Deskripsi Hasil Penelitian

B. Deskripsi Hasil Penelitian

Pada deskripsi hasil penelitian ini merupakan gambaran yang didasarkan pada penemuan data yang dikaitkan pada rumusan masalah penelitian yaitu alasan atau latar belakang orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu mata pencaharian bagi masyarakat, bagaimana eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota masyarakat, dan anggota SPTI, serta bagaimana pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi. Terdapat 8 informan yang bersedia diwawancarai untuk memberikan gambaran yaitu 2 orang pengurus SPTI Pak Wagiman, Pak Suratmin, dan 6 orang kuli gendong yaitu Bu Ngatiyah, Pak Rohamdi, Pak Warsono, Bu Sukinah, Bu Saminem, dan Bu Situm. Dari jawaban informan-informan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang persoalan yang diangkat dalam penelitian.

Sistem perekonomian yang diharapkan dapat membawa perkembangan kehidupan yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan para masyarakat. Sistem perekonomian yang diharapkan berpihak pada rakyat justru terkadang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dalam hal ini adalah masyarakat lapisan bawah terutama para pedagang, petani, dan kuli. Harga-harga kebutuhan pokok yang semakin lama semakin tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat terutama rakyat kecil. Mulai dari harga sembako yang melonjak, BBM, listrik, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain sebagainya. Belum lagi biaya air PDAM pun tak luput dari kenaikan tarif bagi masyarakat perkotaan.

Manusia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan- kebutuhan hidup, usaha dan upaya manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan. Begitu pula dengan apa yang terjadi di pasar Legi kota Surakarta, berbagai upaya dan usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka membuka usaha dagang baik pedagang besar maupun oprokan, jasa angkut kendaraan (motor, mobil, truk), ada yang menjadi

commit to user

berupaya menjadi penarik becak, dan bahkan memilih bekerja menjadi kuli gendong.

Mereka rela pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebagai kuli gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) Unit Cabang Pasar Legi dan tertib dalam membayar iuran perbulan dan bahkan bagi kuli gendong yang laki-laki membeli keanggotaan kuli gendong yang akan berhenti/ pensiun hingga puluhan juta rupiah.

Kegiatan kuli gendong di pasar Legi dapat dikatakan sebagai kegiatan dalam sektor informal, karena kegiatan kuli gendong memenuhi ciri-ciri; 1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan mengkoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan bersifat “bebas namun terbatas”, maksudnya siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong menggantikan kuli gendong yang akan keluar atau berhenti. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan dari kuli gendong, tidak adanya. 5) Tanpa menggunakan teknologi

commit to user

tinggi namun kuli gendong hanya menggunakan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat dan memindahkan barang-barang di pasar. 6) Jika dilihat dari segi permodalan, tidak mempergunakan modal finansial yang besar bagi kuli gendong, cukup membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan.

1. Latar Belakang Orang-orang Menjadi Kuli Gendong

Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat kehidupan lebih baik. Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul. Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras dalam mencari penghasilan. Bila kita melihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan.

Syarat-syarat demikian yang menjadi hambatan lain bagi orang-orang yang telah bekerja sebagai kuli gendong untuk berusaha mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan rutin dan dapat mencukupi kebutuhan pokok.

a) Ketidakberdayaan kuli gendong

1) Rendahnya pendidikan pendidikan yang “dikenyam” Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini dilatarbelakangi oleh rendah nya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-

commit to user

orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Mayoritas pekerja kuli gendong ini tidak pernah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan menengah atas hanya lulus SMP dan bahkan yang berasal dari desa-desa tidak pernah bersekolah dengan latar belakang ekonomi lemah tidak mampu untuk bersekolah pada waktu mereka masih muda. Hal ini diungkapkan pula oleh Bu Saminem,

“kagem maem saben dinten mawon sampun Alhamdulillah Mas, jaman riyin uripe rekoso. Moboten gadah kepinginan kagem

sekolah” (untuk makan setiap hari saja sudah Alhamdulillah Mas, jaman dulu hidup susah. Tidak punya keinginan untuk

sekolah). (W/Saminem/21/7/2011) Dari latar belakang inilah yang menjadikan orang-orang

memilih untuk mencari pekerjaan yang sekiranya tidak memerlukan syarat-syarat pendidikan, pekerjaan yang bebas dan yang jelas halal. Tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau pembeli di pasar Legi.

