Unsur Intrinsik Novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy

1. Unsur Intrinsik Novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy

Analisis unsur intrinsik novel merupakan sebuah penelitian yang mendasarkan objeknya pada unsur-unsur internal karya sastra. Unsur-unsur instrinsik yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan tema.

a. Penokohan

Dalam novel Dalam Mpihrab Cinta ini, penokohan sangat beragam dan berkembang, maka penulis akan menarasikan dan menganalisis penokohan yang ada dalam novel Dalam Mihrab Cinta sesuai dengan kriteria dan jenis tokohnya yang belum tentu dari jumlah tokoh yang tidak termasuk pada beberapa jenis tipikal tokoh.

1) Tokoh Utama (Main Character) Tokoh utama novel Dalam Mihrab Cinta adalah Syamsul. Sebagaimana telah dijelaskan di atas tokoh utama adalah tokoh yang mendominasi dalam keseluruhan cerita. Tokoh Syamsul merupakan tokoh yang selalu ada dalam cerita novel ini. Dari awal cerita sampai akhir cerita Syamsul selalu ada dan merupakan sudut pandang penceritaan.

Dalam cerita ini, Syamsul adalah tokoh keras kepala (dalam hal menentukan jalan hidupnya), berani, nekat, jujur, sopan, tanggung jawab dan amanah. Di awal cerita diceritakan Syamsul merupakan tokoh yang kontradiktif dengan keluarganya. Dia keras kepala dalam menentukan jalan hidupnya. Keluarganya menginginkan dia menjadi seseorang pengusaha batik yang sukses namun Syamsul berkeinginan lain. Dia memilih menjadi santri di Kediri sebagaimana saran dari imam Masjid Agung Pekalongan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

commit to user

“Saat ia mengutarakan niatnya ke pesantren, ayah dan kedua kakaknya terang-terangan tidak setuju. Tetapi ibu dan adik perempuan satu-satunya mendukungnya.

“Ke pesantren? Mau jadi santri gudig?” Sinis kakak sulungnya. “Kalau Cuma santri gudig mending, hla kalau nanti jadi teroris bagaimana?” Sengit kakak keduanya. “Kalian ini kok berpikiran buruk seperti itu. Ibumu ini dulu juga pernah nyantri di Kaliwungu Kendal, pernah hidup di pesantren lho. Apa kalian melihat ibumu ini seperti yang kalian katakan itu? Gudigen atau teroris? Kalau adikmu ini mau ke pesantren malah bagus. Di antara anggota keluarga ini nanti ada yang benar- benar ngerti agama.” Pembelaan ibunya itu semakin membulatkan tekadnya. Ia telah menentukan jalannya. Bersama restu ibu ia takkan ragu

melangkah....” (DMC: 13)

“Ia genggam baik-baik pesan sang Imam. Ia semakin tahu jalan mana yang harus ia tempuh. Restu ibu pun telah ia genggam. Ia tersenyum dalam diam., ia semakin mantap untuk

melangkah maju. “Bismillah! Aku melangkah karenaMu, ya Allah!” teriaknya dalam hati. Teriakan yang mantap sekali. Teriakan yang menggema hingga ke tujuh petala langit dan bumi. (DMC: 14)

Dalam sekuen yang lain, sikap Syamsul yang keras kepala tetapi tetap selalu beralasan ketika dia meminta untuk melompat kelas sandainya dia merasa sudah menguasai kitab yang sedang dipelajarinya, yang secara peraturan tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang ada di pesantren Al Furqan. Seperti dalam kutipan berikut:

“Begini, saya ini katakanlah masih nol. Maka begitu masuk kitab Mabadi‟ul Fiqhiyyah. Kelas paling dasar. Nahwunya ya Jurumiyyah. Katakanlah kurikulum kelas itu adalah enam bulan. Saya masuk dan saya belajar sendiri kepada para senior di luar jam resmi. Akhirnya dalam waktu tiga bulan saya bisa menguasai seluruh materi kelas itu, saya minta ijin untuk melompat ke kelas atasnya. Begitu bagaiman? Sebab jika saya ikut waktu yang ditentukan, maka untuk sampai kelas Ihya‟ Ulumuddin saya umur berapa?” Jelas Syamsul secara terbuka.

(DMC: 37)

commit to user

pengurus pesantren merasa tidak dihargai. Namun setelah musyawarah, dan melihat kesungguh-sungguhannya, permintaan Syamsul diterima.

Tidak hanya keras kepala, namun Syamsul memiliki keberanian dan kejujuran yang luar biasa. Keberanian yang sangat luar biasa ketika Syamsul pertama kali bertemu Zizi, dia menyelamatkan Zizi dari seorang pencuri. Yang kedua ketika dia mencoba mempertahankan keyakinannya ketika dia dituduh mencuri. Dia berani bersumpah atas nama Allah dan berani menyumpahi Kiai Miftah terhadap keputusannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

“Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan

dompetnya ia berjanji akan mentraktir saya setelah mengantarnya pergi ke dokter Pak Kiai. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa saya jika saya berdusta!” Syamsul bersumpah

dengan suara lantang. Kedua matanya menyala seperti mata elang. (DMC: 77-78)

“Pak Kiai, Panjenengan belum melakukann tabayun yang sesungguhnya pada saya.” Ia lalu memandangi wajah pengurus pesantren yang ada di ruangan itu satu per satu, “Kalian

memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena. Ini kezaliman! Suatu saat kalian akan tahu siapa sebenarnya rayap itu. Saya tak akan memaafkan dosa Pak Kiai dan dosa kalian sebelum kalian mencium kaki saya. (DMC: 82-83)

Di samping Syamsul adalah tokoh yang nekat dalam menempuh alur ceritanya. Setelah ia dikeluarkan dari pesantren karena difitnah mencuri, dia pergi ke Semarang dan ke Jakarta. Karena kondisi yang sedang kepepet dia melakukan pencurian yang sebenarnya, dia mencopet seorang perempuan muda yang membawanya ke penjara. Seperti dalam kutipan berikut:

commit to user

“Dan...naas!” “Korbannya, seorang perempuan muda yang sangat waspada. Ia ketahuan. Perempuan itu meneriakinya, “Copet! Tolong!”

Seketika itu juga langsung lompat dari bis dan lari sekencang- kencangnya. Bis berhenti. Semua orang berteriak-teriak, Copet, copet!” Orang mendengar hal itu langsung berlarian mengejarnya. Ia lari ke arah Ngaliyan. Terus berlari. Sesungguhnya ia adalah pelari yang cepat. Tetapi tubuhnya yang lemas karena belum makan tidak bisa diajak kompromi. Sampai dekat kampus dua IAIN Walisongo, ia tertangkap. Ia babak belur dihakimi massa. Untung ada patroli polisi. Nyawanya diselamatkan oleh polisi. (DMC: 105) Selanjutnya, kenekatan Syamsul ketika dia menjadi guru ngaji Della.

Syamsul nekat datang menawarkan diri menjadi guru ngajinya Della berdasarkan informasi dari Satpam, sementara dia sedang melakukan observasi (menyamar).

“Lalu dengan mantap ia memakir sepeda motornya di depan rumah di Jalan Flamboyan no. 17. Ia pencet bel dan mengucapkan salam. Seorang pembantu wanita agak tua dan seorang anak muda membuka pintu garasi.

“Oh pak ustadz. Mau ketemu siapa?” Tanya anak muda. “Pak Broto ada?” “Ada. Silakan masuk Pak Ustadz.”

Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki gemuk bersarung dan berbaju koko keluar. “Oh Udtadz. Di mana kita pernah ketemu ya Pak Ustadz?” Pak Broto merasa kenal. Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto. Begini Pak Broto langsung saja, ada yang memberi tahu saya katanya Pak Broto perlu guru Privat ngaji untuk si kecil Della. Apa betul?” Ujar Syamsul dengan tenang. (DMC: 132-133)

Selanjutnya, di samping kenekatan-kenekatan yang dilakukan Syamsul namun dia juga tokoh yang tanggung jawab dan amanah. Hal ini bisa dilihat ketika Syamsul akan diberi hadiah umroh oleh keluarga Silvie namun dia menolaknya karena telah dipercaya sebagai pelaksana kegiatan Ramadhan di tempat dia tinggal. Seperti dalam kutipan berikut:

commit to user

“Ini Ustadz sebagai tanda terimakasih. Saya ingin memberikan hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini dibidang travel. Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan

akomodasi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini.” Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia teringat dengan

program Ramadhan untuk remaja masjid yang telah ia rancang bersama Pak Abbas. Ia tidak mau meninggalkannya. Dengan hati berat ia menjawab, “Bukannya saya menolak Bu. Sungguh saya ingin umroh.

Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab penuh mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan tempat saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa.” (DMC: 177)

Syamsul sebagai tokoh yang bertanggung jawab dan amanah, bisa tercermin pada alur peristiwa-peristiwa yang dilaluinya. Pada permulaan cerita Syamsul diceritakan ingin menjadi ahli agama yang tidak sesuai dengan keinginan keluarganya. Meskipun perjalanan menempuh itu banyak rintangan, namun Syamsul bisa membuktikannya dengan dia menjadi seorang mubalig terkenal. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

“Sejak Syamsul mengisi ceramah dengan sangat mengesankan di Masjid Baitul Makmur, Villa Gracia, namanya mulai banyak dibicarakan orang, terutama dikalangan ibu-ibu majelis taklim. Promosi dari mulut ke mulut membuat Syamsul nyaris kewalahan memenhui undangan yang terus berdatangan datang. Syamsul mulai laris sibuk ceramah di banyak tempat di daerah Parung dan sekitarnya. Kini, selain mengajar Della, aktif kuliah, dan mengisi ceramah, Syamsul juga memiliki jadwal rutin untuk syuting di studio sebu ah televisi swasta.” (DMC: 211)

2) Tokoh Protagonis Jika dilihat dari peran-peran dalam pengembangan plot, dapat dibedakan adanya protagonis. Di dalam novel Dalam Mihrab Cinta, tokoh protagonis ditampilkan secara dominan dan menampilkan banyak tokoh. Misalnya, Syamsul sebagai tokoh utama, Silvie tunangan samsul, dan Zizi putri Kiai Baejuri, atau adik Kiai Miftah.

commit to user

dilihat dalam penjelasan di atas dalam penjelasan tokoh utama, bagaimana Syamsul disebutkan sebagai tokoh utama yang bertanggung jawab, pintar, jujur, dan amanah. Sementara untuk Silvie dan Zizi kita akan bahas lebih pada yang disebut pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang kita harapkan.

