Kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur provinsi daerah istimewa Yogyakarta

(1)

“KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU BUWONO DAN ADIPATI PAKU ALAM

SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

WALDAN MUFATHIR NIM: 1111048000050

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh: Waldan Mufathir NIM: 1111048000050

Pembimbing I Pembimbing II

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.

NIP. 19741213 200312 1 002 NIP.

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

(4)

(5)

iv ABSTRAK

Waldan Mufathir. NIM 1111048000050. KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU

BUWONO DAN ADIPATI PAKU ALAM SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. viii + 92 halaman + 35 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan untuk mengetahui hak politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Latar belakang skripsi ini adalah pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4). Aturan ini juga sebagai bentuk pelaksanaan hak asasi manusia secara khusus hak politik warga negara yang juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat (3). Namun Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada beberapa aturannya khusus mengenai pegaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak sesuai dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas. Penelitian ini menggunakan tipe

penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan

penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif

dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach)

Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 pasal 20 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4) bahwa pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui pemilihan umum. Kemudian persyaratan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 pasal 18 ayat (1) huruf (c) juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat (3) bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Kata Kunci : Sultan Hemangku Buwono, Adipati Paku Alam, Gubernur,

Wakil Gubernur, Keistimewaan Daerah Istimewa

Yogyakarta, Demokrasi, Demokratis, Pemilihan Umum, Hak Politik, Ambivalensi Hukum,

Pembimbing : 1. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.

2. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.


(6)

v

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang masih memberikan umur dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU BUWONO DAN PAKU ALAM SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, dan kepada kita selaku umatnya semoga senantiasa melaksanakan ajarannya. Penulisan skripsi ini dalam perjalanannya banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. selaku ketua Program Studi

Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, M.Hum. selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H selaku

dosen pembimbing yang penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis sampai dengan skripsi ini selesai.


(7)

vi

4. Hotnidah Nasution, M.A. dan Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. selaku dosen

penguji skripsi yang dengan ketelitian memberikan kesempurnaan pada penulisan skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis.

6. Kedua orang tua tercinta dan tersayang Abi Muhamad Soleh Aceng, S.H dan

Umi Elis Hasanah atas kasih sayang, motivasi, dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri Strata 1 ini. Begitu pula untuk kakak dan adik tercinta dan tersayang, Qoriati Hikmah, Fitri Robbany, Syarah Shabrina, Michael Jawwad Husein. Terima kasih atas segala dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan.

7. Teman hidup penulis, Shinta Dwiningthyas yang telah membantu, memberi

semangat, serta menemani penulis setiap waktu baik suka maupun duka. Terima kasih atas perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhai kebersamaan kita.


(8)

vii

9. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 dan keluarga Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga ilmu yang kita dapatkan bermanfaat untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun kita berada.

10.Keluarga Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan

Hukum Cabang Ciputat, selalu yakin atas usaha kita untuk sampai pada tujuan.

11.Keluarga Santriwan Santriwati Angkatan Tujuh Pondok Pesantren Al-Zaytun

Indonesia, khusus kepada Aesta Fajar, Halim Sulistianto, Muhammad Hidayat, dan Ikhwan Batu Bara.

Atas bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan untuk seluruhnya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 26 Agustus 2015


(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II STATUS BUDAYA DAN STATUS PEMERINTAHAN A. Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 17

B. Teori Kekuasaan ... 21

C. Sultan Hamengku Buwono ... 29

D. Adipati Paku Alam ... 34

E. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ... 39

BAB III TINJAUAN UMUM HAK POLITIK WARGA NEGARA A. Hak Politik Warga Negara Dalam Konstitusi Indonesia ... 43

B. Bentuk Hak Politik Warga Negara ... 51


(10)

ix

B. Hak Politik Warga Negara Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .... 64

C. Masa Depan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Di Tengah Negara

Hukum ... 80 BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001, dan perubahan keempat tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi Undang-Undang Dasar 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas Undang-Undang Dasar 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai

Undang-Undang Dasar 1945.1

Dari keempat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas, amandemen kedua pada tahun 2000 berimplikasi luas terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, salah satunya mengenai pemerintahan daerah. Amandemen ini menghasilkan rumusan baru yang mengatur pemerintahan di daerah terutama mengenai pemilihan kepala daerah. Rumusan tersebut terdapat

dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Gubernur, Bupati,

dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

1

Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, (Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 47.


(12)

kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Frasa “dipilih secara demokratis” memiliki makna demokratisasi menurut Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi yang dimaksud adalah dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini merujuk

kembali pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “kedaulatan

berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.2

Dalam hal pemilihan kepala daerah ini, Indonesia sendiri baru memberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan

Pemberhentian Kepala Daerah.3

Secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih demokratis. Terdapat dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung dianggap perlu. Pertama, untuk lebih membuka pintu bagi kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Maksudnya adalah kepala daerah yang menjabat merupakan hasil keinginan terbanyak secara langsung dari rakyat dalam suatu daerah. Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak

mudah dijatuhkan ditengah jalan,4 karena kepala daerah yang tidak dipilih secara

2

Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata Publishing, 2014), h. 173.

3

Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata Publishing, 2014), h. 178.

4

Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 240.


(13)

3

langsung tidak mendapatkan pengakuan dari rakyat dan dengan alasan itu kepala daerah dapat diturunkan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan proses politik yang tidak saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis (melalui pemilu), tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau

desentralisasi politik yang sesungguhnya.5

Pemilihan kepala daerah secara langsung dilandasi semangat yang kuat untuk mengoreksi apa yang terjadi selama periode berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, semangat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat. Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah sebuah langkah strategis dalam

rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi.6 Pada

tahun 2014, tepat sejak disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sempat diatur lagi mengenai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung yang dipilih oleh DPRD. Namun

5

Mochamad Isnaeni Ramdan, Laporan Akhir Kompendium Pilkada, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011), h. 69.

6

Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 42.


(14)

dengan berbagai permasalahan dan penolakan yang terjadi di dalam masyarakat, kemudian dikembalikan menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian dijadikan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan aturannya pada pasal 1 ayat (1) yang secara eksplisit menyebutkan “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.

