Asal Usul Nama Yogyakarta Malioboro
KATA PENGANTAR
ama jalan sering dianggap bukan sesuatu yang penting. Aneh memang, kalau tidak dapat dikatakan ironis.
Sebab, hal itu terjadi justru di tengah semangat menggebu menemukan simbol dan identitas seiring kota-kota di Indonesia keranjingan menggarap proyek mentereng city branding.
Tidak kurang aneh adalah apabila disinggung mengenai simbol dan identitas, maka segera mengacu kepada Monas, orang Betawi, dan ondel-ondel jika terkait kota Jakarta. Jam Gadang jika itu kota Bukittinggi. Bandung adalah Gedung Sate, factory outlet, dan surga makanan. Solo tentu saja Jokowi. Sementara itu, kota Yogyakarta pada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, angkringan, gudeg, batik, dan termasuk Jalan Malioboro.
Sedikit sekali kota di Indonesia yang nama jalannya menduduki posisi sangat kuat sebagai simbol dan identitas. Pun yang menganggap nama jalan sebagai simbol dan identitas
PENDAHULUAN
kota. Malioboro adalah salah satunya. Jalan ini lebih sering mengacu kepada simbol dan identitas kontemporernya sebagai
area belanja. “A major shopping street,” diterakan Wikipedia internasional; “Pusat perbelanjaan khas Yogyakarta,” ulas National Geographic Indonesia. Demikian pula yang ditulis
timologi nama-nama tempat selalu menarik untuk dibahas. oleh situs resmi Pemda DI Yogyakarta. Otomatis arti penting
Apalagi sejumlah toponimi tertentu memicu banyak
Malioboro sebagai simbol dan identitas, penggunaannya dalam spekulasi. Salah satu toponimi tersebut adalah Yogyakarta, legitimasi kekuasaan, menipulasinya oleh pihak berwenang,
kota istana yang terkenal di Jawa tengah-selatan. Tempat ini, juga nilainya untuk pembentukan dan identifikasi kelompok
menurut frasa sejarawan Belanda, Petrus Blumberger, yang tak pun hilang.
terlupakan, adalah “degup jantung Jawa” (Blumberger 1931).
Kota ini didirikan oleh Sultan Mangkubumi (Hamengku Terlebih penting lagi kemudian tulisan itu ditanggapi oleh
Tulisan dari sejarawan Peter Carey pun menjadi penting.
Buwono I, bertakhta pada 1749–1792) pada akhir Perang Jacobus (Koos) Noorduyn dan Merle Calvin Ricklefs.
Giyanti (1746–1757). Namanya yang membangkitkan minat Ketiganya memaparkan analisis menarik menganai asal
sejak lama ini sering menjadi perdebatan. Darmosugito, usul nama Yogyakarta dan Malioboro. Semoga dengan buku
seorang sejarawan lokal, menulis pada 1956 saat perayaan ini, para pembaca bisa mengetahui lebih dalam mengenai
ulang tahun kota Yogya yang ke-200, bahwa asal usul nama Yogyakarta.
ini masih terselimuti misteri (Darmosugito 1956:13). Ketika saya menjadi mahasiswa pascasarjana yang sedang
Depok, 13 Januari 2015
melakukan riset tentang Pangeran Diponegoro (1785–1855)
JJ Rizal
dan Perang Jawa (1825–1830), saya tinggal di Tejokusuman,
Yogyakarta, selama dua tahun (1971–1973). Pada saat itu, saya Inggris mendapat penghormatan dengan dijadikan sebuah diberi tahu bahwa jalan poros utama kota istana (rajamarga)
nama jalan? Dapatkah kita bayangkan bahwa salah satu jalan ini—Jalan Malioboro—dinamai menurut nama Duke of
raya di Surabaya diberi nama menurut nama para komandan Marlborough (1650–1722), seorang jenderal Inggris terkenal
Inggris yang terlibat dalam pertempuran di Surabaya yang yang namanya diabadikan dalam sebuah benteng yang dibangun
mengerikan pada Oktober–November 1945? 1 Adanya “Jalan Inggris di Bengkulu di Sumatera bagian Barat (1714). Hal ini
Mallaby” atau “Jalan Mansergh” tak bisa dibayangkan! benar-benar menarik perhatian saya. Saya datang 7.000 mil
Mengapa Yogya berbeda?
jauhnya dari Oxford, kota universitas saya dahulu. Di sana, Hal ini menjadi tantangan bagi saya. Setelah tesis doktor tepatnya di Woodstock, terdapat Istana Blenheim, kediaman
saya “Diponegoro and the Making of the Java War, 1785–1825/ sang duke yang termasyhur. Tempat itu menjadi favorit saya
Diponegoro dan Asal Usul Perang Jawa, 1785–1825” berhasil untuk berjalan-jalan di akhir pekan. Dan ternyata saya
saya pertahankan pada 1976, juga tantangan awal karier saya datang jauh-jauh dari sana hanya untuk menemukan bahwa
sebagai tutor sejarah muda di Trinity College (1979–2008) tokoh sejarah yang sama ini juga dihormati di tempat saya
berhasil saya atasi, saya mulai melakukan riset untuk menulis melakukan penelitian. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah
sebuah artikel di jurnal kajian Indonesia, Archipel, yang nama “Marlboro”, yang pada saat itu merupakan merek rokok
berbasis di Paris—pendirinya, Denys Lombard, menjadi teman asing yang banyak dicari, telah mengeruhkan otak teman-
yang tewas di tangan para pejuang Republik di teman Yogyakarta saya? Bagaimanapun juga, orang Inggris Surabaya pada 30 Oktober 1945 ketika mencoba
menegosiasikan gencatan senjata, dan Mayor Jenderal Sir Robert Mansergh (1900–1970),
telah menuliskan namanya dengan darah di dinding keraton komandan Divisi India ke-5, yang diberi tugas untuk mengusir para pejuang tersebut dari Yogyakarta ketika Raffles memerintahkan penyerangan dan kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada saat operasi yang dipimpinnya berakhir penjarahannya pada 20 Juni 1812. Jadi, mengapa ada Jenderal Indonesia tewas. Ini adalah pertempuran paling berdarah dalam Perang Kemerdekaan telah menuliskan namanya dengan darah di dinding keraton komandan Divisi India ke-5, yang diberi tugas untuk mengusir para pejuang tersebut dari Yogyakarta ketika Raffles memerintahkan penyerangan dan kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada saat operasi yang dipimpinnya berakhir penjarahannya pada 20 Juni 1812. Jadi, mengapa ada Jenderal Indonesia tewas. Ini adalah pertempuran paling berdarah dalam Perang Kemerdekaan
ditulis tiga dekade yang lalu dan belum pernah muncul dalam pada 1971 dan penjelasannya yang diturunkan dari bahasa
terjemahan bahasa Indonesia, saya menyambut kesempatan Sanskerta tentang asal usul toponimi Jalan Malioboro. Akan
ini untuk menampilkan perdebatan historis bagi para pembaca tetapi, karena tidak terlalu memahami bahasa Sanskerta dan
Indonesia terdidik. Semoga publikasi singkat ini—setara bahasa Jawa Kuno, saya terhanyut oleh dugaan imajinatif
dengan sekapur sirih—dapat menghormati kenangan tentang saya yang menghubungkan kota Mangkubumi ini dengan
Sultan Mangkubumi dan kota pahlawannya dalam ulang Râmâya ň a yang berbahasa Jawa Kuno (Carey 1984). Hal
tahun ke-200 pendudukan Inggris selama lima tahun (1811– ini memicu tanggapan dari Dr. Jacobus (Koos) Noorduyn
1816) dan letnan gubernurnya yang berbakat tapi tragis, Sir (1926–1994), seorang Belanda yang merupakan ahli bahasa-
Thomas Stamford Raffles (1781–1826).
bahasa Indonesia yang cemerlang. Ia dengan baik melucuti argumentasi saya dalam tanggapan yang ditulisnya dengan
Peter Carey
teliti di jurnal Archipel yang sama (Noorduyn 1986).
