C. Ricklefs

M.C. Ricklefs

(Profesor Emeritus Melbourne University)

Merle Calvin Ricklefs (lahir 1943), saat ini menjadi Profesor Emeritus Melbourne University, adalah salah satu sejarawan sejarah Indonesia terkemuka di dunia, telah menerbitkan secara luas trilogi karya penting terbarunya mengenai “Pengislaman Jawa”, yaitu Mystic Synthesis in Java (2006), Polarising Javanese Society (2007), dan Islamisation and its Opponents in Java, c. 1930 to the Present (2012). Terbitan pertamanya yang utama adalah Jogjakarta under Sultan Mangkubumi; A History of the Division of Java (London: Oxford University Press, 1974). Ia telah kembali kepada karya orisinal Merle Calvin Ricklefs (lahir 1943), saat ini menjadi Profesor Emeritus Melbourne University, adalah salah satu sejarawan sejarah Indonesia terkemuka di dunia, telah menerbitkan secara luas trilogi karya penting terbarunya mengenai “Pengislaman Jawa”, yaitu Mystic Synthesis in Java (2006), Polarising Javanese Society (2007), dan Islamisation and its Opponents in Java, c. 1930 to the Present (2012). Terbitan pertamanya yang utama adalah Jogjakarta under Sultan Mangkubumi; A History of the Division of Java (London: Oxford University Press, 1974). Ia telah kembali kepada karya orisinal

pusatnya yang berada di dekat Slinga [Slingo] di Banyumas

Carey dan Jacobus (Koos) Noorduyn mengenai

diberi nama Mesir. Akan tetapi, pada Desember 1681, Mesir

asal usul nama “Yogyakarta” dan “Malioboro”. Ia

itu ditaklukkan dan dibumihanguskan oleh tentara VOC dan

menambahkan artikel ini khusus untuk buku ini.

Kartasura. Namrud bersama lebih dari 2.000 pendukungnya dibunuh, termasuk perempuan dan bayi kecil, dan nama Mesir

arangan-karangan Dr. Carey dan Dr. Noorduyn, bersama

itu lenyap dari sejarah Jawa (Ricklefs 1993: 64–6).

dengan kutipan-kutipan mereka dari ahli-ahli lain, sangat

Kota lain yang diberikan nama Arab adalah Kudus, yang

menarik. Memang sejarah nama-nama kota di Indonesia, namanya berasal dari bahasa Arab al-Quds (Yerusalem). khususnya Jawa, merupakan topik yang penuh dengan tanda

Kota itu barangkali didirikan pada abad ke-16. Di masjidnya tanya. Banyak yang tetap kabur.

yang terkenal (diberikan nama al-Aqsa seperti masjid di al-

Quds), terdapat mihrab tertanggal H 956 (M 1549). Informasi diislamkan sejak abad ke-14, hanya ada dua kota yang diberikan

Misalnya, mengapa dalam masyarakat Jawa yang mulai

mengenai sejarah awal kota Kudus hampir tidak ada, tetapi nama Arab dan hanya satu di antaranya yang tetap begitu?

ada tradisi-tradisi menarik yang dibahas dalam buku de Graaf Pada 1681, seorang petualang bernama Namrud (merujuk

dan Pigeaud mengenai sejarah negara-negara Islam awal di kepada tokoh Namrud dalam tradisi Islam, seorang raja sedunia

Jawa (de Graaf dan Pigeaud 1974: 92–102).

yang memberontak terhadap Allah) menolak wewenang Berpaling kepada nama Yogyakarta, kita juga menjumpai Susuhunan Kartasura baru, Amangkurat II (bertakhta 1677–

sejarah yang menarik tapi kabur. Apakah nama itu mungkin 1703) dan sekutunya Kompeni Belanda (VOC). Etnisitas Raja

berasal dari nama kota pusat dalam buku Jawa Kuno Râmâya ň a? Namrud tidak jelas. Namun, ia sepertinya bukan orang Jawa

Nama itu jelas dikenal di Jawa, dari buku Râmâya ň a tersebut. dan mungkin berlatar belakang Bali atau Makassar. Benteng

‘Ayodhyapura’ juga disebutkan dalam sumber abad ke-14

Desawarnana (Nâgarakrtâgama) (Prapañca 1995: 34). Akan Kita dapat menyumbang sedikit informasi tambahan tetapi, yang dimaksudkan di situ adalah kota Ayodhyapura

mengenai sejarah nama-nama itu. Garjitawati jelas merupakan (Ayutthaya) di Muang Thai, bukan salah satu tempat di

nama sebuah pasanggrahan pemburu di tempat yang kelak Pulau Jawa. Jelas bahwa nama itu masih dikenal pada era

menjadi kota Yogyakarta. Pasanggrahan itu sudah ada sebelum Islam. Versi Râmâya ň a dalam bahasa Jawa Baru, yaitu Serat

tahun 1712, yang menunjukkan bahwa Raja Amangkurat Rama Yasadipura I, menyebutkan kota Ayodya/Ngayodya

yang mendirikannya barangkali Amangkurat II (bertakhta (Poerwasoewignja dan Wirawangsa 1920: jilid 1, 205–

1677–1703). Penggantinya, Amangkurat III (bertakhta 16). Karena Ayodya/Ngayodya mengingatkan kita kepada

1703–8), menghadapi banyak sekali tantangan, termasuk Ayogya/Ngayogya, mungkin ada semacam hubungan serupa

pemberontakan pamannya, Pangeran Puger (kelak menjadi dalam pikiran pendiri kota Ngyogyakarta Adiningrat Sultan

Pakubuwono I) dengan bantuan VOC. Ia terpaksa melarikan Hamengkubuwono I (Mangkubumi). Namun, sama sekali

diri dari keratonnya, dan barangkali tidak pernah punya waktu tidak ada bukti.

untuk mendirikan sebuah pasanggrahan di daerah Yogya.