Selain itu pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan

implementasi pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap

warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Hak turut serta dalam pemerintahan (hak politik) yang dilindungi hukum internasional pada Kovenan Hak Asasi Manusia mengenai Hak Sipil dan Politik maupun hukum nasional pada Undang-Undang Dasar 1945 intinya terdiri dari

empat bagian, yakni: pertama, hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam

pemilihan umum; kedua, hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan

langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya; ketiga, hak untuk


(15)

5

pemerintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan; keempat, hak untuk duduk

dan diangkat dalam setiap jabatan publik di dalam pemerintahan.7

Disahkannya Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta telah menghilangkan aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas. Karena di dalam pasal 18 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tertulis “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon wakil Gubernur”. Kemudian Pasal 20 ayat (1) menyebutkan “Dalam penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubenur...”. Ini berarti Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam tanpa melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat secara otomatis diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentunya hal ini menjadi permasalahan, karena selain menghilangkan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung oleh rakyat, juga telah meniadakan hak politik warga negara yang seluruhnya diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Berlatar belakang dari permasalahan di atas maka penulis mengambil inisiatif untuk meneliti lebih dalam tentang permasalahan ini yang kemudian diberi judul “Kedudukan Sultan Hamengku Buwono Dan Adipati Paku

7

Nur Widyastanti, Kedudukan Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Dalam Tatanan Konsep Demokrasi Di Indonesia, (Jakarta: Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2009), h. 2.


(16)

Alam Sebagai Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan mengenai permasalahan tentang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka ruang lingkup permasalahan penulis batasi hanya dilihat dari kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Hak Politik Warga Negara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur

dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

b. Bagaimana hak politik warga negara dalam pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian


(17)

7

Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan arah pada penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan mekanisme pengisian jabatan

Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Untuk mengetahui hak politik warga negara dalam pengisian

jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan terkait dengan nilai guna dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum tata negara.

b. Manfaat Praktis

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu jika suatu saat dihadapkan pada kasus serupa yang berkaitan dengan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga dapat dimengerti mengenai pengaturan-pengaturan yang terdapat


(18)

didalamnya dan menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan hal tersebut di atas.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Skripsi yang disusun oleh Miftahul Jannah, tahun 2014, yang berjudul “Sistem Tata Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pasca Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.” Skripsi tersebut menjelaskan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta setelah berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi yang disusun oleh Mifathul Jannah terdapat pada penelitiannya. Pada skripsi Miftahul Jannah meneliti tentang hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan penulis meneliti pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian yang disusun oleh Fahmi Muhammad Ahmadi, tahun 2001, yang berjudul “Status Tanah Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian ini meneliti status tanah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.


(19)

9

Perbedaan penelitian yang disusun oleh Fahmi Muhammad Ahmadi dan skripsi penulis terdapat hal yang diteliti. Fahmi Ahmadi Muhammad meneliti tentang status tanah, sedangkan penulis meneliti pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

E. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Ditinjau dari sudut penelitian hukum terdapat dua jenis metode penelitian, yaitu penelitian hukum normatif atau kepustakaan dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder. Sedangkan pada penelitian hukum sosiologis atau empiris yang diteliti adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap

masyarakat.8

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek hukum, peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1942), h. 51.


(20)

akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Sedangkan, bila dilihat dari sifatnya adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,

atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala,9 yang dalam hal ini yaitu

memberikan data mengenai pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data

melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan

melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan hukum tata negara Indonesia, pemerintahan daerah, otonomi daerah, keistimewaan daerah istimewa Yogyakarta, hak asasi manusia, hak politik warga negara, ilmu perundang-undangan, dan peraturan-peraturan mengenai pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus, dan juga berita dari internet.

9

Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.


(21)

11

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari beberapa aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah

pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).10 Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach),

dan pendekatan historis (historical approach).

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Pendekatan perundang-undangan disini yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang No.15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No.

10


(22)

8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan Kovenan Hak Asasi Manusia mengenai Hak Sipil dan Politik.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus disini yakni meneliti kasus yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan hak politik warga negara, juga melihat pendapat umum dari tokoh-tokoh di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

c. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis ini dengan melihat kembali sejarah keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

4. Data dan Sumber Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data tersier. Pada umumnya data primer mengandung data aktual yang didapat dari penelitian lapangan dengan berkomunikasi dengan anggota-anggota masyarakat dilokasi tempat penelitian dilakukan. Termasuk di dalamnya yaitu buku-buku atau dokumentasi yang diperoleh peneliti di


(23)

13

lapangan serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

kajian studi kasus.11

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi

peneliti.12 Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah:

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan

dapat dipergunakan dengan segera.

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi

oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa, maupun konstruksi data.

c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.

Data sekunder antara lain mencakup dokumen resmi, buku-buku,

hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.13

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia), 1942, h. 65.

12

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 3, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 1.

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), h. 12.


(24)

Data tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas data primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, kamus, website, atau sumber yang lain yang mencakup pada pokok permasalahan materi.

5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

Teknik pengolahan data dilakukan secara komprehensif tentang kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dikaitkan dengan pegaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, juga hak politik warga negara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya diteliti dengan pendekatan yang digunakan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teknik analisis data sinkronisasi hukum dan kualitatif. Teknik sinkronisasi hukum adalah dengan menghubungan secara horisontal antara undang-undang dengan undang-undang dan secara vertikal antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan undang-undang. Teknik analisis kualitatif adalah bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.


(25)

15

6. Teknik Penulisan Skripsi

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan teknik penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun menjadi lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan kesimpulan serta saran-saran yang dianggap perlu. Adapun penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan. Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang akan menjelaskan alasan pemilihan judul penulisan hukum. Bab ini juga memaparkan pembatasan dan rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II. Status Budaya Dan Status Politik. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh dari penelitian. Dengan menjelaskan mengenai sejarah Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, teori kekuasaan, sejarah Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, serta undang-undang terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.


(26)

BAB III. Tinjauan Umum Tentang Hak Politik Warga Negara. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh dari penelitian. Dengan menjelaskan undang-undang, dan teori-teori tentang hak politik warga negara.