Serpong, 9 September 2014
Melihat tingginya ketertarikan terhadap sejarah Yogyakarta, yang mungkin telah dipercepat oleh penerbitan dua biografi terbaru tentang Raffles (Glendinning 2012; Hannigan 2012) dan kajian saya tentang Diponegoro yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (Carey 2012; Carey 2014), saya dibujuk oleh editor kepala Komunitas Bambu, J.J. Rizal, untuk mempersiapkan edisi terbaru artikel-artikel
JALAN MALIOBORO (‘Jalan Berhiaskan Untaian Bunga’)
Etimologi dan Asal Usul Historis Nama Jalan di Yogyakarta yang Banyak Disalahpahami
Peter Carey
[Awalnya diterbitkan sebagai: P.B.R. Carey, ‘Jalan Malioboro (“Garland Bearing Street”): The Etymology and Historical Origins of a Much Misunderstood Yogyakarta Street Name, Archipel, Jilid 27, 1984, hlm. 51–62. http://www.persee.fr/ web/revues/home/prescript/article/arch_0044-8613_ 1984_num_27_1_1879]
Peter Carey adalah Dosen Emeritus di Trinity College, Oxford, dan Profesor Luar Biasa (Tamu) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB- UI). Karya biografi utamanya tentang Pangeran
Diponegoro—The Power of Prophecy; Prince
yang mengagumkan, kadang kala dikutip sebagai bukti
Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–
jaminan bahwa nama Marlborough adalah toponimi yang
1855 (Leiden: KITLV Press, 2008)—telah terbit
disukai di Indonesia pada masa itu. Namun, perlu diingat
dalam terjemahan bahasa Indonesia sebagai Kuasa
bahwa Bengkulu diduduki Inggris hingga 1824, dan walaupun
Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Yogyakarta memang mengalami pendudukan militer Inggris
Lama di Jawa, 1785–1855 (Jakarta: KPG, 2012), dan
yang mendalam dan kepahitan pada Juni 1812 (ketika keraton
versi ringkasnya, Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro
diserbu), kota ini tidak pernah berada di bawah kendali
(1785–1855) (Jakarta: Buku Kompas, 2014).
Inggris secara formal selama periode 1811–1816.
Selain itu, argumentasi yang disukai oleh sejumlah orang
rang-orang Inggris yang mengunjungi Yogyakarta
bahwa penguasa Yogyakarta mengubah nama jalan utama di ibu
dan mereka yang tertarik dengan periode kekuasaan
kota mereka karena begitu terkesan oleh orang-orang Inggris dan
Inggris yang singkat di Jawa (1811–1816) telah lama dibuat Letnan Gubernurnya yang masih muda, Thomas Stamford Raffles penasaran oleh gagasan bahwa jalan raya prosesi utama di ibu
(1781–1826; menjabat, 1811–1816), harus sepenuhnya ditolak kota Kesultanan ini, Jalan Malioboro, awalnya diberi nama
karena tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, jalan raya ini menurut gelar John Churchill, Duke of Marlborough pertama
telah dibangun dan digunakan untuk tujuan seremonial tertentu (1650–1722), seorang jenderal pejuang Inggris paling terkenal
selama lima puluh tahun sebelum orang Inggris mendirikan
pemerintahannya di Jawa, dan besar kemungkinan bahwa jalan Sumatera Barat—Benteng Marlborough—dibangun pada
pada masanya. 1 Contoh dari benteng Inggris di Bengkulu di
ini sejak awal telah dikenal sebagai “Jalan Malioboro” (“Jalan 1714 setelah berakhirnya Perang Suksesi Spanyol (1701–
Berhiaskan Untaian Bunga”). 2 Dengan demikian, asal usul nama 1714), ketika Marlborough meraih serangkaian kemenangan
ini harus dicari ke tempat lain.
(“mendapatkan untaian bunga”), dan “mâlyabhârin” Yogyakarta menunjukkan bahwa nama ini mungkin berasal
Dalam upaya menemukan solusi, para cendekiawan
(“berhiaskan atau mengenakan untaian bunga”) dapat dilacak dari nama sebuah rumah perburuan (pesanggrahan) yang
dalam Râmâyana berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada digunakan oleh Jayèngrono (Amir Hamza) dalam roman
pertengahan abad ke-9, juga dalam Adiparwa dan Wirâthaparwa Jawa-Islam populer karya Amir Hamza yang berkaitan
yang ditulis pada akhir abad ke-10, kata-kata tersebut belum dengan sepak terjang paman Nabi (Kota Jogjakarta 200 tahun
ditemukan dalam naskah apa pun dari masa selanjutnya yang 1956:26 catatan 1). Gagasan ini mungkin ada benarnya,
mungkin lebih dekat masanya dengan pendirian kerajaan baru tetapi terdapat penjelasan lain yang sepertinya jauh lebih
di Yogyakarta oleh Mangkubumi pada 1749. 4
masuk akal. Petunjuknya adalah nama Ngayogyakarta sendiri Walaupun demikian, hampir bisa dipastikan bahwa yang kemungkinan berasal dari kata Ayodhyâ dalam bahasa
terdapat kisah Râmâyana dalam versi bahasa Jawa Modern, Sanskerta (Bahasa Jawa Modern: “Ngayodya”), ibu kota
serta salinan beberapa naskah berbahasa Jawa Kuno yang pahlawan India Râma dalam epos Râmâyana (Ricklefs 1974:80
masih ada, di istana-istana Jawa Tengah pada pertengahan catatan 33). Pengaruh kesusastraan India seperti itu, yang di
abad ke-18. 5 Selain itu, terdapat bukti jelas bahwa setidaknya Jawa dikenal melalui media kakawin (puisi bermetrum sekar
satu kakawin berbahasa Jawa Kuno, Dharmasûnya, dikenal dan ageng) yang berbahasa Jawa Kuno, mungkin memengaruhi
disalin di istana Kartasura setidaknya pada 1716 (Ricklefs pilihan nama “Malioboro”, yang kelihatannya merupakan
1978:153–154). Jadi, mungkin tidak terlalu berlebihan untuk bentuk saduran bahasa Jawa dari kata “mâlyabhara” (berhiaskan
merentangkan bukti lebih jauh agar dapat mendalilkan bahwa untaian bunga) dalam bahasa Sanskerta. 3
sebagian, walaupun tidak beraturan, pengetahuan tentang
bentuk dan frasa bahasa Jawa Kuno masih ada di kalangan (“karangan bunga, untaian bunga atau tasbih”), “mâlyakarma”
S a y a n g n y a , w a l a u p u n i s t i l a h S a n s k e r t a “m â l y a ”
cendekiawan istana Yogya pada saat itu ketika toponimi
“Malioboro” mulai banyak digunakan di ibu kota Sultan
“Etimologi populer mengambil nama salah satu jalan
setelah perjanjian perdamaian Giyanti pada 13 Februari 1755.