2) Minimnya keterampilan yang dimiliki Selain rendahnya pendidikan yang didapat oleh para kuli gendong di waktu muda, minimnya keterampilan yang dimiliki juga semakin mendorong untuk menjadi kuli gendong. Hal ini juga dinyatakan oleh Pak Rohmadi,

“Lha ajeng pripun mas, sagede geh nayambut damel ngoten niku, mboten gadah ketrampilan. Paling-paling menawi prei ngoten ten griyo dados tani. Sekedik-sekedik geh gadah sabin lha urip ten dusun mas” (Lha mau bagaimana lagi mas, bisanya juga bekerja demikian, tidak mempunyai keterampilan. Paling- paling kalau di rumah jadi petani. Meskipun sedikit juga

commit to user

memiliki sawah berhubung hidup di desa). (W/Rohmadi/20/ 7/2011)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan kuli gendong yang lain, yang menyatakan tidak memiliki keterampilan. Dan jika tidak bekerja menjadi kuli gendong di pasar Legi mungkin hanya menjadi ibu rumah tangga, menganggur, atau menjadi buruh tani saja karena tidak memiliki sawah sendiri. Berbeda bagi mereka yang memiliki sawah sendiri, paling tidak ada yang diharapkan sebagai penghasilan.

b) Tidak adanya lapangan pekerjaan di desa (daerah asal)

Sebagian besar kuli gendong berasal dari daerah-daerah di luar kota Surakarta, dan domisili mereka juga bukan dari kota dari masing-masing melainkan di kawasan pedesaan, dimana belum begitu banyak jenis usaha yang berdiri disana, apalagi untuk sektor formal yang berdiri. Dan jika adapun, membutuhkan karyawan yang berpendidikan serta berketerampilan ditambah lagi sekarang dibutuhkan yang berpengalaman.

Jika hanya mengandalkan sektor pertanian, tidak semua angkatan kerja dapat terserap. Apalagi ditambah tidak semua memiliki sawah, paling- paling juga menjadi buruh tani, seperti yang diungkapkan Bu Saminem,

”Lha menawi mboten buruh geh mboten saged nyambut damel, lha mboten gadah sabin kok Mas” (Kalau tidak jadi buruh tani ya tidak bisa bekerja, karena tidak memiliki sawah sendiri). (W/Saminem/21/7/2011)

Ketiadaan atau minimnya lapangan pekerjaan di desa memaksa penduduk desa untuk pergi ke kota mengadu nasib, mencari pekerjaan. Jiksa terus berada di rumah sulit mendapatkan penghasilan, mengingat di daerah asal para kuli gendong mayoritas penduduknya bertani. Dan jika tidak musim tandur (tanam) dan panen maka tidak ada penghasilan bagi buruh tani.

c) Fasilitas transportasi yang mendukung akses ke kota

Kemjuan dan pembanguan di daerah yang lambat laun semakin berkembang, selain pembanguan jalan di daerah-daerah baik dari pemerintah

commit to user

maupun swadaya masyarakat sendiri juga bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Dengan dibukanya jalan-jalan, akses transportasi bisa masuk ke daerah-daerah bahkan di daerah terpencil pun. Hal ini mendorong pengadaan alat transportasi yang memperlancar aktifitas masyarakat. Adanya fasilitas sarana transportasi yang mempermudah akses mobilitas dan migrasi. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang di daerah asal tidak memiliki pekerjaan untuk menuju ke daerah lain demi mencari sebuah pekerjaan atau pengasilan yang lebih baik.

