakan, dan pencatatan. Satu hal yang terpenting adalah, penjelasan bahasa asli. Seorang etnografer harus mendorong informan menggunakan cara yang sama ketika mereka berbicara dengan orang lain dalam suasana budaya mereka sendiri, termasuk bahasa aslinya.

Sedangkan dalam kaitannya dengan wawancara etnografis, seorang etnografer harus menguasai bentuk-bentuk pertanyaan etnografis dan menerapkannya ke dalam wawancaranya. Bentuk-bentuk wawancara etnografis terdiri atas sebagaimana berikut ini.

1) Pertanyaan deskripsi. Tipe pertanyaan ini memungkinkan seseorang mengumpulkan satu sampel yang terjadi dalam bahasa informan. Bisanya pertanyaan deskripsi berupa pertanyaan tentang apa saja yang dilakukan informan dalam realitas sehari-hari. Apa yang dilakukan hendaknya dalam hubungannya dengan apa yang hendak dipelajari etnografer terhadap informannya.

2) Pertanyaan struktural. Pertanyaan jenis ini memungkinkan etnografer untuk menemukan informasi mengenai domain unsur-unsur dasar dalam pengetahuan budaya seorang informan. Bagaimana seorang informan mengorganisir pengetahuannya tentang apa saja yang dilakukan setiap harinya.

3) Pertanyaan kontras. Pertanyaan tipe ini memungkinkan etnografer menemukan berbagai hal yang dimaksudkan oleh informan dengan berbagai istilah yang digunakan dalam bahasa aslinya. Biasanya pertanyaan tipe ini menanyakan tentang perbedaan tentang sesuatu hal dengan hal lain yang terkandung dalam jawaban informan yang disampaikan sebelumnya.

Tipe-tipe pertanyaan itulah yang perlu diterapkan dalam wawancara etnografis. Dengan tipe-tipe pertanyaan tersebut dapat mengarahkan jawaban-jawaban informan secara terarah sesuai dengan tujuan wawancara.

f. Membuat Catatan Etnografis Catatan etnografis terdiri atas tiga macam, yaitu: laporan ringkas, laporan

yang diperluas, jurnal penelitian lapangan, dan analisis dan interpretasi. Pertama, semua catatan yang dilakukan selama wawancara adalah laporan ringkas. Kedua, laporan yang diperluas merupakan laporan yang ditulis secara detil berdasarkan catatan dalam laporan ringkas dan hal-hal yang diingat kembali berbagai hal yang tidak tercatat selama wawancara. Oleh karena itu, laporan yang diperluas segera ditulis setelah wawancara selesai. Menunggu terlalau lama akan mengakibatkan etnografe melupakan hal-hal yang sebenarnya sangat penting yang tidak sempat dicatat ketika wawancara berlangsung. Ketiga, jurnal penelitian lapangan seperti buku harian yang memuat semua hal yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Oleh karena itu, jurnal perlu dicatat berdasarkan tanggal. Keempat, catatan analisis dan interpretasi sesungguhnya etnografi akhir tentang budaya yang dipelajari dalam suatu penelitian. Catatan inilah sebagai deskripsi makna budaya yang diteliti secara etnografi.

Namun demikian catatan analisis dan interpretasi itu masih dalam tarf hipotetis, sehingga perlu dibuktikan atau diuji ketepatannya. Pengujiannya dilakukan dengan diterapkan di lapangan, apakah hasil analisis dan interpretasinya tersebut telah menunjukkan ketetapannya di lapangan. Di dalam proses ini bisa terjadi terjadi penambahan dan penyempurnaan terhadap catatan analisis dan interpretasi tersebut. Bisa juga hasil analisis dan interpretasi tersebut dikonfirmasikan kepada seseorang di dalam masyarakat yang diteliti tentang kebenaran apa yang diungkapkan dalam catatan tersebut. Hasil dari pembuktian dan pengujian itu merupakan temuan dari penelitian etnografi.

g. Menulis suatu Etnografi Apa yang dihasilkan dalan penelitian etnografi? Penelitian etnografi

menghasilkan etnografi. Dalam pengertian ini etnografi adalah deskripsi tentang sistem budaya yang diacu atau dirujuk oleh masyarakat dalam menginterpretasikan dan mendefinisikan peristiwa kultural di dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem, semua anggota masyarakat sama-sama memiliki alam pikir yang sama tentang suatu tindakan atau peristiwa kultural yang diteliti. Deskripsi inilah yang menjadi hasil dalam penelitian etnografi. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menulis deskripsi etnografi tersebut.

1) Memilih khalayak, Seorang etnografer harus menentukan untuk siapakah deskripsi etnografi yang akan ditulis itu. Menulis untuk sebuah jurnal ilmiah atau laporan penelitian ilmiah, jelas berbeda dengan apabila tulisan tersebut untuk dibaca masyarakat umum. Jurnal ilmiah dan laporan penelitian ilmiah memiliki aturan tersendiri. Demikian juga apabila tulisan deskripsi etnografi untuk majalah atau koran, jelas berbeda dengan bentuk buku yang akan dibaca oleh pelajar 1) Memilih khalayak, Seorang etnografer harus menentukan untuk siapakah deskripsi etnografi yang akan ditulis itu. Menulis untuk sebuah jurnal ilmiah atau laporan penelitian ilmiah, jelas berbeda dengan apabila tulisan tersebut untuk dibaca masyarakat umum. Jurnal ilmiah dan laporan penelitian ilmiah memiliki aturan tersendiri. Demikian juga apabila tulisan deskripsi etnografi untuk majalah atau koran, jelas berbeda dengan bentuk buku yang akan dibaca oleh pelajar

2) Memilih tesis. Tesis merupakan tema-tema yang akan ditulis dalam tulisan deskripsi etnografi. Tema-tema tersebut diperoleh selama penelitian berlangsung. Dengan demikian, menulis deskripsi etnografi terbagi atas tesis-tesis atau tema-tema tersebut. Ada satu tema utama dan beberapa tema bawahan. Tesis biasanya diungkapkan dalam bentuk rumusan yang berisi petunjuk atau instruksi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas atau tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya aktivitas dan tindakan dalam kaitannya dengan sistem budaya yang diteliti.

3) Membuat topik dan garis besar. Topik dan garis besar sesungguhnya semacam kerangka tulisan yang berisi tentang tesis-tesis yang akan diuraikan dalam tulisan.

4) Menulis Naskah. Tahap ini adalah pengembangan garis besar menjadi uraian berdasarkan catatan analisis dan interpretasi yang telah dibuat sebelumnya. Lihat jenis catatan lapangan.

5) Merevisi dan mengedit. Sebelum menjadi deskripsi etnografi yang final, perlu dilakukan pemeriksaan dan revisi bagian mana yang harus dirubah, disempurnakan, ditambahi berdasarakan catatan penelitian di lapangan.

6) Menuliskan pengantar dan kesimpulan. Pada tahap ini tulisan yang telah direvisi dan diedit diberikan pengatar dan kesimpulan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

MODEL KONSELING TRAIT AND FACTOR

0 2 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62