Pada tahun 1712, Susuhunan Pakubuwono I memerintahkan Dr. Noorduyn di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa

Berdasarkan informasi yang diuraikan dalam publikasi

supaya pasanggrahan itu dipindahkan ke timur di tempat baru sebelum kota Ngayogyakarta Adiningrat diumumkan oleh

yang dinamakannya Kartowinoto (Ricklefs 1993: 159), yang Sultan Mangkubumi, sudah ada dusun di sana yang bernama

kelak menjadi pusat pemberontakan Pangeran Purbaya dan Garjitawati dan/atau Yogya atau Ayogya. Nama-nama itu

Blitar (ibid: 186–7). Perpindahan itu jelas yang dimaksudkan dijumpai baik dalam sumber-sumber Jawa maupun sumber-

dalam kutipan Brandes di atas dari Babad Giyanti bahwa duk sumber Belanda sebelum tahun 1755–1756 (pada waktu

jenengé Sinuwun Pakubuwono/ing Gerjitawati denlih. Jadi, keraton Mangkubumi didirikan).

spekulasi dalam Pratélan Babad Giyanti bahwa Amangkurat IV

(bertakhta 1719–24) ialah yang mendirikan Gerjitawati jelas Jayawinata mendirikan semacam keraton pasanggrahan salah (Pratélan 1939: 55). Dan juga, pertanyaan yang Brandes

di Gamping (sebelah barat Yogyakarta). Menurut Babad tidak bisa jawab mengenai Amangkurat yang mana yang

Mangkubumi, Sri Sultan pindah ke keraton barunya pada mendirikan Garjitawati itu barangkali sudah ada solusinya.

6 November 1755. Akan tetapi, ada indikasi lain bahwa

perpindahan sebetulnya terjadi sesudah itu, atau paling tidak diganti menjadi Ayogya pada zaman Sultan Mangkubumi

Anjuran Brandes bahwa nama Garjitawati itu baru

Sultan Mangkubumi baru berkedudukan di keraton barunya (yaitu sesudah tahun 1755) jelas salah. Kita dapat mengutip

secara resmi pada awal 1756. Surat-surat dari pemimpin VOC sebuah surat oleh dua pemimpin tentara VOC pada 1739 yang

di Yogyakarta pada waktu itu semuanya ditulis dari ‘Cratong ditulis dari ‘Ardijitowati off (anders genaamd) Adjoekdjo’

Passangrahan’ sampai/dengan 9 Februari 1756; sesudah (Gardjitawati atau—yang juga dinamakan—Ayogya)

tanggal 12 Februari ditulis dari ‘Djokjo’, dan sesudah 14 (Ricklefs 1998: 234 n. 71). Untuk peristiwa 1739 yang sama,

April 1756 dari ‘Djokjocarta’. Sepucuk surat VOC tertanggal Babad Tanah Jawi dari keraton Surakarta juga menyebutkan

26 Februari 1756 melaporkan perpindahan Sri Sultan kepada Garjitawati dan Ngayugya sebagai tempat yang sama (Bale

‘vaste residentie plaats Djokjo’ (perumahan tetap Yogya), Pustaka 1939–41, vol. 22: 27).

dan satu lagi tertanggal 8 April 1756 melaporkan bahwa

keratonnya berganti nama menjadi ‘Djokjocarta Diningrat’. menjadi Ngayogyakarta Adiningrat, juga ada sumber-sumber

Mengenai perubahan nama dari Ayogya/Ngayogya

Jadi, keraton di Yogyakarta itu rupanya baru selesai pada yang mungkin menjelaskan proses itu. Setelah perjumpaan

tahun 1756, dan tampaknya dihuni secara resmi oleh Sri perdamaian di Giyanti dan Jatisari pada Februari 1755,

Sultan Mangkubumi antara Februari dan April 1756. Dan Mangkubumi mengutus seorang bernama Joyowinoto ke

baru pada 1756 namanya secara resmi diumumkan sebagai daerah Mataram untuk menentukan tempat bagi keratonnya.

Ngayogyakarta Adiningrat. Dalam keratonnya sendiri, ada Ngayogyakarta Adiningrat. Dalam keratonnya sendiri, ada

Meskipun demikian, masih tersisa pertanyaan apakah ada hubungan nama tersebut dengan nama keraton Rama dalam Kakawin Râmâya ň a/Serat Rama? Yang jelas hanyalah nama Yogya/Ayogya/Ngayogya dan nama Garjitawati dipakai untuk tempat itu sebelum keraton Sultan Mangkubumi didirikan, serta nama Ngayogyakarta Adiningrat merupakan nama bagus yang berdasarkan nama dahulu Yogya/Ayogya/ Ngayogya. Namun, apakah Sultan Mangkubumi dan elite Jawa pada saat yang sama juga mengingat nama keraton Rama? Kemungkinannya tidak bisa dibuang begitu saja, tapi memang sedikit pun tidak ada bukti.

Prajurit keraton, diambil dari J.J.X. Pfyffer zu Nueuck, 1829: Gambar IX.