Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan dengan Kajian Teori

C. Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan dengan Kajian Teori

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap subjek penelitian mengenai kuli gendong pasar Legi sebagai sektor informal dengan hasil temuan sebagian besar adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan kuli gendong merupakan wujud dan bagian dari unsur-unsur kebudayaan

2. Kegiatan kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal

3. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota

a) Ketidakberdayaan kuli gendong

1) Rendahnya pendidikan pendidikan yang “dikenyam”

2) Minimnya keterampilan yang dimiliki

b) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal)

c) Fasilitas transportasi yang mendukung akses ke kota

d) Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada buruh pabrik

4. Eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI

a) Kuli Gendong sebagai Orang tua

b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat

c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI

5. Pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi

a) Penghasilan sebagai kuli gendong

b) Pemanfaatan Penghasilan

Berdasarkan hasil temuan di atas dapat dimasukkan dalam pembahasan teori sebagai berikut:

1. Kegiatan kuli gendong merupakan wujud dan bagian dari unsur-unsur kebudayaan

commit to user

Menurut pendapat Koentjaraningrat (1987: 2) yang menyatakan bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu;

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratruran, dan sebagainya,

2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat,

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia

(artifact).

Dari pendapat di atas dapat dijelaskan betuk-bentuk atau wujud kebudayaan;

1) kebudayaan yang berwujud ide. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, berada di dalam kepala-kepala, atau dengan kata lain dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. 2) kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. sistem sosial ini berisi tentang aktifitas-aktifitas individu-individu yang berinteraksi (berhubungan antara satu dengan yang lain dalam kurun waktu tertentu yang mengikuti pola-pola tertentu menurut adat tata kelakuan). Sebagai rangkaian dalam suatu aktifitas individu- individu dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. 3) kebudayaan fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas, perbuatan, dan karya individu-individu dalam sauatu masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak terpisah antara satu sama lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.

commit to user

Kegiatan sebagai kuli gendong jika dilihat dari pendapat di atas termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang kedua, yaitu kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari individu-individu yang berada di dalam pasar Legi. Dalam hal ini tentang aktifitas-aktifitas individu-individu sebagai kuli gendong yang berinteraksi baik sesama kuli gendong, koordinator SPTI, pedagang, pembeli di pasar, maupun keluarga dan masyarakat tempat asal mereka.

Kebudayaan setiap masyarakat itu sendiri terbentuk oleh beberapa unsur-unsur yang merupakan bagian dari satu kebulatan yang bersifat sebagai satu kesatuan. Beberapa unsur kebudayaan diklasifikasikan ke dalam unsur- unsur pokok atau besar kebudayaan yang lazim disebut dengan cultural universal , yang merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun di dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks.

C. Khluchon dalam Soekanto (2002: 176) diamana sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture, dimana berisi inti pendapat para sarjana dalam karyanya menunjuk tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu;

1. peralatan dan perlengkapan hidup manusia,

2. mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi,

3. sistem kemasyarakatan,

4. bahasa (lisan maupun tertulis)

5. kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya)

6. sistem pengetahuan,

7. religi (kepercayaan).

Unsur-unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub-unsur-unsurnya (unsur-unsur yang lebih kecil). Unsur yang pertama yaitu peralatan dan perlengkapan hidup manusia, hal ini dapat dijabarkan lagi menjadi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat tansportasi dan lain sebagainya. Yang kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi dijabarkan lagi menjadi pertanian, peternakan, buruh/kuli, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya.

commit to user

Unsur yang ketiga sistem kemasyarakatan dapat dikerucutkan lagi menjadi sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan.

Unsur yang keempat adalah bahasa baik berupa lisan maupun tertulis, setiap masyarakat baik dalam suku, bangsa, maupun negara memiliki sistem bahasa yang dimiliki oleh masing-masing, dan dengan bahasa mereka dapat berkomunikasi antara individu satu dengan yang lain, kelompok masyarakat satu dengan yang lain, disini bahasa berguna sebagai pengantar komunikasi. Selanjutnya unsur yang kelima adalah kesenian, unsur ini menyangkut tentang keindahan, dimana kesenian dapat dijabarkan lagi menjadi unsur seni yang lain, berupa seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya. Selain kesenian, suatu kebudayaan dapat diperkuat dengan unsur sistem pengetahuan, dimana dengan unsur ini dapat digunakan sebagai tolok ukur peradaban suatu masyarakat. Unsur yang terakhir adalah religi atau sistem kepercayaan, dalam unsur ini masyarakat dari kebudayaan yang bersangkutan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan besar yang menciptakan dan mengatur, baik kepercayaan animisme, dinamisme, maupun agama yang mempercayai adanya tuhan. Demikian tujuh unsur kebudayaan universal memang mencakup kebudayaan manusia secara keseluruhan.