Tokoh Zizi bisa dilihat pada penjelasan atau pemaparan Zizi seorang gadis cantik, santriwati, salehah, dan hafal Al Quran. Seperti kutipan berikut:

“... Yang sedikit menghiburnya adalah bahwa ia khatam menghafal Al Quran. Dan ia telah memenuhi permintaan ayahnya untuk hafal 30 juz dengan lancar. Ayahandanya bahkan sempat menghadiri saat ia diwisuda sebagai penghafal

Al Quran terbaik di Pesantren Manabi‟ul Qur‟an, Pakis Putih, Pekalongan.” (DMC: 3)

Pengejawantahan Zizi, sebagai tokoh yang terhormat, berwibawa, dan bermoral/ berakhlak mulia, bisa tergambar ketika Syamsul mendengarkan informasi mengenai anak-anak Kiai Baejuri dari lelaki tua penjual mie godog. Seperti dalam kutipan berikut:

“... Dan anak bungsunya adalah seorang gadis jelita, kembang desa ini. Tutur katanya halus dan manis mewarisi wibawa sang ayah. Dia baru saja hafal Al Quran tiga puluh juz di Pekalongan. Namanya Neng Zizi, nama lengkapnya Zidna

Ilma.” (DMC: 41)

Selanjutnya peran tokoh protagonis dalam novel ini adalah Silvie. Silvie diceritakan juga sebagai tokoh cantik, mahasiswa ekonomi, dan baik hati, sebagaimana peran tokoh protagonis pembawa nilai-nilai kebaikan. Seperti dalam kutipan berikut:

“Matahari tengah hari terasa panas menyengat. Seorang gadis cantik berjilbab hijau muda nampak canggung berjalan ke arah

Kopaja yang sedang berhenti. Gadis itu masuk ke dalam Kopaja. Syamsul tersenyum...”

commit to user

masjid. Ia banyak mendapatkan info yang berharga. Termasuk tentang penguni no. 19 jalan Flamboyan. Silvie ternyata mahasiswi jurusan ekonomi UI. Silvie anak tunggal. Ayahnya seorang pengusaha di bidang travel dan pariwisata...“ (DMC: 136)

3) Tokoh Antagonis Pengembangan tokoh antagonis dalam novel Dalam Mihrab Cinta , tidak dikembangakan secara menyeluruh. Hanya satu tokoh saja yang dibicarakan di sini, yaitu Burhan. Sementara yang lainnya hanya sekedar tokoh antagonis tambahan, yaitu dua orang pencopet yang ada di tahanan polsek Tugu, mereka tidak menjadi tokoh sentral dalam pengembangan cerita.

Sementara Burhan, merupakan tokoh antagonis yang membuat terjadinya konflik dan berperan sangat penting dalam mengembangkan alur cerita. Karakter Burhan yang antagonis bisa dilihat pada peristiwa ketika Burhan memfitnah Syamsul, kemudian ketika dia melakukan pencurian, dan memperlakukan Silvie dengan kasar ketika mau melamarnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Ti...tidak benar Pak Kiai!” “Teganya kau Bur...kau santri atau bajingan?! Dancok kau Bur!”

...... “Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya

tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan dompetnya ia berjanji akan mentraktir saya setelah mengantarnya pergi ke dokter Pak Kiai. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa saya jika saya berdusta!” ( DMC: 77-78) “Dengan tenang Burhan menjawab, “Penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saja saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa saya.” (DMC: 78)

commit to user

juga pada rangkaian peristiwa di pesantren dalam kutipan berikut ini.

“Malam itu ia tidur paling akhir. Semua temannya sudah tidur. Ia tahu Burhan pura-pura tidur. Ia letakkan batu akik ke dalam almarinya. Ia menguncinya dan meletakkan kunci di dalam lipatan kitab Fathul Wahhab. Ia lalu tidur. Bangun tidur ia tidak kaget ketika batu akiknya hilang. Perangkapnya berhasil. Diam-diam ia pergi ke kota, ke rental komputer. Ia melihat hasil rekamannya. Dan benar dugaannya; Burhan yang mencuri batu akiknya....sampai di pesantren, ia

langsung mencari Burhan dan menghajarnya.... “Dialah maling itu. Dialah penjahat yang sesungguhnya selama ini. Syamsul

yang kalian hakimi dan kalian hajar adalah korban fitnah bajingan tengik ini!”

Dituduh seperti itu Burhan tidak terima. Ia minta keadalian. Akhirnya sidang digelar. Ayub menjelaskan segala kecurigaannya. Termasuk sumpah Burhan yang menipu. Burhan masih mengelak. Akhirnya Ayub memutar hasil rekamannya. Burhan tidak bisa mengelak.” (DMC: 164-165)

Sementara peran antagonis yang dilakukan Burhan kembali pada peristiwa lamaran di rumah Silvie. Burhan telah menipu keluarga Pak Heru dan Silvie sebagai calon isterinya. Seperti dalam kutipan berikut:

“Inilah yang kami tunggu-tunggu.” Jawab Pak Heru tenang. Burhan mendengar hal itu dengan kebahagiaan yang sulit digambarkan.

Namun Pak Heru melanjutkan, “Sebenarnya saya dan keluarga ingin ke rumah Pak Anwar. Hanya saja ternyata kami

didahului.... Dengan segala kerendahan hati saya selaku ayah Silvie menyampaikan. Saya tidak bisa menerima lamaran Pak Anwar untuk Burhan. Karena satu dan lain hal yang semoga kita sama-sama bisa memakluminya. Mohon maaf jika keputusan ini kurang berkenan.”

Burhan dan keluarganya tersentak kaget bukan kepalang. “Hei maling, apa kau kira bisa menipu kami bahwa gundulmu itu karena umroh, bukan karena digunduli di pesantren!”

Kata-kata Silvie angat mengguncang Burhan. Ia tidak kuasa menahan amarahnya.

“Kurang ajar kau ! Berani menghina aku ya!” Dan.. plak!

commit to user

sungguh tidak diduga. Burhan kembali ingin menghajar Silvie. Namun Mas Budi yang jago karate itu dengan mudah melumpuhkannya. (DMC: 201-203)

4) Tokoh Sederhana dan Bulat Tokoh sederhana (flat character) merupakan dalam sebuah novel, secara bentuknya adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Perwatakan tokoh sederhana dapat dirumuskan hanya dengan sebuah kalimat atau bahkan sebuah frasa saja. Kerena secara sistematika alur, tokoh sederhana merupakan tokoh tambahan yang sifatnya tidak terlalu mengikat pada alur cerita.

Berbeda halnya dengan tokoh bulat (round character), tokoh ini merupakan tokoh komplek dan biasanya dimunculkan dengan kejutan-kejutan yang tak terduga. Tokoh ini memiliki dan diungkap dengan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya.

Tokoh sederhana dan tokoh bulat, bisa dilihat dari karakter tokoh yang ada di dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini. Tokoh sederhana bisa ditunjukkan oleh:

a) Ayub; dia seorang santri yang baik, pintar, rajin, dan penuh

karisma. Hal ini tampak pada kutipan berikut:

“Syamsul harus mengakui bahwa dirinya sangat kagum dengan Ayub. Pemuda asal Banjarmasin itu seperti kamus fikih

berjalan. Persoalan fikih apa saja yang ditanyakan padanya selalu ia jawab dengan rinci dan ia menunjukkan rujukan kitabnya bahkan halamannya. Ia seperti hafal belasan kitab fikih. Begitu juga jika ditanya tentang gramatikal Arab, maka santri yang satu ini akan langsung nyerocos menjelaskan panjang lebar.” (DMC: 53-54)

b) Pak Broto; dia seorang kaya yang dermawan dan murah hati. Kedermawanan Pak Broto tercermin pada kutipan berikut:

commit to user

“Kenapa Pak Broto mempercayakan uang ini kepada saya? Kenapa tidak Pak Broto sendiri yang membagikan kepada yang berhak? Apa Pak Broto tidak khawatir kalau uang ini s aya salah gunakan, saya tilep misalnya.” Sejak awal saya sudah sangat percaya kepada Ustadz Syamsul. Saya sangat yakin Ustadz adalah orang yang baik. Karenanya

saya percayakan uang ini pada Ustadz.” (DMC: 149-150)

c) Pak Heru; dia seorang yang kaya tapi pelit (diawal-awal cerita), kemudian setelah mengenal Syamsul dia berubah menjadi lebih dermawan (tidak pelit lagi). Hal tersebut tampak pada kutipan berikut:

“Pak Heru itu bisa dikatakan yang paling kaya di perumahan ini. Ia punya travel yang sudah punya cabang di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Cabang travel-nya juga ada di

Singapora, Malaysia, dan Arab Saudi.” Begitulah penjaga masjid itu menerangkan.

“Hanya saja Pak Heru sedikit pelit. Kalau membantu masjid sedikit. (DMC: 136)

Pak Heru memberikan hadiah tiket umrah sebagai wujud terimakasih kepada Ustadz Syamsul.

“Ini ustadz sebagai tanda terimakasih. Saya ingin memberikan hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini dibidang travel.

Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan akomod asi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini.” (DMC: 177)

Pada kutipan lain,

“Kenapa Pak Heru kok sekarang berubah sejak bertemu dengan Ustadz?” Kata penjaga masjid. “Berubah bagaimana?” “Berubah jadi lebih rendah hati. Lebih sering ke masjid. Dan sifat pelitnya berkuang.” (DMC: 196)

d) Pak Bambang; ayah Syamsul yang sifatnya keras dan pemarah. Gambaran sifat keras Pak Bambang tampak pada kutipan berikut:

Begitu melihat Syamsul, Pak Bambang langsung menarik kerah baju koko putra yang dulu sempat dibanggakannya itu. Kini ia merasa sangat malu dan marah.

commit to user

Pesantren Pak Bambang meluapkan amarahnya dengan menampar pipi Syamsul beberapa kali. “Anak tak tahu diri! Apa aku ini masih kurang memberimu uang saku? Kurang u ang tinggal minta, kenapa malah maling!” Hardik Pak Bambang. .... “Masih berani kurang ajar! Ayo pulang! Sekarang!” Pak Bambang langsung menarik tangan Syamsul dan menyeretnya meninggalkan ruangan itu. (DMC: 81-83)

Pada kutipan lain sebagai berikut:

“Apa tidak sebaiknya dibawa ke dokter untuk diobatkan Bu. Kasihan Mas Syamsul.” Kata Nadia. Pak Bambang langsung menyahut garang. “Kita tidak perlu kasihan sama maling. Biar dia rasakan akibat kejahatannya!” (DMC: 90)

e) Petugas keamanan pesantren (santri) yang tegas dan galak. Gambaran mengenai sifat petugas keamanan tampak pada kutipan berikut:

“Hai maling! Diam di tempat!” Ia kaget bukan kepalang. Dari tempat ditumpuknya koper dan

kardus muncul dua orang berseragam hitam. Ia langsung tahu keduanya dari bagian keamanan. Dua orang itu langsung meloncat dengan cepat dan sigap. Seorang diantara mereka langsung melayangkan pukulan ke Syamsul.

“Ternyata kau malingnya! Dasar santri gadungan!” ....

“Tolong dengarkan dulu penjelasan saya. Saya mengambil dompet ini bukan mencuri! Saya...!” Sebuah pukulan keras mengenai mulutnya. Perih sekali rasanya. Dua orang santri bagian keamanan itu tidak memberinya kesempatan berbicara sama sekali. Keduanya yang memang jago silat langsung menghajar Syamsul tanpa ampun. (DMC: 70-71)

Sedangkan tokoh bulat bisa ditunjukkan oleh tokoh berikut:

a) Syamsul; dia merupakan tokoh yang diduga-duga, dengan hanya berbekal mesantren cuma satu tahun dan dengan kondisi perjalanan yang bisa dikatakan buruk tetapi berubah menjadi baik. Dia bisa mengubah karakter hidupnya dengan menjadi guru private,

commit to user

keluarga dan lingkungannya. Seperti dalam kutipan berikut:

Sejak Syamsul mengisi ceramah dengan sangat mengesankan di Masjid Baitul Makmur, Villa Gracia, namanya mulai banyak dibicarakan orang, terutama dikalangan ibu-ibu majelis taklim. Promosi dari mulut ke mulut membuat Syamsul nyaris kewelahan memenuhi undangan yang terus berdatangan datang. Syamsul mulai laris sibuk ceramah di banyak tempat di daerah Parung dan sekitarnya. Kini, selain mengajar Della, aktif kuliah, dan mengisi ceramah, Syamsul juga memiliki jadwal rutin untuk syuting di studio sebuah televisi swasta. (DMC: 211)

Pada kutipan lain adalah sebagai berikut:

“Syamsul diajak naik mobil sedan Camry. Sejurus kemudian sedan itu sudah meluncur di jalan raya menuju Masjid Al-

Firdaus Jagakarsa, dimana tabligh akbar diadakan. Sampai di Masjid, jamaah tabligh akbar telah menyemut. Jumlahnya lebih dari tiga ribu orang. Syamsul dibawa ke dekat mimbar. Begitu duduk orang-orang menyalaminya. Tak lama kemudian ia dipersilahkan untuk menyampaikan pengajian.” (DMC: 213)

b) Burhan; sebagaimana dengan Syamsul, Burhan merupakan tokoh yang tidak diduga-duga juga. Dia penipu, penebar fitnah, dan berwatak buruk. Hal ini tampak pada kutipan berikut:

“Tidak bisa Pak! Tidak bisa menolak tanpa alasan. Tolong jelaskan! Atau jangan-jangan saya tidak diterima karena Silvie

sudah tidak layak bagi saya!” Tukas Burhan. “Ya sekarang kan zaman edan. Bisa saja tho Silvie sudah hamil dengan pria lain misalnya?”

