Pengusaha Tahu Tionghoa Kediri Dalam Membangun Jaringan

b. Pengusaha Tahu Tionghoa Kediri Dalam Membangun Jaringan

Etnis Tionghoa yang telah membudaya dengan aktivitas dagang membuat mereka cepat berkembang dan maju terutama dalam bidang

commit to user

bisnis.Bisnis etnis Tionghoa di perantauan sangat berhasil, karena pada umumnya mereka ulet, rajin, lihai sekaligus dapat membentuk jaringan- jaringan bisnis yang sangat sulit ditembus oleh bisnis etnis yang lain. Jaringan bisnis mereka terbentuk ratusan tahun uan bahkan ribuan tahun sehingga sampai abad ke 21 ini etnis Tionghoa perantauan masih sangat ungguk dalam percaturan politik dagangnya (Usman, 2009:230).

Kao Cheng-Shu menyebutkan bahwa beberapa ilmuan telah memperhatikan aspek ekonomi mikro dan sistem sosial mikro tersebut (Greenhalgh, 1988; Hamilton dan kao, 1987, 1990; Lam, 1989; Lin, 1998; Numazaki, 1987; Peng, 1989). Mereka menunjukkan pentingnya peran keluarga dan jaringan hubungan antarpribadi merupakan kelembagaan sosial yang menjadi dasar bisnis di Taiwan (Hamilton, 1996:11).

Para pebisnis etnis Tionghoa di Taiwan menurut penelitian para ilmuan seperti Hamilton dan Numazaki menyebutkan bahwa jaringan keluarga merupakan faktor penentu dalam suatu bisnis skala menengah maupun skala kecil.Jaringan keluarga dibentuk atas dasar kepercayaan. Demikian halnya kepercayaan pribadi juga sesuatu hal yang sangat menentukan dalam organisasi bisnis.Jaringan-jaringan pribadi dalam berbisnis sebagai suatu hal yang tidak tertulis namun terbentuk dengan sendirinya dalam percaturan ekonomi etnis Tionghoa. Sebagaimana penelitian Kao dan Numazaki, walaupun Taiwan sebagai negara berkembang dan etnis Tionghoa sebagai penentu ekonomi, juga masih

commit to user

berlaku hubungan keluarga dan hubungan pribadi dalam membangun suatu sistem ekonomi.

Demikian juga jaringan antarpribadi sebagai penentu keberhasilan etnis Cina. Jaringan pribadi yang dibarengi dengan kepercayaan pribadi dibentuk atas dasar hubungan- hubungan dan relasi sosial yang berlangsung sangat lama.Hubungan pribadi tersebut teijadi atas dasar kepercayaan. Kepercayaan-kepercayaan terbentuk setelah adanya relasi dan kontak sosial yang telah terseleksi dan teruji diakibatkannya kontak sosial yang panjang, sekaligus membutuhkan jangka waktu yang tidak ditentukan. Jaringan keluarga dan jaringan pribadi terbentuk, sebagai budaya Tionghoa yang sangat menghargai keluarga keluarga sebagao induk dari pembentukan budayanya. Fenomena menunjukkan bahwa etnis Tionghoa sebagai bangsa Asia sangat maju dibentuk oleh jaringan marga. Dalam suatu masyarakat yang memakai nama marga menunjukkan hubungan kekerabatan sesama keluarga menjadi suatu keluarga besar. Dalam kepemimpinannya pun keluarga adalah sebagai penentuk kebijakan, terutama dalam berbisnis. Keluarga, terutama ayah adalah ujung tombak yang membawa suatu perusahaan itu berhasil dan berkembang.

Di samping itu etnis Tionghoa yang dikenal senang merantau dan berbisnis dapat membentuk suatu jaringa perusahaan yang bertalian atau suatu kelompok bisnis yang disebut guanxiqiye. Numazaki menyebutkan

commit to user

istilah di atas mengacu pada sebuah kelompok perusahaan yang memiliki sesuatu yang sama. sesuatu ini biasanya berupa kelompok kecil pemilik manajer yang terikat erat oleh hubungan kekerabatan, pernikahan dan ikatan-ikatan sosial lainnya. Guanxiqiye merupakan kelompok perusahaan yang diikat oleh jaringan berbagai guanxi atau relasi dan koneksi (Hamilton, 1996:24).