utama di Yogyakarta, yaitu Malioboro [Maliabara], dari nama
Dalam hal ini, menarik untuk mengamati bahwa sebagian
keluarga Inggris Marlborough. Meskipun demikian, asal mula
makna asli bahasa Sanskerta yang samar-samar masih dapat
ini kecil sekali kemungkinannya tidak hanya karena nama
dipahami dalam lema untuk kata “malya” dan “bara” dalam
Marlborough tidak muncul dalam History of Java [Sejarah Jawa]
karya Gericke dan Roorda yang terkenal, Kamus Bahasa
(London, 1817) yang ditulis oleh Raffles, tetapi juga karena
Belanda-Jawa Modern edisi ke-empat. 6
Jalan Malioboro terbentang dari kompleks istana atau keraton
Bukti ini memang belum meyakinkan dan akan tetap
Yogyakarta hampir tepat ke utara dan diarahkan menuju
demikian hingga kata “maliabara” benar-benar ditemukan
gunung berapi Gunung Merapi. Dengan kata lain, bagi orang
dalam naskah yang berasal dari Yogya pada pertengahan
Jawa, Malioboro [Maliabara] menjadi jalan yang [amat] terlalu
abad ke-18. Akan tetapi, hubungan etimologis antara nama
penting untuk diberi nama menurut nama seorang Inggris, yang
Jalan “Malioboro” dan gabungan kata bahasa Sanskerta
merupakan orang asing bagi mereka.
“mâlyabhara” sudah disebutkan oleh Profesor C.C. Berg dalam kuliahnya di Leiden University pada dekade 1950-an
Tata letak keraton mengingatkan kita tentang gagasan dan 1960-an, dan oleh almarhum Dr. O.W. Tichelaar dalam
perencanaan kota menurut orang India (cf. Mânâsâra, sebuah makalah yang disampaikan pada Kongres Orientalis
vol. VII): kota lebih disukai berbentuk segi empat atau Internasional ke-28 di Canberra. Sinopsis makalah tersebut
persegi panjang; kota harus diorientasikan ke arah titik- adalah sebagai berikut (tambahan dari penulis ditulis dalam
titik utama kompas; kota harus dibangun di dekat laut, kurung siku):
sungai atau gunung dan harus, antara lain, memiliki gerbang rumah (bahasa Sanskerta “gopura”; bahasa Jawa “gapura”).
Keraton Yogyakarta memenuhi semua persyaratan ini. Dalam Membentang dalam garis lurus sepanjang sekitar satu sebuah kota India (tetapi bandingkan pula dengan desa-
setengah kilometer dari Bangsal Witana atau Sitinggil (secara desa kepangeranan Bali), jalan-jalan utama (râjamârga)
harfiah: “tanah tinggi”) di depan keraton, hingga Tugu atau membentang dari Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan.
lingga seremonial yang didedikasikan untuk makhluk halus Malioboro [Maliabara] membentang dari Selatan ke Utara
penjaga (baureksa) Yogyakarta, Kyai Jogo (Jaga) di sebelah dan kemungkinan memang hanya merupakan râjamârga atau
utara, 7 keseluruhan jalan ini memenuhi fungsi simbolis jalan kerajaan.
yang sangat penting bagi keraton Yogyakarta. Ketika Sultan
keluar dari keraton dalam (kadaton) untuk duduk bertakhta 2), jalan-jalan kerajaan ini, terutama pada hari perayaan, dihiasi
Menurut tradisi India (cf. Râmâyana, edisi Mumbay, 2, 17,
(miyos sinéwaka) di Sitinggil selama upacara publik, ia antara lain dengan “mâlya” atau untaian (bunga). Dalam bahasa
akan dapat melihat lurus sepanjang Jalan Malioboro hingga Sanskerta “dihiasi dengan untaian bunga” adalah “mâlyabhara”
Tugu di kejauhan. Sebaliknya, Tugu ini, dalam pandangan atau “mâlyabhâra” (istilah “mâlyabara” dibuktikan dalam PW
Sultan akan terbingkai oleh dua buah pohon beringin [Petersburger Wörterbuch] dan inilah asal usul nama Malioboro
kurung (waringin kurung sapasang) di alun-alun bagian utara [Maliabara]” (Tichelaar 1976:187–188).
(lapangan seremonial), Kyai Dewadaru di sebelah barat dan
Kyai Joyo(atau Jono)daru di sebelah timur. Dalam kajian kata aslinya dalam bahasa Sanskerta (India) masih dilestarikan
Dalam kasus Yogyakarta, terdapat bukti jelas bahwa arti
simbol keraton Jawa, kesemuanya mewakili penyatuan hal- dalam cara bahwa Jalan Malioboro berfungsi sebagai jalan
hal yang berlawanan (loroning atunggal; secara harfiah: “dua raya seremonial (râjamârga) menembus jantung kota, dan
dalam satu”).
dalam cara pendekorasiannya pada saat kunjungan resmi para Bagi orang Jawa, rangkaian mistis ini termasuk peleburan gubernur jenderal atau pejabat tinggi Eropa lainnya.
dunia dewa dan manusia (manungsa), serta penyatuan yang dunia dewa dan manusia (manungsa), serta penyatuan yang
dilihat pada saat para gubernur jenderal atau pejabat tinggi 1956:14, 19; Lind 1975:58). Karena lokasinya yang berada
sipil dan militer Eropa lainnya berkunjung ke Yogyakarta. di pusat trinitas visual yang terbentuk seperti itu, Tugu yang
Pada kesempatan ini, peran Jalan Malioboro sebagai jalan ada di kejauhan berdiri sebagai simbol esensi kekuatan hidup
raya prosesi ditekankan melalui pendirian “lengkungan (sumber urip), atau, dalam filosofi Tantra India, pertemuan
kemenangan”, melalui kehadiran dua barisan prajurit subur antara kekuatan generatif (purusa) dan reseptif (prakrti)
Jawa bersenjata tombak yang berdiri berbaris di sepanjang (Kota Jogjakarta 200 tahun:14, 19; Basham 1974:327).
keseluruhan rute, dan oleh orkestra Jawa (gamelan) yang Seperti dikatakan oleh Pigeaud: “hanya penguasa, yang bisa
dimainkan pada saat para pembesar Eropa mendekat. Catatan dianggap sebagai perwakilan penyatuan yang melingkupi
resmi dalam Java Government Gazette tentang seremoni semuanya, boleh menginjakkan kakinya di titik antara kedua
masuknya Raffles ke Yogyakarta melalui Jalan Malioboro di pohon waringin [kurung] yang mewakili penyatuan” (Lind
sore hari pada Rabu 8 Desember 1813 memberikan kesan jelas 1975:58).
terhadap peristiwa semacam itu 8 :
Dengan cara ini, menurut almarhum Pak Darmosugito (Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:19), seorang ahli tentang aspek
“Prosesi, yang mewakili kemegahan Jawa yang jarang
ini dalam sejarah Yogyakarta, Sultan pertama (Mangkubumi)
terkalahkan, bergerak maju secara perlahan melewati dua
secara sengaja telah membuat simbol meditasi yang kuat
barisan prajurit [Jawa] bersenjatakan tombak yang di antara
dengan menyejajarkan Tugu dan kedua pohon waringin kurung
mereka tersebar para pembawa panji berbagai pangeran dan
di sepanjang sumbu jalan seremonial utama (râjamârga) di ibu
bupati tempat mereka mengabdi. Sejumlah gomblong [gamelan]
kota barunya.