Mudahnya akses jangkauan dari satu daerah ke daerah lain, dari desa ke kota, atau yang lain dengan menggunakan sarana transportasi umum yang murah seperti bus atau angkot, semakin mendukung penduduk desa untuk pergi bekerja ke kota Surakarta, dalam kaitannya adalah ke pasar Legi menjadi kuli gendong. Hal ini sesuai pernyataan Bu Ngatiyah yang menggunakan angkot dari tempat tinggalnya di Ngemplak Mojosongo cukup dengan membayar Rp 2.000,- beliau dapat diantar ke pasar Legi, pulang pun juga menggunakan angkot dengan kode jurusan yang sama yaitu 07. Hal ini juga didukung penuturan Bu Sukinah yang setiap hari melaju ke pasar Legi dari rumahnya di Kalioso,

“Naming tigang ewu men mpun saged dugi Solo, mangkat mulih geh naming nemewu ngangge bis ngangge bis utawi angkutan” (Hanya dengan ongkos tiga ribu sudah bisa sampai Solo, pulang pergi ya cuma enam ribu dengan naik bus atau angkot). (W/Sukinah/21/7/2011)

Akses yang cepat karena adanya sarana transportasi yang mudah dan murah untuk dijangkau oleh semua kalangan merupakan fasilitas yang mendukung untuk memilih bekerja ke Solo.

Dengan adanya sarana transportasi yang mendukung, menjadikan jam kerja para kuli gendong juga lumayan lama, sekitar pukul 5 pagi atau pukul 6 pagi mereka yang melaju sudah sampai di pasar Legi dan siap bekerja. Dan selesai menggendong untuk pulang sekitar pukul 4 sore mereka sudah pulang dengan jasa bus atau angkot yang ada, seperti yang dipaparkan oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Bu Sukinah, dan Bu Saminem.

commit to user

Sedangkan bagi mereka yang mempunyai motor, seperti Pak Wagiman yang setiap hari ke kantor SPTI datang dan pergi tanpa ada

kekhawatiran untuk mematok jam menunggu bus. Namun tidak sedikit dari

mereka yang harus rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumahnya yang relatif jauh jaraknya dari pasar Legi hanya demi bekerja sebagai kuli gendong. Seperti yang dialami oleh Bu Situm, yang tidak seperti rekan- rekannya setiap hari melaju dari rumah. Bu Situm memilih untuk menginap di pasar Legi dikarenakan jarak rumah yang cukup jauh dan harus oper bus berkali-kali sehingga biaya untuk transport juga tambah mahal. Beliau memilih pulang dua minggu sekali kalau mendapat penghasilan lebih, jika pasar sedang sepi beliau mengumpulkan uang terlebih dahulu dan baru

pulang tiga minggu sekali bahkan pernah sebulan sekali baru pulang.

d) Pekerjaan yang tidak mengikat dan diharapakn penghasilan lebih besar daripada buruh pabrik

Salah satu alasan lagi yang menjadi alasan mengapa orang-orang yang keluar dari pabrik lebih memilih bekerja sebagai kuli gendong di Pasar Legi. Situasi kerja yang terikat dan tidak bebas, menjadikan seseorang menjadi tertekan dan tidak betah dalam bekerja, apalagi upah atau gaji tidak sesuai yang diharapkan. Hal ini yang dialami pula sebagian para kuli gendong yang semula bekerja sebagai buruh pabrik. Ada yang berpendapat bahwa menjadi kuli gendong lebih baik daripada menjadi karyawan pabrik yang berpenghasilan sedikit selain itu sebagai kuli gendong menjadi memiliki kebebasan untuk bekerja, hal yang sama diungkapkan Pak Wagiman,

“Lha menawi wonten pabrik, artane sekedhik mas, mboten bebas kedah mlebet terus, asring ngantos dalu, nanging nggeh mboten angsal bayaran lemburan. Benten menawi dados kuli mas, ajeng mlebet mboten mlebet mboten enten ingkang dukani, nanging geh menawi mboten kerjo terus lha anak bojo dipakani menapa? ” (Kalau bekerja di pabrik uang yang didapatkan sedikit mas, tidak bebas dan harus setiap hari masuk terus, sering sampai malam, namun juga dapat uang bayaran lemburan. Beda kalau menjadi kuli gendong, mau masuk kerja atau tidak masuk kerja tidak ada yang memarahi,

commit to user

tapi kalau tidak kerja terus anak istri mau diberi makan apa?). (W/Wagiman/20/07/2011)

