LANDASAN TEORI

3. Konsep Sektor Informal

a. Pengertian Sektor Informal

Tadjudin Noer Effendi (1995: 74) memberikan pengertian tentang sektor informal, yaitu sektor yang diartikan sebagai “pekerja yang berusaha

sendiri tanpa buruh, berusaha sendiri dengan buruh tak tetap, atau dibantu tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar”. Ini memberikan definisi bahwa

sektor informal merupakan suatu jenis usaha mandiri, atau usaha keluarga, tanpa adanya aturan yang tidak tetap.

Dipak Mazmundar dalam Manning dan Effendi (1996: 12) memberikan definisi mengenai sektor informal, “sektor informal sebagai pasaran tenaga kerja yang tak dilindungi salah satu aspek penting perbedaan antara sektor informal dan formal sering dipengaruhi oleh jam kerja yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu. ”

Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 139), tanpa memberikan batasan ilmiah yang jelas tetapi membedakan sektor informal dan formal yang menunjuk pada suatu sektor ekonomi masing-masing dengan konsistensi dan dinamika strukturnya sendiri.. Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerjaan yang permanen, meliputi;

1) sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur pekerjaan dan terjalin dan amat terorganisir,

2) pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian,

3) syarat-syarat pekerja dilindungi oleh hukum.

Dari pengertian dan ciri-ciri sektor informal yang telah dijelaskan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, sektor informal adalah suatu unit usaha dengan pola kegiatan tidak teratur baik waktu, modal, maupun penerimaannya, hampir tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan dari pemerintah, modal dan pendapatan relatif kecil, peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan sangat sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus dalam menjalankan kegiatannya, dan pada umumnya satuan usaha mempekerjakan tenaga kerja yang sedikit dari lingkungannya, berhubungan denga keluarga, mudah berganti ke profesi yang lain. Selain itu sektor

commit to user

informal merupakan unit kerja yang mampu menciptakan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan memilki daya serap tinggi bagi angkatan kerja.

Sektor informal lebih difokuskan pada aspek-aspek ekonomi, aspek sosial, dan budaya. Aspek ekonomi misalnya penggunaan modal yang rendah, pendapatan yang rendah dan skala usaha yang relatif kecil. Aspek sosial diantaranya meliputi tingkat pendidikan yang rendah, berasal dari kalangan ekonomi lemah. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi di luar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana, tidak terikat oleh waktu kerja. Dengan cara pandang tersebut terhadap sektor informal tentunya lebih menitikberatkan pada suatu proses yang dinamis dan bersifat kompleks.

b. Ciri-ciri Sektor Informal

Sektor informal memili ki “cara kerja” yang memiliki ciri-ciri tertentu, yang membedakan sektor informal dengan sektor formal, dan memiliki karakteritik tertentu sebagai sektor informal.

Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah sebagai berikut;

1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,

3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi

maupun jam kerja,

4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,

5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor,

6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,

7) modal dan putaran usaha relatif kecil,

8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja,

9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga,

10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari

lembaga keuangan tidak resmi,

commit to user

11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Pendapat Effendi di atas telah dapat mempresentasikan pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh lain mengenai ciri-ciri sektor informal. Dari hal-hal tersebut dapat dijelaskan bahwa kegiatan sektor informal merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, misalnya pedagang kaki lima tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para pedagang kaki lima itu sendiri dalam sebuah paguyuban atau komunitas. Berbeda dengan sektor informal, misalkan PNS, ada organisasi yang konkret yang mengatur dan mengoordinasi terdapat fasilitas-fasilitas yang dapat dipergunakan, baik kantor, tempat kerja, akomodasi, alat transportasi dan lain sebagainya

Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha. Jika dalam sektor informal perlu ijin dalam usahanya, contoh membuka pabrik rokok, dokter membuka praktek, dan sebagainya. Untuk usaha dalam sektor informal dilaksanakan dalam lingkup kecil, tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk di dalamnya. Dengan kata lain siapa saja dapat membuka usaha dalam sektor informal. Bahkan ada usaha dalam sektor informal yang justru melanggar hukum dan penghasilan yang tidak sah, seperti copet, penadah barang curian, lintah darat, dan lain sebagainya.

Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Maksudnya adalah lokasi atau tempat yang digunakan untuk usaha tidak pasti, berpindah-pindah antara satu tempat ke tempat lain, misal pedagang keliling, dan pedagang asongan. Selain itu tidak ada rentang jam kerja yang jelas pula, kapan harus mulai kerja dan kapan harus selesai kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

commit to user

Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan usaha sektor informal, tidak adanya “tangan panjang” dari pemerintah yang langsung berhubungan dengan usaha tersebut, dan ketiadaan data yang jelas mengenai keberadaan dari usaha sektor informal tersebut sehubungan dengan pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik lokasi maupun jam kerja, sehingga kebijakan dari pemerintah baik aturan maupun bantuan tidak sampai pada sektor ini.

Dalam sektor informal, unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor. Tidak adanya batasan dan keterikatan dalam satu subsektor, karena usaha ini milik pribadi dan bebas dalam menetukan jenis usaha apa yang akan dilaksanakan. Perpindahan ini sah-sah saja dalam sector informal. Misal kegiatan primer dan sekunder seperti pertanian perkebunan yang pindah ke sektor jasa yang lain, seperti kuli gendong.

Teknologi yang digunakan dalam kegiatan sektor informal bersifat tradisional. Berbeda dengan sektor formal, menggunakan teknologi yang tinggi, sophisticated (canggih), dan mahal, berupa alat-alat berat, komputerisasi, dan lain sebagainya. Untuk sektor informal dalam kegiatannya hanya menggunakan teknologi sederhana, murah, dan dapat dibuat sendiri, berupa alat-alat sederhana. Misalnya pedagang kaki lima dengan menggunakan gerobak, pedagang asongan dengan kotak atau box dagangan, kuli gendong dengan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat barang.

Jika dilihat dari segi permodalan, modal dan putaran usaha dalam kegiatan sektor informal relatif kecil, karena jenis usaha juga relatif sederhana, hasil produksi hanya sanggup mencukupi kebutuhan untuk sekitar atau domestik. Sumber dana modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi, misal dari potang (Jawa), yaitu tukang kredit atau lintah darat yang setiap hari memungut angsuran dari hutang tersebut.

commit to user

Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Cukup dengan kemauan untuk bekerja dan lama-kelamaan pengalaman serta pengetahuan tentang pekerjaannya dapat didapatkan oleh yang seseorang dalam proses ia bekerja (otodidak), misal tukang cukur dan penyemir sepatu, penjual es potong. Berbeda dengan kegiatan sektor formal yang membutuhkan pendidikan formal, bahkan sampai pendidikan yang tinggi dan disertai keterampilan atau kecakapan khusus khusus untuk bekerja dalam sekor formal, misal untuk menjadi perawat, menjadi manajer perusahaan.

Suatu usaha dikatakan usaha sektor informal juga dilihat dapat dilihat bahwa pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga, ada beberapa yang juga termasuk subsisten. Sedangkan hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

c. Bidang-bidang Sektor Informal

Bidang yang ada dalam sektor informal cukup luas. Sektor ini sangat luas baik di tingkat daerah maupun di desa-desa dan daerah perkotaan. Sektor informal yang lahir diperkotaan merupakan hasil dari urbanisasi yang mana perpindahan ini untuk mencari penghasilan. Perkotaan yang persaingannya sangat ketat dan kadang tidak mendapat pekerjaan maka para urban ini membuka lapangan pekerjaan baru dalam perkotaan yaitu yang disebut sektor informal.