BAB IV. Ambivalensi Hukum Dalam Status Politik. Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB V. Penutup. Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan yang dapat ditarik yang mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi.


(27)

17 BAB II

STATUS BUDAYA DAN STATUS POLITIK

A. Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Ketika dwi-tunggal Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, status dan posisi Kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan merdeka. Kerajaan yang oleh kolonial Belanda diberi otoritas penuh untuk mengurus wilayahnya sendiri. Ini berbeda dengan kerajaan lain di Nusantara yang setelah ditaklukan Belanda langsung dihilangkan kewenangan dan kedaulatannya. Merujuk ketentuan hukum internasional, Yogyakarta sebenarnya memiliki hak untuk membentuk sebuah negara baru setelah tidak adanya Belanda. Sukarno sebagai Presiden Indonesia saat itu mengerti sekali situasi ini dan berpikir bahwa Yogyakarta bisa lepas dari kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui salah seorang anggota PPKI GBPH Purboyo diperoleh informasi bahwa Sultan tetap setia kepada Republik Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut dua hari setelah proklamasi tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Sukarno mengirimkan surat kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang isinya sebagai berikut:

“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkeng Sinuwan Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalongo, Abdurrahman Sayidin Panatogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing


(28)

Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai

bagian daripada Republik Indonesia.”

“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kapi VIII, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia

Tetapi, surat yang kemudian dikenal sebagai Piagam Kedudukan ini ditahan selama 18 hari, menunggu sikap Sultan dan Paku Alam, apakah akan bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau membentuk negara baru seperti yang dipikirkan oleh Sukarno.

Tanggal 5 September 1945, setelah mendengarkan pendapat Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta (KNID) Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII (dengan isi yang sama, berbeda dalam hal subjek dan kedudukan) mengeluarkan amanat yang menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari amanat tersebut adalah:

“Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangdjeng Sultan Kami Hemengku Buwono IX, Sultan Ngeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan: 1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia, 2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami Pegang Seluruhnja, 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri


(29)

19

memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.”1

Sukarno setuju dengan amanat tersebut, dan kemudian pada tanggal 6 September 1945 oleh Menteri Negara Sartono dan A.A Maramis piagam kedudukan tersebut di atas disampaikan, dan inilah awal mula pengakuan keistimewaan Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia.2 Sebagai pijakan hukum yang lebih kuat, Pemerintah tertanggal 4

Maret 1950, mengeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian mengalami dua kali perubahan, yakni dengan Undang No. 19 Tahun 1950 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1955.

Fakta sejarah ini membuktikan bahwa keistimewaan Yogyakarta, pertama, bukan hadiah dari negara Indonesia. Kedua, sebagaimana istilah yang digunakan pihak Keraton Yogyakarta selama ini, keistimewaan adalah ijab kabul antara para penguasa Yogyakarta dengan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan ijab kabul ini pula kedudukan gubernur dan wakil

gubernur otomatis melekat pada Sultan dan Paku Alam yang bertakhta.3

1 Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,

Cet. 1, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011), h. 62-66. 2

Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 64-65.

3 Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,


(30)

Dalam perjalanannya, perumusan regulasi mengenai keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semakin mendesak dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang masih melahirkan

kontroversi karena tidak memiliki kejelasan aturan, sehingga membutuhkan instrumen hukum baru yang jelas;

2. Pengaturan mengenai substansi keistimewaan masih belum dirumuskan

secara jelas, karena di Undang-Undang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta lebih pada label dibandingkan substansi;

3. Perkembangan politik Indonesia pada aras-aras nasional menunjukan

masih tersendat-sendatnya proses reformasi.4

Dengan alasan itu kemudian terdapat usaha-usaha untuk membuat draf RUU terkait keistimewaan Yogyakarta. Pertama berasal dari DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta yang mencoba menampung aspirasi rakyatnya, kemudian draf dari tim yang dipimpin Almarhum Afan Gaffar, draf dari Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), dan terakhir draf tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Cornelis Lay.

4

Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Monograph on Politics And Government Vol. 2, (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada dan Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, 2008), h. 8.


(31)

21

Draf tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Cornelis Lay kemudian diajukan ke DPR tahun 2003. Setelah melalui proses panjang dengan menuai pro-kontra dan perdebatan publik salah satunya mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dari berbagai pihak termasuk dari Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa RUUK Daerah Istimewa Yogyakarta yang diajukan tidak sesuai dengan nilai demokrasi dan arus reformasi karena masih berdasarkan monarki absolut, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Berbeda dengan peraturan-peraturan sebelumnya, undang-undang yang terdiri dari atas 16 bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara menyeluruh.

B. Teori Kekuasaan

Pada beberapa konsep politik, salah satu konsep yang banyak dibahas dan dipermasalahkan adalah konsep kekuasaan. Karena politik dianggap identik dengan kekuasaan. Hal tersebut tidak mengherankan oleh karena Machiavelli, seorang pemikir filsafat politik dari Florence, Italia, pernah mengatakan bahwa, “politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, dan memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai kegunaan yang maksimal.” Bahkan kekuasaan dipandang sebagai gejala yang


(32)

selalu terdapat (serba hadir) dalam proses politik.5 Telah muncul begitu banyak definisi lain sehingga beberapa ahli, seperti W. Connoly dan S. Lukes

menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertentangkan (a contested

concept)6 yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu konsensus. Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

Kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max Weber yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini. Sarjana lain yang memiliki pemikiran sama dengan Max Weber yakni Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke

arah tujuan dari pihak pertama.7 Definisi serupa dirumuskan oleh seorang ahli

kontemporer Barbara Goodwin bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang

5

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Cet. 1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 70-71. 6

Norman Barry, An Introduction to Modern Theory, Ed. 4, (London: Macmillan Press, 2000), h. 84.

7

Harold D. Laswell, Abraham Kaplan, Power and Society, (New Heaven: Yale University Press, 1950), h. 74.


(33)

23

untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.8 Menurut

Robert M. Mac Iver kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan kelakuan orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah, maupun secara tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan cara

yang ada.9

Dengan adanya beberapa penjelasan di atas, maka dikemukakan bahwa

setiap hubungan kekuasaan harus memenuhi dua persyaratan, yakni: pertama,

tindakan itu dilaksanakan baik oleh yang memengaruhi atau dipengaruhi, kedua,

terdapat kontak atau komunikasi antara keduanya baik langsung maupun tidak langsung.