Jawaban Burhan itu membuat emosi Silvie tak tertahankan. “Tutup mulutmu bajingan! Aku sudah tahu siapa kamu? Kau

tak lebih dari sampah busuk! Dikeluarkan dari pesantren karena mencuri dan memfitnah orang! Dipenjara karena melukai orang. Penipu ulung, mana modal empat puluh juta yang kau pinjam untuk toko bukumu itu? Toko buku fiktif. ....

“Kurang ajar kau ! Berani menghina aku ya!” Dan.. plak!

commit to user

sungguh tidak diduga. Burhan kembali ingin menghajar Silvie. Namun Mas Budi yang jago karate itu dengan mudah melumpuhkannya.” (DMC: 202-203)

Pada kutipan lain tampak jelas Burhan sebagai penebar fitnah yang ditujukan kepada Syamsul, sebagai berikut:

“Dan jika memang benar seperti itu. Saya bisa memastikan Syamsul adalah korban fitnah. Burhanlah yang merekayasa

memfitnah Syamsul. Yang perlu diketahui adalah apakah ada pihak lain yang terlibat. Terus motifnya apa?” (DMC: 96)

5) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Di dalam novel Dalam Mihrab Cinta, pengembangan tokoh secara keseluruhan sangat beragam. Kalau berbicara masalah tokoh statis dan tokoh berkembang tidak terlalu berbeda baik secara jumlah tokoh ataupun secara tipikal tokoh. Tokoh statis misalnya bisa dilihat dari penokohan Zizi, Silvie, Burhan, dan Kiai Miftah. Sementara tokoh berkembang hanya bisa dilihat dalam penokohan Syamsul saja. Dalam hal ini, Syamsul lebih signifikan dalam perubahan tokohnya. Meskipun yang lain pun ada tetapi tidak terlalu signifikan.

Tokoh Zizi dan Silvie misalnya, dari hampir keseluruhan cerita; selalu digambarkan sosok perempuan yang cantik, baik hati, ramah, pintar. Sementara Kiai Miftah selalu digambarkan seorang sosok yang berwibawa sebagaimana layaknya seorang tokoh masyarakat.

Di samping itu, tokoh Syamsul merupakan tokoh yang paling signifikan dalam perubahan. Bisa dilihat dari perubahan alur yang sangat signifikan berubah. Dari mulai yang datar sampai pada titik klimaks, tokoh Syamsul sangat berperan. Selain dari penggambaran tokoh lewat bentukan sifat, tetapi tokoh ini secara gambaran perubahan fisik pun digambarkan dengan jelas.

Misalnya di awal cerita penggambaran fisik Syamsul digambarkan bertubuh jangkung, kurus, dan gondrong. Sementara di

commit to user

Syamsul digambarkan dengan sosok yang tampan, berwibawa, dan penuh kharisma. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:

“Syamsul diajak naik mobil sedan Camry. Sejurus kemudian sedan itu sudah meluncur di jalan raya menuju Masjid Al- Firdaus Jagakarsa, dimana tabligh akbar diadakan. Sampai di Masjid, jamaah tabligh akbar telah menyemut. Jumlahnya lebih dari tiga ribu orang. Syamsul dibawa ke dekat mimbar. Begitu duduk orang-orang menyalaminya. Tak lama kemudian ia dipersilahkan untuk menyampaikan pengajian. Dengan tenang dan suara yang tertata serta intonasi yang terjaga ia menyampaikan kalimat demi kalimat yang menyejukkan jiwa. Syamsul menyampaikan keutamaan kalimat thayyibah dan bagaimana dahulu Rasulullah Saw. mendapat

ringan saat

mendakwahkannya.” (DMC: 213)

b. Alur/ Plot

Dalam novel Dalam Mihrab Cinta, pola alur yang dikembangkan sangat beragam. Secara garis besar dalam pembentukan alurnya lebih bersifat linear namun ada beberapa peristiwa kecil yang menjadikan pola alur berubah, misalnya, dengan memakai pola alur bawahan. Alur ini merupakan alur tambahan yang disisipkan di sela-sela bagian alur utama sebagai variasi dan merupakan lakuan tersendiri, tetapi yang masih ada hubungannya dengan alur utama yang kadang-kadang dengan maksud untuk menimbulkan titik kontra terhadap alur utama dan kadang-kadang sejalan dengan alur utama itu.

Pola alur dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, bisa diskemakan sebagai berikut: cerita diawali dengan penggunaan alur bawahan, yaitu diawali dengan cerita seorang gadis cantik berjilbab yang sedang berada di stasiun kereta. Dia sedang dirundung kesedihan karena ayahandanya Kiai Baejuri pengasuh Pondok Pesantren Al Furqon, Pugu, Kediri meninggal dunia. Gadis cantik itu adalah salah seorang santri di Pesantren Manabi‟ul Qur‟an, Pakis Putih, Pekalongan. Gadis itu menaiki kereta jurusan Kediri.

commit to user

disayangi itu. Dalam alur itu terdapat suspense bagi pembaca. Pembaca seolah- olah diajak pada rasa hanyut atau kesedihan si gadis. Pembuka cerita itu akhirnya membawa pada pertemuannya dengan tokoh lain yang menjadikan peristiwa-peristiwa berikutnya hadir dan mengalir dengan berbagai konflik-konflik yang menarik.

Kemudian pola alur berpindah pada seorang tokoh lain, yaitu seorang pemuda gondrong yang sedang menentukan jalan hidupnya. Alur ini bisa dikatakan dengan alur utama, yaitu suatu peristiwa perjalanan tokoh utama (pemuda gondrong), yaitu Syamsul mulai dari dirinya mengambil sikap untuk pergi nyantri ke Kediri sampai dirinya menjadi ulama besar. Peristiwa itu diawali ketika Syamsul memutuskan untuk pergi nyantri ke Kediri, yang keputusannya itu bertentangan dengan keinginan keluarganya. Keluarganya menginginkan Syamsul menjadi seorang pengusaha sesuai dengan garis keturunan keluarganya sebagai pengusaha batik. Namun Syamsul memutuskan, ia ingin berbeda dengan keluarganya terutama dengan kedua kakaknya. Karena itulah meskipun ayahnya tidak setuju dengan keputusan Syamsul, ia tetap nekat melangkahkan kakinya menentukan takdirnya sendiri. Penggalan peristiwa itu dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Saat ia mengutarakan niatnya ke pesantren, ayah dan kedua kakaknya terang-terangan tidak setuju. Tetapi ibu dan adik

perempuan satu-satunya mendukungnya. “Ke pesantren? Mau jadi santri gudig?” Sinis kakak sulungnya. “Kalau cuma santri gudig mending, hla kalau nanti jadi teroris bagaimana?” Sengit kakak keduanya.

“Kalian ini kok berpikiran buruk seperti itu. Ibumu ini dulu juga pernah nyantri di Kaliwungu Kendal, pernah hidup di pesantren lho. Apa kalian melihat ibumu ini seperti yang kalian katakan itu? Gudigen atau teroris? Kalau adikmu ini mau ke pesantren malah bagus. Di antara anggota keluarga ini nanti ada yang benar-benar

ngerti agama.”

commit to user

menentukan jalannya. Bersama restu ibu ia takkan ragu melangkah....” (DMC: 13)

Syamsul pergi ke Kediri menggunakan kereta dari stasiun Pekalongan. Di dalam kereta dia satu kursi dengan seorang gadis cantik yang tiada lain yang sedang bersedih itu. Di dalam kereta ini Syamsul bertemu dengan gadis itu dengan tidak disengaja, ketika dia menolong gadis itu dari seorang jambret yang mencoba merampas tas merahnya. Kemudian di sana terjadi perkelahian antara Syamsul yang mencoba menolong gadis itu dari ancaman pisau si maling yang mengancam leher gadis itu. Perkelahian pun terjadi yang pada akhirnya Syamsul bisa menyelamatkan gadis itu meski tangannya harus terkena pisau si maling. Gadis itu merasa cemas ketika melihat darah bercucuran di telapak tangan Syamsul. Kemudian gadis itu berusaha menolongnya.

Di antara mereka terjadi perbincangan, gadis itu mengucapkan rasa terimakasihnya dan menanyakan perihal tujuan Syamsul mengenai keberangkatannya. Syamsul menceritakan keinginannya untuk pergi nyantri ke Kediri yang di sisi lain dia pun tidak tahu harus pergi ke pesantren mana yang haris ia tuju. Kemudian gadis itu menyarankan pada Syamsul untuk pergi ke empat pesantren yang ada di Kediri, yaitu ke Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Al Falah Ploso, Pesantren Al Ihsan Semen, dan ke Pesantren Al Furqan, Pagu. Seperti dalam kutipan berikut:

“Maaf sebenarnya tujuan Mas ke mana?” Tanya gadis itu sambil memandang sekilas ke arah pemuda itu.

“Saya mau ke Kediri, Mbak. Mau nyantri.” Mendengar jawaban itu, gadis itu agak takjub. Ia tidak menyangka bahwa pemuda yang penampilannya gondrong dan terkesan sangar itu ternyata mau belajar ke pesantren.

“Subhnallah. Saya juga santriwati, Mas. Saya nyantri di Pesantren Tahfidh Manabiul Quran, Pakis Putih, Pekalongan. .....

“E..kenapa memilih mencari pesantren di Kediri?” Tanya gadis itu memberanikan diri untuk memecah kebekuan.

commit to user

“Saya disarankan oleh imam masjid agung kota Pekalongan. Saya manut saja. Kata imam itu banyak pesantren besar dan bagus di Kediri. Saya disuruh keliling dan memilih sendiri. Saya tidak tahu

nanti plih yang mana?” “O, jadi belum punya tujuan pasti?” “Sudah. Tujuan pasti sudah ada, yaitu belajar di pesantren. Yang belum jelas pesantren yang mana. Apa Mbak punya referensi untuk

saya?” “Ya di Kediri kota dan kabupaten banyak pesantren bagus. Tapi

kalau boleh saran coba kunjungilah empat pesantren ini. Pertama Pesantren Lirboyo Kediri, kedua Pesantren Al Falah Ploso, ketiga Pesantren Al Ihsan Semen, dan keempat pesantren Al Furqan, Pagu.” (DMC: 20-22)

Lebih lanjut alur cerita ini dapat dijelaskan sebagai berikut (alur ini merupakan alur yang membawa pada alur-alur konflik tokoh utama, baik itu konflik fisik maupun konflik batin)

Setelah di Kediri, Syamsul berkunjung ke pesantren-pesantren yang disarankan oleh gadis yang bertemu di kereta itu. Dia berkunjung ke Pesantren Lirboyo, Al Falah Ploso, dan Al Ihsan Semen. Dia sangat mengagumi ketiga pesantren tersebut, hanya saja dia belum bisa memutuskan untuk tinggal di salah satu pesantren tadi berhubung masih merasa belum cocok dengan sistem pengajaran di tiga pesantren besar tersebut.