atau band musik Jawa, yang ditempatkan pada jarak tertentu atau band musik Jawa, yang ditempatkan pada jarak tertentu
Ia yang dipanggil sebagai “kakek” (ingkang eyang) oleh orang
[Letnan Gubernur, yaitu Raffles] melalui musik yang riang dan
Jawa, dianggap sebagai pewaris sah hak kedaulatan kerajaan
berulang. Jalan dari Reksanegaran 9 ke Karesidenan menanjak
Pajajaran abad ke-14 di Jawa Barat, dan dengan demikian
sejauh empat mil [sic; faktanya sekitar dua mil], lebarnya
setara dengan para penguasa di Jawa selatan-tengah. Akan
hampir 100 kaki, dan di kedua sisinya ditumbuhi oleh barisan
tetapi, ia tidak memiliki hak berdaulat terhadap Mataram.
pohon [waringin tinggi] yang indah, yang dalam jarak cukup
Pusat kekuasaannya adalah di Batavia (setelah 1942 dialihkan
jauh [yaitu di keseluruhan panjang Jalan Malioboro] lurus
nama menjadi Jakarta), dan, dalam pandangan orang Jawa,
sempurna. Dalam kesempatan ini, hal tersebut menghadirkan
semua hubungan antara dirinya dan para raja Jawa selatan-
perspektif agung. Lengkungan kemenangan [? dari daun palem]
tengah harus diatur melalui medium kontak duta besar yang
[telah] didirikan dalam jarak yang sama melintang jalan, yang
sesuai untuk para penguasa dengan status setara (Ricklefs
menghasilkan efek yang sangat luar biasa.”
1974:373 dst.). 10
Hingga awal abad ke-19, pandangan ini masih dapat
dipertahankan, tetapi setelah para gubernur jenderal Eropa catatan terus terang tentang bagaimana cara seorang kepala
Pada satu sisi, deskripsi ini dapat dibaca apa adanya,
mulai semakin sering mengunjungi istana, yang dimulai pemerintah kolonial di Jawa disambut di ibu kota sultan
dengan Marsekal Herman Willem Daendels (1762–1818; dan penghormatan yang diberikan kepadanya. Namun, bagi
menjabat, 1808–1811) pada Juli 1809, mulai muncul berbagai orang Jawa, keseluruhan prosesi masuk di sepanjang Jalan
masalah (Carey 2012:196, 208, 618; 2013:15–18). Bagaimana Malioboro mungkin memenuhi fungsi yang jauh lebih penting.
orang terkemuka seperti ini harus disambut? Seberapa jauh di Bagaimanapun juga, gubernur jenderal (atau letnan gubernur
luar keraton Sultan harus berjalan untuk menemuinya? Apa selama periode Inggris, 1811–1816) bukanlah manusia biasa.
yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa kesan luar yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa kesan luar
melawan kerbau di alun-alun keraton sebelah selatan yang prosesi? Hal paling penting adalah apa yang bisa dilakukan
selalu menjadi ciri biasa dalam peristiwa seperti ini. Orang untuk menetralkan dan menyerap kekuatan berbahaya yang
Jawa memandang pertarungan ini sebagai pemeranan simbolis diwakilinya? Pertanyaan terakhir ini sangat penting dalam
bagi perjuangan terus-menerus antara mereka sendiri (yang kasus Yogyakarta karena di sini gubernur jenderal selalu
diwakili oleh kerbau yang lambat dan berhati-hati) dan orang melakukan acara seremonial masuknya ke dalam ibu kota dari
Eropa (yang diwakili oleh harimau yang cepat dan mematikan, utara, arah utama yang dalam benak orang Jawa dihubungkan
tetapi mudah lelah). Tak perlu dikatakan lagi bahwa orang- dengan kegelapan, kematian, dan kekuatan jahat (Pigeaud
orang Jawa yang menonton pertarungan ini sangat senang 1977:72).
karena kerbau hampir selalu menjadi pemenangnya (Ricklefs
Dengan demikian, seremonial masuknya gubernur
1974:274–5, 303–4, 345–6; Carey 2012:233–6).
jenderal melewati Jalan Malioboro memenuhi dua tujuan Sayangnya, pencegahan yang rumit dan konflik simbolis penting bagi orang Jawa: pada satu sisi, seremoni ini dirancang
ini tidak terlalu berguna dalam menghambat kemunduran untuk memberikan penghormatan yang layak diterima oleh
kekuasaan Jawa yang tak terhindarkan menghadapi pemerintah tamu terhormat, sedangkan pada sisi lain, seremoni ini
kolonial dalam tahun-tahun setelah kedatangan Daendels dimaksudkan untuk “menjinakkan” kekuasaannya yang sangat
sebagai gubernur jenderal pada Januari 1808. Bahkan, besar dengan membuatnya harus menjalani proses melewati
di luar kunjungan Raffles sendiri (yang ketiga) ke Yogya Tugu yang memiliki kekuatan magis kuat dan waringin kurung
pada Desember 1813, kedatangan gubernur jenderal atau sejauh satu setengah kilometer ke selatan di bawah tatapan
letnan gubernur di ibu kota sultan hampir selalu membawa
tajam para prajurit Jawa bersenjata. 11 Fungsi terakhir ini
masalah besar. Oleh karena itu, kunjungan Daendels pada masalah besar. Oleh karena itu, kunjungan Daendels pada
29 Juli–2 Agustus 1809 dan 28 Desember 1810–4 Januari
lahan keraton-keraton Jawa yang menguntungkan kepada (November–Desember 1810) yang dipimpin oleh Raden
para pemilik perkebunan asing (6 Mei dan 20 Mei 1823). Ronggo Prawirodirjo Ill (?1779–1810; menjabat, 1796–
Seperti telah diketahui, kejadian-kejadian ini memicu Perang 1810). Ia adalah bupati wedana Yogya di Madiun. Kemudian,
Jawa pada 20 Juli 1825, dan pada akhirnya menghapus sisa- kunjungan Daendels pun menyebabkan diturunkannya Sultan
sisa kemerdekaan politik kerajaan-kerajaan Jawa selatan- kedua dari takhta pada 31 Desember 1810.
tengah pada 1830 (Carey 2012:620–31, 695–709).