Hal senada juga diungkapkan oleh Bu Ngatiyah, beliau menuturkan bahwa 10 tahun yang lalu beliau bersama dengan suami bekerja menjadi buruh pabrik. Namun dengan penghasilan yang sedikit, dirasa kebutuhan-kebutuhan tidak tercukupi, maka mereka berdua keluar dari pekerjaan tersebut

“menawi ten pabrik naming angsal gaji sedoso ngantos kalih welas ewu sedinten ” (kalau di pabrik hanya mendapatkan gaji sepuluh sampai dua belas ribu). (W/Ngatiyah/20/7/2011)

Dengan penghasilan yang relatif kecil dan status kerja terikat menjadikan buruh pabrik keluar dari pekerjaannya dan mencoba berusaha mendapat pekerjaan yang dirasa mencukupi, bebas dan tidak terikat namun penghasilannya dapat diharapakan.

2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang tua, Anggota Masyarakat, dan

Anggota SPTI

Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul. Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras dalam mencari penghasilan.

a) Kuli Gendong sebagai Orang tua

Sebagai orangtua berusaha memnuhi segala kebutuhan yang ada di dalam keluarganya, baik kebutuhan pokok berupa sandang, pangan papan, kesehatan, kebutuhan anak-anak yang bersekolah, maupun kebutuhan sosial masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Kuli gendong merupakan pekerjaan di pasar, namun juga memiliki peran sebagai orang tua di rumah. Jika sudah di rumah mereka kembali ke peran mereka sebagai orang tua dari anak-anaknya.

commit to user

Merekalah yang mendidik anak-anaknya, dengan kata lain orang tua merupakan pendidik paling pertama dan paling utama bagi anak-anaknya. Baru setelah cukup umur sang anak diikutkan pembelajaran formal di sekolah. Sudah sewajarnya mereka menginginkan anak-anak mereka lebih baik dari kedua orang tuanya. Dan dari sini munculah motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak dengan harapan anak mereka memiliki kehidupan kelak yang lebih baik dan sukses tidak seperti kedua orangtuanya yang sebagai kuli gendong.

Hal ini dibuktikan dengan pengakuan para informan yang telah memiliki anak-anak yang disekolahkan. Seperti yang diutarakan oleh Pak Wagiman yang memiliki 4 orang anak yang disekolahkan semua. Anak yang pertama dan kedua disekolahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi, anak yang ketiga lulus SMA, serta yang terakhir masih duduk di bangku SMA. Dari anak yang pertama sampai ketiga sudah bekerja dan hidup mandiri bersama keluarga masing-masing. Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang sama dari ketujuh informan, yang berniat menyekolahkan anak-anaknya demi masa depan mereka lebih baik dibandingkan orang tuanya, terutama Pak Warsono dan Pak Rohmadi memiliki anak yang masih kecil-kecil.

b) Kuli Gendong sebagai Anggota Masyarakat

Selain bekerja dan dibutuhkan oleh keluarga di rumah, kuli gendong juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Meskipun hampir sebagian besar waktu dihabiskan di pasar Legi untuk bekerja dari pukul 6 pagi hari sampai pukul 4 sore. Mereka tetap mejadi bagian dari masyarakat di pasar maupun masyarakat di daerah tempat asalnya. Jika di sekitar tempat tinggal ada kegiatan desa atau ada yang mempunyai hajatan para kuli gendong juga akan meluangkan waktu pulang untuk datang dan membantu acara yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini samap dengan yang diutarakan Pak Rohmadi, jika ada kegiatan di sekitar tempat tinggal baik ada tetangga yang mempunyai hajatan, atau gotong-royong bila diberitahu atau dijawab (Jawa) maka tidak berangkat ke pasar Legi, namun jika ada kegiatan di lingkungan

commit to user

sekitar dan beliau tidak di beritahu atau dijawab (Jawa), Pak Rohmadi juga tetap bekerja.