Numazaki seorang peneliti di Taiwan menyebutkan bahwa hubungan Guanxiqiye sebagai penentu dalam pembentukan perusahaan dan pengembangan organisasi ekonomi. Hubungan dan koneksi tersebut dibentuk bedasarkan modal kelarga, politik, relasi sosial maupun jaringan sosial lainnya. Hubungan modal yang dibentuk oleh guanxiqiye diikat oleh kontrak dan atas peijanjian serta kepercayaan pribadi. Hubungan modal misalnya, dalam suatu perusahaan dianggap sudah mapan, maka perusahaan tersebut mengembangkan dan membentuk cabang di daerah untuk ekspansi perusahaan. Relasi dan koneksi tersebut bukan saja terdiri atas peijanjian semata, tetapi mempunyai hubungan khas seperti hubungan antara ayah dan anak, atau hubungan keija yang sudah berlangsung lama.

Bentuk standar usaha bisnis yang besar di kalangan orang Tionghoa perantauan adalah konglomerat. Cushman (1986) menyebutkan bahwa konglomerat ini sebagai kelompok perusahaan Tionghoa yang didefinisikan sebagai perusahaan-perusahaan multicompany (terdiri atas

commit to user

banyak anak perushaan) yang berada di bawah kendali kewiraswastaan dan keuangan yang sama, dengan modal dan manajer-manajer tingkat tingginya diambil dari sumber- sumber yang tidak terbatas dalam suatu keluarga. Kegiatan- kegiatan (kelompok ini) sering diintegrasikan secara vertical dan modalnya disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan sendiri (Ch'ng, 1995:5-6).

Sehubungan dengan perilaku bisnis (membangun jaringan) etnis Tionghoa di Kediri yang berkonsentrasi di jalan Pattimura dan Yos Sudarso terdiri atas banyak bidang yang digelutinya. Etnis Tionghoa yang berkembang di Kediri sejak awalnya sebagai pengrajin dan berbisnis.Etnis Tionghoa di Kediri bergerak di bidang bisnis kuliner yang pada umumnya adalah Tahu, masakan oriental yang mengandung lemak babi, alat-alat listrik dan lain-lain.

Etnis Tionghoa yang berbisnis di kota Kediri umumnya adalah bisnis keluarga. Keluarga dalam bisnis etnis Tionghoa merupakan sesuatu yang mutlak penting. setiap pertokoan atau bisnis etnis Tionghoa, tokoh ayah bagi mereka merupakan manajer dan sosok ibu sebagai wakil. Ayah sebagai tonggak bisnis etnis Tionghoa di Kediri. Fenomena tersebut sangat dapat diamati pada seluruh politik bisnis Tionghoa di Kediri. Realitas tersebut seperti terlihat pada perusahaan Tahu Soponyono. Sebagai salah satu perusahaan Tahu yang terkenal dan laris di Kediri dalam mekanisme penjalanan usahanya dikelola oleh ayah sebagai bos

commit to user

dan sang ibu mengawasi perilaku anak buah. Peneliti sering mengamati perusahaan tahu Soponyono, bahwa setelah ayah dan ibunya, anaknya berperan dalam mengawasi kinerja anak buah yang pada umumnya pribumi agar dapat bekeija dengan baik. Ayah sebagai bos dan ibu sebagai wakil serta anak- anaknya selain berlatih bekerja sekaligus dapat menjaga kelancaran organisasi bisnis keluarganya.

Fenomena tersebut membuktikan bahwa keluarga adalah segala- galanya. Dengan kata lain, perilaku dalam membangun jaringan ini memang berorientasi pada budaya Tionghoa yang sangat cinta pada leluhurnya. Bisnis etnis tionghoa yang berkembang di Kediri bernuansa keluarga. Artinya keluarga, ayah sebagai kunci dari kebijakan perusahaan, dan istrinya sebagai waki kemudian disusul anaknya sebagai yang juga berkecimpung di dunia bisnis itu.