Tahun-tahun setelah berakhirnya Perang Jawa (1825– 1811 dan 17–23 Juni 1812, meningkatkan kerumitan politik
Dua kunjungan pertama Raffles pada 27–29 Desember
1830) menjadi saksi atas peran utama yang tetap dimainkan di Yogya dengan memulihkan kekuasaan Sultan kedua yang
Jalan Malioboro sebagai jalan raya prosesi. Para gubernur gemar berperang (28 Desember 1811). Hal ini akhirnya
jenderal masih melakukan seremoni masuk kota melewati jalan menimbulkan penyerbuan ke keraton Yogya pada 19–20 Juni
ini, serta pertarungan harimau dan kerbau terus dilangsungkan 1812. Akhirnya, setelah pemulihan kekuasaan Belanda di
di alun-alun selatan, walaupun hanya orang-orang Jawa paling Jawa (19 Agustus 1816) pada akhir Perang Napoleon, tiga
optimis yang merasa bahwa ritual ini masih mempertahankan kunjungan Gubernur Jenderal baru yang cermat, G.A.G.
kemanjurannya. Walaupun demikian, sisa-sisa “kesaktian” Ph. van der Capellen (menjabat, 19 Agustus 1816–1 Januari
lama râjamârga (jalan kerajaan) masih bertahan. Jadi, ketika 1826), pada 24–26 Agustus 1817, 29–31 Agustus 1819, dan
Yogyakarta kelihatannya terancam oleh penyebaran penyakit 3–5 September 1822, diikuti oleh keputusan pemerintah
berbahaya seperti pandemi flu Spanyol pada Oktober– kolonial yang menimbulkan bencana untuk melakukan
November 1918 dan penyakit pes pada Desember 1932, jalan kebijakan aneksasi teritorial lebih lanjut di Jawa selatan-
ini digunakan sebagai bagian utama jalur prosesi perjalanan ini digunakan sebagai bagian utama jalur prosesi perjalanan
teknologi penerangan lampu gas pada 1890 dan peralihan secara khidmat berkeliling kota (Lind 1975:44 mengutip
ke penerangan jalan listrik modern pada 1917–1921 pada Soedjono Tirtokoesoemo). Dalam kesempatan lain selama
akhirnya mengubah karakter jalan raya ini dan mempercepat periode ini, terutama selama pemerintahan Sultan Hamengku
proses komersialisasi. 15
Buwono VII (1877–1921), jalan raya ini menjadi saksi prosesi Sekarang, sedikit sekali suasana asli jalan kerajaan para penari dan musisi Beksan Trunojoyo yang diatur dengan
sultan pertama ini yang masih tersisa. Mungkin, ini adalah indahnya ketika pertunjukan tari diselenggarakan di Kepatihan
komentar pahit terhadap metamorfosis yang telah dialami setelah upacara pernikahan kerajan di keraton. 12
Jalan Malioboro pada abad ke-20 sehingga penduduk
modern Yogyakarta siap menerima anggapan bahwa nama 1945, Jalan Malioboro kadang kala tetap digunakan untuk
Bahkan, pada periode sejak kemerdekaan Indonesia pada
jalan tersebut berasal dari nama seorang jenderal Inggris parade seremonial seperti defile tahunan pasukan garnisun
ternama dan bukan eponim dari ibu kota Râma dalam sastra Yogya dalam perayaan Hari Angkatan Bersenjata pada 5
klasik Sanskerta yang mungkin menjadi asal nama kota ini. Oktober. 13
Kiranya, tidak perlu dibayangkan pikiran apa yang ada dalam
benak Mangkubumi sendiri tentang hilangnya kenangan mengalami perubahan selama seratus lima puluh tahun
Namun, penampilan fisik jalan raya ini telah banyak
yang disayangkan ini, serta upaya “restorasi” tidak kompeten terakhir. Jalan yang sebelumnya lebar dan megah, râjamârga
terhadap Jalan Malioboro yang dilakukan para walikota dan sebenarnya, yang tepi jalannya ditanami pohon-pohon
perencana Yogyakarta yang tidak memiliki imajinasi selama waringin tinggi dan kampung yang tertata rapi, sekarang
periode Orde Baru (1966–1998) dan Reformasi (1998 hingga menjadi toserba komersial yang didominasi oleh toko-toko
sekarang).
CATATAN:
4. Saya sangat berterima kasih kepada Dr. S.O. Robson atas rujukan ini. Ketika awalnya saya menulis artikel ini pada 1984,
1. Tentang hubungan yang diasumsikan ada antara Jalan
saya berasumsi bahwa Tichelaar (1976:188) merujuk pada
Malioboro dan John Churchill, Duke of Marlborough
kakawin bahasa Jawa Kuno Pârthawijaya (“Kemenangan Pârtha”)
Pertama (1650–1722), lihat Kota Jogjakarta 200 tahun
ketika ia menulis bahwa “istilah ‘mâlyabhârin’ dibuktikan
1956:26 catatan kaki 1; tentang John Churchill dan para
kebenarannya dalam PW”. Namun, seperti ditunjukkan dengan
keturunannya, lihat Montague-Smith 1963:809–12, sub:
benar oleh almarhum Dr. J. Noorduyn (lihat di bawah ini),
“Marlborough, Duke of”.
Tichelaar sebenarnya merujuk pada Petersburger Wörterbuch
2. Terdapat pendapat bahwa pengucapan nama Marlborough
(Kamus Bahasa Sanskerta-Jerman St. Petersburg) yang
(“Maulbro”) dalam bahasa Inggris akan menjadi “Malbro”
terkenal dan diedit oleh Otto Böthlingk dan Rudolf Roth,
dalam bahasa Jawa dan bukan “Malioboro” yang lebih
serta awalnya diterbitkan dalam tujuh jilid di St. Petersburg
“berbunga-bunga”, tetapi argumentasi ini tidak kuat karena
pada 1855. Menariknya, pencarian atas kata-kata yang sama
begitu banyaknya ragam nama-nama Inggris dalam bahasa
ini—“mâlyabhâra”, “mâlyabhara” dan “mâlyabhârin”—dalam
Jawa, sebagai contoh lihat Ricklefs 1974:383–4.
edisi daring Kamus terkenal ini tidak mendapatkan hasil. Jadi,
3. Saya sangat berterima kasih kepada Profesor Richard Gombrich,
tidak jelas dari mana Tichelaar dan Noorduyn mendapatkan
mantan Profesor Boden bahasa Sanskerta di University of
informasi mereka, lihat: http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.
Oxford, karena membantu saya dalam memastikan identifikasi
de/scans/PWScan/disp2/index.php.
ini. Tentang asal usul pendapat tentang hubungan antara
5. Lihat Ricklefs 1974:80 catatan 33; Ricklefs dan Voorhoeve
“Malioboro” dan “mâlyabhara”, lihat catatan 1 di atas dan
1977: 45 sub: “Add. 12273”; 59 sub: “IOL Jav. 13”; 60 sub:
catatan 4 di bawah.
“IOL Jav. 16”; 78 sub: “Raffles Java 4”; dan 81 sub: “Raffles
Java 30”; dan Ricklefs 1978:152–53.
atas rujukan ini. Tambahan dalam kurung siku dibuat oleh
6. Gericke dan Roorda 1901:509 sub: “malya”; 664 sub: “bara”.
penulis.
Varian arti kata bara dalam bahasa Jawa Modern adalah
9. Ini adalah paviliun (pesanggrahan) elegan milik Kepala
sebagai berikut: “rumbai, tepian, hiasan atau jumbai seperti
Pengumpul Pabean dan Pintu Tol (Wedana Bandar) di
yang ditemukan pada ujung ikat pinggang sutra (sabuk) atau
Yogyakarta, Kyai Tumenggung Reksonegoro (?1740–?1812),
tepian payung emas (payung kenegaraan) Sunan”; “dipunbara”
yang mendapatkan kekayaannya dari berbagai bisnisnya.
= “menghiasi dengan rumbai, tepian atau hiasan”.