Menurut Keith Hart dalam Manning dan Tadjudin (1996:79-80) “bidang-bidang dalam sektor informal yang ditinjau dari

pendapatan yang sah dan tidak sah sebagai berikut:

1) Sektor informal dengan penghasilan sah

a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder: pertanian, perkebunan yang berorientasi ke pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan yang berhubungan dengannya,

commit to user

pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, penjahit, pengusaha bir dan alkohol.

b) Usaha tersier dengan modal yang relatif besar: perumahan, transportasi, usaha kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa- menyewa.

c) Distribusi kecil-kecilan: pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atau komisi, dan penyalur.

d) Jasa yang lain: pemusik, pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar dan perantara.

e) Transaksi pribadi: arus uang dan barang pemberian maupun semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis.

2) Sektor informal dengan penghasilan tidak sah Kegiatan-kegiatan sektor informal tidak hanya yang berkategorikan kegiatan sah, namun juga adapula kegiatan yang tidak sah. Sektor kegiatan informal yang tidak sah antara lain:

a) Jasa, merupakan kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya penadah barang curian, lintah darat, pedagang obat bius, pelacur, mucikari, penyelundupan, suap- menyuap, berbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan.

b) Transaksi, sebagai contohnya adalah pencurian kecil, pencurian besar, pemalsuan uang dan penipuan.

Berdasarkan penjelasan mengenai bidang-bidang sektor informal diatas maka,dapat disimpulkan bahwa kuli gendong pasar Legi Surakarta dapat dikategorikan sebagai kegiatan informal dengan penghasilan sah. Hal ini dapat dilahat dari jenis usaha yang dilakukan oleh para kuli gendong. Jenis kuli gendong adalah menjual jasa mereka. Kuli gendong pasar Legi dikatakan sebagai sektor informal yang berpenghasilan sah karena tidak melanggar aturan-aturan hukum, atau tidak melakukan tindakan mengganggu para pembeli dan pedagang di dalam pasar.

commit to user

d. Munculnya Sektor Informal di Kota

Tadjudin Noer Effendi (1995:

73) menyatakan bahwa “sektor informal tidak dapat keberadaannya di dalam pembangunan ”. Kehadiran

sektor informal dipandang sebagai gejala transisi dalam proses pembangunan di negara berkembang. Sektor informal harus dilalui dalam menuju tahapan modern, selain itu juga merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijakan pembangunan.

Konsep informal muncul dalam keterlibatan pakar-pakar internasional dalam perencanaan pembangunan dunia ketiga, gejala ini muncul setelah kelahiran negara maju dan berakhirnya perang dunia kedua. Pada waktu itu muncul gagasan di tingkat internasional maupun nasional untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi pada negara-negara yang dimaksud. Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 138) menyatakan “sektor informal pertama kali diungkapkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dengan menggambarkan sektor informal senbagai bagian dari angkatan kerja yang tidak terorganisir. ” Keith Hart merupakan seorang antropolog Inggris yang pertama kali menyatakan gagasan sektor informal.

Meskipun sudah berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun sejak gagasan mengenai sektor informal dicetuskan oleh Hart hingga kini perdebatan sektor informal masih juga belum mencapai kesepakatan. Pembahasan mengenai kegiatan-kegiatan sektor informal selama ini umumnya terfokus secara ekslusif pada konteks kontemporernya yang diantaranya membahas tingkat penghasilan pedagang, jumlah tenaga kerja, latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya. Namun hanya sedikit yang membahas apa yang melatar belakangi kegiatan di sektor informal ini muncul. Sehingga peneliti merasa perlu untuk memberikan ulasan mengenai latar belakang munculnya kegiatan sektor informal ini yang dikaji beberapa ahli.

Tumbuhnya sektor informal disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, perpindahan penduduk yang dapat menyebabkan semakin sempitnya peluang kerja tempat yang didatangi. Seperti yang diungkapkan

commit to user

oleh Rachbini dan Hamid (1994: 13), “perbedaan tingkat upah serta kesempatan kerja di desa dan di kota merupakan faktor yang menstimulasi

angkatan kerja untuk pindah ke kota”. Masyarakat umumnya menganggap di kota lebih mudah untuk mencari pekerjaan dan lebih menghasilkan uang.