Terdapat beberapa konsep yang berkaitan erat dengan kekuasaan (power)

yaitu wewenang (authority) dan legitimasi (legitimacy atau keabsahan). Seperti

dengan konsep kekuasaan, di sini pun bermacam-macam perumusan ditemukan. Perumusan yang mungkin paling mengenai sasaran adalah definisi yang dikemukakan oleh Robert Bierstedt yang mengatakan bahwa wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).10 Hal yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa

8

Barbara Goodwin, Using Political Ideas, Ed. 4, (England: Barbara Goodwin, 2003), h. 307.

9

Robert M. Mac Iver, The Web Goverment, (New York: The Mac Millan Company, 1947), h. 87.

10

Robert Bierstedt, An Analysis of Social Power, (New York: Amerikan Sociological Review, 1950), h. 732.


(34)

wewenang (authority) adalah kekuasaan formal. Dianggap bahwa yang

mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan

membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.

Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut pembagiannya menurut Max Weber dalam tiga wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi

kedudukan seorang pemimpin.11

Selain itu menurut Charles Andrain terdapat lima sumber kewenangan untuk memerintah, yakni : a. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber primordial atau tradisi. Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus dalam masyarakat. Orang yang berkuasa menunjukan sumber kewenangannya memerintah sebagai tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu; b. Hak memerintah berasal dari sumber yang dianggap suci

11

S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago: University Chicago Press, 1968), h. 46.


(35)

25

(pewahyuan). Atas dasar perwahyuan inilah seseorang atau kelompok penguasa memerintah, dan hak memerintah yang dimilikinya dianggap bersifat sakral dan pantas untuk diikuti; c. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber pribadi atau berasal dari kualitas pribadi, baik penampilannya yang agung dan pribadinya yang popular maupun karena memiliki kharisma; d. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pegetahuan dan teknologi; e. Hak memerintah masyarakat berasal dari sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur-prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 misalnya tidak hanya mengatur tugas dan kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Kelima sumber kewenangan tersebut di atas (sumber primordial, sumber yang dianggap suci, sumber pribadi, sumber instrumental, dan sumber legal formal) dapat dikategorikan ke dalam dua tipe kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial. Kewenangan yang bersifat prosedural adalah hak memerintah berdasarkan sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan kewenangan yang bersifat substansial adalah hak memerintah berdasarkan pada faktor-faktor yang melekat pada diri pemimpin, seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi, dan sumber instrumental. Semakin kompleks struktur masyarakat suatu negara maka tipe kewenangan yang


(36)

digunakan cenderung bersifat prosedural. Sebaliknya, di masyarakat yang strukturnya masih sederhana cenderung menggunakan tipe kewenangan substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan

kepada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin.12

Selanjutnya konsep legitimasi (legitimacy atau keabsahan) yang terutama

penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan

anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok

adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah. Sehingga, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan adalah: “Keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajarnya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu.”13

Secara sederhana ada tiga azas legitimasi yang diterima masyarakat secara luas (legitimasi subyek kekuasaan menurut istilah dari Franz Magnis

12

Charles Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 194-197.

13

David Easton, A System Analysis of Political Life, (New York: John Willey and Sons, 1965), h. 273.


(37)

27

Suseno). Pertama, legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk

memerintah dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Dalam paham ini penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan adikodrati (ilahi,

ghaib, supranatural) sehingga ia mendapat hak ketuhanan (the devine right) untuk

menjadi pemimpin.

Kedua, legitimasi elite, legitimasi ini mendasarkan kekuasaan penguasa pada kemampuan khusus yang dimiliki oleh aktor (individu ataupun kelompok) untuk memerintah. Dalam konteks ini dipahami bahwa penguasa haruslah aktor-aktor yang memiliki kualifikasi khusus atau kualifikasi yang melebihi kualifikasi-kualifikasi aktor lainnya. Terdapat empat macam legitimasi elite yang berkembang: a. Legitimasi aristokratis, legitimasi relatif nihil pada abad modern sekarang. Namun secara sederhana legitimasi aristrokasi hendak mengatakan bahwa satu golongan dalam masyarakat dianggap memiliki hak untuk berkuasa dibandingkan dengan golongan lain karena mereka dianggap lebih unggul daripada yang lainnya; b. Legitimasi teknoratis, kekuasaan penguasa terbangun oleh karena terbentuknya argumen yang menyatakan bahwa dalam dunia yang serba modern serta kompleks seperti saat ini dibutuhkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin yang betul-betul ahli, sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat. Pemimpin-pemimpin atau penguasa-penguasa yang sangat ahli dan mampu menerima tanggungjawab tersebut termanifestasi dalam diri para kaum teknokrat; c. Legitimasi ideologis, legitimasi ini mendasarkan kepemilikan kekuasaan pada suatu ideologi negara yang mengikat setiap warga


(38)

negaranya. Maksudnya, setiap warga negara harus mengakui hak istimewa yang dimiliki oleh aktor-aktor yang mengembangkan ideologi negara untuk menjadi penguasa, oleh karena merekalah yang mengerti betul bagaimana strategi, atau harus dibawa ke mana negara ini mengikuti ideologi yang mereka kembangkan; d. legitimasi pragmatis, adalah bentuk legitimasi yang menempatkan aktor-aktor tertentu yang menganggap dirinya cocok untuk memegang kekuasaan negara dan

sanggup mengelola kekuasaan tersebut.14

Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan legitimasi-legitimasi di atas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter. Maka dari itulah adanya konsepsi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan

manusia.15

14

S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago: University Chicago Press, 1968), h. 46.

