Berkembangnya Kebebasan Berserikat, Berekspresi dan

10.1. Berkembangnya Kebebasan Berserikat, Berekspresi dan

  Berpendapat

  Pasca Reformasi juga ditandai dengan menguatnya kebebasan berekspresi dan dinamika opini publik. Amandemen UUD 1945 telah memberikan jaminan yang kuat bagi hak-hak warga negara termasuk kebebasan berekspresi dan terlibat dalam penyelenggaraan opini publik. Kebebasan berserikat dan berkumpul kembali mendapatkan tempat yang terhormat di hadapan negara dan masyarakat.

  Munculnya kebebasan berserikat, berekspresi dan berpendapat ini memberikan manfaat strategis bagi peran mahasiswa sebagai aktor demokrasi di Indonesia. Pada masa transisi, aksi-aksi gerakan mahasiswa, dan kelompok-kelompok jaringan gerakan mahasiswa intra dan ekstra kampus menjadi kekuatan politik ekstra parlementer. Era kepemimpinan Presiden B.J.Habibie, Gus Dur dan Megawati tampak disertai dengan pergeseran arus koalisi politik dan aksi-aksi gerakan mahasiswa penentang dan pendukungnya 191 .

  Selain mahasiswa, gerakan civil society telah tumbuh di era Orde Baru 192 . Pasca rezim Orde Baru (1966-1998), LSM di Indonesia mengalami booming layaknya jamur di musim hujan. Era Reformasi tersebut menjadi momentumnya, karena menjamin keterbukaan dan kebebasan berbicara, berpendapat dan berserikat. Sementara berbicara peran LSM, rasanya tak diragukan lagi, dan di lapangan telah terbukti bagaimana perubahan sosial yang terjadi dengan hadirnya LSM. Masyarakat mengalami perubahan yang cukup signifikan, perlawanan-perlawanan politik rakyat yang semakin kuat dengan pendampingan dan pendidikan politik oleh LSM, dan secara umum masyarakat semakin memiliki kesadaran akan hak-haknya dalam berbagai aspek kehidupan serta memberikan perlawanan manakala terjadi penindasan akan hak-haknya 193 .

  Lihat M.Umar Syadat Hasibuan. Gerakan Politik Mahasiswa: Studi Kasus Polarisasi Gerakan Mahasiswa Pada Mahasiswa Pemerintahan B.J.Habibie dan Abdurrahman Wahid. Desertasi Doktoral Pada Departmen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tahun 2010.

  Lihat Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia. Victoria: Monash Asia Institute; Monash University, 1990.

  Lihat Dedy Hermawan, Kontrol Publik Terhadap LSM, dalam Hamid Abidin Mimin Rukmini. KRITIK OTOKRITIK LSM: Membongkar Kejujuran dan

  Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik |277

  Adanya lingkungan demokrasi yang makin terbuka dan transparan, telah membuka ruang bagi gerakan sipil dalam proses transformasi sosial di berbagai bidang kehidupan publik. Keberadaan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai satu elemen civil society strategis dan mampu menjadi medium penghubung sekaligus penengah (intermediary) dari berbagai kepentingan yang belum terwakili, baik oleh partai politik maupun lewat ormas. Demokrasi pasca Reformasi telah menempatkan LSM sebagai gerakan pendorong transformasi sosial yang cenderung berhadapan vis a vis dengan negara (state) 194 .

  Pertumbuhan LSM sangat pesat di mana pada tahun 1985 hanya berkisar 3000-an berkembang menjadi sekitar 19.000 lembaga tahun 2001. Pesatnya pertumbuhan LSM dilatarbelakangi berbagai faktor. Pertama, terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Adanya krisis kepercayaan masyarakat yang dimulai sejak bergulirnya krisis ekonomi pada medio 1997-an, telah meningkatkan legitimasi LSM di mata publik. Kedua, peranan lembaga donor multilateral yang mensyaratkan adanya keterlibatan masyarakat untuk memberikan pelayanan publik dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Ketiga, menguatnya peran LSM juga seiring dengan intensitas diskursus civil society-- sebagai sektor ketiga setelah negara dan sektor swasta—dalam mendorong proses pembangunan sosial. LSM sebagai organ civil society merupakan alternatif solusi bagi penyaluran bantuan, baik dari negara maupun lembaga donor. Bentuk, macam, dan bidang organisasi LSM makin beragam bahkan memiliki varian sangat luas. Ada pun kegiatan LSM dapat dikategorikan lembaga karitatif, pengawasan (controlling), community development, advokasi, partisipasi dan

  pembelaan atas pelanggaran terhadap HAM, lingkungan, persamaan hak perempuan, dan masih banyak lagi dari sektor-sektor publik yang mengalami perlakuan marginal 195 .

  Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Jakarta: PIRAMEDIA. Tahun 2004. Halaman 111. 194

  Lihat Wawan Fahrudin. Akuntabilitas dan Transparansi LSM dalam Proses Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Demokratis di Indonesia. CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003. Hal 37. 195

  Ibid....Halaman 38. 278 | Nyarwi Ahmad

  Pasca Reformasi, peran LSM di Indonesia yang bergerak dalam advokasi isu-isu reformasi dan demokratisasi, dan isu-isu HAM kian memegang peran penting. LSM menjadi salah satu narasumber penting bagi media dalam menyuarakan suara publik terhadap advokasi atas kekerasan politik yang pernah diperbuat oleh Rezim Orde Baru dan Militer. Mereka juga menjadi kekuatan penting dalam menyuarakan kepentingan publik selama proses perubahan regulasi politik berlangsung di DPR RI.

  Pasca Reformasi, LSM bermunculan dan mengembangkan jaringan nasional dan internasional. Dengan dukungan dana internasional mereka menyelenggarakan advokasi dan training- training manajemen advokasi di berbagai daerah di Indonesia. LSM pun kian menjamur seiring dengan daya dukung funding internasional dan rendahnya ketidakpuasan publik terhadap Pemerintah dalam memenuhi agenda-agenda reformasi dan demokratisasi. Agenda kritik, advokasi dan pendampingan masyarakat juga terus dilakukan oleh kalangan LSM dalam merespon setiap kebijakan publik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang ditengarai berpotensi merugikan kepentingan publik.

  Selain itu, kalangan Ormas pun juga kian marak sebagai kelompok penekan (interest group) yang setiap saat mewarnai dinamika interaksi politik nasional dan lokal. Keberadaan Ormas yang pada masa Orde Baru dimanfaatkan sebagai medium kooptasi masyarakat sipil, kini telah berubah menjadi organisasi masyarakat sipil yang menyuarakan isu-isu publik. Beberapa diantaranya tampak masih sulit melepaskan bayang-bayang kepentingan politik dari para elit politik dan parpol nasional. Namun banyak diantaranya yang mampu menjadi organ independen, bahkan secara liar mengatasnamakan kepentingan publik terus memberikan tekanan- tekanan kepada rezim politik yang berkuasa.