Padahal dengan perpindahan mereka ke kota mengakibatkan semakin sempit pula lapangan pekerjaan yang ada dan pada akhirnya membuka lahan pekerjaan baru di sektor informal.

Selain itu tumbuhnya sektor informal juga disebabkan kesenjangan kapasitas keahlian dan tuntutan kerja formal yang modern. Sektor formal menuntut keahlian tinggi dari pekerjanya namun hal tersebut tidak diimbangi oleh keahlian yang dimililki para angkatan kerja. Menurut Mc Gee dalam Rachbini dan Hamid (1994: 26) “Sektor informal tumbuh karena perpindahan, dan penggunaan teknologi modern yang tidak selektif, yang berarti tidak memperhitungkan manfaat sosialnya, akan menciptakan sektor informal”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan teknologi modern berarti banyak manusia yang tergantikan oleh teknologi yang berat kurang dibutuhkannya tenaga manusia di sektor formal. Akibatnya banyak sektor informal yang tumbuh karena kurang dibutuhkannya tenaga manusia di sektor formal. Karena sempitnya lahan pekerjaan, serta kurang dibutuhkan tenaga kerja manusia sehingga mengakibatkan munculnya pengangguran. Faktor tumbuhnya sektor informal juga disebabkan karena adanya pengangguran. Di sini sektor imformal berfungsi untuk mempertahankan hidup.

Kota sebagai suatu pemusatan penduduk di dalam wilayah yang sempit memilki masalah fundamental dalam pemenuhan kebutuhan pokok penduduk-penduduknya, maka kota sebagai pusat konsumsi kolektif memproduksi barang atau jasa tidak secara individual, melainkan secara kolektif sehingga apabila sebuah kota sudah tergolong ke dalam kota yang kapitalistik, maka akan sering terjadi konflik-konflik akibat perebutan konsumsi kolektif. Konsumsi kolektif terjadi di lapisan bawah masyarakat perkotaan, mereka melakukan konsumsi kolektifnya dalam sektor informal,

commit to user

konsumsi mereka ditandai dengan adanya penggunaan barang-barang bekas untuk perumahan, serta pembuatan dan pemasaran bahan-bahan makanan dan barang-barang lain untuk konsusmsi langsung.

Sektor informal sebagai identitas problematika perkotaan berkembang di berbagai bidang meliputi bidang industri, perdagangan, jasa, dan sebagainya. Profesi-profesi sektor informal di kota seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, kuli gendong, penyemir sepatu, pelacur, portir, pengemis, pengamen, pengemudi becak, tukang parkir, dan lain sebagainya. Mereka merupakan pedagang kecil, pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil dengan pendapatan yang relatif rendah dan tidak tetap.

Keberadaan sektor ekonomi informal di perkotaan sangat mudah dijumpai dan dikenali di trotoar-trotoar, alun-alun kota, dan dekat pusat keramaian kota serta ruang-ruang publik di perkotaan. Keberadan pedagang sektor informal ini muncul dan berkembang karena memangg kehadiran mereka merupakan sebuah response atas kondisi yang ada. Pedagang sektor informal merupakan sebuah pilihan dari ketidakberdayaan akan kondisi ini kemunculannya bahkan tidak dikehendaki oleh pelakunya sendiri itu. Saat ini jumlah pekerjaan informal menggelembung sedemikian besar bahkan hampir menyamai jumlah mereka yang bekerja di sektor formal.

4. Kuli Gendong sebagai Kegiatan Sektor Informal

Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang dagangan pedagang atau pembelian oleh pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah -rempah, dan sebagainya.

commit to user

a. Pengertian Kuli Gendong

Secara umum kuli adalah orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya atau buruh kasar yang menerima upah dari jasa mengangkut barang (www.wikipedia.com). Pekerjaan ini dilakukan oleh laki- laki dan perempuan. Untuk kuli perempuan sering disebut dengan kuli gendong, sedangkan untuk kuli laki- laki sering disebut kuli panggul. Kuli adalah sebuah profesi yang bergerak di bidang jasa (www.kbbi.com).

Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinya sendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buat sendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk mengganti kata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.

Pengertian tenaga kerja mempunyai makna yang sangat luas yang bersifat umum dan terkadang rancu dengan istilah angkatan kerja. Buruh saat ini identik dengan pekerja level bawah. Orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya atau pekerja kasar (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain).

b. Kuli Gendong Merupakan kegiatan sektor informal

Pekerjaan sebagai kuli gendong Pasar Legi memenuhi ciri-ciri daripada sektor informal Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah

sebagai berikut;

1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,

3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi

maupun jam kerja,

4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan

ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,

5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor,

6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,

commit to user

7) modal dan putaran usaha relatif kecil,

8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja,

9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga,

10) sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari

lembaga keuangan tidak resmi,

11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Dari ciri-ciri di atas kegiatan kuli gendong juga memenuhi ciri-ciri tersebut;

1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong namun untuk menjadi kuli gendong di pasar Legi bagi perempuan dan hanya dikenakan biaya iuran perbulan. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa menggunakan teknologi tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak mempergunakan modal finansial yang besar bagi kuli gendong, cukup

commit to user

membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan.

c. Migrasi ke kota menjadi kuli gendong

Secara sederhana migrasi didefenisikan sebagai aktivitas perpindahan. Sedangkan secara formal, migrasi didefenisikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain yang melampaui batas politik/ negara ataupun batas administrasi/batas bagian suatu negara. Bila melampaui batas negara maka disebut dengan migrasi internasional (migrasi internasional). Sedangkan migrasi dalam negeri merupakan perpindahan penduduk yang terjadi dalam batas wilayah suatu negara, baik antar daerah ataupun antar propinsi. Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan disebut dengan migrasi masuk. Sedangkan perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan migrasi keluar (www.depnaker.go.id).

Orang-orang rela ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebaagai kuli gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang Pasar Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah.

commit to user

Jika kita berbicara daerah asal orang-orang yang menjadi kuli gendong, kita akan berbicara mengenai perpindahan mereka (migrasi), tepatnya urbanisasi dari daerah asal ke kota Surakarta. Ada hal-hal yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi, atau yang sering kita sebut dengan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi.

Menurut Everett S. Lee dalam Widodo (2011: 102) “ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu:

1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal

2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan

3. Rintangan-rintangan yang menghambat

4. Faktor-faktor pribadi Faktor-faktor 1,2 dan 3, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1

Rintangan

Daerah Asal

Daerah Tujuan

Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di Daerah Asal dan

Daerah Tujuan serta Rintangan

Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (+), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (-). Selain itu ada pula faktor- faktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk melakukan migrasi (o). Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri.

Jika dikaitkan dengan migrasi penduduk ke kota Surakarta yang menjadi kuli gendong di pasar Legi, ada beberapa hal yang mempengaruhi

o+ o - + o- -+-o+-o +-o-o-o

- o-+o-

+o+-o+- +o-+-o+ o-+o+-o

+o+-o

commit to user

kenapa masyarakat berpindah ke pasar Legi kota Surakarta yang menjadi kuli gendong. Faktor-faktor tersebut adalah;

1) Faktor pendorong (daerah asal) Dalam setiap kegiatan manusia maka akan selalu diiringi dengan dorongan atau motif yang mendasari mereka melakukan kegiatan tersebut. Dorongan atau motif ini akan sangat dipengaruhi beberapa faktor pendorong (push factor), misalalnya adalah aspek ekonomi, sosial, bahkan aspek psikologis.

Rendahnya upah tenaga kerja di sektor pertaian dan semakin langkanya lahan-lahan pertanian di pedesaan, maka banyak tenaga kerja yang memelih alternatif lain untuk urbanisasi dan bekerja di sektor non pertanian. Dari proporsi tenaga kerja yang mencari nafkah di berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi, ternyata dari tahun ke tahun penyediaan kesempatan kerja sektor pertanian semakin menurun, sedangkan pada sektor non pertanian menunjukkan kenaikan.