15

Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 1


(39)

29

C. Sultan Hamengku Buwono

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan yakni kesultanan termasuk di dalamnya Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman

penjajahan Hindia Belanda disebut Zelffbestrurende Landschappen. Di zaman

kemerdekaan disebut dengan nama Swapraja.16 Sudah menjadi pengetahuan

umum bahwa pendiri Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi, terlahir sebagai Raden Mas Sujono. Dari sejarah dapat kita membuktikan bahwa berdirinya Kesultanan Yogyakarta melewati perjuangan yang ulet dan memerlukan waktu sekitar 9 tahun. Perjuangan ini diawali dari protes Mangkubumi, baik kepada kakaknya sendiri, Paku Buwono II, maupun kepada VOC. Protes ini dilatar belakangi dari sesudah Gegeran Pacina (1740-1743) dapat diselesaikan, masih ada beberapa pemberontak yang meneruskan perjuangan. Diantaranya adalah Raden Mas Said yang masih menguasai daerah Sukawati (sekarang Sragen). Said terkenal sakti, karena itu tidak ada satria Mataram yang berani menghadapinya. Kemudian Susuhunan Paku Buwono II kemudian mengeluarkan maklumat, barang siapa yang dapat mengalahkan Said

akan diberikan tanah Sukawati.17

16

Sujanto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), h. 162.

17

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 11-12.


(40)

Satu-satunya bangsawan yang memberanikan diri untuk mengahadapi Said adalah Mangkubumi. Setelah mendapat persetujuan raja dengan memperoleh pusaka Kyai Plered, Mangkubumi bergerak dengan pasukannya untuk menghadapi Said, namun pemberontak ini berhasil meloloskan diri. Dengan demikian Mangkubumi berhak menerima hadiah tanah Sukawati yang dijanjikan oleh raja. Bersama dengan itu datanglah ke Surakarta Gubernur Jenderal VOC, Van Imhoff yang terkenal licik. Sama halnya dengan Pepatih Dalem Surakarta, Pringgoloyo, ipar Susuhunan dan Mangkubumi. Pringgoloyo digambarkan sebagai patih yang licik, selain juga pengecut (ia meninggal dengan bunuh diri). Pringgoloyo pernah menghasut Susuhunan agar tidak menyerahkan tanah Sukawati kepada Mangkubumi karena akan membuat iri para bangsawan lain, juga dapat membahayakan kedudukan Susuhunan sendiri. Namun Susuhunan tidak mengikuti nasihat patihnya, dan tetap berpegang pada prinsip

sabda pandhita ratu tan kena wola-wali (raja dan pendeta tidak boleh ingkar janji).18

Van Imhoff yang terkena bujukan Pringgoloyo mengecam Mangkubumi di Paseban. Van Imhoff yang memiliki kesempatan berpidato mengkritik Mangkubumi sebagai bangsawan yang tidak tahu berterima kasih kepada Susuhunan, karena telah menuntut hadiah. Kecaman di muka umum oleh Van Imhoff sangat menyinggung kehormatan Mangkubumi. Oleh karena itu, pada

18

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12.


(41)

31

malam harinya Mangkubumi beserta para pengikutnya meninggalkan Surakarta menuju Sukawati untuk memulai perlawanan. Sasaran Mangkubumi adalah

Susuhunan yang ingkar janji dan Belanda yang dianggap Murang Tata (kurang

ajar).19

Dengan perjuangan selama 9 tahun, baik Susuhunan Paku Buwono III maupun VOC dipaksa untuk memberikan separuh Mataram kepada Mangkubumi, lewat perjanjian Gianti pada tahun 1755. Dalam perjanjian itu Mangkubumi diakui menjadi Sultan Hamengku Buwono I dengan keratonnya di

Yogyakarta. Gelarnya Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panatogomo Khalifatullah

memang masih berarti raja besar, namun dalam kenyataanya ia terikat oleh kontrak politik antara lain mengakui kalau Kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan bawahan dari kerajaan Netherland, sebagai pemegang kedaulatan. Meskipun demikian terhadap rakyat di wilayah Kesultanan, raja tetap diakui

sebagai raja Gung Binathara (raja besar).20

Adapun pembagian wilayah kerajaan tersebut menurut perjanjian Gianti

adalah, untuk wilayah negara agung, yang masing-masing di sekitar Keraton

Surakarta dan Yogyakarta. Susuhunan menerima 53.100 karya bahu atau cacah,

sedangkan Sultan menerima luas yang sama. Untuk daerah–daerah yang disebut

19

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12.

20

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 13.


(42)

mancanegara (daerah kekuasaan di luar negara agung), Sultan menerima daerah yang sedikit lebih luas dibandingkan dengan Susuhunan karena daerah yang diterima Sultan kurang subur. Menurut Prof Sukanto, dalam bukunya

Perdjanjian Gianti, daerah-daerah mancanegara yang masuk ke Kesunanan Surakarta adalah : Jagaraga, Panaraga, separuh Pacitan, Kediri, Blitar, Ladaya, Srengat, Pace (Nganjuk-Berbek), Wirasaba (Majaagung) Blora, Banyumas, dan Kaduwang. Sedangkan daerah Sultan adalah : Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen), Kedu, Sela, dan

Warung (Kuwu Wirasari), dan Grobogan.21 Pembagian daerah tersebut tidak

menguntungkan Kesunanan maupun Kesultanan, melainkan lebih

menguntungkan VOC. Dengan pembagian daerah yang terpencar, komunikasi yang menjamin kesatuan tidak mungkin dibangun, sebaliknya perselisihan antara Kesunanan dan Kesultanan mudah sekali ditimbulkan, seperti yang terjadi antara daerah Panaraga (Kesunanan) dan Madiun (Kesultanan).

Kesultanan ini berturut-turut mengalami pergantian dalam perjalanannya. Sultan Hamengku Buwono I digantikan oleh putranya Hamengku Buwono II pada tahun 1792. Hamengku Buwono II digantikan oleh putra mahkota kedua yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono III pada tahun 1812, Hamengku Buwono III digantikan oleh putra mahkota ketiga yang kemudian diberi gelar

21

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 13.


