PENGARUH SELISIH INFLASI, SELISIH SUKU BUNGA DAN NERACA PERDAGANGAN TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH (PERIODE 2000:I – 2011:II)

Oleh: MAS FARYANSYAH NIM. F0108085 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mencoba untuk terus memperbaiki dirinya. (Imam Ghozali)

There is no secret to success. It’s the result of preparation, hard work, and learning from mistakes made along the way. (Collin Powell)

“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun” (Bung Karno)

Semangat, Usaha, Berdoa dan Keyakinan yang Kuat akan Menghancurkan Segala Halangan untuk Meraih Apa yang Kita Impikan. (Penulis)

Alhamdulillah, dengan Penuh Perjuangan dan Penuh Rasa Syukur Akhirnya Karya Kecil Ini Berhasil Penulis Selesaikan

Skripsi ini penulis persembahkan untuk :

 Ibuk  Almarhum Bapak di Surga  Kakak - kakakku  Sahabat, teman and for U “My Spirit”  Almamaterku UNS

Assalamu’alaikkum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan

rahmat, dan karunia-Nya, sehingga dengan kemampuan yang ada, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “PENGARUH SELISIH

INFLASI, SELISIH SUKU BUNGA, DAN NERACA PERDAGANGAN TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH (PERIODE 2000:I – 2011:II)”.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan serta kerjasama yang baik dari berbagai pihak tidak bisa mewujudkan skripsi ini. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Siti Aisyah Tri Rahayu, M.Si, selaku pembimbing yang telah meminjamkan jurnal dan buku, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini, semoga Allah SWT membalasnya dan memberikan kemuliaan kepadanya.

2. Dr. Wisnu Untoro, MS, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi UNS.

3. Drs. Supriyono, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan dan Ibu Dra. Izza Mafruhah, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan.

kasih atas ilmu, pengalaman dan bimbingan dan yang diberikan selama ini.

5. Bapak Djoko Raharto selaku Kepala Bidang Moneter Bank Indonesia Yogyakarta. Terima kasih telah memberikan akses untuk memperoleh CD International Financial Statistic IMF.

6. Ibuk yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkanku dengan penuh perjuangan serta s elalu memanjatkan do’anya demi kesuksesan penulis.

7. Mbak Yuli, Mbak Dwi, Mas Chizam, Mas Widji serta ponakanku Della, Amel, Iil, Aal, dan Uul yang senantiasa selalu mendoakan dan memberi dorongan kepada penulis.

8. Rekan-rekan seperjuangan di HMJ EP periode 2009, 2010, dan 2011 yang telah memberikan banyak pengalaman dan kenangan yang tak terlupakan selama penulis berada di FE UNS.

9. Teman-teman EP angkatan 2008 dan semua sahabat-sahabatku, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Demikian skripsi ini penulis susun dan tentunya masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Semoga karya ini dapat bermafaat bagi seluruh pihak yang membaca dan terkait dengan skripsi ini.

Surakarta, Agustus 2012

Penulis

b. Uji F…………………………………… ..................... 82

c. Koefisien Determinasi (R 2 )……………………....... ... 83

7. Uji Asums i Klasik…………………………………....... ... 83

a. Uji Multikol inieritas………………………………..... 83

b. Uji Heter oskedastisitas…………………………….... . 84

c. Uji Autokorelasi…………………………………....... 85

8. Interpretasi Ekonomi…………………………………....... 86

a. Pengaruh Selisih Laju Inflasi

terhadap Nilai Tukar Rupiah…………....... ................. 86

b. Pengaruh Selisih Tingkat Suku Bunga

terhadap N ilai Tukar Rupiah………………………… 87

c. Pengaruh Neraca Perdagangan Indonesia

terhadap N ilai Tukar Rupiah………………………… 89

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 91

B. Saran ........................................................................................ 92

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 94 LAMPIRAN ............................................................................................... 97