Akhirnya dia pergi ke Pugu, Kediri. Tujuannya adalah Pesantren Al Furqan. Di sana, Syamsul bertemu dengan pengurus pesantren. Dia menceritakan keinginannya untuk mondok, dan dia ingin diizinkan melakukan percepatan belajarnya.

“Begini, saya ini katakanlah masih nol. Maka begitu masuk saya masuk kelas kitab Mabadi‟ul Fiqhiyyah. Kelas paling besar.

Nahwunya ya Jurumiyyah. Katakanlah saya belajar sendiri kepada para senior di luar jam resmi. Akhirnya dalam waktu tiga bulan saya bisa menguasai seluruh materi kelas itu, saya minta ijin untuk melompat ke kelas atasnya. Begitu bagaimana? Sebab jika saya harus ikut waktu yang ditentukan, maka untuk sampai kelas Ihya‟ Ulumuddin saya umur berapa?” Jelas Syamsul secara terbuka. (DMC: 37)

commit to user

(Zaim) merasa tidak setuju dengan keinginan Syamsul. Tetapi Zaim memutuskan untuk pergi bermusyawarah dengan pemimpin pondok pesantren Kiai Miftah.

Sambil menunggu keputusan dari pihak pesantren, Syamsul pergi jalan-jalan mengelilingi pesantren. Syamsul pergi ke sebuah warung mie godog, dari penjual mie godog itu Syamsul mendapatkan informasi yang banyak mengenai pesantren ini. Termasuk Zidna Ilma salah seorang putri bungsu Kiai Baejuri yang sudah meninggal dunia itu. Syamsul bertanya- tanya merasa yakin bahwa Zidna Ilma yang dikatakan oleh penjual mie godog itu adalah perempuan yang ditolongnya di kereta.

Tanpa disengaja ketika Syamsul sedang berjalan di sebuah perkampungan pinggir pesantren, dia bertemu seorang perempuan. Dan memang benar perempuan itu adalah Zidna Ilma alias Zizi. Mereka berbincang-bincang, dan Zizi menanyakan seputar pilihan Syamsul untuk mondok di mana? Syamsul menjelaskan keinginannya untuk mondok di pesantren Al Furqan namun sedang menunggu keputusan dari Kiai Miftah seputar keinginan Syamsul mengenai sistem pendidikannya.

Keinginan Syamsul untuk mondok di pesantren itu akhirnya terpenuhi. Pihak pesantren akhirnya mengizinkan Syamsul untuk melompat ke kelas berikutnya seandainya Syamsul bisa memenuhi persyaratan, yaitu menguasai seluruh mata pelajaran. Syamsul resmi menjadi santri di Pondok Al Furqan, dia sangat giat belajar untuk mengejar ketertinggalannya. Setiap waktu dia belajar dan belajar, siang malam terus belajar. Dan ia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, kitab dasar Jurumiyyah telah dikuasainya. Kemudian kitab kuning, Safinatun Najah , Fathul Qarib, dan Matan Alfiyah.

Kemajuan Syamsul mengenai perekembangan belajarnya sampai ke telinga Zizi. Zizi mengetahuinya dari Aisyah salah seorang adik perempuan Ayub teman sekamar sekaligus gurunya Syamsul. Zizi merasa senang dengan perkembangan Syamsul. Namun, diam-diam

commit to user

adalah Burhan, teman sekamar Syamsul, Burhan diam-diam tahu cerita tentang Syamsul yang kenal dengan Zizi. Burhan merasa cemburu ketika tahu cerita perkenalan Zizi dengan Syamsul. Dengan kecemburuannya itu, akhirnya Burhan membuat fitnah pada Syamsul sampai Syamsul dikeluarkan dari pesantren.

Alur yang dapat diskemakan sebagai berikut: Syamsul mendapatkan fitnah dari seluruh santri Al Furqan, dia

dituduh mencuri. Sudah hampir seminggu pesantren itu banyak santri yang merasa kehilangan uang, sehingga pihak pesantren dan keamanan membuat siasat untuk menangkap malingnya. Suatu ketika Syamsul izin keluar kelas. Dia ada janji menemui Burhan untuk berobat. Syamsul keluar meninggalkan kelas dan menemui Burhan. Keduanya berjalan meninggalkan pesantren tetapi tiba-tiba Burhan merasa kaget karena dompetnya ketinggalan. Burhan menyuruh Syamsul untuk mengambil dompetnya.

“Ada apa Bur?” Tanya Syamsul. “Aduh dompetku.” Jawab Burhan. “Dompetmu kenapa?” “Dompetku ketinggalan di kamar. Bagaimana ini?” “Kau ambil saja sebentar. Aku tunggu di sini.” “Aduh Sul. Bisa nggak minta tolong kau ambilkan. Aku ada urusan sedikit dengan orang di depan sana itu. Dia sudah menunggu. Rembukan mobil yang akan carter ke kota. Tolong Sul.” “Mmm...baiklah, kau letakkan di mana dompetmu?” “Di dalam lemariku Sul. Di antara tumpukan baju. Kalau tidak ada maka mungkin ada di saku jaket biru tua. Kau tahu kan?” “Iya. Tunggu ya!” (DMC: 69-70)

Syamsul pergi mengambil dompetnya Burhan ke kamarnya. Dia merogoh lemari Burhan, mengambil dompetnya. Namun apa yang didapatnya. Petugas keamanan yang memang sedang mengintip setiap kamar melihat Syamsul mengambil dompet yang bukan dari lemarinya. Akhirnya.

commit to user

“Hai maling! Diam di tempat!” “Ternyata kau malingnya! Dasar santri gadungan!” ..... Tolong dengarkan dulu penjelasan saya. Saya mengambil dompet ini bukan mencuri! Saya...!” (DMC: 70-71)

Syamsul mendapat perlakuan yang semena-mena. Petugas keamanan memukulinya tanpa mendengarkan penjelasan dari Syamsul terlebih dahulu. Akhirnya, Syamsul diseret ke sebuah gudang. Para santri tidak menyangka kalau Syamsullah yang mencuri. Menjelang ashar, Kiai Miftah datang, Kiai itu menanyakan nama dan perbuatannya. Syamsul tetap tidak mengakui kalau dia adalah maling. Dia bersikukuh bahwa dia disuruh oleh Burhan untuk mengambil dompetnya. Kemudian Burhan dipanggil untuk membuktikan. Namun apa yang diterima Syamsul, Burhan tidak merasa kalau dia menyuruh Syamsul mengambil dompetnya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut:

“Benarkah kau membuka lemari Burhan?” Tanya Pak Kiai pelan. “Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri.” “Lantas untuk apa?!!” Bentak Ketua bagian keamanan garang. “Karena saya diminta untuk mengambilkan dompet oleh Burhan Pak Kiai.” Jawab Syamsul. .....

“Panggil Burhan kemari!” Pinta Pak Kiai. “Baik Pak Kiai.” (DMC: 75-76)

Burhan datang dengan wajah pucat. Dia sama sekali tidak memandang Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan. Kiai miftah memanggil Burhan dan beliau meminta supaya Burhan berkata dengan jujur. Burhan mendekat. Namun Syamsul merasa kaget ketika mendengar penjelasan Burhan; bahwa dia tidak merasa menyuruh mengambilkan dompetnya. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Ti..tidak benar Pak Kiai!” “Teganya kau Bur...kau santri atau bajingan?! Dancok kau Bur!”

.....

commit to user

“Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan dompetnya ia berjanji akan mentraktir saya setelah mengantarnya pergi ke dokter Pak Kiai. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa

saya jika saya berdusta!” (DMC: 77-78)

Mendengar sumpah dari Syamsul, Kiai Miftah merasa kaget. Kiai Miftah menyuruh Burhan juga untuk bersumpah, karena Syasmul sudah berani bersumpah. Burhan bersumpah dihadapan Kiai Miftah. Seperti pada kutipan berikut:

Dengan tenang Burhan menjawab, “Penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saja saya katakan benar. Jika saya

berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa saya.” (DMC: 78)

Atas dasar sumpah Burhan itu, akhirnya Syamsul dikatakan bersalah oleh Pondok Pesantren. Syamsul diberi hukuman dikeluarkan dari pondok, dan kepalanya digunduli. Syamsul tidak menerima perlakuan seperti itu, dia sangat sakit hati. Orang tua Syamsul datang menjemput. Pak Bambang, orang tua Syamsul merasa geram. Dia memarahi Syamsul habis-habisan. Syamsul masih belum bisa menerima. Sebelum dia dibawa pulang oleh keluarganya, Syamsul berucap:

“Pak Kiai, Panjenengan belum melakukan tabayun yang sesungguhny a pada saya.” Ia lalu memandangi wajah pengurus pesantren yang ada di ruangan itu satu per satu, “Kalian memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena. Ini

kezaliman! Suatu saat kalian akan tahu siapa sebenarnya rayap itu. Saya tak akan memaafkan dosa Pak Kiai dan dosa kalian sebelum kalian mencium kaki saya.” (DMC:82-83)

Kiai Miftah merasa ragu atas keputusannya. Dia kelihatan shock. Ia khawatir, jangan-jangan kebijaksanaannya sama sekali tidak bijaksana, atau malah sama sekali salah. Dalam hati Kiai Miftah meminta ampun kepada Allah, jika ternyata keputusannya salah.

commit to user

Konflik terjadi karena Syamsul difitnah mencuri oleh Burhan dan pihak Pesantren. Terasa terjadi keterjalinan yang sangat utuh dalam alur ini. Tidak ada ruang yang longgar dalam alur ini, peristiwa demi peristiwa sangat padat dibuat, dan terkesan tidak membosankan. Selanjutnya, sebagaimana dikutip di atas, bagian akhir dari konflik ini merupakan peristiwa yang sangat menarik. Kita dibawa pada suatu ruang untuk bertanya-tanya kembali. Ketika Syamsul berani mengata-ngatai Kiai Miftah bahwa Kiai itu belum melakukan tabayun dengan sebenar- benarnya.

Peristiwa atau alur selanjutnya dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, diawali dari Zizi yang merasa tidak percaya dengan kejadian yang terjadi di Pesantrennya. Zizi pulang dari Pekalongan ke Kediri, dia bertanya pada Ayub kakaknya Aisyah seputar kejadian pencurian itu, kemudian bertanya langsung pada kakaknya. Zizi mendapatkan keterangan yang lebih jelas dari Ayub. Ayub menceritakan kejadian yang sesungguhnya, Zizi mendengarkan dan merasakan ada kejanggalan dalam kejadian ini. Seperti dalam kutipan berikut:

“Cobalah Mas Ayub perhatikan baik-baik. Saat Burhan diminta bersumpah dia tidak langsung bersumpah. Dia mengawali dulu

dengan kalimat, „Penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai.‟ Barulah dia bersumpah dengan bahasa yang licik. Dia tidak dengan tegas mengatakan, „Demi

Allah saya bersumpah tidak menyuruh Syamsul mengambil dompet atau uang saya‟ tetapi dia mengatakan, „saya bersumpah bahwa apa

yang baru saja saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa saya.‟ Coba perhatikan dengan

seksama saat mengucapkan sumpah itu, dalam hati Burhan mengatakan yang dimaksud dengan kata- kata „bahwa yang baru saja saya katakan benar‟ adalah perkataan „penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya‟ bukan yang lain. Jadi Burhan bersumpah dengan bahasa semantik yang licik untuk mengelabuhi kalian. Mendengar kronologis dan redaksi cerita Mas Ayub itu. Dan jika memang benar seperti itu. Saya bisa memastikan Syamsul adalah korban fitnah. Burhanlah yang merekayasa memfinah Syamsul. Yang perlu diketahui adalah

commit to user

95-96)

Dalam alur di atas, ada peristiwa kilas balik pola alurnya. Alur ini menunjukkan bahwa pengulangan (refrain) peristiwa merupakan salah satu teknik penceritaan yang baik. Dengan itu, pembaca akan diajak berperan dalam memerankan emosinya. Peristiwa yang sudah terjadi seakan-akan menjadi hidup kembali dan akan merujuk pada klimaks pada peristiwa berikutnya.