Paviliun ini, dibuat dari kayu jati yang terukir indah, berada
7. Tentang makhluk halus penjaga yang pada awalnya menguasai
di samping rumahnya dan penggilingan tebu di jalan utama
hutan Bringan (Alas Bringan), yang telah dibabat habis oleh
Yogya-Solo tidak jauh di sebelah timur Tugu (saat ini berada di
sultan pertama (Mangkubumi, bertakhta, 1749–92) untuk
persimpangan Jalan Sudirman dan Jalan Dr. Sam Ratulangie).
memberi jalan bagi pembangunan keraton Yogyakarta, lihat
Tempat ini sering digunakan sebagai tempat penyambutan oleh
Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:14. Menariknya, sebuah sumber,
Sultan ketika para gubernur jenderal, atau letnan gubernur
Kidung Lalembut (“Nyanyian Makhluk Halus”), yang dikutip
seperti dalam kasus Laksamana Muda Arnoud Adriaan Buyskes
dalam Ricklefs 1974:406 catatan 60, merujuk pada makhluk
(19 November 1808), dan Raffles 27–29 Desember 1811, 17–24
halus lainnya yang menjadi pelindung Yogyakarta, Ratu Ayu
Juni 1812, 9–12 Desember 1813 dan 12–14 Januari 1816,
Dyarawati, yang tentu saja terkait dengan ratu makhluk halus
mengunjungi Yogyakarta.
laut selatan (Ratu Kidul).
10. Satu-satunya gubernur jenderal yang mengunjungi Jawa
8. Java Government Gazette, 8-01-1814. Saya berterima kasih
selatan-tengah sebelum awal abad ke-19 adalah Gubernur-
kepada Profesor John Bastin, mantan Profesor Sejarah Asia
Jenderal G.W. van Imhoff (1705–1750; menjabat, 1743–1750).
Tenggara di School of Oriental & African Studies di London,
Kehadirannya di keraton Surakarta pada Mei 1746 secara Kehadirannya di keraton Surakarta pada Mei 1746 secara
mengarah langsung ke pejabat Belanda (senapan-senapan
(pasca-1749, Sultan Mangkubumi/Hamengku Buwono I), lihat
tersebut berisi peluru hampa) yang membuat kuda-kuda penarik
Ricklefs 1974:40.
kereta melonjak kaget dan untuk sementara waktu membuat
11. Pada kenyataannya, prosesi Gubernur Jenderal berhenti di
takut rombongan Belanda, lihat Ricklefs 1974:302. Mungkin,
Rumah Keresidenan Yogya yang terletak di sisi barat Jalan
peristiwa ini dapat dibandingkan dengan cara orang-orang
Malioboro, tepat di sebelah utara alun-alun utara. Akan
Tibet menyambut ekspedisi militer Inggris pertama ke Lhasa
tetapi, jelas sekali bahwa tujuan prosesi masuk ke dalam kota
di bawah pimpinan Mayor Francis Younghusband (1863–1942)
Yogyakarta dimaksudkan untuk mengesankan atau bahkan
pada 1904. Dilaporkan bahwa orang-orang yang berjajar di
menakuti para pejabat Eropa yang datang. Misalnya, Raffles
tepi jalan bertepuk tangan untuk mengusir makhluk-makhluk
jelas sekali terkesima oleh penerimaan yang diterimanya pada
halus jahat yang dianggap telah dibawa masuk ke dalam Kota
Desember 1811, ketika sekitar 10.000 prajurit dari beragam
Terlarang oleh orang Inggris barbar. Namun, orang Inggris
kesatuan (sebagian besar adalah kavaleri) yang berjajar di
menganggap tepuk tangan ini sebagai bentuk sambutan hangat
sepanjang Jalan Malioboro selama seremoni kedatangannya di
dan aplaus: lain ladang, lain belalang! Saya sangat berterima
ibu kota Sultan, lihat Carey 2012:8, mengutip British Library
kasih kepada almarhum Dr. Michael Aris (1946–1999), seorang
Additional MS. 45272, Raffles (Batavia/Jakarta) kepada Lord
cendekiawan Buddhisme Tibet di Oxford University, atas
Minto (Calcutta/Kolkata), 21 Januari 1812. Sebelumnya, pada
informasi berharga ini.
waktu kunjungan Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa, Jan Greeve
12. Dari informasi yang dengan baik hati disediakan oleh Nona
(1743/44–1793; menjabat, 1787–1791), ke Yogya pada Agustus
Jenny Lindsay, M.A., dari University of Sydney (Australia)
1788, para prajurit Jawa yang menjadi barisan kehormatan
yang sekarang tinggal di kabupaten Bantul, yang mampu
menembakkan salvo “selamat datang” dengan senapan mereka
memastikannya kepada Bapak Ben Suharto, M.A., pengajar di
Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta, komunikasi
menyatakan bahwa Sultan tidak boleh hadir dalam resepsi
pribadi, 4 Februari 1983. Beksan Trunojoyo, dikenal juga sebagai
semacam itu di Kepatihan sehingga perdana menteri atau patih
Beksan Lawung (tari “tombak”) adalah tarian istana eksklusif
Yogya (pra-1945, Raden Adipati Danurejo) bertindak sebagai
yang dipertunjukkan oleh para anggota korps elite Trunojoyo
tuan rumah. Untuk informasi selanjutnya tentang Beksan
Nyutro yang bertugas sebagai pengawal pribadi Sultan Yogya
Trunojoyo, lihat Wasisto Suryodiningrat 1971:31–33.
dalam kesempatan seremonial. Biasanya, tiga puluh dua penari
13. Penulis menyaksikan salah satu parade tahunan “Hari
(pria) ambil bagian, sebagian besar dari mereka bersenjatakan
Angkatan Bersenjata” ini pada 5 Oktober 1972. Terlihat sekali
lawung atau tombak dan repertoar mereka termasuk Lawung
bahwa walaupun para prajurit Sultan Hamengku Buwono IX
Ageng (tari tombak “Besar”), Lawung Alit (tari tombak “Kecil”),
(bertakhta, 1939–1988) seharusnya ambil bagian, mereka tidak
dan Sekar Madura (secara harfiah: “epos puitis Madura”).
melakukannya, mungkin karena penguasa Yogya merasa bahwa
Tarian ini dipentaskan setelah selesainya resepsi pernikahan
parade ini pada dasarnya adalah acara Angkatan Bersenjata
kerajaan di dalam keraton. Para penari berkumpul di keraton
Republik Indonesia (ABRI, pasca-1998, Tentara Nasional
dan berbaris menuju alun-alun utara tempat mereka menaiki
Indonesia/TNI) dan bukan seremoni keraton. Beliau mungkin
kuda untuk perjalanan singkat menyusuri Jalan Malioboro ke
juga ingin mempertahankan jarak tertentu antara dirinya
Kepatihan (kediaman perdana menteri [patih] Yogya), sementara
sendiri dengan militer Indonesia modern yang pada saat itu
moco kondo [maca kanda] (narator epos) menaiki kereta kuda
sedang menancapkan kakinya secara politik di bawah Orde
dan para musisi berjalan sambil memainkan instrumen gamelan
Baru Presiden Soeharto (1966–1998) yang militeristis.
yang dibawa di hadapan mereka. Setibanya mereka di kediaman
14. Untuk deskripsi tentang situasi Jalan Malioboro pada 1812,
perdana menteri, para penari diterima secara kerajaan, dan
lihat KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
dipersilakan duduk di atas kursi (lenggah kursi). Etiket keraton
Volkjenkunde) H (= Hollands/Belanda) manuskrip 503, J.I.
van Sevenhoven, “Aanteekeningen gehouden op eene reis over Java van Batavia naar de Oosthoek in [...]1812 [Catatan yang dibuat selama perjalanan menyusuri Jawa dari Batavia ke tonjolan timur pada [...] 1812” (diedit oleh Frederik de Haan), hlm. 107. Satu-satunya aktivitas pasar di dekat jalan raya pada saat itu adalah pasar berkala yang bertempat di bawah naungan pohon-pohon waringin tepat di luar Benteng Vredeburg di sisi timur Jalan Malioboro, lihat Lettres de Java 1829:100; lebih jauh lihat Carey 2012:3 catatan 7. Tentang komersialisasi jalan raya ini yang terjadi dengan cepat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, lihat Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:26.