Tabel 4.1. Hasil Uji MWD Model Linier .................................................. 71 Tabel 4.2. Hasil Uji MWD Model Log-Linier .......................................... 72 Tabel 4.3. Hasil Uji Akar-Akar Unit pada Ordo 0 .................................... 73 Tabel 4.4. Hasil Uji Derajat Integrasi pada Ordo 1 ................................... 74 Tabel 4.5. Hasil ADF-Test Residual Kointegrasi ..................................... 76 Tabel 4.6. Nilai Koefisien Jangka Panjang Model Nilai Tukar

dengan Error Correction Model (ECM) .................................. 80 Tabel 4.7. Pengaruh Variabel Independen Jangka Pendek terhadap Variabel dependen .................................................................... 80 Tabel 4.8. Pengaruh Variabel Independen Jangka Panjang terhadap Variabel dependen .................................................................... 81

Tabel 4.9. Hasil Uji Klein .......................................................................... 84 Tabel 4.10. Hasil Uji White ......................................................................... 85 Tabel 4.11. Hasil Uji Lagrange Multiple Test ............................................ 86 Tabel 4.12. Perbandingan Hipotesis dengan Hasil Analisis Data

Menggunakan Error Correction Model (ECM) ....................... 90

Gambar 1.1. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah/US$ 1998 - 2010.................. 3 Gambar 2.1. Kurva J : Perubahan Neraca Perdagangan Setelah

Depresiasi Kurs ................................................................... 20 Gambar 2.2. Kurva J : Perubahan Neraca Perdagangan Setelah Apresiasi Kurs ..................................................................... 20 Gambar 2.3. Pergerakan Nilai Tukar Akibat Perubahan Tingkat Suku Bunga ............................................................ 24

Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi ...................... 27 Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................... 37 Gambar 3.1. Daerah Kritis Uji-t ............................................................... 62 Gambar 3.2. Daerah Kritis Uji-F .............................................................. 58 Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Nilai Tukar

Tahun 2000:Q1-2011:Q2..................................................... 64 Gambar 4.2. Grafik Perkembangan Selisih Laju Inflasi Tahun 2000:Q1-2011:Q2..................................................... 66 Gambar 4.3. Grafik Perkembangan Selisih Tingkat Suku Bunga Tahun 2000:Q1-2011:Q2..................................................... 68 Gambar 4.4. Grafik Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 2000:Q1-2011:Q2..................................................... 70 Gambar 4.5. Grafik Perbandingan Pola Data Tidak Stasioner dan Data Stasioner ............................................................... 75

Lampiran 1. Data Penelitian .................................................................. 97 Lampiran 2.

Uji Pemilihan Bentuk Fungsi Model (MWD Test) ........... 99 Lampiran 3.

Uji Stasioner dan Derajat Integrasi DF-Test (Level) ........ 100 Lampiran 4.

ADF-Test (Level) .............................................................. 101 Lampiran 5.

DF-Test (Ordo 1)............................................................... 102 Lampiran 6.

ADF-Test (Ordo 1) ........................................................... 103 Lampiran 7.

Hasil Estimasi Regresi Kointegrasi .................................. 104 Lampiran 8.

Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM)................ 105 Lampiran 9.

Hasil Uji Heteroskedastisitas Error Correction Model (ECM) ........................................ 106

Lampiran 10. Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) dengan Weigted Least Squares (WLS) .............................. 107

Lampiran 11. Hasil Uji Multikolinieritas ................................................ 108 Lampiran 12. Hasil Uji Heteroskedastisitas (Uji White) Model Error

Correction Model (ECM) dengan Weigted Least

Squares (WLS) .................................................................. 114

Lampiran 13. Hasil Uji Autokorelasi (LM Test) Model Error Correction

Model (ECM) dengan Weigted Least Squares (WLS) ....... 115

PENGARUH SELISIH INFLASI, SELISIH SUKU BUNGA DAN NERACA PERDAGANGAN TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH

(PERIODE 2000:I – 2011:II)

MAS FARYANSYAH NIM. F0108085

Nilai tukar adalah indikator penting dalam suatu perekonomian. Kestabilan nilai tukar harus selalu dijaga. Nilai tukar yang fluktuatif dapat mengganggu kegiatan perekonomian dan menimbulkan ketidakpastian karena dapat mempengaruhi struktur biaya, investasi, aliran perdagangan internasional, inflasi dan selanjutnya akan berpengaruh terhadapat output suatu negara.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh selisih laju inflasi Indonesia dan Amerika Serikat, selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat, dan neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai tukar rupiah. Alat analisis yang digunakan yaitu model ekonometrika dengan metode Error Correction Model (ECM) .

Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka panjang, selisih tingkat inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah, selisih tingkat suku bunga dan neraca perdagangan Indonesia berpengaruh negatif signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Dalam jangka pendek, hanya variabel selisih tingkat suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah.

Kata Kunci: Nilai Tukar Rupiah, Selisih Inflasi, Selisih Suku Bunga, Neraca Perdagangan, Error Correction Model (ECM).

PENGARUH SELISIH INFLASI, SELISIH SUKU BUNGA DAN NERACA PERDAGANGAN TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH MAS FARYANSYAH NIM. F0108085

Nilai tukar merupakan salah satu indikator penting dalam suatu perekonomian. Nilai tukar yang fluktuatif dapat mengganggu kegiatan perekonomian dan menimbulkan ketidakpastian karena dapat mempengaruhi struktur biaya, investasi, aliran perdagangan internasional, inflasi dan selanjutnya akan berpengaruh terhadapat output suatu negara.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh selisih laju inflasi Indonesia dan Amerika Serikat, selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat, dan neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai tukar rupiah. Alat analisis yang digunakan yaitu model ekonometrika dengan metode Error Correction Model (ECM) .

Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka panjang, selisih tingkat inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah, selisih tingkat suku bunga dan dan neraca perdagangan Indonesia berpengaruh negatif signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Dalam jangka pendek, hanya variable selisih tingkat suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah.

Kata Kunci: Nilai Tukar Rupiah, Selisih Inflasi, Selisih Suku Bunga, Neraca Perdagangan, Error Correction Model.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nilai tukar adalah indikator penting dalam suatu perekonomian, oleh karena itu kestabilan nilai tukar harus selalu dijaga. Nilai tukar yang fluktuatif dapat mengganggu kegiatan perekonomian dan menimbulkan ketidakpastian. Warjiyo (1998) menyatakan bahwa pergerakan nilai tukar akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel. Pergerakan nilai tukar dapat mengubah harga relatif, sehingga akan mempengaruhi perkembangan ekspor dan impor. Pergerakan nilai tukar tersebut selanjutnya akan mempengaruhi permintaan aggregat, laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.

Penelitian tentang dampak pergerakan nilai tukar terhadap variabel makro ekonomi di beberapa negara telah dilakukan oleh Esquivel dan Larraín (2002), Engel dan West (2003), Lee dan Boon (2007), Ozturk dan Kalyoncu (2009). Mereka menemukan bukti empiris bahwa fluktuasi nilai tukar berpengaruh pada inflasi, suku bunga, aliran perdagangan, penanaman modal asing, penawaran uang, serta meningkatkan probabilitas terjadinya krisis nilai tukar.

Suatu negara didefinisikan mengalami krisis mata uang apabila nilai tukarnya mengalami perubahan yang besar dan pada umumnya ditandai dengan adanya perubahan kebijakan sistim penetapan nilai tukar (Tjahjono,1998). Krisis nilai tukar menimbulkan implikasi buruk terhadap perekonomian suatu negara Suatu negara didefinisikan mengalami krisis mata uang apabila nilai tukarnya mengalami perubahan yang besar dan pada umumnya ditandai dengan adanya perubahan kebijakan sistim penetapan nilai tukar (Tjahjono,1998). Krisis nilai tukar menimbulkan implikasi buruk terhadap perekonomian suatu negara

Krisis tersebut selanjutnya berdampak menjalar (contagion effect) terhadap mata uang rupiah. Kondisi tersebut membuat pemerintah Indonesia merubah sistim nilai tukar dari sistim nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) (LTBI 1997/1998:7).

Ritonga (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya permintaan dollar ketika krisis 1998 sehingga nilai rupiah mengalami depresiasi, yaitu:

1. Kenaikan nilai dollar di beberapa negara menyebabkan para pengusaha Indonesia yang dalam waktu dekat akan membayar utang luar negerinya berusaha mendapatkan dollar dalam jumlah yang diperkirakan cukup besar.