(43)

33

Hamengku Buwono IV pada tahun 1814 yang dalam pemerintahannya dibantu wali Paku Alam I. Hamengku Buwono IV digantikan oleh putra mahkota keempat yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono V pada tahun 1822 yang dalam pemerintahannya dibantu Dewan Perwalian salah satunya Pangeran Diponegoro, Hamengku Buwono V karena tidak memiliki putra digantikan oleh adiknya Pangeran Adipati Mangkubumi yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono VI pada tahun 1855. Hamengku Buwono VI digantikan oleh putra mahkota kelima yakni Gusti Pangeran Hangabehi yang merupakan putra tertua

dari selir yang diangkat menjadi parameswari yang kemudian diberi gelar

Hamengku Buwono VII pada tahun 1877, Hamengku Buwono VII digantikan oleh putra mahkota keenam yang saat itu sedang studi di Belanda yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono VIII pada tahun 1921. Hamengku Buwono VIII digantikan oleh putra mahkota ketujuh yakni Dorojatun yang kemudian diberi

gelar Hamengku Buwono IX pada tahun 193922 dengan sejarah panjangnya

melakukan usaha-usaha mengubah birokrasi pemerintahan untuk melepaskan diri

dari kontrol penjajah dimulai pada waktu dinobatkan sebagai sultan,23 Hamengku

22

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 14-22.

23

P. J. Suwarno, Hemangku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 22.


(44)

Buwono IX digantikan oleh putra mahkota kedelapan yang kemudian diberi gelar

Hamengku Buwono X pada tahun 1988.24

Selanjutnya syarat menjadi pengganti raja harus seorang putra mahkota, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Pangeran Adipati Anom. Menurut

pranata praja kejawen (peraturan dalam kerajaan Jawa) yang berhak menjadi

Pangeran Adipati Anom adalah putra tertua parameswari, yang dalam bahasa

Jawa disebut garwa padmi. Namun apabila garwa padmi hanya mempunyai putri

saja, kemungkinan pertama, yang diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom

adalah adik laki-laki Sultan yang memerintah yang dilahirkan oleh parameswari

(seibu dengan sultan). Kemungkinan kedua, mengangkat seorang selir menjadi

parameswari, sehingga putra tertuanya diangkat menjadi Pengeran Adipati

Anom. Menurut pertimbangan kelayakan berdasar pranatan, yang harus diangkat

bukan putra parameswari yang tertua, melainkan putra yang lain yang diangkat.

Contohnya adalah Sultan hamengku Buwono VII yang merupakan putra keempat

Sultan Hamengku Buwono VII yang dilahirkan oleh parameswari.25

D. Adipati Paku Alam

Kadipaten Pakualaman merupakan hadiah pemerintah Inggris pimpinan Letnan Gubernur Raffles (1811-1815) kepada Pangeran Notokusumo, putra

24

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 23-25.

25

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 99-100.


(45)

35

Hamengku Buwono I, yang kemudian bergelar Paku Alam I. Pangeran Notokusumo berjasa kepada Inggris karena ia berusaha melunakan hati Hamengku Buwono II, yang sebenarnya saudara se-ayah. Pendirian Pakualaman sebenarnya merupakan situasi disintegrasi lebih lanjut bagi kerajaan Mataram. Pada tahun 1755 lewat perjanjian Gianti yang ditanda tangani oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, Mataram telah terbagi dua, yaitu

Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta,26 disintegratif ini merupakan

hal yang dikehendaki oleh VOC pada saat itu, dengan tujuan agar VOC menjadi yang terkuat. Kadipaten Pakualaman merupakan proses intergrasi dari wilayah Kesultanan Yogyakarta yang berwilayah satu kecamatan di dalam kota Yogyakarta dan empat kecamatan di wilayah Kulon Progo, yaitu daerah yang

bernama Kabupaten Adikarto.27

Pada abad ke-19 berbagai kerajaan yang pada hakikatnya merupakan

kesatuan politik (pusat kekuasaan) di berbagai daerah mengalami integrasi,28 dan

dilanjutkan pada abad ke-20 dengan semakin kuatnya koloni Nederlansch Indie atau India-Belanda. Sehingga pada tahun 1813 kesultanan Yogyakarta tidak kuasa menolak kehadiran Kadipaten Pakualaman. Lahirnya Kadipaten Pakualaman dengan status penguasanya sebagai Pangeran Merdiko ditentukan

26

M.C Riklefs, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, (New York-Toronto-Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1974), h. 42.

27

Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), h. 223.

28

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 9.


(46)

oleh pihak penjajah, semula Inggris dan kemudian Belanda. Dipandang dari konsep kekuasaan Jawa, terpecahnya Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, serta Kesultanan Yogyakarta menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, merupakan perkembangan atau situasi yang tidak berkesesuaian.

Anggapan umum tentang berdirinya Kadipaten Pakualaman adalah bahwa Kadipaten Pakualaman itu proyek penjajahan, yang ada kaitannya dengan prinsip pecah belah dan kuasai. Akan tetapi menurut sumber Jawa, berdirinya Kadipaten Pakualaman adalah kehendak Hamengku Buwono III, yang diindikasi merupakan bentuk dukungan Notokusumo terhadap Hemengku Buwono III dalam menjatuhkan Hamengku Buwono II.

Sebagai suatu kadipaten, suatu kerajaan yang kecil, Pakualaman tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah dirinya menjadi kerajaan yang besar. Peluang untuk itu tidak ada, suatu hal yang sangat berbeda dengan moyangnya dulu, Panembahan Senapati yang dapat mengubah statusnya dari kadipaten bawahan Pajang menjadi kerajaan yang membawahkan Pajang dan banyak daerah lain. Pemerintah Belanda tentu tidak akan membiarkan peluang itu

muncul dan dimanfaatkan oleh Pakualaman.29 Akan tetapi justru karena

29

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 30.