Sementara konflik terjadi pada diri Syamsul, dalam hal ini konflik batin yang sedang dialaminya. Dia tidak menerima dirinya dikatakan sebagai pencuri. Di sisi lain keluarganya sudah tidak menganggapnya lagi sebagai keluarga. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa peristiwa berikutnya alur kembali menjadi longgar namun disertai dengan teknik penokohan yang baik, yaitu pemaparan Syamsul yang sedang mengalami tekanan batin.

Tanpa sepengetahuan keluarganya, Syamsul pergi meninggalkan rumahnya. Dia pergi ke Semarang mau menggantungkan hidupnya. Namun naas di sana dia terlunta-lunta. Karena keadaannya yang kelaparan, Syamsul mencoba mencopet seseorang, namun Syamsul tertangkap basah dan dia babak belur dihajar masa sampai-sampai dia digelandang ke kantor polisi. Syamsul resmi menjadi penghuni tahanan Polsek Tugu, Semarang. Syamsul mendekam di kamar dengan dua orang pencopet.

Berita ditangkapnya Syamsul terdengar oleh keluarga Pak Bambang, orang tua Syamsul, mereka sangat geram mendengar berita itu. Berita itu pun sampai pada pihak Pondok Pesantren, para santri dan pengurus pun sama mereka merasa kesal dengan tindakan Syamsul. Namun dari kejadian itu masih ada tiga yang belum percaya dengan berita itu. Mereka adalah ibunya Syamsul, Nadia adiknya, dan Zizi yang sedang berada di Pekalongan.

Nadia akhirnya pergi ke Semarang membuktikan perihal berita tersebut. Nadia sangat kaget dan terpukul kenapa apa yang diberitakan

commit to user

untuk menebusnya. Pada akhirnya Syamsul keluar dengan uang tebusan, dan pergi meninggalkan Nadia ke Jakarta.

Alur berikutnya kembali longgar, seakan-akan memberi awalan penceritaan kembali, namun alur ini akan memberi jalinan yang kuat dari alur-alur sebelumnya. Jika diskemakan alurnya menjadi sebagai berikut:

Syamsul datang ke Jakarta, dia akan memulai hidup baru. Dia berjalan mencari masjid, dia berharap dia bisa dapat tempat tinggal sambil mencari pekerjaan. Namun apa yang diharapkannya tak kunjung dapat. Sampai dia bertemu dengan seseorang yang baik hatinya, dia adalah Abas. Abas menawarkan kontrakan, sambil memberi saran pada Syamsul untuk mencari kerja.

Syamsul menerima tawaran itu, dia mengontrak di kawasan itu dengan mencicil. Setiap hari Syamsul mencari pekerjaan namun dia tak kunjung dapat. Sampai karena kebutuhannya yang mendesak dia nekat mengamalkan ilmu mencopetnya yang dia pelajari ketika mendekam di tahanan polsek Tugu, Semarang.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, walhasil dia berhasil dalam pekerjaan mencopetnya. Dia bisa membayar cicilan kontrakannya dan kehidupannya. Meskipun dia merasa terus dihantui oleh rasa bersalah. Sampai pada suatu ketika Syamsul mencopet seorang gadis. Dia melihat dompetnya ada foto seorang perempuan dengan lelaki di sampingnya. Syamsul merasa terkejut karena lelaki itu adalah Burhan yang telah memfitnahnya mencuri di pesantren.

Peristiwa di atas, merupakan peristiwa yang tidak logis dan bersifat kebetulan atau bisa disebut dengan dues ex machine, yaitu penggunaan cara-cara yang tampak dipaksakan sehingga kurang masuk akal, rendah kadar plausibilitasnya. Konsep ini merupakan konsep menghubungkan berbagai kejadian yang akan diceritakan ke dalam karya, artinya mencapai tingkat koherensi, adakalanya tidak mudah. Namun penulis novel ini,

commit to user

untuk mencapai titik klimaks. Diperiksanya kembali dompet perempuan itu, Syamsul menemukan kartu identitas. Dia mendapatkan alamatnya, dia berencana pergi ke rumahnya, dia menganggap bahwa perempuan itu tidak cocok dengan Burhan yang kelakuannya tidak baik itu. Syamsul pergi ke alamat yang dituju, perempuan yang ada di foto itu tinggal di Villa Gracia, Parung bagian Timur.

Sebelum dia masuk ke komplek itu, dia memakai kopiah terlebih dahulu supaya penyamarannya tidak diketahui. Walhasil satpam yang memberhentikan di pintu gerbang menganggap dia sebagai ustadz. Malahan satpam tersebut menganggap bahwa Syamsul adalah calon guru ngajinya anak Pak Broto, Della.

Di sini, unsur ketaksengajaan (dues ex machine) digunakan kembali, peristiwa-peristiwa seperti serba kebetulan. Hal ini bisa ditunjukkan pada keluarga Pak Broto yang memang sedang mencari guru ngaji. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Mau kemana Pak Ustadz? Ke rumah siapa?” tanya satpam itu. “Mm. Saya mau ke Flamboyan 17.” Jawabnya mantap. Sengaja ia

tidak bilang Flamboyan 19. Ia teringat pada nasihat napi berkumis teba l, “Jangan pernah mengatakan sasaran kita sebenarnya kepada siapaun saat observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab pertanyaan.” “O mau ke rumah Pak Broto ya. Jadi si kecil Dela itu sudah mau

ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat Ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya cari guru ngaji.” Kata satpam itu

ramah. “Iya. Alhamdulillah. Nanti kalau dengar ada yang mencari guru ngaji bisa bilang saya ya.” Ia tersenyum. (DMC: 131-132)

Syamsul masuk ke komplek tersebut, dilihatnya rumah-rumah yang ada di situ. Dia menuju rumah Pak Broto dan diterima sebagai guru ngajinya Della anak Pak Broto. Syamsul mulai menata hidup baru. Pekerjaan mencopetnya dia tinggalkan. Dia resmi menjadi seorang guru

commit to user

dikeluarkan. Di rumah Pak Broto itu, Syamsul bertemu dengan perempuan cantik yang ada di foto itu. Dia adalah Silvie, anak Pak Heru yang juga mengajar Della kursus matematika. Dari pertemuan itu keduanya saling mengenal satu sama lain. Syamsul menjadi ustadz yang disenangi di sana. Lambat laun Syamsul menjadi seorang mubaligh terkenal, penuh simpatik disenangi oleh masyarakat termasuk Silvie yang diam-diam menaruh rasa cinta terhadap Syamsul.

Alur selanjutnya, terjadi konflik yang hebat ketika Silvie menolak lamaran Burhan. Keluarga Pak Heru yang sudah mengetahui sifat bejatnya Burhan menolak lamaran Burhan bersama keluarganya. Pak Heru mengetahui dari dompet Silvie yang dicurinya, bahwa Burhan adalah calon suaminya Silvie. Namun, Syamsul menceritakan sifat Burhan yang sebenarnya kepada Pak Heru, akhirnya konflik pun terjadi antara Silvie dan Burhan ketika Burhan hendak melamar dirinya.

Hubungan plot ini tidak ada hubungan sebab akibat yang mencolok karena konflik terjadi karena keberadaan Syamsul. Peristiwa yang terjadi hampir semuanya dari ketidaksengajaan. Unsur ketidaksengajaan ini bagi penulis merupakan alur plot yang tidak termasuk pada hubungan sebab akibat yang relevan.

Di dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, plot selalu berjalan secara lurus. Alur selanjutnya, pada titik klimaks yang dialami oleh tokoh utama, Syamsul. Setelah Silvie menolak lamaran Burhan, Silvie sangat mengagumi Syamsul. Hal itu dirasakan oleh kedua orang tua Silvie, akhirnya keluarga Silvie berniat melamar Syamsul.

Keluarga Silvie datang ke rumah Syamsul yang kebetulan ibunya Syamsul sedang berada di rumahnya karena sudah mengetahui bahwa Syamsul sudah menjadi mubaligh dan belum pernah bertemu.

Keluarga Silvie datang menyampaikan maksud lamarannya itu, Syamsul merasa terkejut dengan lamaran tersebut. Syamsul memutuskan

commit to user

bersama Kiai Miftah untuk meminta maaf atas apa yang terjadi di pesantren dulu, mendengar lamaran itu, Zizi yang diam-diam mengagumi Syamsul merasa terpukul.

Konflik batin masih digambarkan dalam alur ini, konflik yang terjadi pada Syamsul yang secara tiba-tiba dilamar oleh Silvie dan konflik pada Zizi yang merasa terganggu dengan lamaran Silvie terhadap Syamsul.

Pada suatu saat Syamsul dan ibunya pergi ke rumah keluarga Silvie. Dia diterima dengan gembira oleh keluarga Pak Heru itu. Syamsul dan ibunya berniat menjawab dari lamaran Silvie. Pada intinya, Syamsul menerima lamaran itu, persiapan pernikahan pun dibicarakan langsung. Syamsul dan Silvie merasa bahagia dengan rencana pernikahannya, di tengah kebahgiaannya itu, suatu hari Silvie berencana pergi ke Bogor mau mengantarkan undangan. Di tengah perjalanan Silvie kecelakaan dan tak bisa tertolong. Mendengar bahwa Silvie kecelakaan dan meninggal, Syamsul merasa terpukul.

Deskripsi itu merupakan awal pada pengembangan klimaks yang sesungguhnya. Pengarang sangat apik dalam mengembangkan klimaks ini, pertama kebahagiaan dimunculkan lalu seolah-olah dijatuhkan dengan kesedihan yang begitu mendalam.

Dengan kejadian itu, kejiwaan Syamsul terganggu. Dari hari ke hari Syamsul tidak bersemangat kembali. Kegiatannya ceramah ditinggalkannya begitu saja. Keluarga Syamsul membawanya kembali pulang ke Pekalongan. Keadaannya semakin memprihatinkan. Ibunya dan adiknya terus memotivasi Syamsul dengan berbagai cara. Tidak hanya keluarga Syamsul yang memberi semangat padanya, melainkan Zizi yang mengetahui itu pun selalu datang ke rumahnya memberi motivasi.

Lambat laun motivasi yang dilakukan oleh ibunya dan adiknya Nadia mulai berhasil. Syamsul mulai bisa makan, mulai ngobrol dan mulai terlihat bersemangat untuk menata hidupnya kembali. Sudah bisa

commit to user

sedang membaca koran di teras rumahnya, tiba-tiba ada yang datang. Yang datang tiada lain adalah Zizi. Zizi ingin bertemu sama Syamsul, dia mau meminta Syamsul memberi ceramah di pesantren Manabiul Quran. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:

Bu Bambang memanggil Nadia dan memintanya untuk membuat minum. Nadia mendekat dan bertanya kepada Zizi, “ Yang dingin atau panas, Mbak?” “Tak usah repot-repot, Nad, saya tidak lama. Saya Cuma mau ketemu Syamsul, amu minta tolong.”