15. Tentang pemasangan lampu penerangan jalan gas dan listrik di Yogya, lihat Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:26.
x Tugu Yogyakarta. Foto milik Warsono 34 X
Grebeng Maulud, Keraton Yogyakarta. Foto milik Mahandis Y. Thamrin
Gerbang depan Benteng Vredeburg. Foto milik Mahandis Y. Thamrin
Pagelaran pavilion keraton Yogyakarta. Foto milik Mahandis Y. Thamrin
Pintu gerbang Kampung Ketandan yang banyak dihuni saudagar Tionghoa.
ETIMOLOGI NAMA YOGYAKARTA
Jacobus (Koos) Noorduyn
[Diambil dari J. Noorduyn, ‘The Etymology of the Name of Yogyakarta’, Archipel (Paris), Vol. 31, 1986. hlm. 87–96]. http://www.persee.fr/web/revues/home/ prescript/article/arch_0044-8613_1986_num_31_ 1_2272]
Jacobus (Koos) Noorduyn (1926–94) adalah seorang cendekiawan Barat terkemuka di bidang bahasa-bahasa Austronesia yang mengambil spesialisasi dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, dll) dan Jawa Barat (Sunda). Ia mengabdi di Masyarakat Injil Belanda (Nederlandsch Bijbel Genootshap) di Bogor (1957–1961) dan kemudian bergabung dengan Institut Kerajaan Jacobus (Koos) Noorduyn (1926–94) adalah seorang cendekiawan Barat terkemuka di bidang bahasa-bahasa Austronesia yang mengambil spesialisasi dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, dll) dan Jawa Barat (Sunda). Ia mengabdi di Masyarakat Injil Belanda (Nederlandsch Bijbel Genootshap) di Bogor (1957–1961) dan kemudian bergabung dengan Institut Kerajaan
yang diajukan oleh Dr. Carey tidak terlalu meyakinkan
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) di
seperti pada kesan pertamanya. Ketika Drs. Tichelaar, seorang
Leiden, menjadi Sekretaris Jenderalnya (Algemeen
ahli bahasa Sanskerta, merujuk pada Râmâyana 2, 17, 2
Secretaris) (1965–1990) dan walaupun singkat
edisi Bombay (Mumbay), untuk tradisi India yang berkaitan
pernah menjadi Direkturnya (Directeur-secretaris)
dengan jalan kerajaan (râjamârga), dan mungkin juga berlaku
(1990–1991). Artikel ini ditulis untuk menanggapi
di Yogyakarta, ia merujuk pada Râmâyana berbahasa Sanskerta
artikel yang dipublikasikan oleh Peter Carey pada
karya Vâlmîki dan bukan Râmâyana berbahasa Jawa Kuno, yang
1984 dalam Archipel.
tidak mengandung rujukan pada tradisi ini. Saat ini tidak sulit untuk menetapkan dari kamus Old Javanese-English Dictionary
D Malioboro, Dr. Peter Carey telah membuat pernyataan yang
alam penafsiran yang menarik tentang fungsi simbolis
(Bahasa Jawa Kuno-Inggris) karya Zoetmulder (Zoetmulder
dan nyata dari jalan raya prosesi utama Yogyakarta, Jalan
1982:I, 1095), bahwa kata “mâlya” (“untaian bunga”) dan
“mâlyakarma” (“mendapatkan untaian bunga”) dalam bahasa ditulisnya dengan baik yang mendukung hipotesis bahwa
Sanskerta terbukti keberadaannya dalam bahasa Jawa Kuno, nama jalan ini diturunkan dari kata bahasa Sanskerta, yaitu
tetapi kata “mâlyabhâra” atau “mâlyabhârin” (keduanya berarti “mâlyabhâra” atau “berhiaskan untaian bunga”. Pernyataan
“berhiaskan untaian bunga”) tidak terbukti.
ini mengikuti almarhum Drs. O.W. Tichelaar, orang pertama Ketika Drs. Tichelaar merujuk pada “PW” untuk yang mengajukan hipotesis yang sama pada 1971 dalam
istilah “mâlyabhâra” atau “mâlyabhârin”, tentu saja yang bentuk cetakan (Tichelaar 1976:188).
dimaksudkannya adalah kamus bahasa Sanskerta-Jerman yang
tebal dan umumnya dikenal sebagai Petersburger Wôrterbuch, memang benar terlepas dari fakta bahwa sejumlah argumentasi
Etimologi yang diusulkan bagi nama jalan ini bisa saja
dan bukan kakawin berbahasa Jawa Kuno Pârthawijaya, dan bukan kakawin berbahasa Jawa Kuno Pârthawijaya,
bahwa nama ini tidaklah setua kota Yogyakarta itu sendiri. Sanskerta ini yang terbukti keberadaannya di mana pun
Karena tidak ada bukti lainnya tentang kata bahasa dalam bahasa Jawa Kuno, dan hanya satu kata—dan bukan
Sanskerta yang tidak dikenal dalam bahasa Jawa yang kata yang menjadi asal nama Malioboro—ada dalam bahasa
digunakan oleh orang Jawa untuk memberi nama jalan, Sanskerta.
mungkin saja, misalnya, nama ini diusulkan kepada salah
satu sultan selanjutnya oleh para ahli bahasa Sanskerta keberadaannya dalam kamus-kamus bahasa Sanskerta, bisa
Walaupun demikian, mâlyabhâra, walaupun tidak terbukti
dari barat, seperti A.B. Cohen Stuart (1825–1876), yang saja merupakan kata gabungan yang sepenuhnya normal dalam
bekerja di Surakarta dan Batavia pada 1847–1876. Salah satu bahasa tersebut, serta bisa saja dibuat untuk tujuan khusus,
kegiatannya adalah memberi masukan kepada Susuhunan yaitu memberi nama bagi jalan raya utama di Yogyakarta.