2. Para spekulan berusaha mencari keuntungan dengan cara melepas rupiah dan membeli dollar sehingga menyebabkan nilai rupiah jatuh.

3. Pemegang rupiah berusaha melindungi asset likuidnya dari penurunan nilai dengan jalan membeli dollar. Nilai tukar mata uang suatu negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 2001:171). Perubahan volume permintaan dan penawaran valuta asing akan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terapresiasi ataupun terdepresiasi. Simorangkir 3. Pemegang rupiah berusaha melindungi asset likuidnya dari penurunan nilai dengan jalan membeli dollar. Nilai tukar mata uang suatu negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 2001:171). Perubahan volume permintaan dan penawaran valuta asing akan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terapresiasi ataupun terdepresiasi. Simorangkir

Gambar 1.1 menunjukkan grafik fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar US. Nilai tukar rupiah mencapai nilai tertinggi pada bulan Juni 1998, yaitu sebesar Rp 14.900/USD. Nilai tersebut meningkat drastis dibandingkan pada bulan yang sama pada tahun 1997 sebelum terjadinya krisis, yaitu sebesar Rp 2.450/USD pada bulan Juni 1997.

Nilai tukar rupiah juga mengalami depresiasi mencapai Rp 12.151/USD pada bulan November 2008 akibat dampak dari krisis global. Menurunnya permintaan eksternal akibat perlambatan perekonomian global menyebabkan cadangan devisa menurun dan mengakibatkan penawaran dolar menurun. Disisi lain, permintaan dollar AS naik signifikan akibat kenaikan harga komoditi import seperti harga minyak dunia dan adanya aliran modal keluar (capital outflow) yang signifikan.

Gambar 1.1 Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah/ USD 1998 - 2010

Sumber: Bank Indonesia, 2012, data diolah.

juga mengakibatkan kontraksi perekonomian yang cukup dalam. Melemahnya nilai tukar mengakibatkan harga barang impor seperti bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi menjadi lebih mahal. Kenaikan harga barang impor selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya kenaikan harga barang-barang di dalam negeri (Simorangkir, 2004: 3).

Salah satu dampak krisis 1997 adalah naiknya laju inflasi dari 5,37% pada bulan September 1997 menjadi 75,47% pada bulan yang sama tahun 1998. Melemahnya nilai tukar menyebabkan kenaikan harga yang tinggi. Indonesia sangat tergantung pada nilai tukar karena sektor industrinya banyak menggunakan bahan baku impor. Depresiasi nilai tukar rupiah akan mengakibatkan naiknya harga impor bahan baku dan modal sehingga menyebabkan naiknya biaya produksi. Kenaikan biaya produksi tersebut akan menaikkan harga barang dan selanjutnya akan memicu naiknya laju inflasi. Rahardjo (2009:176) menyatakan bahwa tingginya laju inflasi suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya akan menyebabkan harga barang ekspor menjadi lebih mahal dan selanjutnya akan dapat menurunkan ekspor. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menurunkan nilai tukar.

Peningkatan biaya produksi menyebabkan sektor industri mengurangi kapasitas produksinya. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya volume impor dari 42,704 Miliar USD pada tahun 1997, menjadi sebesar 30,707 Miliar USD pada akhir tahun 1998. Penurunan kapasitas produksi mengakibatkan perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan barang ekspor yang tercermin pada penurunan

Miliar USD pada tahun 1998. Penurunan volume ekspor ini disebabkan oleh kenaikan harga barang-barang ekspor akibat menurunnya kapasitas produksi.

Peningkatan harga komoditas pangan dan minyak dunia menyebabkan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi ketika krisis 2008. Depresiasi nilai tukar rupiah menyebabkan beban yang ditanggung pemerintah dalam APBN untuk mensubsidi BBM meningkat. Kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut telah memicu terjadinya cost-push inflation karena berdampak pada kenaikan biaya produksi dan biaya transportasi sehingga harga jual barang juga ikut naik. Kenaikan harga barang tersebut selanjutnya memicu kenaikan laju inflasi. Laju inflasi pada bulan Agustus 2008 mencapai 11,85% dan naik menjadi 12,14% pada bulan September 2008 (Bank Indonesia, 2008).