“Dingin saja ya biar segar?” “Boleh.” “Mau minta tolong aku?” Tanya Syamsul mengernyit bingung. “Iya, Mas Syamsul. Begini, kebetulan Manabi‟ul Quran

Pekalongan ini, selalu mengadakan ceramah bulanan. Nah, aku ingin kamu yang mengisi ceramah bulan ini, pasti para santriwati akan senang karena selama ini mereka hanya bisa melihat kamu di tivi. Ini aku membawa proposalnya.” Zizi memperlihatkan proposalnya pada Syamsul. “tapi aku...”

Zizi memotong, “Temanya bebas, yang penting ada muatan motivasinya. Pengganti uang transportnya ada, tapi tak sebesar honor di televisi.” “Bukan itu persoalannya,” Syamsul mendesah menarik nafas, “Apa aku masih bisa ceramah...”

Mendengar ucapan Syamsul itu Bu Bambang langsung berkata, “Masih, Sul. Kau pasti masih bisa ceramah. Hanya saja sejak

kehilangan Silvie kamu tak pernah mau lagi mencobanya. Kamu malah menenggelamkan diri dalam kesedihan. Sul, kamu ini Ustadz, apa kamu ndak kasihan melihat pemirsamu yang kehilangan sentuhan ruhani setiap Subuh di televisi? Kamu ini sebelumnya seorang da‟i, ingat itu Sul!” “Tapi...” Syamsul mau berbicara tapi kembali dipotong Zizi, “Mas Syamsul, aku yakin sekali kau bisa. Kau jangan terus mau

dirantai oleh setan. Yang membuatmu lemah begini ini adalah setan. Setan dan tentaranya tidak suka pada manusia yang berjuang di jalan Allah.... Tapi baiklah aku tidak memaksa. Proposal ini aku tinggal saja di sisni. Kalau kau bersedia, tolong telepon pesantren Manabi‟ul Qur‟an. Nomor teleponnya ada di situ.” (DMC: 263-

264)

commit to user

terbelenggu dengan setan yang telah membelenggu selama ini, yang membawanya larut dari kesedihan. Syamsul menerima permintaan Zizi berceramah di pesantrennya. Hasilnya memuaskan, Syamsul masih bisa berceramah dengan baik, para santri yang hadir merasa puas mendengar ceramah-ceramahnya.

Peristiwa itu diberitakan oleh Zizi pada kakaknya Kiai Miftah. Kiai Miftah berkunjung ke rumahnya bersama Zizi. Kiai Miftah merasa senang melihat Syamsul bisa aktif kembali berceramah. Syamsul merasa dirinya tidak pantas. Di sela pembicaraan itu, Kiai Miftah pun menawarkan Zizi pada Syamsul untuk bersanding. Syamsul merasa tersanjung dan keluarganya begitu antusias. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:

“Kiai Miftah tersenyum, dan kembali berkata, “Jadi kedatanganku memiliki dua misi, Sul. Memintamu ceramah di pesantrenku, dan

yang terutama, meminangmu untuk adikku.” (DMC: 268)

Lima hari dari pertemuan itu, Syamsul datang ke pondok pesantren Al Furqan bersama keluarganya. Dia disambut oleh keluarga Kiai Miftah dan Zizi, termasuk para santri yang ada di situ. Syamsul menejelaskan kedatangannya pada Kiai Miftah, Syamsul hendak memberi ceramah di pesantren itu dan akan melamar Zizi menjadi isterinya.

“Pak Kiai, rasanya tak ada alasan saya menolak tawaran baik Pak Kiai. Sekarang saya datang membawa dua misi, Pak Kiai. Pertama,

saya siap memberi ceramah di Al Furqan, dan misi terpenting lainnya adalah dengan mengucap bismillah saya siap menjadi suami Zidna Ilma, mohon doanya agar kami menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah.”

Zizi ingin menangis mendengar apa yang diucapkan Syamsul. Pak Kiai dan isterinya, Pak Bambang dan Bu Bambang tersenyum lega. Syamsul kemudian menengok memandang Zizi atau Zidna Ilma. “Kalau boleh tahu, apa Zidna Ilma punya syarat-syarat yang harus saya penuhi sebelum melangsungkan akad nikah nanti ?” Dengan terbata- bata dan tubuh bergetar Zizi berkata, “Saya tak punya syarat apa- apa.” (DMC: 270)

commit to user

melainkan alur berjalan secara statis sebagaimana hakikatnya sebuah alur. Alur yang dibangun dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, menggunakan alur maju atau awal-tengah-akhir. Cerita berjalan begitu lurus, adapun ada pemenggalan cerita baru namun cerita itu merupakan kesejajaran dari cerita cerita sebelumnya tidak bersifat mundur atau flash back.

c. Latar/ Setting

Ruang lingkup sebuah karya fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia yang dibangun oleh si pengarang. Unsur-unsur pembangun, seperti tokoh dan peristiwa diciptakan oleh si pengarang. Sesuatu yang dianggap penting dalam pembuatan dunia fiksi adalah faktor latar. Latar adalah faktor pengusung sebuah peristiwa.

Dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, faktor yang sangat menarik untuk disimak. Faktor latar yang berkembang dalam novel ini terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Adapun analisis ketiga bentuk latar tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1) Latar Tempat Latar tempat pada hakikatnya merupakan lokasi peristiwa berlangsung. Lokasi yang dimaksud bisa saja nama tempat atau sebuah ruang misalnya di dalam kendaraan, rumah, stasiun, penjara, gedung, dan lain-lain. Hal tersebut untuk menunjukkan kejelasan keberlangsungan peristiwa itu terjadi.

a) Latar tempat berupa stasiun kereta Penggunaan latar tempat dalam novel ini salah satunya menggunakan latar tempat berupa stasiun. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut:

“Becak itu memasuki halaman Stasiun Pekalongan. Bangunannya nampak sudah tua. Tidak berubah sejak

dibuat oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Gadis itu turun dan menyerahkan uang beberapa ribu kepada tukang

commit to user

memasuki stasiun. Matahari tenggelam perlahan di ufuk barat. Azan maghrib berkumandang saat gadis itu mendapat tiket dan berjalan menuju kereta yang sudah siap di jalur satu. Dengan mata tetap berkaca-kaca ia memasuki gerbong empat. Lalu mencari-cari tempat duduk seperti yang tertera di karcisnya. Sampai di deret kursi nomor 8 ia berhenti. Ia letakkan tas tentengnya yang berwarna merah kekuningan di tempat bagasi. Ia duduk di kursi 8 C. Setelah duduk ia menarik nafas dan kembali menangis. Wajah cantiknya tidak bisa menutupi kesedihannya. Ia berusaha menahan tangisnya agar tidak terdengar oleh penumpang di sekitarnya. Ia menangisi kematian orang yang sangat dicintainya. Yaitu ayahandanya yang sangat menyayanginya.” (DMC: 1-2)

Kutipan di atas merupakan peristiwa yang menunjukkan latar tempat yang sangat detail sekali, di samping faktor waktu yang menunjukkan kesedihan itu. Hal itu bisa dilihat pada, pendeskripsian stasiun dari mulai pembelian karcis sampai nomor tempat si tokoh duduk. Artinya relevansi latar tempat dengan keadaan geografis tempat tersebut sangat signifikan sekali.

b) Latar tempat berupa pesantren Latar tempat berupa pesantren sebagaimana tujuan kedua tokoh seperti yang dipaparkan di atas. Peristiwa itu bisa ditunjukkan pada peristiwa Zizi ketika tiba di rumah duka, Pondok Pesantren Al Furqan kepunyaan ayahandanya, yang meninggal itu. Penggambaran latar itu bisa dilihat pada kutipan berikut:

“Komplek Pesantren Al Furan, Pagu, Kediri sesak oleh puluhan ribu orang yang ingin menshalati dan begitu

khidmad dan khusyuk. Tidak ada orang yang tertawa atau bercanda. Semua menghayati kepergiaan ulama besar itu sebagai bentuk kehilangan sesuatu yang berharga yang tidak mudah ditemukan gantinya. Wafatnya ulama adalah thilangnya sebagian ilmu yang diperlukan oleh masyarakat.” (DMC: 25)

commit to user

Selanjutnya latar berpindah ke rumah Syamsul. Latar ini digunakan setelah Syamsul diusir dari pesantren karena difitnah mencuri.

“Syamsul berharap bahwa keluarganya akan lebih mepercayai penjelasannya ketimbang keputusan pengurus pesantren yang salah. Ia menceritakan kronologis peristiwanya sampai ia dihakimi seluruh pondok. Ia menegaskan bahwa ia terkena fitnah. Ia tidak pernah mencuri di pesantren. Namun penjelasannya itu tidak bisa diterima oleh seluruh anggota keluarganya. Ayahnya malah bertambah marah. Kedua kakak dan ibunya juga lebih

percaya pada keputusan pengurus pesantren.” (DMC: 90)

d) Latar tempat berupa nama kota Semarang menjadi latar tempat berikutnya. Karena seluruh keluarganya tidak mempercayai atas kejadian di pesantren itu, akhirnya Syamsul memutuskan minggat dari rumahnya. Semarang menjadi tempat tujuannya.

“Sudah satu minggu Syamsul pergi dari rumah. Ia mengelana di kota Semarang. Tidur dari masjid ke masjid. Makan seadanya. Dengan berbekal ijasah SMA ia mencoba melamar pekerjaan dari kantor ke kantor, pabrik ke pabrik mensyaratkan ada keterangan surat kelakuan baik dari

kelurahan.” (DMC: 103)

Selain kota Semarang, kota Jakarta (tepatnya terminal lebak bulus) juga menjadi latar tempat dalam novel ini.

“Bus itu sampai di terminal Lebak Bulus, tepat saat azan subuh selesai dikumandangkan. Para penumpang bangun dari tidurnya dan turun membawa barangnya masing- masing. Syamsul turun dari bus. Sebelum ia bertanya lagi pada kernet bus,

“Ini Lebak Bulus ya Mas?” “Iya. Ini Lebak Bulus.” Jawab kernet itu.

Syamsul sudah tahu bahwa ia sampai di Lebak Bulus. Ia bertanya untuk mengusir keraguan kakinya melangkah. Ia baru pertama kalinya ke Jakarta. Ia sama sekali belum

commit to user

Dewata saat perpisahan kelas tiga SMA.” (DMC: 119)

Tidak ketinggalan kota Parung pun menjadi latar tempat dalam novel ini. Kota Parung merupakan tempat tinggal/ rumah kontrakan ketika Syamsul datang ke Jakarta. Hal ini tergambar jelas dalam kutipan berikut:

“Jadilah ia menyewa rumah petak itu. Sejak hari itu ia tinggal di sebuah perkampungan yang berhimpitan dengan perumahan yang terletak di kawasan Parung Barat. Tidak begitu jauh dari Ciputar dan Lebak bulus, Jakarta Selatan.” (DMC: 124)

e) Latar tempat berupa penjara Di kota Semarang pula membawa Syamsul pindah latar ke sebuah penjara. Karena ketika di Semarang tokoh Syamsul melakukan perbuatan pencurian dan perbuatannnya itu diketahui orang, dia tertangkap dan dijebloskan ke penjara Polsek Semarang Tugu.