Surakarta [Paku Buwono IX , bertakhta 1861–1893] dalam hal Namun, apakah memang seperti itulah adanya, dan jika
revisi kalender Jawa. Hal ini juga tidak lebih dari kemungkinan memang demikian kapan hal ini terjadi, akan tetap menjadi
teoretis sepanjang kita tidak memiliki bukti konkret untuk rahasia selama tidak ada pembenaran historis lebih lanjut.
mendukungnya. Akan tetapi, berlawanan dengan teori Oleh karena itu, Dr. Carey memang benar ketika menyatakan
bahwa nama “Malioboro” telah ada sejak awal pendirian bahwa “bukti ini memang belum meyakinkan dan akan tetap
kota Yogyakarta, teori ini akan menjelaskan mengapa sebuah demikian hingga kata ‘Malioboro’ benar-benar ditemukan
kata bahasa Sanskerta digunakan oleh orang Jawa sebagai dalam naskah berbahasa Jawa yang berasal dari Yogya
nama jalan dan mengapa nama tersebut sejauh ini belum pertengahan abad ke-18”. Untuk menambahkan sifat belum
ditemukan dalam deskripsi yang lebih tua tentang Yogya atau adanya kesimpulan ini maka kita dapat menyatakan bahwa,
dalam dokumen yang diturunkan darinya.
keraguan terhadapnya, oleh John Crawfurd (1856:448), yang untuk mendukung teorinya tentang asal usul nama Malioboro
Salah satu argumentasi yang diajukan oleh Dr. Carey
menjelaskan nama ini sebagai “perubahan dari Ayudhya”, adalah proposisi serupa bahwa “nama (Nga)yogyakarta itu
oleh Jan Hageman (1860:322), dan baru-baru ini oleh Jan sendiri [...] kemungkinan telah diturunkan dari kata bahasa
Gonda (1973:338) juga C.C. Berg (1969–1980:II, 91).
Sanskerta ‘Ayodhyâ’ (Bahasa Jawa Modern : ‘Ngayodya’), Meskipun demikian, jika ini benar-benar merupakan ibu kota pahlawan India Râma dalam kisah epos Râmâyana”,
tradisi Jawa, maka ini bukanlah tradisi yang kuat. Pada 1956, dan untuk pendapat ini ia merujuk pada pernyataan yang
komite yang mempersiapkan peringatan ulang tahun ke-200 bermakna sama yang dibuat oleh Ricklefs (1974:80 catatan
kota Yogyakarta kelihatannya sama sekali tidak mengetahui kaki 33).
hal ini. Ketika menjelaskan bagaimana pada 1755 Sultan
pertama memberi nama keraton barunya “Ngayogyakarta sebagai nama kota Râma, yaitu Ayodhyâ, sepertinya berasal
Klaim bahwa tradisi Jawa menerjemahkan Ngayogyakarta
Adiningrat”, mereka menyatakan: “Apakah sebabnya beliau dari Raffles. Walaupun pada awalnya Raffles menggunakan
memilih nama itu, sampai sekarang masih tinggal rahasia” kata “diasumsikan diturunkan dari”, nantinya dalam bukunya
(Darmosugito dalam Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:13). menegaskan bahwa kota ini “diberi nama oleh pendirinya,
Penulis artikel peringatan ini kemudian menjelaskan sekitar enam puluh tahun yang lalu, menurut nama Ayudya,
bagaimana keraton baru ini didirikan di sebuah tempat ibu kota Rama yang terkenal” (Raffles 1817:I, 10; 411).
yang disebut hutan Beringan, “di mana telah ada sebuah Meskipun Raffles tidak menyebutkan sumbernya, ia mungkin
pesanggrahan bernama Garjitawati [Gerjitawati] 1 sejak masa saja mendengar tradisi ini dari sejumlah orang Jawa yang
Raja Amangkurat [lihat di bawah ini], yang, walaupun ditemuinya. Nantinya pendapat ini diulangi oleh Wilhelm
demikian, telah diubah namanya menjadi Ngayogya oleh von Humboldt (1836–1839:I, 5), yang menunjukkan
Susuhunan Pakubuwono II (bertakhta, 1725–1749)”. 2
Bagian relevan dari artikel Brandes (Brandes 1894:438–48) pendiriannya, juga disebutkan oleh Ricklefs (1974:81 catatan 33).
Bahwa inti nama keraton baru sudah ada sebelum
berbunyi seperti ini dalam bahasa Indonesia: 3
Ia merujuk pada artikel yang ditulis oleh Carel Poensen tentang Sultan Mangkubumi dalam Bijdragen (1901:267). Namun, koleksi
“Bahwa telah ada sebuah tempat bernama Yogya atau Ayogya
bahan paling lengkap yang menjadi saksi keberadaan Ayogya
di distrik Mataram di atau dekat lokasi tempat Yogyak ě rta
sebelumnya diterbitkan pada 1894 oleh cendekiawan besar
[Yogyakarta] berada beberapa waktu sebelum pembagian
bahasa Jawa Kuno, J.L.A. Brandes (1857–1905), dalam sebuah
kerajaan Jawa pada 1755 dibuktikan oleh berbagai cuplikan
artikel berbahasa Belanda berjudul “Yogyakarta” dalam Tijdschrift
dalam dokumen-dokumen awal Belanda, sejauh ini dokumen
van het Bataviaasch Genootschap [Jurnal Masyarakat Seni dan
tersebut telah dipublikasikan, dimulai dari 1743. Seperti akan
Ilmu Pengetahuan Batavia] (Brandes 1894:415–48). Dalam
terlihat dari cuplikan dalam catatan [Baron G.W.] van Imhoff
kata pengantar artikelnya, Brandes mengatakan bahwa “telah
tentang perjalanannya [Imhoff 1853:291–440], gubernur
banyak yang dikatakan oleh orang lain tentang keraton ini dan
jenderal ini (menjabat, 1743–50) singgah di sini dalam
asal usulnya. Sepertinya tidak terlalu berlebihan untuk sekali lagi
perjalanan pulangnya pada 1746, dan, seperti diperlihatkan
menarik perhatian khusus pada sejumlah cuplikan dari berbagai
kepada kita dengan baik oleh catatan-catatan Jawa yang tidak
tulisan yang tidak kalah penting jika dilihat dari asal usulnya”
lupa mencatat persinggahan Van Imhoff di sana, Ayogya sudah
(Brandes 1894:415).
menjadi lokasi berbagai insiden sebelum 1755.”
Karena data ini sepertinya tidak banyak dikenal, tidak ada salahnya untuk kembali mengutipnya secara lengkap seperti
[Brandes kemudian melanjutkan]: “Di bawah ini adalah saat data ini pertama kali disampaikan oleh Brandes lebih dari
pilihan kutipan relevan dari laporan-laporan awal Belanda satu abad yang lalu dalam artikel yang disebutkan sebelumnya.
dalam urutan kronologis”:
1743 “Mas Grendie [Raden Mas Garendi, Sunan
[Taji], menandai batas terjauh distrik Soeracarta
Kuning, bertakhta 1742–1743], yang untuk beberapa
[Surakarta] dan awal distrik Mattarm [Mataram],
waktu tinggal di Cartasoera [Kartasura] dengan gelar
tempat seorang Tionghoa, tentu saja salah satu mata-
Soesoehoenang [Susuhunan], pada saat ini tinggal di
mata Maas Said [Raden Mas Said, Mangkunegoro I,
Jogja [Yogya], di daerah Mataram; tetapi pasukannya
bertakhta 1757–95], mengatakan bahwa orang ini
berada sejauh satu hari perjalanan dari Cartasoera
[Said] ada di sana hanya beberapa hari sebelumnya.
[Kartasura] di sebuah tempat bernama Parambanato
Raden Mas Said telah meninggalkannya di sana untuk
[Prambanan] [...]”. 4
mengetahui apakah memang benar bahwa gubernur jenderal akan melakukan perjalanan melewati bagian
1744. “Berjalan melalui Randoe lawang