Penurunan daya beli masyarakat akibat krisis global di Amerika dan Eropa mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia juga mengalami penurunan, sehingga volume permintaan barang produksi Indonesia menurun. Kinerja ekspor Indonesia tahun 2008/2009 menurun sebesar 19,960 Miliar USD. Dari sisi impor, volume impor menurun sebesar 27,975 Miliar USD akibat depresiasi rupiah.

Fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh laju inflasi dan kinerja perdagangan internasional atau ekspor dan impor. Neraca perdagangan adalah salah satu gambaran dari penawaran dan permintaan terhadap mata uang asing untuk membiayai ekspor dan impor barang. Kenaikan penawaran valuta asing terjadi apabila volume ekspor barang meningkat. Jika volume ekspor lebih besar daripada volume impor, ceteris paribus, maka nilai tukar domestik

melebihi volume ekspor, maka nilai tukar akan terdepresiasi. Ozturk and Kalyoncu (2009) telah melakukan penelitian pada Polandia, Korea Selatan, Pakistan, Hunggaria, Turki dan Afrika Selatan. Mereka menemukan bukti empiris bahwa volatilitas nilai tukar menurunkan eksport riil dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Selain itu, Esquivel dan Larrain (2002) juga telah melakukan penelitian tentang dampak volatilitas nilai tukar US dollar, yen Jepang dan mark Jerman pada negara berkembang. Mereka menemukan bukti empiris bahwa satu persen kenaikan volatilitas nilai tukar negara G-3 akan menurunkan eksport riil negara berkembang sebesar rata-rata dua persen.

Volume penawaran dan permintaan valuta asing dipengaruhi juga oleh aliran modal. Aliran modal masuk (capital inflow) dan aliran modal keluar (capital outflow) sangat dipengaruhi oleh perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (interest rate differential). Sebagai contoh, jika suku bunga Amerika Serikat mengalami peningkatan melebihi suku bunga Indonesia, maka imbal hasil yang ditawarkan Indonesia menjadi kurang kompetitif. Kondisi tersebut dapat menimbulkan pelarian modal asing (capital outflow). Apabila kenaikan permintaan terhadap US dollar akibat capital outflow tidak disertai dengan penawaran yang memadai, maka nilai tukar rupiah akan terdepresiasi.

Peningkatan suku bunga dalam negeri diperlukan agar dapat menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi. Peningkatan aliran modal masuk (capital Peningkatan suku bunga dalam negeri diperlukan agar dapat menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi. Peningkatan aliran modal masuk (capital

Gali dan Gertler (1998) melakukan studi tentang hubungan pergerakan nilai tukar dan suku bunga. Mereka menemukan bukti empiris bahwa terdapat hubungan antara pergerakan nilai tukar dan suku bunga, yaitu satu persen depresiasi Mark Jerman terhadap US Dollar, membuat Bundesbank meningkatkan suku bunga sebesar 5 bps. Di lain pihak, Bank of Japan meningkatkan suku bunga sebesar 6 bps sebagai respon depresiasi yen terhadap US dollar.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat disimpulkan bahwa kestabilan nilai tukar dalam suatu perekonomian sangatlah penting. Oleh sebab itu, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel ekonomi yang menentukan permintaan dan penawaran valuta asing US dollar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Penelitian ini mengambil judul Pengaruh Selisih Inflasi, Selisih Suku Bunga dan Neraca Perdagangan Terhadap Nilai Tukar Rupiah (Periode 2000:I – 2011:II). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah; nilai tukar Rp/USD, inflasi Indonesia, inflasi Amerika Serikat, suku bunga Indonesia, suku bunga Amerika Serikat dan neraca perdagangan Indonesia.

1. Bagaimana pengaruh selisih laju inflasi Indonesia dan Amerika Serikat terhadap nilai tukar rupiah?

2. Bagaimana pengaruh selisih tingkat suku bunga Indonesia dan suku bunga Amerika Serikat terhadap nilai tukar rupiah?

3. Bagaimana pengaruh neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai tukar rupiah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis pengaruh selisih laju inflasi Indonesia dan Amerika Serikat terhadap nilai tukar rupiah.

2. Untuk menganalisis pengaruh selisih tingkat suku bunga Indonesia dan suku bunga Amerika Serikat terhadap nilai tukar rupiah.