Semua bisnis Tionghoa yang ada di kota Kediri berkembang adalah keluarga. Akan tetapi istri yang berperan sebagai wakil juga memiliki peran dalam menentukan kebijakan perusahaan. Bisnis etnis Tionghoa yang ada di kota Kediri berkembang bedasarkan relasi keluarga. Biasanya setelah anak-anak mereka telah cukup pengalaman bekerja dengan orang tua masing-masing, suatu saat mereka akan membuka dan mengembangkan bisnis leluhur mereka yang bergulat dalam dunia kuliner, khususnya Tahu.

commit to user

Menurut pengamatan kedua, peneliti mencoba untuk mengamati perusahaan Tahu LTH juga menunjukkan hal yang sama. Ayah sebagai manajer yang setiap saat ada di toko dan istrinya sebagai wakil juga sama- sama mengawasi perusahaannya. Di perusahaan Tahu LTH, 90% memperkerjakan etnis Jawa sebagai karyawan dan buruh.Perilaku bisnis dalam membangun jaringan ini menunjukkan relasi bisnis terutama dengan karyawannya adalah dengan merekrut sebanyak-banyaknya etnis Jawa yang tinggal tidak jauh dari kompleks pecinan tersebut untuk melancarkan bisnis mereka sebagai teman bisnisnya maupun demi keamanan. Seperti wawancara yang dilakukan oleh pak Jarwo di bawah ini:

"Saya ikut LTH itu sudah 17 tahun mbak, rumah saya kan di Pandean, jadi ya dekat kalau bekeija, tinggal jalan kaki saja. Dan saat pertama kali saya masih bujang bekerja di sana dulu diajak oleh Pak Dhe. Pak Dhe memang sudah lama ikut sama cina LTH itu."

(Wawancara tanggal 27 Maret jam 19.10)

Begitulah masyarakat etnis Tionghoa Kediri yang membentuk jaringan bisnisnya bedasarkan ikatan keluarga yang kuat. Iklim perbisnisan ini jugalah yang nantinya akan bertujuan arif untuk mempertahankan kelanggengan identitas keetnisan yang menunjang entah dalam aspek ekonomi, sosial, politik maupun jati diri. Bagi mereka, keluarga adalah

commit to user

segalanya.Keluarga dalam keyakinan etnis Tionghoa Kediri merupakan bentuk identitas yang langgeng.

D. Politik Identitas KcctnisanUntuk Ruang Kota

Giddens (1991) identitas terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus- menerus tentang kontinuitas biografis. Cerita mengenai identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis. Individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana siri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Giddens, 1991:75).

Pendapat Giddens sesuai dengan perspektif awam kita tentang identitas, sebab ia memaparkan bahwa identitas diri ialah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai individu. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa identitas bukan merupakan kumpulan sifat-sifat yang kita miliki; identitas bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau bendayang bisa kita tunjuk. Agaknya identitas adalah cara berflkir tentang diri kita. Namun yang kita pikir tentang diri kita berubah dari situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya, itulah sebabnya Giddens menyebut identitas sebagai proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat

commit to user

ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita pikir kita inginkan, lintasan harapan kita ke depan.

Meski identitas-diri bisa dipahami sebagai proyek atas diri kita, kita telah memahami bahwa kita lahir di dunia yang mendahului kita. Kita belajar menggunakan bahasa yang telah digunakan sebelum kita datang dan kita menjalani hidup kita dalam konteks hubungan sosial dengan orang lain. Singkatnya, kita terbentuk sebagai individu dalam proses sosial dengan menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial. Biasanya ini dipahami sebagai sosialisasi atau atkulturasi. Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi orang sebagaimana yang telah kita pahami dalam kehidupan sehari- hari.

Sedikit menelisik lebih dalam tentang singgungan anatara politik identitas dengan konstruksi ruang kota, bahwasannya ruang kota yang kita pahami sekarang tak serta merta merupakan suatau tatanan yang langsung ada. Politik identitas merupakan sumber daya yang bisa dialokasikan guna membangun strukturkota mikro yang kemudian berkembang bedasarkan dukungan ruang dan waktu. Ruang kota ialah representasi atas akulturasi yang melibatkan relasi sosial, politik peran, identitas serta alam. Saat itulah struktur kota yang mikro bersinergi dengan akulturasi yang melibatkan aspek-aspek relasi sosial yang universal yang selanjutnya mampu digambarkan sebagai

commit to user

tatanan ruang kota yang bercirikhas. Di bawah ini akan peneliti sajikan beberapa paparan tentang identitas keetnisan dalam hal ini etnis Tionghoa di Kediri sebagai alokator sumber daya dalam membentuk ruang kota yang bercitrakan.