Jika dilihat dari unsur-unsur kebudayaan di atas, manusia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, usaha manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan salah satunya adalah sebagai kuli gendong. Oleh sebab itu kegiatan kuli gendong merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan yaitu sebagai sistem mata pencaharian.

commit to user

2. Kegiatan kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal

Dalam sektor informal memiliki “cara kerja” yang memiliki ciri-ciri tertentu, yang membedakan sektor informal dengan sektor formal, dan memiliki karakteritik tertentu sebagai sektor informal.

Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah sebagai berikut;

1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,

3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi

maupun jam kerja,

4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,

5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor,

6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,

7) modal dan putaran usaha relatif kecil,

8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja,

9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga,

10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari

lembaga keuangan tidak resmi,

11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Dari ciri-ciri di atas kegiatan kuli gendong juga memenuhi ciri-ciri tersebut;

1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong namun untuk

commit to user

menjadi kuli gendong di pasar Legi bagi perempuan dan hanya dikenakan biaya iuran perbulan. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa menggunakan teknologi tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak mempergunakan modal finansial yang besar bagi kuli gendong, cukup membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan. Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan kuli gendong sebagaian besar memenuhi ciri-ciri kegiatan sektor informal.

3. Latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang migrasi ke kota

Orang-orang migrasi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebaagai kuli gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang

commit to user

Pasar Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah.

Jika kita berbicara daerah asal orang-orang yang menjadi kuli gendong, kita akan berbicara mengenai perpindahan mereka (migrasi), tepatnya urbanisasi dari daerah asal ke kota Surakarta. Ada hal-hal yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi, atau yang sering kita sebut dengan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi.

Menurut Everett S. Lee dalam Widodo (2011: 102) “ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu:

1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal

2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan

3. Rintangan-rintangan yang menghambat

4. Faktor-faktor pribadi

Dari data-data yang ditemukan dalam penelitian dapat dapat diambil faktor-faktor yang mempengaruhi orang-orang melakukan migrasi ke kota Surakarta tepatnya di pasar Legi, yaitu faktor pendorong (berasal dari daerah asal), faktor penarik (daerah tujuan), faktor fasilitas (akses transportasi), dan faktor nilai yang ada dalam melakukan migrasi.

a) Faktor pendorong (berasal dari daerah asal)

1) Ketidakberdayaan kuli gendong Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini dilatarbelakangi oleh rendah nya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Mayoritas pekerja kuli gendong ini tidak pernah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan menengah atas hanya lulus SMP dan bahkan yang berasal dari desa-desa tidak pernah bersekolah

commit to user

dengan latar belakang ekonomi lemah tidak mampu untuk bersekolah pada waktu mereka masih muda.

Dari latar belakang inilah yang menjadikan orang-orang memilih untuk mencari pekerjaan yang sekiranya tidak memerlukan syarat-syarat pendidikan, pekerjaan yang bebas dan yang jelas halal. Tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau pembeli di pasar Legi.

2) Minimnya keterampilan yang dimiliki Selain rendahnya pendidikan yang didapat oleh para kuli gendong di waktu muda, minimnya keterampilan yang dimiliki juga semakin mendorong untuk menjadi kuli gendong. Hal demikian diakui oleh semua informan yang mebyatakan pernyataan yang sama bahwa tidak memiliki keterampilan. Dan jika tidak bekerja menjadi kuli gendong di pasar Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah tangga, menganggur, atau menjadi buruh tani saja karena tidak memiliki sawah sendiri. Berbeda bagi mereka yang memiliki sawah sendiri, paling tidak ada yang diharapkan sebagai penghasilan.

3) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal)

Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di luar kota Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari masing-masing melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum begitu banyak jenis usaha yang berdiri disana, apalagi untuk sektor formal yang berdiri. Dan jika adapun, membutuhkan karyawan yang berpendidikan serta berketerampilan ditambah lagi sekarang dibutuhkan yang berpengalaman.