(47)

37

kekecilannya, dari kalangan pura Pakualaman muncul banyak kaum terpelajar,

yang meminjam istilah Van Niel, disebut elite modern Indonesia.30

Karena mereka berasal dari keluarga raja kecil, maka dari kalangan mereka kemudian muncul kesadaran akan perlunya pembaharuan di kalangan masyarakat Jawa. Mereka benar-benar sadar, bahwa suasana Jawa sudah berubah. Dengan kekecilannya, bahkan mungkin sekali para bangsawan Pakualaman tidak akan dapat mempertahankan statusnya sebagai kaum elite. Mereka hanya akan dapat menjalankan peranannya dalam masyarakat Jawa yang berubah kalau mereka mengikuti perubahan zaman. Bagi mereka mengikuti perkembangan modern adalah suatu hal yang mutlak. Intelektualisasi keluarga

Pakualaman dimulai pada masa Sri Paku Alam V (1878-1900).31 Oleh karena itu

tidak mustahil kalau dari kalangan putra atau keluarga Pakualaman muncul tokoh-tokoh awal pergerakan kebangsaan seperti Kusumoyudo, Notosuroto, Notodiningrat (Wreksodiningrat), Suryapranata, dan yang paling terkenal, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Kedua tokoh terakhir sanggup menggocangkan pemerintah kolonial; Suryapranata lewat SI dan Sarekat Buruh yang dipimpinnya, sedangkan Suwardi Suryaningrat lewat Indische Partij, Komite Bumi Putera dan Tamansiswa yang digerakannya. Dari keterangan di

atas nyatalah bahwa nasionalisme adalah paham yang telah “menjangkiti”

30

R Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 30. 31

Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), h. 245.


(48)

keluarga Pakualaman. Modernisasi yang diselenggarakan atau diikuti oleh Kadipaten Pakualaman dan Keluarga Pakualaman, serta partisipasi bangsawan Pakualaman merupakan sumbangan bagi proses integrasi bangsa.

Di Kadipaten Pakualaman kepala kadipaten disebut sebagai Paku Alam. Pemakaian nama Paku Alam dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari harapan untuk melepaskan diri dari ikatan penjajah. Pemberian nama Paku Alam untuk kepala Kadipaten Pakualaman haruslah seizin atau dengan keputusan dari

Gubernur Jendral.32 Gelar itu diberikan kepada kepala Kadipaten Pakualaman

jika sudah berumur 40 tahun. Sebelum berusia 40 tahun mereka bergelar Suryo Sasraningrat, atau sejak Paku Alam V, Suryodilogo. Akan tetapi kepala Kadipaten Pakualaman yang sekarang menggunakan nama Paku Alam VIII pada usia 32 tahun (4 windu), pada saat Belanda sudah dikalahkan dan Indonesia diduduki oleh Jepang.

Pada zaman Jepang nasionalisme Indonesia memasuki fase pematangan. Masa penindasan dan pemerasan pada zaman Jepang begitu mencekam, sehingga rasa senasib dan sepenangguhan di kalangan rakyat Indonesia begitu kuat

mendorong lajunya proses penyatuan bangsa (nation building). Wawasan

kedaerahan sudah begitu jauh tersingkir, dibarengi dengan merasuknya semangat kebangsaan di seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali Sri Paduka Alam VIII dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Baik Sri Paku Alam VIII maupun Sri

32

Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), h. 223, 233, 351.


(49)

39

Sultan Hamengku Buwono IX tidak lagi berwawasan sempit, terbatas pada kerajaan masing-masing, melainkan sudah berwawasan Indonesia. Mereka tidak lagi berjuang untuk memulihkan kejayaan masing-masing, melainkan untuk kejayaan seluruh Indonesia. Dalam bahasa konsep kekuasaan Jawa, mereka berjuang bukan lagi untuk keagungbinateraan kerajaan Jawa atau diri mereka masing-masing, melainkan telah beralih untuk negara kebangsaan Indonesia,

yang berkedaulatan rakyat.33 Dengan alasan itu Sri Paduka Alam VIII

“mengembalikan” Kadipaten Pakualaman kepada “induknya”, Kesultanan Yogyakarta. Sri Paduka Alam VIII sangat sadar apalah artinya Kadipaten Pakualaman dengan empat kecamatan di Kulon Progo dan satu kecamatan di dalam kota untuk memainkan peranan yang berarti jika sendiri. Oleh karena itu sejak Jepang berkuasa Sri Paku Alam bergabung dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX berkantor di Kepatihan.

E. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Otonomi daerah dimaksudkan untuk lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

33

Ceramah Gubernur Kepala Daerah Provinsi DIY dalam Sarasehan tentang Makna Kepahlawanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, di Universitas Widya Mataram, 16 November 1990, h. 8.


(50)

keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.34 Pelaksanaan otonomi daerah ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada tingkat daerah provinsi disebut sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur, dan pada tingkat daerah kabupaten/kota disebut bupati atau wali kota dan wakil bupati atau wakil wali

kota.35

Kepala daerah sesuai dengan Pasal 65 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : mempimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan derah berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang RPJPD dan rancangan peraturan daerah (Perda) tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD serta menyusun dan menetapka RKPD, menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama, mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengusulkan pengangkatan wakil

34

HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 36.

35

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 30.


(51)

41

kepala daerah, dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut kepala daerah memiliki wewenang mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD, menetapkan Perkada dan keputusan Kepala Daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah/atau masyarakat, melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya pada Pasal 66 wakil kepala daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemeritahan daerah dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh perangkat daerah kebupaten/kota,kelurahan, dan /atau desa bagi wakil bupaten/wali kota, meberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia dilakukan melalui pemilihan umum secara langsung, yang mana dalam pemilihan


(52)

kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Tahapan pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah ini meliputi beberapa tahapan, adapun tahapan tersebut adalah pemberitahuan DPRD kepala daerah wakil kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, perencanaan penyelenggaraan meliputi mengenai penetapa tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS, dan KPPS, pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Sementara itu dalam tahapan pelaksanaan meliputi penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan

penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.36

36

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 64.


(53)

43 BAB III

TINJAUAN UMUM HAK POLITIK WARGA NEGARA

A. Hak Politik Warga Negara Dalam Konstitusi Indonesia

Hak asasi (fundamental rights) adalah hak yang bersifat mendasar

(grounded). Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan inhern dengan jati diri manusia secara universal.1 Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi

Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,2 karena dia

adalah manusia. Dalam Mukadimah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966), dirancangkan: “Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang

melekat pada manusia (these rights device from the inherent dignity of the human

person)”. Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamental) sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita, serta martabatnya. Hak ini juga bersifat universal, artinya dimiliki semua

manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender.3 Tanpa

hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Menurut Tudong Mulya

1

Arend Soeteman, Pluralisme And Law, (London: Kluwer Academi Publishers, 2001), h. 63.

2

A Ubaedillah, Abdul Razak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 148.