“Sejak tertangkap itu Syamsul mendekam di penjara Polsek Semarang Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapidana

yang tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua narapidana itu mengajaknya untuk bergabung dalam komplotannya. Ia pura-pura mengiyakan, sebab ia takut jadi bulan-bulanan mereka. Ia diberi tahu trik-trik mencuri rumah orang kaya.” (DMC: 108)

2) Latar Waktu Adapun latar waktu yang menunjukkan petanda seperti pagi, siang, malam, sore, waktu subuh, waktu ashar, waktu maghrib, bulan Suci Ramadhan, dan bulan Syawal diungkap dalam novel ini. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut:

Pagi itu selesai shalat subuh, Syamsul i‟tikaf di masjid pesantren seperti biasa. Ia gunakan waktunya untuk ngaji Al- Quran pada Ustadz Abdul Manaf... (DMC: 60)

commit to user

“Bus itu sampai di terminal Lebak Bulus, tepat saat azan subuh selesai dikumandangkan. Para penumpang bangun dari

tidurnya dan turun membawa barangnya masing-masing. Syamsul turun dari bus.... (DMC: 119)

Dari kedua kutipan di atas jelas sekali bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu subuh atau pagi hari. Dalam novel ini, bulan Ramadhan merupakan latar waktu yang digunakan pengarang dalam mengembangkan ceritanya. Hal ini tampak pada kutipan berikut:

Ramadhan tiba. Kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh bahagia. Ayat-ayat Al-Quran berkumandang di mana-mana. Syamsul bertambah sibuk dengan jadwal kegiatannya: kuliah, mendampingi remaja masjid, menjadi imam terawih, mengajar ngaji, ceramah di sana-sini, dan shooting di televisi. (DMC: 216)

Sedangkan pada kutipan lainnya sebagai berikut: Tanggal 8 Ramadhan ia menelepon Nadia adiknya. Ia meminta

untuk menonton ceramah pagi di Edu TV jam lima pagi. “Jangan sampai tidak nonton ya Nad. Mas ikut dalam pengajian itu. Jangan lupa beritahu ayah dan ibu.” Kata

Syamsul ditelepon. Ia sengaja tidak mengatakan dirinya yang memberi ceramah, sebab ia ingin membuat suprise keluarganya. (DMC: 217) ..... Pada tanggal 25 Ramadhan, ketika semua urusan, dan tugas Syamsul di Jakarta dan sekitarnya selesai, ia pulang kampung bersama ibunya. Ia bahagia luar biasa ketika bisa kembali ke rumah tempat ia dilahirkan. (DMC: 243)

Dari kedua kutipan di atas tampak jelas bahwa latar waktu bulan Ramadhan dijadikan sebagai salah satu latar waktu yang digunakan oleh pengarang dalam menyusun cerita.

Di samping bulan Ramadhan, bulan Syawal juga dijadikan sebagai latar waktu dalam mengembangkan alur cerita dalam novel, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut.

commit to user

Kaum Muslimin yang berbahagia Syawwal itu artinya nail, meningkat. Dalam Al Mu’jam Al Asasi dijelaskan, Syalal miizan artinya timbangan naik. Masuk 1 Syawal ini, marilah kita niatkan untuk meningkatkan segala kebaikan yang telah kita capai di tahun-tahun yang telah lewat, khususnya yang telah kita capai pada bulan Ramadhan kemarin. Kita jadikan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1427 H ini sebagai momentum untuk menaikan derajat kita di mata Allah…. (DMC: 245)

3) Latar Sosial Latar sosial dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, secara umum menggambarkan latar sosial masyarakat jawa. Bisa dilihat dari latar tempat yang dipakai dalam hampir keseluruhan cerita, yaitu Pekalongan, Kediri, Semarang. Sementara latar tempat Jakarta menjadi pengembangan dari keberadaan latar sosial selanjutnya.

Penggambaran latar sosial dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, sangat apik dikembangkan pengarangnya. Misalnya penggambaran local color yang digambarkan oleh keluarga Syamsul. Syamsul merupakan anak dari keluarga Pak Bambang, seorang pengusaha batik. Secara realitas Pekalongan merupakan sebuah kota penghasil batik terbesar di Jawa. Hal ini menjadi penting untuk digambarkan karena akan mengusung pada pola alur yang akan dikembangkan.

“Keputusan sudah bulat. Ia ingin berbeda dengan kedua kakaknya. Kedua kakaknya memang cemerlang. Masih sangat muda, tetapi keduanya sudah memiliki pabrik konveksi batik sendiri. Ayahnya selalu menyanjung kedua kakaknya sebagai pengusaha muda yang sangat berbakat. Ia juga ingin sukses, tetapi ia tidak mau sama dengan ayahnya, kakeknya dan kedua kakaknya yang semuanya sukses sebagai

pedagang batik. Ia ingin sukses di jalur yang berbeda.” (DMC: 6)

commit to user

Pekalongan yang notabene bermatapencaharian sebagai pengrajin batik. Dengan menggambarkan unsur sosial ini, cerita lebih menjadi tipikal dan lebih fungsional. Kesan yang timbul menjadi lebih menarik karena kebiasaan masyarakat sebagai pengusaha batik menjadi kontradiktif dengan keinginan tokoh Syamsul yang ingin nyantri dan bertentangan dengan keinginan keluarganya sebagai pengusaha batik.

Kemudian, di samping kota Pekalongan gambaran latar sosial dapat dilihat dari latar tempat Kediri. Karena novel ini berbicara tentang religiusitas, Kediri digambarkan sebagai kota pesantren atau kota santri. Sehingga tokoh Syamsul pun dimunculkan untuk pergi ke Kediri. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pesantren-pesantren besar yang ada di kota itu. Ada penggambaran empat pesantren besar yang dimunculkan dalam alur novel ini. Seperti pada kutipan berikut:

“Tiga pesantren besar telah ia kunjungi. Pesantren Lirboyo, Al Falah Ploso dan Al Inayah Semen. Ia mengagumi ketiga-

tiuganya. Ia merasa bias krasan di tiga pesantren itu.” (DMC: 35)

Kenudian latar sosial berpindah di kota Semarang. Semarang dilukiskan sebagai kota besar yang secara kultur masyarakat berbanding terbalik dengan kota Pekalongan dan Kediri. Semarang dilukiskan sebagai kota besar, modern, dan terkesan individualistis. Gambaran yang dimaksud bisa dilihat pada tokoh Syamsul yang setelah difitnah dan diusir dari pesantren dia pergi ke Semarang menempuh jalan hidupnya.

Latar sosial selanjutnya adalah Jakarta. Berbeda dengan latar sosial sebelumnya yang diawali latar tempat Pekalongan, Kediri, dan Semarang yang menggambarkan latar sosial Jawa pada umumnya. Namun, latar sosial Jakarta dalam novel ini terlihat lebih komplek. Sebagaimana halnya Semarang, Jakarta digambarkan sebagai kota yang keras. Tidak mudah mendapat kesempatan untuk meraih

commit to user

menginjakkan kakinya di kota itu. Seperti dalam kutipan berikut:

“Ia melihat café bagus di pinggir jalan Parung yang asri. Café itu baru saja buka. Beberapa pegawainya nampak sibuk membersihkan meja. Syamsul masuk dan menemui manajer café itu. Ia menyampaikan maksudnya untuk bias kerja di situ.

“Seandainya saya ditempatkan di bagian yang cuci-cuci piring tidak apa- apa Pak, saya siap.” Kata Syamsul menjelaskan

kesiapannya untuk bekerja di situ. Manajer café itu dengan halus menjelaskan bahwa café itu tidak memerlukan tenaga baru.” “Ia melihat sebuuah restaurant yang khusus menjual ayam

goreng. Ia memasuki restauran itu dan mengajukan diri untuk bias bekerja di situ. Restauran itu menolaknya. Ia kembali meneruskan pengembaraannya mencari pekerjaan. Ia melihat pabrik, seketika itu juga ia melamar kerja ke pabrik itu dan tidak diterima. Ia melamar ke tempat cucian mobil. Ia siap bekerja sebagai tukang cuci mobil. Ia juga ditolak. Ia mencoba masuk ke sebuah bengkel mobil. Ia melamar. Manajer bengkel meminta ijazah STM. Ia tidak punya. Hasilnya sudah jelas. Hari itu satu hari penuh ia berjalan melamar pekerjaan dan hasilnya nihil.” (DMC: 125-126)

Gambaran realitas sosial Jakarta berikutnya bisa dilihat juga pada gambaran tokoh Syamsul yang kembali menjadi copet. Namun sekarang ia sudah mahir, karena sudah mendapat ilmu mencopetnya pada si kumis tebal ketika di penjara di semarang. Realitas Jakarta ditunjukkan sebagai kota yang metropolitan, individualitas. Latar sosial Jakarta membuat tokoh Syamsul secara psikologis menjadi nekat kembali.

“Akhirnya ia berkata pada diri sendiri, “Aku harus nekat. Minta belas kasihan orang itu mental pecundang. Hidup di

IbuKota memang keras. Tapi aku tidak boleh mati kelaparan.” Ia lalu teringat pesan penjahat berkumis yang ia temui saat dipenjara di Polsek Tugu Semarang, “Dengarkan baik-baik Bur. Kalau mau jadi penjahat sukses kamu harus punya mental dan berani nekat!” (DMC128)

commit to user

digambarkan oleh pengarang sebagai realitas sosial yang baik, ramah. Gambaran itu bias dilihat dari tokoh Abbas, yang menerima Syamsul dengan baik. Abbas memberikannya Syamsul kontrakan tanpa harus tinggal di masjid. Kemudian ketika Syamsul sedang menyamar, dia berpakaian seperti ustadz. Dia disambut hangat oleh satpam dan keluarga Pak Broto yang kebetulan lagi mencari guru ngaji.

“Ia terbangun ketika azan ashar dikumandangkan. Ia mengambil air wudhu. Mendirikan shalat sunnah lalu ikut

shalat berjamaah. Selesai shalat berjamaah ia menemui poengurus mesjid itu. Ia mengutarakan niatnya, dan menceritakan kesulitannya mencari mesjid yang bisa ditinggalinya. Takmir mesjid itu malah menyarankan agar dia mengontrak rumah saja. “Adik kan bisa mencari kerja. Tidak harus tinggal dimasjid. Adik cari saja kontrakan di dekat masjid ini. Kalau kami perlu bantuan kami bisa panggil adik. Kalau tinggal di masjid tidak bisa. Kamarnya Cuma satu dan sudah ditempati Pak Ali, imam masjid ini, bersama isteri dan anaknya. Gimana dik? Nanti saya bantu cari yang murah. Oh ya siapa tadi nama Adik?” “Nama saya Syamsul pak, lengkapnya Syamsul hadi.” “Ya jadi begitu saran saya Dik Syamsul. Adik akan lebih mandiri. Oh ya nama saya Abbas. Panggil saya pak Abbas. Kebetulan saya ketua RT 2 di kawasan ini. Dalam kebetulan adsa rumah petak kosong yang dikontrakkan. Saya diamanahi untuk mengurusnya (DMC: 123)

Petikan latar sosial yang lain bisa ditunjukan oleh tokoh Broto. Tokoh Broto ini digambarkan seseorang yang kaya raya tinggal di komplek yang bisa dikatakan elit, orangnya baik hati.

“Oh pak Ustadz. Mau ketemu siapa?” Tanya anak muda itu. “Pak Broto ada?” “Ada. Sialhkan masuk pak Ustadz.” Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki gemuk bersarung dan berbaju koko keluar. “Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya pak ustadz?” Pak

Broto merasa kenal. “Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto. Begini

Pak Broto langsung saja, ada yang memberi tahu saya katanya

commit to user

betul?” Ujar Syamsul dengan tenang. “Benar pak Ustadz. Sudah ada seorang guru ngaji yang datang

tadi pagi tapi saya tidak cocok, sebab dia tidak ada background pesantrennya. Saya ingin guru ngaji yang pernah belajar di p esantren.” (DMC: 133)

Latar sosial yang lain dapat digambarkan oleh karakter Burhan. Meskipun dia seorang santri, tapi dia datang dari Jakarta yang terkesan modern. Jadi, secara sosial Burhan berbeda dengan santri- santri yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa latar tempat yang disajikan dalam novel ini menandakan bahwa setiap perwakilan nama kota menjadi pembeda latar sosial dari setiap tokoh.