1. Identitas Etnis Sebagai Proyek; Isu Di Kediri

Berbicara mengenai identitas sungguhlah menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan.Identitas menurut Giddens (1991) merupakan manifestasi daripada pelanggengan diri yang telah diartikulasikan dalam kenyataan sosial.Setiap individu pastilah memiliki identitas.Identitas cenderung berperan sebagai penggerak yang mengarahkan individu- individu membangun kesadaran kolektif budaya dan sosialnya.Identitas juga menjadi wadah di mana proyeksi atas sumber daya dan kekuasaan berkibar.Di bawah ini akan peneliti jabarkan mengenai identitas etnis yang dijadikan proyek dalam kasus yang ada di kota Kediri.

Bila kita melangkahkan sejenak kaki ini untuk mengembara di kota Kediri, maka nuansa yang akan kita rasakan sebagai awam ialah suatu gambaran kota kecil yang tak terlalu ramai tapi memiliki budaya kuliner yang cukup kental, yakni Tahu. Dan dari sepanjang kita melakukan pengamatan, toko-toko yang menjual Tahu pasti didominasi oleh etnis Tionghoa.Gambaran di atas menunjukkan bahwa dalam pencitraan identitas suatu etnis ternyata terdapat kekuatan politik dan ekonomi yang dirangkum dalam sumber daya tidak menutup kemungkinanterlibat dalam

commit to user

pengkonstruksian citra dalam suatu tatanankota. Sentimen awam tentang kota Kediri yang dikenal sebagai kota Tahu muncul atas uraian di atas. Uraian berikut ini akan memaparkan fenomena budaya yang sekarang ini berkembang yang berkaitan dengan konstruksi identitas etnis, yakni persoalan proyek politik identitas.

Bila kita membicarakan masalah identitas diri sebagai proyek, tentu kita ingat tentang gagasan Giddens (1991) yang mengangkat mengenai lintasan pembentuk mengenai apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita. Tak semata-mata proyek tentang pribadi itu beijalan dengan selonggarnya, ia adalah stimulus dari ruang dan waktu. Karena ruang dan waktulah yang membentuk jati diri, peluang untuk menciptakan potensi dan legitimasi.

Di Kediri, etnis Tionghoa dan budaya yang mereka usung adalah rintisan dari sebuah peijalanan kota. Budaya yang dimaksud di sini yaitumengarah pada kuliner Tahu yang telah melembaga dalam kehidupan mereka selama beribu-ribu tahun.Proses universal yang menyangkut akulturasi relasi sosial, politik peran dan alokasi sumber daya baik fisik maupun non fisik menjadikan mereka mampu bertahan di atas suatu tatanan masyarakat yang memiliki kebudayaan yang beda sama sekali.

Namun inilah adanya identitas, bagi masyarakat Tionghoa Kediri mereka adalah kharisma agung yang dilanggengkan melalui penganan yang umat manusia sebut sebagai Tahu.Semua orang mengenai tahu dan banyak

commit to user

orang di pelosok negeri ini yang menggemarinya termasuk orang Kediri.Dari saat pertama kali seorang Bah Kacung yang seorang etnis Tionghoa perantauan membuka perusahaan tah, memungkinkan adanya suatu perubahan struktur sosial yang memberikan praktek-praktek baik sosial maupun ekonomi yang sifatnya rekursif.

Politik identitas keetnisan mula-mula muncul dan digambarkan dengan tindakan mereka setiap harinya. Politik identitas keetnisan memberikan mereka ruang-ruang untuk bergerak dalam struktur kota yang lambat laun menata citra, di mana kemudianhal tersebut dibangun oleh publik yang di dasarkan atas aktualisasi politik jati diri yang sangat kental dengan identitas.

2. Kota Kediri Yang Terbangun Identitasnya

Kota Kediri kini tengah beijaya dengan citranya sebagai kota Tahu. Pemaparan luas di atas secara rinci memberikan gambaran detail bagaimana representasi seorang agen yang aktif memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya dalam hal ini kudapan Tahu dan membentuk alur pikir masyarakat yang mencintai Tahu.