3

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 211-212.


(54)

Lubis sesungguhnya menelaah hak asasi manusia adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada

kemanusiaan.4

Pada tahun 1944 dalam Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia, Amerika Serikat, dihasilkan sebuah deklarasi hak asasi manusia. Deklarasi Philadelphia ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apapun ras, kepercayaan, dan jenis kelaminnya. Deklarasi ini juga memuat prinsip hak asasi manusia yang menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta jaminan keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB

dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948. DUHAM

dinilai sebagai generasi hak asasi manusia pertama yang dianggap sebagai puncak konseptualisasi hak asasi manusia sejagat. Menurut DUHAM, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); hak legal (hak jaminan perlindungan hukum); hak sipil dan

4

Tudong Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 14.


(55)

45

politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang

kehidupan); dan hak ekonomi, sosial, sosial budaya.5

Generasi hak asasi manusia kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan hak asasi manusia yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam sidang umum PBB 16 Desember 1966 kemudian dirumuskan dua buah Kovenan,

yakni Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International

Covenant on Economic Social, and Cultural Rights, dan Kovenan Internasional

Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Politic Rights).

Perkembangan pemikiran hak asasi manusia juga mengalami peningkatan ke arah kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (the Rights of Development). Inilah generasi hak asasi manusia ketiga. Sebagai proses dialektika, pemikiran hak asasi manusia akhirnya memasuki tahap penyempurnaan sampai munculnya generasi hak asasi manusia keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya berbagai aspek kesejahteraan rakyat. Munculnya generasi keempat hak asasi manusia ini dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang dikenal dengan Deklarasi Dasar Masyarakat

5

A Ubaedillah, Abdul Razak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 151.


(56)

Asia dan Pemerintah (Declaration of The Basic Duties of Asia People and Goverment).6

Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan Indonesia. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai awal periode perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (1966-1968). Dalam ketiga periode ini perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi pada periode-periode tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000).

Pada periode reformasi ini lahir Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang isinya tidak hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Presiden B.J Habibie sebagai presiden saat itu dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, Presiden mengajukan

6

Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 55.


(57)

47

Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke DPR untuk dibahas. Yang kemudian pada 23 September 1999 telah dicapai konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hasil pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H Abdurrachman Wahid sebagai Presiden, pada sidang tahunan MPR tahun 2000 perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 akhirnya berhasil dicapai. MPR sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal hak asasi manusia (dari Pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori

hak-hak sipil politik, hingga pada kategori hak-hak-hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.7

Dari sekian banyak hak-hak asasi manusia yang tercakup di dalam Undang-Undang Dasar 1945, salah satu hak-hak penting di Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi adalah hak-hak sipil politik yang di dalamnya terdapat hak politik warga negara. Sebelum membahas mengenai hak politik warga negara, terlebih dahulu akan dibahas mengenai apa itu hak, konsep politik, dan warga negara yang kemudian dijadikan pengertian utuh mengenai hak politik warga negara serta pembahasanya. Sebagaimana dikemukakan oleh James W.

Nickel unsur-unsur hak itu antara lain: a. Masing-masing hak

mengidentifikasikan satu pihak sebagai pemilik atau pemegangnya, kondisi

7

Rhona K.M Smith, Njal Hostmaelinen, Christian Ranheim, d.k.k, Hukum Hak Asasi Manusia, Cet.1, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 237-244.


(1)

- 6 -

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas. Pasal 14

Cukup jelas. Pasal 15

Cukup jelas. Pasal 16

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan “turut serta dalam suatu perusahaan” adalah menjadi direksi atau komisaris perusahaan.

Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Cukup jelas. Huruf g

Cukup jelas. Pasal 17

Cukup jelas. Pasal 18

Cukup jelas. Pasal 19

Cukup jelas. Pasal 20

Cukup jelas.


(2)

- 7 - Pasal 21

Cukup jelas. Pasal 22

Cukup jelas. Pasal 23

Cukup jelas. Pasal 24

Cukup jelas. Pasal 25

Cukup jelas. Pasal 26

Cukup jelas. Pasal 27

Cukup jelas. Pasal 28

Cukup jelas. Pasal 29

Cukup jelas. Pasal 30

Cukup jelas. Pasal 31

Cukup jelas. Pasal 32

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan hukum khusus bagi Kasultanan dan Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “tanah Kasultanan (Sultanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kasultanan. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “tanah Kadipaten (Pakualamanaat

Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik

Kadipaten.


(3)

- 8 - Ayat (4)

Tanah keprabon adalah tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton,

Sripanganti, tanah untuk makam Raja dan kerabatnya (di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan petilasan.

Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari,

ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.

Ayat (5)

Cukup jelas. Pasal 33

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “lembaga pertanahan” adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang menangani bidang pertanahan.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perseorangan, badan hukum, badan usaha, dan badan sosial yang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Ayat (4)

Cukup jelas. Pasal 34

Cukup jelas. Pasal 35

Cukup jelas. Pasal 36

Cukup jelas. Pasal 37

Cukup jelas. Pasal 38

Cukup jelas.


(4)

- 9 - Pasal 39

Cukup jelas. Pasal 40

Cukup jelas. Pasal 41

Cukup jelas. Pasal 42

Ayat (1)

Dalam rangka penyediaan pendanaan Keistimewaan DIY, Pemerintah Daerah DIY wajib menyampaikan rencana kebutuhan yang dituangkan dalam rencana program dan kegiatan tahunan dan 5 (lima) tahunan.

Ayat (2)

Mekanisme pembahasan pendanaan Keistimewaan DIY dilakukan oleh Pemerintah Daerah DIY bersama dengan kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang menangani urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan nasional, keuangan, pemerintahan daerah, dan kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang berkaitan dengan Keistimewaan DIY.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Pasal 43

Cukup jelas. Pasal 44

Cukup jelas. Pasal 45

Cukup jelas. Pasal 46

Cukup jelas.


(5)

- 10 - Pasal 47

Cukup jelas. Pasal 48

Cukup jelas. Pasal 49

Cukup jelas. Pasal 50

Cukup jelas. Pasal 51

Cukup jelas.


(6)

LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2012

TENTANG

KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,