Burhan digambarkan menyampaikan latar sosial yang arogan, suka memilih-milih teman.

“…hampir semua teman satu kamarnya mendukung dan memotivasi. Hanya burhan saja yang masih Nampak mengacuhkan dirinya. Burhan seperti menjaga jarak dengannya. Ia sempat menanyakan hal itu pada Ayub. Dijawab, bahwa Burhan memang begitu, tidak perlu dirisaukan. Dari teman-temannya ia tahu bahwa Burhan anak seorang pengusaha kaya dari Jakarta. Dalam beberapa hal memang Burhan Nampak angkuh. Ia pilih-pilih teman. Hanya orang-orang yang ia anggap penting dan ia anggap dsari golongan sepadan dengan dirinya yang ia akrab, selain itu, ia Nampa k cuek.” (DMC: 52)

Selanjutnya penggambaran masyarakat sosial Jawa dalam novel ini, bisa dilihat dari bahasa yang dipakai dalam disetiap dialog. Ada beberapa bahasa Jawa yang digunakan dalam dialog antar tokoh. Hal menunjukkan bahwa sifat bahasa juga menjadi salah satu unsur penguatan dalam mengembangkan latar sosial novel Dalam Mihrab Cinta ini.

Unsur lokal (bahasa) menjadi prestise untuk menciptakan kesan bahwa masyarakat Jawa masih memegang ketradisian dalam konteks budaya dalam hal ini penggunaan bahasa Jawa.

commit to user

“Ke pesantren? Mau jadi santri gudig?” Sinis kakak sulungnya. “Kalau cuma santri gudig mending hla kalau nanti jadi teroris bagaimana?” Sengit kakak keduanya.” (DMC: 13)

Kutipan yang lain bisa dilihat ketika Syamsul berada di penjara.

“Napi yang muda langsung menukas, “Benjote yo podo…larane yo poho…!” (DMC: 13)

Selanjutnya, ketika Zizi mempersoalkan masalah Syamsul yang sudah difitnah mencuri oleh santri termasuk keputusan kakaknya, Kiai Miftah yang menurut Zizi kurang berkenan.

“Kangmas, suatu hari kebenaran itu pasti akan jelas. Becik ketitik olo kethoro ! Sebaiknya Kangmas ingat baik-baik apa

yang dikatakan Syamsul ketika dia dizalimi.” (DMC: 89)

Unsur lokal (bahasa) juga tampak jelas ketika Ayub berpura- pura membaca doa dan mengusap-usap akik merah delimanya.

“Hei ari-arine Neng Nur Fadhilah merene. Aku wis nunggu sliramu!” Kata Ayub setengah berisik. Ia yakin Burhan mendengarnya. (DMC: 161)

Kalimat-kalimat atau kata yang dipakai dalam bahasa Jawa di atas jelas sekali menunjukkan prestise bahasa yang mengacu pada identitas sosial masyarakatnya. Bahasa Jawa dalam konteks dialog di atas, menunjukkan bahwa bahasa itu berada pada letak yang terstatus tinggi bahasa sehingga Jawa sangat penting untuk ditonjolkan dalam sebuah dialog.

d. Sudut Pandang

Berdasarkan analisis alur, latar, penokohan dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, pencerita mempergunakan sudut pandang persona ketiga “Dia” jenis mahatahu dengan menggunakan dua penamaan. Sudut pandang

persona ketiga yang pertama, menggunakan nama tokoh utama, yaitu

commit to user

beberapa peristiwa Syamsul diganti menjadi “Ia” sebagai pencerita.

Dari sudut pandang mahatahu ini, pola penceritaan menjadi lebih jelas sebab tidak ada batasan cerita yang dipenggal. Artinya cerita dikisahkan sesuai dengan keterlibatan si tokoh utama tersebut. “Dia” mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi.

Matahari merendah di ujung langit. Sinarnya memerah. Perlahan- lahan bola matahari itu seperti mencium bumi. Sebuah becak itu menyusuri jalan Gajahmada. Penumoangnya seorang gadis berjilbab biru muda. Gadis itu menundukkan muka. Kedua matanya berkaca-kaca. Sesekali ia mengusap airmatanya yang meleleh dengan sapu tangannya. Rasa sedih terus menyesak di dalam dadanya. Becak itu memasuki halaman Stasiun Pekalongan. Bangunannya nampak sudah tua. Tidak berubah sejak dibuat oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Gadis itu turun dan menyerahkan uang beberapa ribu kepada tukang becak. Ia lalu melangkah membawa barang bawaannya memasuki stasiun. (DMC: 1)

Dari deskripsi di atas terlihat bagaimana si pencerita menceritakan peristiwa itu dengan sangat detail sekali. Pencerita mengetahui keadaan geografis sebuah stasiun, bisa menggambarkan kesan perasaan si tokoh perempuan, serta menggambarkan fisik si tokoh dengan jelas pula.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sudut pandang persona ketiga dalam novel ini adalah Syamsul hal itu bisa dilihat pada kutipan berikut:

Sementara itu Syamsul sudah di Pesantren Lirboyo. Syamsul menemui muka-muka yang sedih. Ia mendatangi kantor pengurus dan diterima dengan muka sedih. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, Syamsul diantar seorang pengurus ke sebuah kamar yang banyak dihuni santri dari daerah Pekalongan dan Batang. Syamsul bertanya pada salah seorang santri kenapa semua orang di pesantren ini nampak bersdih hati... (DMC: 27-28)

commit to user

Si pencerita sebagai persona ketiga mahatahu, mengetahui dengan seksama keadaan Zizi anak Kiai Baejuri yang baru saja meninggal.

Siang itu setelah jenazah Kiai Baejuri dimakamkan, Zizi menghempaskan tubuhnya ke kamarnya. Ia merasa letih dan mengantuk. Tetapi rasa sedih lantaran ditinggal ayahandanya tidak bisa hilang begitu saja. Kedua mata Zizi terpejam, namun air matanya terus meleleh begitu saja. Kenangan-kenangan indah bersama ayahandanya berkelebat-kelebat begitu saja. Tiba-tiba ia ingat, ayahnya pernah memberikan sepucuk surat untuknya. Ya, ia ingat satu tahun yang lalu ayahnya memberikan surat itu. Tepatnya satu hari sebelum ayahnya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ketiga. “Nduk, simpanlah surat ini. Bacalah jika abah sudah meninggal nanti. Jangan kau baca keti ka abah masih hidup.” Begitu pesan ayahnya. (DMC: 29-30)

Kutipan di atas begitu sangat menggambarkan si pencerita mengetahui kejadian di luar kejadian yang dilakukan oleh tokoh utama. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa hal ini untuk menumbuhkan kesan supaya pembaca begitu larut ketika mengetahui peristiwa-peristiwa yang disajikan.

Selanjutnya, pembahasan mengenai sudut pandang ini ada ketidakkonsistenan pengarang

dalam

penggunaan personanya. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, sudut pandang dalam novel ini diwakili oleh tokohnya „Syamsul‟, namun di dalam Bab 5 dari novel ini, awal cerita, persona Syamsul diganti dengan „Ia‟.

Ia masih terus bertanya-tanya, apakah karena Zizi, ia diterima di pesantren Al Furqan dan usulannya mengenai sistem pengajaran yang memungkinkan baginya melakukan percepatan diterima? Ataukah memang murni hasil musyawarah antara Kiai Miftah dengan pengurus pesantren. Ia ingin bertanya kepada Zaim, tetapi ia malu. Justru kalau ia bertanya, Zaim akan balik bertanya bagaimana ia bisa kenal Zizi dan seterusnya. Urusannya malah bisa jadi panjang. (DMC: 49)

commit to user

pengarang dalam membuat sudut pandang. Kutipan itu bisa membingungkan karena persona “Ia” menjadi tidak jelas, ia merujuk ke

mana. Kepada tokoh utamakah sebagai si pencerita atau tokoh lain yang sedang membuat cerita baru? Meskipun kalau dirunut dari peristiwa dari novel ini persona „Ia‟ pada awal cerita ini merujuk pada tokoh Syamsul.

e. Tema

Adapun tema yang terkandung dalam novel ini adalah berbicara tentang perjalanan hidup dan lika-liku kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang. Hal ini terjadi pada tokoh Syamsul.

Pertama ketika dia harus bertolak belakang dengan keinginan orang tuanya. Syamsul berkeinginan tidak melanjutkan kuliah setelah tamat SMA, setelah berbagai pertimbangan dia memutuskan pergi nyantri ke Kediri. Sementara keinginannya itu harus berbenturan dengan keinginan keluarganya yang berkeinginan kuliah dan menjadi pengusaha batik. Namun Syamsul, memutuskan untuk pergi nyantri. Syamsul pergi ke Kediri dan mondok di Pesantren Al Furqan.

Syamsul menjadi santri yang baik, namun diperjalanan dia difitnah oleh santri yang lain, yaitu Burhan. Burhan merasa cemburu pada Syamsul, karena diam-diam Zizi mengagumi perkembangan Syamsul di pesantren itu. Burhan yang terbakar api cemburu, membuat siasat untuk memfitnah Syamsul. Syamsul dituduh mencuri uang miliknya. Yang akhirnya dia diusir dari pesantren. Selanjutnya dia memutuskan pergi ke Semarang untuk mencoba memulai kehidupan baru karena keluarganya sudah tidak menerimanya. Karena berbagai hal, Semarang yang tidak mendukung perjalanan hidupnya akhirnya dia menjadi maling dan tertangkap, kemudian dipenjara. Setelah keluar dari penjara, Syamsul nekat pergi ke Jakarta. Dia bertahan hidup di Jakarta dan menjadi seorang guru ngaji.

commit to user

fokus terhadap profesinya sebagai ustadz. Setelah menjadi ustadz, dia sangat dikagumi oleh masyarakat di sana karena sikapnya yang ramah. Di Jakarta dia bertemu dengan Silvie, mahasiswa ekonomi UI. Kian hari Syamsul menjadi sorotan masyarakat karena Syamsul menjadi lambat laun sudah menjadi seorang mubaligh. Diam-diam Silvie terkena musibah dia meninggal karena kecelakaan.

Peristiwa itu membuat Syamsul merasa terpukul. Syamsul yang masih mnerasa kehilangan Silvie, dia menjadi tidak karuan. Dia tidak mau memberi ceramah kembali sementara masyarakat masih menginginkan dia berceramah. Hari demi hari Syamsul merasa tersiksa dengan ditinggalkan oleh calon isterinya itu. Lambat laun ibunya, Nadia, membujuk Syamsul untuk bangkit kembali. Kiai Miftah pun berusaha membujuk Syamsul untuk memberikan ceramah di pesantrennya.

Dari motivasi-motivasi yang diberikan oleh keluarganya dan sahabat-sahabatnya serta guru-gurunya, akhirnya Syamsul kembali bangkit. Dia mulai berceramah. Sampai akhir dia berceramah di pesantren yang dulu dia telah difitnah.

f. Amanat Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Di dalam novel ini amanat yang dipergunakan adalah secara implisit, yaitu pengarang mengemukakan pesannya secara tidak langsung.

Amanat yang terdapat dalam novel Dalam Mihrab Cinta adalah jangan pernah menilai orang dari luarnya saja dan jangan pernah menghakimi seseorang dengan semena-mena. Harusnya diselidiki terlebih dahulu apakah orang itu benar-benar bersalah atau tidak. Dan sebagai orang tua, harusnya bisa lebih percaya dengan anaknya sendiri. Selain itu, dalam novel ini mengingatkan kita akan pentingnya kita dalam mengingat Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan apapun dan dimanapun. Dengan

commit to user

nantinya.