3. Untuk menganalisis pengaruh neraca perdagangan Indonesia terhadap nilai tukar rupiah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi kepada pihak pengambil kebijakan sebagai acuan untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam hal kestabilan nilai tukar rupiah, guna kepentingan bangsa dan negara.

2. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini digunakan sebagai salah satu sarana untuk menerapkan teori yang diperoleh dari berbagai literatur selama mengikuti perkuliahan.

selanjutnya yang sejenis.

4. Sebagai bahan yang mampu memperkaya kepustakaan penelitian yang telah ada sebelumnya.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nilai Tukar

1. Pengertian Nilai Tukar (Exchange Rate)

Nilai tukar adalah jumlah harga satu unit mata uang asing yang di representasikan dalam mata uang domestik. Sebagai contoh, kurs rupiah terhadap US Dollar (Rp/US$), yaitu jumlah rupiah yang diperlukan untuk memperoleh atau membeli satu US$. Krugman (2009: 316) mendefinisikan nilai tukar (exchange rate) sebagai:

“The price of one currency in terms of another”. Levi (2001: 170) mendefinisikan nilai tukar mata uang (exchange rate) suatu

negara sebagai:

“Jumlah satuan mata uang domestik yang dapat dipertukarkan dengan satu unit mata uang negara lain”.

Simorangkir (2004: 4) mendefinisikan nilai tukar mata uang atau kurs sebagai:

“Harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing”.

Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi

Q = S P/P *

di mana Q adalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga di dalam negeri dan P * adalah tingkat harga di luar negeri.

Beberapa istilah yang sering digunakan berkaitan dengan kurs valuta asing adalah sebagai berikut:

a. Kurs beli, yaitu menunjukkan harga beli valuta asing pada saat bank/money changer membeli valas (valuta asing) atau pada saat seseorang menukarkan valas dengan rupiah.

b. Kurs jual, yaitu menunjukkan harga jual valuta asing pada saat bank/money changer menjual valas atau pada saat seseorang menukarkan rupiah dengan valas.

c. Kurs tengah, yaitu merupakan kurs antara kurs jual dan kurs beli (hasil bagi dua dari penjumlahan kurs beli dan kurs jual). Peningkatan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing disebut dengan apresiasi/ revaluasi, sedangkan turunnya nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing disebut depresiasi/ devaluasi. Sebagai contoh, jika semula kurs US$1=Rp8.500 kemudian menjadi US$1=Rp9.000, kondisi tersebut berarti rupiah mengalami depresiasi terhadap US dollar, sedangkan US dollar mengalami apresiasi terhadap rupiah. Istilah apresiasi/depresiasi nilai tukar umumnya digunakan negara dengan sistim nilai

digunakan untuk negara dengan sistem nilai tukar tetap. Revaluasi atau devaluasi merupakan kebijakan pemerintah yang diumumkan kepada publik untuk menaikkan atau menurunkan nilai tukar terhadap mata uang asing. Kebijakan revaluasi atau devaluasi biasanya dilakukan dalam rangka mempertahankan kinerja perdagangan luar negeri suatu negara (Rahardjo, 2009:110). Devaluasi biasanya dilakukan untuk mendorong peningkatan daya saing dan kinerja ekspor. Penurunan nilai tukar menyebabkan harga barang ekspor relatif lebih murah di luar negeri, sehingga akan meningkatkan permintaan barang ekspor. Peningkatan volume permintaan barang ekspor dapat meningkatkan volume ekspor suatu negara dengan asumsi negara lain tidak melakukan tindakan devaluasi terhadap mata uangnya dan eksportir dapat memenuhi permintaan ekspornya.