Dipak Mazumdar dalam Manning dan Efendi (1996: 113) menjelaskan mengenai faktor dominan yang menjadi pendorong seseorang memasuki sektor informal perkotaan adalah faktor ekonomi. Dorongan dalam faktor ini meliputi 3 hal yaitu:

a) adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota

b) imbas dari terpusat dan terkonsentrasinya pembangunan

yakni menimbulkan kemiskinan di desa.

c) perubahan persepsi angkatan kerja yang ada di desa.

Adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Sehingga berbagai sumber-sumber skonomi dan sasaran perekonomian terpusat dan terkonsentrasi di kota dibandingkan di desa. Imbas dari terpusat dan terkonsentrasinya pembangunan yakni menimbulkan kemiskinan di desa. Sehingga pembangunan perekonomian di desa kurang diperhatikan menjadikan lapangan pekerjaan tidak dapat menutup jumlah angkatan kerja yang ada di desa. Oleh karena itu mereka melakukan urbanisasi ke kota-kota besar dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan. Perubahan persepsi angkatan kerja yang ada di desa. Adanya perubahan persepsi,

commit to user

motivasi, dan sikap terhadap sektor pertanian yang ada di desa. Mereka menganggap bahwa pekerjaan di sektor pertanian kurang begitu menjanjikan sehingga mereka cenderung memilai pekerjaan non pertanian, salah satunya adalah pekerjaan di sektor informal.

2) Faktor penarik (daerah tujuan) Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor). Yaitu hal-hal yang menjadi daya tarik kepada calon pendatang untuk datang ke tempat tujuan. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti; a) adanya anggapan orang desa bawah di kota banyak pekerjaan dan penghasilan yang besar, b) di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan, industri, dan usaha lain, c) peredaran uang di kota lebih cepat dan lebih besar, d) sarana pendidikan di kota lebih banyak dan mudah didapat, e) kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan bakat, f) kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan tempat pergaulan dengan segala lapisan masyarakat.

3) Faktor fasilitas yang mendukung Adanya fasilitas-fasilitas yang mendukung perpindahan masyarakat dari daerah asal para kuli gendong ke daerah tujuan yaitu pasar Legi kota Surakarta. Faktor-fakltor tersebuta antara lain; a) lowongan kerja banyak,

b) pelayanan masyarakat yang lengkap, seperti kesehatan, keamanan, dan sebagainya, c) transportasi yang lengkap dan mudah diakses, mempermudah masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, d) komunikasi dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang canggih.

4) Faktor nilai Merupakan faktor yang berupa nilai-nilai yang menjadi dorongan dalam bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi.

commit to user

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai kuli gendong pasar Legi sebagai sektor informal memilki banyak kaitan terhadap penelitian-penelitian lain yang relevan mengenai kuli gendong maupun studi kasus mengenai sektor informal. Salah satunya adalah penelitian dari Heni, 2010, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul penelitian “PERAN KULI PANGGUL DI PASAR KLEWER SURAKARTA DALAM PENDIDIKAN FORMAL ANAK TINGKAT SMA ”. Penelitian ini berusaha mengungkapkan peranan kuli panggul sebagai orang tua (ayah ibu) bagi anak-anaknya dalam pendidikan formal anak-anaknya pada taraf SMA.

Dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa para kuli panggul di Pasar Klewer ini sudah bernaung dalam suatu paguyupan. Penghasilan setiap hari mungkin kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi kalau sudah memiliki anak yang bersekolah. Dengan upah yang tidak terlalu bisa mencukupi semua kebutuhan hidup, orang tua pasti akan berjuang keras untuk memberikan apapun yang terbaik untuk anaknya.

Oleh karena itu peran keluarga terutama orang tua (ayah dan ibu) mempunyai arti yang sangat penting terutama dalam pendidikan anak. Karena keluarga merupakan guru atau contoh yang nantinya bakal ditiru oleh anak- anaknya kelak, selain keluarga lingkungan juga ikut berperan. Mungkin kalau masih usia anak-anak tidak terlalu berpengaruh akan tetapi jika sudah usia remaja dan dewasa sudah lain ceritanya. Tidak ada orang tua yang mau anaknya bernasib sama dengan dirinya. Orang tua menginginkan anaknya bisa bersekolah setinggitinginya agar dapat meraih mimpi atau cita-cita yang diharapkan.