Jika hanya mengandalkan sektor pertanian, tidak semua angkatan kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak semua memiliki sawah, paling-paling juga menjadi buruh tani. Ketiadaan

commit to user

atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa penduduk desa untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari pekerjaan. Jiksa terus berada di rumah sulit mendapatkan penghasilan, mengingat di daerah asal para kuli gendong mayoritas penduduknya bertani. Dan jika tidak musim tandur (tanam) dan panen maka tidak ada penghasilan bagi buruh tani.

b) Faktor penarik (daerah tujuan); pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada pekerjaan semula (buruh pabrik atau buruh tani)

Salah satu alasan lagi yang menjadi alasan mengapa orang- orang yang keluar dari pabrik lebih memilih bekerja sebagai kuli gendong di Pasar Legi. Situasi kerja yang terikat dan tidak bebas, menjadikan seseorang menjadi tertekan dan tidak betah dalam bekerja, apalagi upah atau gaji tidak sesuai yang diharapkan. Hal ini yang dialami pula sebagian para kuli gendong yang semula bekerja sebagai buruh pabrik atau buruh tani. Dengan penghasilan yang relatif kecil dan status kerja terikat menjadikan buruh pabrik keluar dari pekerjaannya dan mencoba berusaha mendapat pekerjaan yang dirasa mencukupi, bebas dan tidak terikat namun penghasilannya dapat diharapakan.

Semula menjadi buruh tani yang mendapatkan penghasilan pada musim-musim tertentu, itupun tidak sesuai yang diharapkan. Pada akhirnya mereka memilih pergi ke kota berharap mendapat penghasilan yang rutin dan lebih besar daripada buruh tani. Adanya pendapat bahwa menjadi kuli gendong lebih baik daripada menjadi karyawan pabrik yang berpenghasilan sedikit selain itu sebagai kuli gendong menjadi memiliki kebebasan untuk bekerja dengan harapan berpenghasilan lebih mereka menuju ke kota Surakarta tepanya pasar Legi menjadi kuli gendong, berharap mendapat penghasilan yang lebih besar dan di dapat setiap hari

c) Faktor fasilitas (transportasi yang mudah diakses)

commit to user

Kemajuan dan pembanguan di daerah yang lambat laun semakin berkembang, selain pembanguan jalan di daerah-daerah baik dari pemerintah maupun swadaya masyarakat sendiri juga bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Dengan dibukanya jalan-jalan, akses transportasi bisa masuk ke daerah-daerah bahkan di daerah terpencil pun. Hal ini mendorong pengadaan alat transportasi yang memperlancar aktifitas masyarakat. Adanya fasilitas sarana transportasi yang mempermudah akses mobilitas dan migrasi. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang di daerah asal tidak memiliki pekerjaan untuk menuju ke daerah lain demi mencari sebuah pekerjaan atau pengasilan yang lebih baik.

Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari desa ke kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi umum yang murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk desa untuk pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke pasar Legi menjadi kuli gendong. Dengan menggunakan angkot dari tempat tinggalnya di dalam lingkup kota Surakarta sendiri cukup dengan membayar Rp 2.000,- sampai Rp 5.000,- sekali jalan sudah dapat menuju ke pasar Legi.

Kemudian untuk yang rumahnya jauh atau di luar kota Surakarta, akses sarana transportasi yang cepat, mudah, dan murah untuk dijangkau oleh semua kalangan merupakan fasilitas yang mendukung untuk memilih bekerja ke Solo. Dengan adanya sarana transportasi yang mendukung, menjadikan jam kerja para kuli gendong juga lumayan lama, sekitar pukul

5 pagi atau pukul 6 pagi para kuli gendong yang melaju sudah sampai di pasar Legi dan siap bekerja. Selesai menggendong untuk pulang sekitar pukul 4 sore mereka sudah pulang dengan jasa bus atau angkot yang ada.

d) Faktor Nilai

Dari sudut pandang nilai, terdapat hal-hal yang mendorong orang- orang bekerja sebagai kuli gendong, yakni nilai kemanusiaan dan nilai perjuangan hidup. Hal ini dihadapkan pada eksistensi kuli gendong sebagai

commit to user

orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI. Bekerja merupakan sebuah tuntutan hidup, dimana seseorang memilki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan.

Selain itu, nilai kemanusiaan yang ada pada pengguna jasa kuli gendong, unsur kemanusiaan yang muncul apakah sampai hati menggunakan jasa kuli gendong terutama yang sudah berusia senja dengan upah hanya Rp 1.000,-.

4. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan Anggota SPTI

a) Kuli Gendong sebagai Orang tua

Sebagai orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada di dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan papan, kesehatan, kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Kuli gendong merupakan pekerjaan di pasar, namun juga memiliki peran sebagai orang tua di rumah. Jika sudah di rumah mereka kembali ke peran mereka sebagai orang tua dari anak-anaknya.