2. Sejarah Sistem Moneter Internasional

Sejarah sistem moneter internasional dikelompokkan dalam empat periode (Simorangkir, 2004: 8), yaitu:

a. Periode Standar Emas (Gold Standart): 1880-1914

Pada sistem ini, nilai tukar uang domestik terhadap emas ditetapkan berdasarkan harga resmi yang tetap. Terdapat dua karakteristik utama standar emas yang ditetapkan oleh negara-negara yang menggunakannya, yaitu: 1) perorangan dapat dengan bebas mengimpor dan mengekspor emas dan 2) persediaan jumlah uang beredar dijamin dengan persediaan emas.

sistem ini, mendorong terjadinya stabilitas nilai tukar dan harga. Keberhasilan standar emas disebabkan oleh ketenangan zaman sebelum perang, perekonomian benar-benar tenang dan jauh dari pergolakan seperti perang dunia, depresi besar tahun 1930-an, dan gejolak harga minyak OPEC tahun 1973-1974 (Lindert, 1993:422). Kelemahan sistem ini adalah ketika jumlah cadangan emas tidak mencukupi atau terlalu besar. Jumlah cadangan emas yang terlalu sedikit dapat mendorong terjadinya deflasi dan melemahnya kegiatan ekonomi suatu negara. Sebaliknya, jumlah cadangan emas yang terlalu besar dibandingkan uang beredar, mendorong terjadinya inflasi.

Periode ini berakhir pada perang dunia pertama. Perang telah merusak arus perdagangan dan mobilitas emas antar negara sehingga standar ini tidak dapat dipertahankan. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan perang, negara-negara yang terlibat didalamnya mencetak uang lebih banyak sehingga tidak sepenuhnya lagi dapat dijamin dengan cadangan emas nasional.

b. Periode Perang Dunia Pertama (PD I) dan Kedua (PD II)

Pada periode perang ini, sistem nilai tukar yang digunakan banyak mengalami peralihan akibat dari instabilitas keamanan yang berimbas pada instabilitas ekonomi. Pada periode PD I hingga tahun 1925, banyak negara menggunakan sistem nilai tukar mengambang bebas. Sementara itu, dari tahun 1925 hingga tahun1931, banyak negara menggunakan sistem nilai tukar tetap dengan mengaitkan cadangan emas dan valuta asing yang dimiliki atau sering disebut gold exchange standart. Pada masa Great Depression banyak negara Pada periode perang ini, sistem nilai tukar yang digunakan banyak mengalami peralihan akibat dari instabilitas keamanan yang berimbas pada instabilitas ekonomi. Pada periode PD I hingga tahun 1925, banyak negara menggunakan sistem nilai tukar mengambang bebas. Sementara itu, dari tahun 1925 hingga tahun1931, banyak negara menggunakan sistem nilai tukar tetap dengan mengaitkan cadangan emas dan valuta asing yang dimiliki atau sering disebut gold exchange standart. Pada masa Great Depression banyak negara

c. Sistem Bretton Woods

Pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hamshire, Amerika Serikat, telah diselenggarakan konferensi yang diikuti 44 negara untuk membahas tentang suatu tatanan moneter internasional yang baru. Hasilnya adalah suatu keputusan penting yang berupa penerapan sistem nilai tukar tetap yang secara resmi diikuti oleh 32 negara, serta pendirian dua lembaga keuangan internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau sekarang dikenal dengan World Bank. IMF didirikan dengan tujuan untuk mendorong kerja sama moneter antar negara, sistem nilai tukar yang lebih baik, dan untuk memberikan bantuan keuangan jangka pendek apabila ada negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran. Sedangkan bank dunia didirikan dengan maksud untuk membiayai rekonstruksi dan pembangunan jangka panjang.

Negara yang menjadi acuan atau jangkar penentuan nilai tukar dalam sistem ini adalah Amerika Serikat, karena menjadi satu-satunya negara yang mengaitkan mata uangnya secara tetap dengan emas. Pada saat itu US$35 ditetapkan nilainya sama dengan satu ounce emas.

d. Pasca Sistem Bretton Woods

Sistem Bretton Woods berakhir pada tahun 1960-1970-an dimana Amerika Serikat pada waktu itu mengalami defisit pembayaran yang besar Sistem Bretton Woods berakhir pada tahun 1960-1970-an dimana Amerika Serikat pada waktu itu mengalami defisit pembayaran yang besar

Peurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem Bretton Woods pada awal tahun 1970-an membuat negara-negara anggota IMF dibebaskan untuk mengembangkan sistem nilai tukar mata uangnya pada tahun 1973. Banyak negara menggunakan sistem nilai tukar yang berbeda-beda.

