3. Fase Perkembangan Bidang Studi Komunikasi Politik, Politik Komunikasi, Marketing Politik dan Manajemen Pencitraan

Matriks 11.3. Fase Perkembangan Bidang Studi Komunikasi Politik, Politik Komunikasi, Marketing Politik dan Manajemen Pencitraan

  Rethorika Politik

  Propaganda Politik

  Persuasi Politik

  Komunikasi Politik

  Marketing Politik

  Politik

  Manajemen Pencitraan

  Komunikasi

  Sebelum bidang studi komunikasi politik lahir, fase klasik ditandai dengan dengan berkembangnya retorika politik oleh para politisi yang menjadi senator di era Yunani kuno dan masa kebesaran imperium Romawi. Teknik-teknik dan metode retorika politik ini terus

  366 | Nyarwi Ahmad 366 | Nyarwi Ahmad

  Pecahnya Perang Dunia I dan II, propaganda politik menjadi salah satu basis kekuatan sebuah negara-bangsa untuk memperebutkan pengaruh bersamaan dengan dinamika perang antar negara ataupun persekutuan negara. Bahkan politik hubungan internasional juga kian ditentukan oleh kesuksesan dan kegagalan propaganda politik yang dilakukan oleh masing-masing pemimpin negara ataupun persekutuan negara. Pada masa ini, studi komunikasi politik ditandai dengan trend kajian yang memberikan perhatian besar pada studi retorika politik dan propaganda politik. Kemudian Pasca Perang Dunia II dan berkembangnya era Perang Dingin yang ditandai dengan adanya blok Negara-negara Sosialis dan Komunis dan Negara- Negara penganut demokrasi yang berbasis kapitalisme dan liberalisme, propaganda politik pun terus dilakukan untuk memperebutkan wilayah pengaruh di negara-negara bekas koloni, baik yang ada di kawasan Asia Pasifik, Eropa, Afrika dan Timur Tengah.

  Pada situasi politik dunia yang seperti ini kemudian studi komunikasi politik dilahirkan oleh para founding fathers-nya. Studi komunikasi politik yang pertama kali berkembang sebagai sebuah bidang kajian baru karena kontribusi bidang ilmu komunikasi, ilmu politik, ilmu psikologi sosial dan juga ilmu sosiologi. Sebagai bidang studi, komunikasi politik ini lahir dan berkembang dengan konsep dasar yang disampaikan oleh Lasswell (1940;1958). Bidang studi baru ini kendatipun terus dikembangkan oleh para ahli, peneliti dan kalangan praktisi profesional, manun pada akhirnya melahirkan kritik yang pada mulanya merangsang munculnya perspektif baru, yaitu politik komunikasi sebagaimana yang diperkenalkan oleh Chaffe (2001).

  Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik |367

  Selanjutnya juga berkembang studi marketing politik yang dikembangkan oleh dua pihak sekaligus, yaitu : 1) kalangan akademisi ilmu komunikasi politik—baik yang berlatarbelakang ilmu komunikasi, ilmu sosiologi, ilmu politik dan ilmu psikologi sosial— yang bersentuhan dengan kebutuhan praktis dalam dunia politik dalam sistem demokrasi elektoral—yang mana kemudian mereka mengadopsi, menggunakan dan mengembangkan teori, konsep, prinsip-prinsip, metode dan teknik-teknik marketing dalam dunia politik; 2) para akademisi dan peneliti serta praktisi bidang ilmu marketing yang kemudian mereka bersinggungan dengan kebutuhan praktis politik—baik sebagai thinkthank parpol dan kandidat, thinkthank Pemerintah dan juga profesional konsultan politik—yang menggunakan teori, konsep, prinsip-prinsip, metode dan teknik- teknik marketing dalam dunia politik.

  Fase berikutnya adalah berkembangkan studi persuasi dan manajemen pencitraan. Bidang kajian ini berkembang satu sisi dirangsang oleh pesatnya perkembangan studi politik komunikasi dan marketing politik. Di sisi yang lain bidang kajian ini juga dirangsang oleh perubahan lingkungan komunikasi politik, sistem politik dan budaya politik. Lingkungan komunikasi politik kian bergerak ke arah individualis, lekat dengan komersialisasi dan aestetisasi. Sistem politik juga makin dipengaruhi oleh adanya pengaruh dominasi kepentingan ekonomi-politik, maraknya logika transaksionis, dan sistem pemilu juga kian bergeser ke model pemilihan langsung, pada mulanya memilih partai politik, kemudian memilih kandidat yang diusung oleh masing-masing parpol yang berlaga dalam arena pemilu eksekutif dan legislatif. Selain itu, budaya politik—baik yang berkembang pada level elit, kelembagaan politik dan juga para pemilih, konstituen dan warga negara pada umumnya juga kian ditandai dengan menguatnya konsumerisme, budaya instans, memudarnya basis budaya tradisional dan menguatnya popular culture, serta globalisasi budaya—yang ditandai dengan kolonialisasi budaya-budaya Barat.