Dari satu agenmenjadi beberapa agen yang turut mencurahkan segenap sumber dayanya telah membuka kemungkinan pembaharuan serta pembebasan struktur yang selalu mengekang. Di Kediri, etnis Tionghoa menjadi tonggak peijuangan lika-liku pencitraan kota.

commit to user

Mulanya, Tahu menjadi kudapan masyarakat yang tinggal di sekitar Bah Kacung saja, namun ketika Bah Kacung telah sukses menunjang bisnis dengan alokasi sumber daya yang arif kini banyak ditemukan etnis Tionghoa lainnya yang turut membuka perusahaan Tahu di Kediri. Masyarakat yang dibangun cita rasanya melalui penganan Tahu melampaui beberapa proses yang tak beijalan sebentar. Animo atau keturutsertaan masyarakat Kediri adalah bagian yang tak terpisahkan atas pelanggengan identitas yang di dalamnya mengaitkan alur kehidupan perkotaan yang bercirikhas.

Masyarakat yang menjadi bagian dari kota adalah suatu gejala yang tak dapat dipisahkan dari pola interaksinya. Maksud dari pernyataan di atas bahwasannya pola interaksi manusia yang hidup di dalamnya akan menghasilkan produk khas kota yang sifatnya universal. Interaksi mengikat orang-orang yang terlibat di dalamnya kian membentuk sebuah tatanan yang arif dalam aktualisasinya.

Demikan halnya di Kota Kediri, interaksi yang dibangun oleh warga lokal dengan etnis Tionghoa melalui berbagai macam eara termasuk dengan pendekatan budaya dalam hal ini kuliner Tahu merupakan titik awal peijalan kota dengan produk budaya yang khas dan dikenal oleh masyarakat luas. Inilah Kedriri, inilah kota Tahu.

commit to user

E. Menalar Teori Strukturasi Giddens

Kita akan memahami teori Giddens dengan setidaknya mempelajari pandangan-pandangannya untuk kedua teori yang sudah disampaikan sebelumnya, yakni fungsionalisme dan strukturalisme. Yang paling inti dalam memahami strukturasi Giddens adalah kritik kerasnya atas gejala dualisme yang melekat dalam berbagai teori khususnya dua teori di atas. Ia tidak setuju dengan dualisme struktur dan pelaku, namun ia lebih menekankan apa yang ia sebut dengan dualitas. Atas fakta struktur dan pelaku bukanlah sesuatu yang saling menegasikan atau

bertentangan,

tapi keduanya saling mengandaikan.Dalam memahami pemikiran Giddens, minimal kita bisa berangkat dari dua pokok pembicaraan. Pertama, ialah agen (agent) dan struktur (structur), kedua ialah ruang (space) dan waktu (time) (Arif dalam Jelajah Budaya, 2010).

1. Agen dan Struktur

Inilah kritik paling menonjol dalam gagasan strukturasi Giddens.Ia mengritik keras gagasan tentang hubungan keduanya yang selalu dilekati dengan dualisme sebagai pokok analisis sosiologi dalam berbagai teori.Baginya, analisis sosial semestinya menekankan pada aspek dualitas keduanya, bukan dualisme.Bahwa pelaku dan struktur berhubungan memanglah tak disangkal.Tapi bagaimana keduanya berkaitan dalam

commit to user

berbagai perilaku sosial, itulah yang harus dipersoalkan.Apakah pelaku dan struktur berhubungan dengan mengedepankan perbedaan (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal balik)? Ilmu sosial, menurut Giddens, selama ini dikuasai pandangan dualisme vis a vis. Ia menolak itu dan mengenalkan hubungan keduanya dalam gagasan dualitas. Pelaku dan struktur berhubungan timbal balik atau saling mengandaikan.