Hal yang sama diungkapkan pula oleh Bu Sukinah, jika di sekitar

rumah ada yang punya hajat, kesripahan (kematian), atau ada kegiatan lain beliau menyempatkan diri untuk datang, dan tidak berangkat kerja.

“gesang niku mboten piyambak to Mas, menawi dipun jaluki tulung tangga teparo geh saged mboten saged geh dipun lakoni, mbok bilih

sanes wekdhal kula gadahi kaperluan geh betahaken pitulungan sing cedhak- cedhak, napa maleh ten dusun kados kula niki” (hidup itu tidak sendirian mas, kalau dimintai tolong tetangga kanan-kiri ya bisa tidak bisa harus dilaksanakan, mungkin dilain waktu saya punya keperluan juga membutuhkan bantuan orang-orang di sekitar rumah, apalagi hidup di desa seperti saya ini) (W/Sukinah/21/7/2011)

Selain bekerja Bu Sukinah juga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga beliau mau menyempatkan waktu untuk tidak berangkat ke pasar demi keperluan di tempat tinggalnya.

c) Kuli Gendong sebagai Anggota SPTI

Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang- barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang dagangan pedagang atau pembelian oleh pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah - rempah, dan sebagainya.

Dalam keseharian kuli gendong pasar Legi menawarkan jasa gendongnya kepada siapa saja yang ada di pasar dari dini hari sampai larut malam tiba waktu untuk beristirahat. Bekerja keras berharap untuk memenuhi kebutuhan dengan harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela

commit to user

menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dapat bekerja sebagai kuli gendong di pasar Legi. Selain itu mendapatakan kaos seragam SPTI dengan mengganti biaya pembuatan sebagai atribut anggota SPTI pada waktu kerja. Karena dengan mengenakan seragam tersebut dan dapat diketahui identitas serta di bagian mana kuli tersebut bekerja, dan bekerja dengan siapa.

Sebagai makhluk sosial, pada kodratinya membutuhkan orang lain untuk tetap bertahan hidup. Hal ini juga dapat dilihat bahwa seorang kuli gendong membutuhkan para pelanggan atau pengguna jasa mereka, membutuhkan seorang ketua kelompok, mandor, atau juragan dalam mendapatkan peekerjaan, membutuhkan SPTI untuk ijin kerja di pasar Legi. Begitu pula sebaliknya para pedagang membutuhkan jasa para kuli untuk membawa barang-barang bawaannya, para mandor, juragan dan SPTI membutuhkan pemasukan dari koordinasi kuli-kuli gendong tersebut.

Gambar 8. Ketua SPTI menunjukkan seragam anggota SPTI unit pasar Legi kepada peneliti

commit to user

3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja

Kuli Gendong Pasar Legi

Melihat etos kerja dan semangat kerja keras kuli gendong yang tinggi tak heran penghasilan mereka relatif tinggi namun mungkin tidak sepadan dengan tenaga dan kerja keras yang mereka lakukan. Untuk kuli gendong yang laki-laki penghasilannya lebih besar daripada kuli gendong laki-laki dibandingkan dengan kuli gendong yang perempuan. Faktor kekuatan fisik dan kemampuan mengangkat barang yang membedakan dengan sendiri penghasilan mereka Untuk kuli gendong laki-laki bertugas bongkar muat barang menuju atau dari mobil pick up atau truk dengan muatan yang lebih banyak dan berkali-kali seperti beras, garam, kelapa, sayur-mayur dan lain-lain. Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan menggendong barang bawaan namun dalam permintaan yang relative kecil, misal jeruk satu becak dipindahkan satu kelompok. Sebenarnya mereka bekerja juga sama beratnya baik laki-laki maupun perempuan, tidak sedikit pula yang perempuan ikut bongkar muat barang-barang dari truk menuju ke dalam pasar, bahkan sampai naik ke lantai atas.

a) Penghasilan sebagai kuli gendong

Dari pekerjaan demikian rata-rata mereka mendapatkan penghasilan sebesar Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari, untuk kuli gendong laki-laki setiap harinya.