Ayah dan ibu berkewajiban untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anaknya, namun pendidikan di rumah biasanya dibebankan pada ibu karena lebih berperan penting dalam mengasuh anak disbanding dengan ayah. Tetapi pendidikan adalah tanggung jawab kedua orang tua tidak bisa dibebankan kepada salah satu pihak. Namun tidak semua orangtua memiliki kebiasaan dan pola pendidikan yang sama dalam mendidik anak-anaknya, memiliki kesamaan dalam mengambil keputusan dan sikap, sehingga orang tua kurang dan tidak

commit to user

memperhatikan anak karena kesibukannya mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan hidup. Setiap orang tua berjuang keras demi membiayai pendidikan

anaknya, walaupun tahu biaya pendidikan jaman sekarang ini tidaklah murah.

commit to user

C. Kerangka Berfikir

Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir

Kuli Gendong

Pasar Legi

Kebutuhan Dasar

 Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota.

 Terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah asal/desa

 dll

 Adanya anggapan orang

desa bawah di kota banyak pekerjaan dan penghasilan yang besar.

 Di kota lebih banyak

kesempatan untuk mendirikan perusahaan, industri, dan lain-lain.

 Peredaran uang di kota

lebih cepat dan lebih besar.

 dll

Pendidikan Anak

Migrasi

Faktor Pendorong Daerah Asal ( Push Factor)

Faktor Penarik Daerah

Tujuan ( Pull Factor)

Faktor Fasilitas ( Facility Factor)

 Komunikasi

 Transportas i

 Pelayanan

masyarakat  dll

Kehidupan Sosial Masyarakat

Faktor Nilai ( Value Factor)

 Kemanusiaan  Perjuangan

hidup  dll.

commit to user

Dari skema kerangka berpikir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; keadaan-keadaan di daerah asal yang mendorong penduduknya melakukan urbanisasi, hal ini di sebut faktor-faktor pendorong (push factor), faktor- faktor penarik (pull factor), kemudian faktor fasilitas (facility factor) yang mempermudah dalam akses untuk melakukan urbanisasi, dan faktor nilai (value faktor) merupakan faktor dari aspek kemanusiaan. Hal-hal diatas mempengaruhi masyarakat untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota besar, dalam hal ini adalah Kota Surakarta. Karena di kota terdapat banyak pabrik, pusat perbelanjaan, dan

pasar serta sektor formal yang lain maka dengan jalan “hijrah” ke kota berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (sektor formal), berpengasilan lebih besar

daripada di daerah asal untuk mencukupi segala macam kebutuhan hidup keluarga di rumah.

Namun bila dilihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan. Syarat-syarat demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang yang berasal dari daerah yang biasanya berasal dari perekonomian lemah.

Ketidakberdayaan kuli panggul dalam hal pendidikan ini dilatarbelakangi oleh rendah nya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, dan sebagainya.

Kehidupan yang dijalani oleh kuli panggul sebagai orangtua diharapkan tidak terjadi pada anak-anak mereka, oleh sebab itu mereka menyekolahkan anak- anak mereka dan memotivasi mereka untuk giat belajar agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orangtua mereka. Dengan demikian para orangtua yang bekerja sebagai kuli gendong memperhatikan masa depan anaknya

commit to user

dengan menyekolahkan anak-anak mereka. Selain sebagai orang tua, mereka juga memilki kewajiban memenuhi kebutuhan dasar keluarga, berinteraksi terhadap lingkungan soaial masyarakat daerah rasal, dan tentunya menjalin hubungan baik dengan sesama kuli gendong, kordinator SPTI, petugas pasar, pedagang, dan pembeli di pasar Legi.

commit to user

38