Pelaku adalah orang-orang yang kongkrit dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur dalam pengertian Giddens bukanlah totalitas gejala, bukan 'kode tersembunyi' khas strukturalisme, cara produksi marxis serta bukan sebagian dari totalitas gejala khas fungsionalisme.Struktur adalah aturan {rules) dan sumberdaya {resource) yang terbentuk (dan membentuk) dari perulangan praktik sosial.Dualitas struktur dan pelaku merupakan hasil sekaligus sarana suatu praktik sosial (Priyono, 2002).Praktik sosial yang seperti inilah yang seharusnya menjadi pokok pembahasan dalam analisis sosial.Dari pengertian seperti inilah teori stukturasi dibangun. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses yang teijadi dan memungkinkan teijadinya perulangan untuk membentuk perilaku sosial. Dalam hal ini Giddens menyebutnya sebagai reproduksi sosial yang di dalamnya tanpa memisahkan struktur dan sistem. Reproduksi merupakan hasil dalam proses stukturasi.

Perilaku sosial inilah yang semestinya menjadi obyek utama kajian ilmu sosial, bukan struktur atau pelaku secara terpisah.Praktik sosial di atas

commit to user

bisa direfleksikan dalam negosiasi agen dalam hal ini Bah Kacung dan lingkungan sekitar dengan berbagai macam norma- normanya.Dualitas yang dimaksud terletak pada struktur yang menuntun pelaku sebagai sarana ( medium dan resources ) dan menjadi pedoman praktik sosial di berbagai tempat. Sesuatu yang mirip 'pedoman' atau prinsip-prinsip 'aturan' itu merupakan sarana dalam melakukan proses perulangan tindakan sosial masyarakat. Giddens menyebut hal itu sebagai strukturasi.

2. Ruang dan Waktu

Ruang dan waktu adalah pokok sentral lain dalam teori strukturasi. Tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu.Ruang dan waktu menentukan bagaimana suatu perilaku sosial teijadi.Mereka bukan semata- mata arena atau panggung suatu tindakan teijadi sebagaimana dipahami dalam teori-teori sosial sebelumnya. Mereka adalah unsur konstitutif dalam proses tindakan itu sendiri. Dengan mengadaptasi filsafat waktu Martin Heidegger, Giddens menegasikan bahwa ruang dan waktu semestinya menjadi bagian integral dalam ilmu sosial (Arif dalam Jelajah Budaya, 2010).

Tidak mungkin bila struktur memberikan peluang bagi agen untuk mengalokasikan sumber dayanya tanpa iringan dari ruang dan waktu.Ruang dan waktu merupakan andil bagi pelanggengan identitas seorang agen dalam mengaktualisasikan dominasi dan legitimasinya guna mengubah

commit to user

struktur melalui praktek-praktek sosialnya sehingga reproduksi sosial tercipta.

Penelitian yang telah penulis lakukan selama hampir empat bulan memberikan relevansi teori stukturasi Giddens yang signifikan.Bila Giddens hanya berpaku pada pendiriannya soal praktek-praktek sosial, konformitas dengan Baudrillard mungkin mampu memunculkan kompleksitas yang menarik untuk ditelisik. Dalam kritiknya terhadap Marx, ia menegaskan bahwa bukanlah produksi, namun konsumsi lah yang merupakan basis suatu tatanan sosial.

Bilamana teori strukturasi Giddens yang berkutat dengan definisi- definisi sosialnya, tak demikian halnya dengan pendapat penulis yang menyatakan bahwa teori strukturasi ternyata juga dapat diaktualisasikan dalam tindakan-tindakan ekonomi.Hal ini dirfleksikan melalui bagaimana etnis Tionghoa di Kediri yang mendirikan perusahaan Tahu dalam membangun jaringannya.Di mana mereka lebih mengutamakan jaringan keluarga dalam menyelaskan tindakan ekonominya.

Kemudian pendapat Baudrillad diaktualisasikan ketika konsumsi Tahu yang mulai menarik perhatian warga Kediri memunculkan basis tatanan sosial yang baru serta memiliki ciri khas yang sangat kuat, yang mana dukungan ruang dan waktu menjadi pelanggeng proses penciptaan tatanan sosial, tak hanya domestik keluarga namun juga sumbangsih untuk kota Kediri.

commit to user

Yang terakhir peneliti hendak sekali lagi menegaskan bahwa politik jati diri tak akan mampu ditularkan dominasi dan legitimasinya bilamana penyelarasan praktek-praktek sosial tidak diiringi oleh dukungan ruang dan waktu yang bisa dikatakan deterministik.