Merekalah yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang tua merupakan pendidik paling pertama dan paling utama bagi anak- anaknya. Baru setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran formal di sekolah. Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak mereka lebih baik dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak mereka memiliki kehidupan kelak yang lebih baik dan sukses tidak seperti kedua orangtuanya yang sebagai kuli gendong.

b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat

Selain bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli gendong juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun hampir sebagian besar waktu dihabiskan di pasar Legi untuk bekerja dari

commit to user

pukul 6 pagi hari sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari masyarakat di pasar maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di sekitar tempat tinggal ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai hajatan para kuli gendong juga akan meluangkan waktu pulang untuk datang dan membantu acara yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Selain bekerja kuli gendong juga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga mereka mau menyempatkan waktu untuk tidak berangkat ke pasar demi keperluan di tempat tinggalnya.

c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI

Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos seragam SPTI dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota SPTI pada waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan dapat diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan bekerja dengan siapa.

Sebagai makhluk sosial, pada kodratinya membutuhkan orang lain untuk tetap bertahan hidup. Hal ini juga dapat dilihat bahwa seorang kuli gendong membutuhkan para pelanggan atau pengguna jasa mereka, membutuhkan seorang ketua kelompok, mandor, atau juragan dalam

commit to user

mendapatkan peekerjaan, membutuhkan SPTI untuk ijin kerja di pasar Legi. Begitu pula sebaliknya para pedagang membutuhkan jasa para kuli untuk membawa barang-barang bawaannya, para mandor, juragan dan SPTI membutuhkan pemasukan dari koordinasi kuli-kuli gendong tersebut.

5. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli Gendong Pasar Legi

a) Penghasilan sebagai kuli gendong

Penghasilan yang didapatkan dalam satu kali gendong untuk kuli gendong perempuan sekitar Rp 2.000,-, namun jua ada yang hanya memberi Rp 1.000,- bagi mereka yang terkadang kurang menghargai kerja keras kuli gendong. Namun untuk kuli gendong laki-laki tidak dihitung per gendongan namun per bongkaran muatan barang. Untuk upah dari pelanggan tidak dibayarkan langsung ke kuli gendong laki-laki, namun dibayarkan ke mandor yang mengkoordinasi dari masing-masing kelompok. Sebelum pada akhirnya diberikan kepada kuli gendong yang bersangkutan berdasarkan frekuensi gendongan, dan masih dipotong sebesar Rp 5.000,-/orang dalam sekali bongkaran untuk mandor dan sebagian iuran perbulan ke SPTI. Dari penghasilan rata-rata Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari dikuramgi ongkos Mandor Rp 5.000,- dan transport tiap hari Rp 6.000,- (PP) menjadi Rp 29.000,- hingga Rp 39.000,- per hari.

Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari. Meskipun penghasilan mereka dibilang lebih sedikit dibandingkan kuli gendong laki- laki namun penghasilan mereka sudah “lepas”, maksudnya upah langsung diterima dari pengguna jasa atau pelanggan tanpa potongan untuk mandor atau juragan Dari penghasilan masing-masing dipotong iuran perbulan Rp 2.000,- yang dibayarkan ke SPTI. Belum

commit to user

untuk transport bagi yang laju Rp 6.000,- (PP), sehingga penghasilan bersih setiap hari rata-rata Rp 9.000,- hingga Rp 24.000,- per hari.

c) Pemanfaatan Penghasilan

Penghasilan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli pakaian terutama jika hari raya Idul fitri tiba bagi mereka yang memilki anak yang masih kecil atau cucu yang masih kecil jika masih ada sisa uang untuk membelikan sesuatu pada anak atau cucunya yang masih kecil, biaya transportasi setiap hari bagi yang melaju, kemudian kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah. Jika yang setiap hari melaju mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat tinggal, namun jika ada yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan, juga harus memikirkan biaya sewa setiap bulannya.

Selain itu bagi yang melaju, penghasilan mereka berkurang untuk biaya transportasi pulang-pergi dari rumah menuju pasar Legi setiap harinya. Seperti yang dialami oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Bu Ngatiyah, Bu Sukinah, dan Bu Saminem yang setiap hari melaju dengan membayar ongkos Rp 3.000,- sekali jalan berangkat dan Rp 3.000, untuk transport pulang. Sehingga setiap hari pulang-pergi menghabiskan uang sebesar Rp 6.000,- untuk biaya ongkos transport (bus/angkot). Selain untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas mereka juga memperhatikan pada pendidikan anak-anak, sehingga demi anak sekolah uang sebesar berapapun akan dicarikan meskipun penghasilan tidak mencukupi, sampai-sampai mencari hutang pun tak jadi masalah.

commit to user

85