  Dalam konteks Indonesia Pasca Orde Baru, menarik apa yang disampaikan oleh Effendi Gazali (2010), tentang perkembangan keempat bidang studi di atas. Gazali melihat relasi dan proses perkembangan studi politik komunikasi, marketing politik dan politik pencitraan di Indonesia tampak berjalan secara sporadis dan terjadi

  368 | Nyarwi Ahmad 368 | Nyarwi Ahmad

  

  Maraknya pengembangan marketing politik kian menjadikan arena komunikasi politik di Indonesia menjadi pasar politik yang adakalanya kian jauh dari etika komunikasi politik. Terjalnya kompetisi antar parpol dan kandidat untuk memenangkan laga kompetisi politik pada level lokal dan nasional seringkali mengabagaikan rambu-rambu etika komunikasi politik. Kendatipun satu persoalan sebelumnya juga belum terselesaikan, yaitu etika komunikasi politik pasca transisi dari Negara Otoritarian ke konsep Negara Demokratis belum melahirkan landasan norma dan nilai-nilai moral yang disepakati oleh para aktor politik maupun publik.

  Maraknya persaingan dalam marketing politik ini juga ditandai dengan meningkatnya pembiayaan politik parpol dan kandidat. Pendanaan politik pada akhirnya kian mendorong lahirnya beragam jenis korupsi dalam institusi Negara. Selain itu, maraknya persaingan dalam marketing politik ini di level pemilih seringkali diiringi dengan budaya jual beli suara (vote buying). Maka berkembanglah budaya money politik yang kian tak terbendung baik dalam arena Pemilu maupun Pemilukada.

  Fase yang tak kalah mengejutkan juga menurut Gazali (2010) adanya lompatan dalam praktik manajemen pencitraan politik. Citra politik kian menjadi segala-galanya bagi partai politik, kandidat maupun elit politik yang telah berkuasa dalam Pemerintahan. Untuk memperkuat ataupun memoles citra politik ini, baik parpol maupun elit politik pada umumnya kian terjebak dalam adu perang citra— yang seringkali dilakukan dengan biaya tinggi, dan dengan cara-cara yang adakalanya kurang etis. Citra politik ini pun juga cenderung ke arah personalisasi citra politik dibandingkan citra kepemimpinan politik ataupun kelembagaan politik.

  Hal yang terakhir sangat dikhawatirkan, maraknya kebutuhan akan intensitas manajemen pencitraan yang dilakukan oleh elit politik

  Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik |369

  370 | Nyarwi Ahmad

  dalam Pemerintahan kian mendorong lahirnya kebijakan publik yang kian jauh dari kepentingan publik. Baik di level Pemerintaha Pusat dan Pemerintahan Daerah, dikhawatirkan kian marak adanya trend para pejabat publik yang tidak sepenuhnya mau melahirkan kebijakan publik yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Mereka bahkan dikhawatirkan mengejar citra politik selama kepemimpinannya, sebagai modal dasar untuk mendapatkan peluang yang lebih besar bagi akses kekuasaan ataupun jabatan publik lainnya yang lebih tinggi, bergengsi dan strategis. Pada akhirnya, komunikasi politik hanya dimaksudkan untuk mendapatkan citra politik semaksimal mungkin, dan citra politik ini digunakan sebagai modal politik untuk mendapatkan kekuasaan dan citra politik dalam ruang lingkup yang lebih luas. Jika demikian yang terjadi maka arena komunikasi politik dikhawatirkan hanya akan menjadi ajang kontestasi pencitraan politik menuju arena dan fase pencitra politik selanjutnya.

  Menguatnya kontestasi pencitraan politik ini berdampak pada politik pengelolaan sumber daya keuangan negara, sumber daya alam, sumber daya alam dan lingkungan yang dimiliki oleh Negara. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, citra politik dilakukan dengan positioning dan bekerja dalam politik ingatan yang bersifat jangka pendek. Karena itu, politik kebijakan publik yang dirancang dan dilakukan oleh rezim politik yang cenderung berbasis pencitraan politik ini dikhawatirkan tidak sepenuhnya mampu melahirkan agenda perubahan yang bersifat jangka panjang dan strategis bagi kehidupan publik. Agenda-agenda kebijakan publik yang disampaikan oleh rezim Pemerintahan seperti ini dikhawatirkan akan cenderung bersifat jangka pendek, diskuntinue dan mudah dilupakan. Lebih mengerikan lagi, para elit politik pun cenderung hanyut dalam riset manajemen pencitraan yang dikendalikan oleh rezim politik yang berkuasa dibandingkan berani mengambil langkah politik yang revolusioner. Ketakutan akan tersingkirkan dari akses kekuasaan menjadikan mayoritas elit cenderung menempuh jalan kompromi dan melebur dalam kepentingan rezim politik yang berbasis pencitraan ini.

  Situasi yang seperti ini sayangnya diiringi dengan kondisi struktural dan kultural pemilih, konstituen dan warga negar. Secara struktural mayoritas mereka masih berpendidikan menengah dan Situasi yang seperti ini sayangnya diiringi dengan kondisi struktural dan kultural pemilih, konstituen dan warga negar. Secara struktural mayoritas mereka masih berpendidikan menengah dan

  Sejumlah kekhawatiran atas dimensi-dimensi negatif dari manajemen pencitraan inilah yang kemudian menjadikan para ilmuwan komunikasi politik di Indonesia seperti agak stagnan untuk tidak melangkah lebih jauh dalam mengembangkan studi persuasi dan manajemen pencitraan di Indonesia. Ada kondisi struktural dan kultural yang dipandang belum sepenuhnya mendukung harapan agar manajemen pencitraan bisa menghasilkan dampak positif bagi publik, dibandingkan dampak negatifnya—baik baik publik, elit politik, parpol dan bahkan lebih luas dikhawatirkan akan semakin membawa efek buruk bagi sistem demokrasi di Indonesia.

  Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik |371

  372 | Nyarwi Ahmad