“Saben dinten nggih kula roto-roto angsal seket“ (Setiap hari rata- rata saya dapat lima puluh ribu) (W/Rohmadi/20/7/2011)

“roto-roto kulo angsal arto sedinten niku benten kalih Pak Rohamdi, luwih sekedik paling- paling nggih naming sekawan doso ewu” (rata- rata saya dapat uang sehari berbeda dengan Pak Rohmadi, lebih sedikit sekitar empat puluh ribu) (W/Warsono/20/7/2011)

Untuk upah dari pelanggan tidak dibayarkan langsung ke kuli gendong yang bersangkutan, namun dibayarkan ke mandor yang mengkoordinasi dari masing-masing kelompok. Sebelum pada akhirnya diberikan kepada kuli gendong yang bersangkutan berdasarkan frekuensi gendongan, dan masih dipotong sebesar Rp 5.000,-/orang dalam sekali

commit to user

bongkaran untuk mandor dan sebagian iuran perbulan ke SPTI. Dari penghasilan rata-rata Rp 40.000/hari hingga Rp 50,000,-/hari diluramgi ongkos Mandor Rp 5.000,- dan transport tiap hari Rp 6.000,- (PP) menjadi Rp 29.000,- hingga Rp 39.000,- per hari.

Sedangkan untuk kuli gendong yang perempuan rata-rata memiliki penghasilan sebesar Rp 15.000,-/hari hingga Rp 30.000,-/hari. Meskipun penghasilan mereka dibilang lebih sedikit dibandingkan kuli gendong laki- laki namun penghasilan mereka sudah “lepas”, maksudnya upah langsung diterima dari pengguna jasa atau pelanggan tanpa potongan untuk mandor atau juragan Dari penghasilan masing-masing dipotong iuran perbulan Rp 2.000,- yang dibayarkan ke SPTI. Belum untuk transport bagi yang laju Rp 6.000,- (PP), sehingga penghasilan bersih setiap hari rata-rata Rp 9.000,- hingga Rp 24.000,- per hari.

b) Pemanfaatan Penghasilan

Penghasilan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan minum setiap hari, untuk membeli pakaian terutama jika hari raya Idul fitri tiba bagi mereka yang memilki anak yang masih kecil atau cucu yang masih kecil jika masih ada sisa uang untuk membelikan sesuatu pada anak atau cucunya yang masih kecil, biaya transportasi setiap hari bagi yang melaju, kemudian kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah. Jika yang setiap hari melaju mereka tidak ada masalah mengenai biaya tempat tinggal, namun jika ada yang menginap di kos-kosan atau dikontrakan, juga harus memikirkan biaya sewa setiap bulannya. Seperti yang dialami oleh Bu Ngatiyah (Bu Sembloh) harus menabung setiap hari untuk membayar biaya sewa kost sebesar uang Rp 75.000,-/bulan. Selain itu bagi yang melaju, penghasilan mereka berkurang untuk biaya transportasi pulang-pergi dari rumah menuju pasar Legi setiap harinya. Seperti yang dialami oleh Pak Rohmadi, Pak Warsono, Bu Ngatiyah, Bu Sukinah, dan Bu Saminem yang setiap hari melaju. Sehingga setiap hari pulang-pergi menghabiskan uang sebesar Rp 6.000,- untuk biaya ongkos transport (bus/angkot).

commit to user

Selain untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas yang mereka juga memperhatikan pada pendidikan anak-anak. sehingga demi anak sekolah uang sebesar berapapun akan dicarikan meskipun penghasilan yang tidak mencukupi, sampai-sampai mencari hutang pun tak jadi masalah.

commit to user