Beberapa negara Eropa mendirikan mekanisme nilai tukar European Monetary System (EMS) pada tahun 1979 untuk menciptakan mekanisme nilai tukar yang stabil diantara anggota EMS. Setelah itu, sistem ini tergantikan oleh terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa (European Monetary Union/EMU) pada tanggal 1 Januari 1999. Dengan terbentuknya EMU, sebelas negara Eropa menetapkan nilai tukar Euro sebagai mata uang bersama dan berlaku secara penuh pada Januari 2002. Bank Sentral Eropa (ECB) juga dibentuk dan bertugas untuk mempertahankan nilai tukar Euro. Diluar Eropa dan Amerika Serikat, banyak negara-negara di Amerika Latin dan Asia mengalami krisis nilai tukar pada tahun 1997/1998, oleh sebab itu banyak negara melepaskan nilai tukarnya kepada mekanisme pasar.

Sistem nilai tukar diklarifikasikan dalam tiga kelompok (Simorangkir, 2004: 15), yaitu:

a. Sistem nilai tukar tetap murni (Absolutely fixed exchange rate regime)

Pada sistem nilai tukar tetap, kurs mata uang ditetapkan secara tetap pada nilai tertentu dengan mata uang asing tertentu. Misalnya, rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) ditetapkan sebesar Rp 8.500 per US$. Menurut Rahardjo (2009), Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu adanya kepastian nilai tukar bagi pasar.

Banyak negara meninggalkan sistem ini setelah era Bretton Woods, tetapi masih ada sebagian kecil negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap ini. Ada dua penyebab utama suatu negara meninggalkan sistem nilai tukar tetap. Pertama, dapat mengganggu neraca perdagangan jika penetapan nilai tukar mata uang domestik lebih mahal dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan harga barang ekspor suatu negara lebih mahal di luar negeri dan akan mengurangi daya saing yang pada akhirnya akan menurunkan volume ekspor. Di sisi impor, penetapan nilai tukar yang terlalu tinggi (over-valued) akan menyebabkan harga barang impor menjadi lebih murah dan selanjutnya meningkatkan volume impor. Kondisi menurunnya volume ekspor dan meningkatnya volume impor akan memperburuk neraca perdagangan suatu negara. Kedua,cadangan devisa yang tidak mencukupi untuk mempertahankan nilai tukar karena harus melakukan intervensi ke pasar valas. Negara yang masih menerapkan sistem ini akan Banyak negara meninggalkan sistem ini setelah era Bretton Woods, tetapi masih ada sebagian kecil negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap ini. Ada dua penyebab utama suatu negara meninggalkan sistem nilai tukar tetap. Pertama, dapat mengganggu neraca perdagangan jika penetapan nilai tukar mata uang domestik lebih mahal dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan harga barang ekspor suatu negara lebih mahal di luar negeri dan akan mengurangi daya saing yang pada akhirnya akan menurunkan volume ekspor. Di sisi impor, penetapan nilai tukar yang terlalu tinggi (over-valued) akan menyebabkan harga barang impor menjadi lebih murah dan selanjutnya meningkatkan volume impor. Kondisi menurunnya volume ekspor dan meningkatnya volume impor akan memperburuk neraca perdagangan suatu negara. Kedua,cadangan devisa yang tidak mencukupi untuk mempertahankan nilai tukar karena harus melakukan intervensi ke pasar valas. Negara yang masih menerapkan sistem ini akan

b. Sistem nilai tukar mengambang murni (Pure floating exchange rate regime)

Dalam sistem nilai tukar mengambang penuh, mekanisme penetapan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing ditentukan oleh mekanisme pasar. Nilai mata uang dapat berubah setiap saat tergantung penawaran dan permintaannya relatif terhadap mata uang asing di pasar. Dalam sistem nilai tukar mengambang murni, bank sentral tidak menargetkan besaran nilai tukar dan tidak juga melakukan intervensi langsung di pasar valas. Sistem ini sangat rentan oleh serangan para spekulan.

Banyak negara di dunia menggunakan sistem ini karena: pertama, sistem ini memungkinkan suatu negara mengisolasi kebijakan ekonomi makronya dari dampak kebijakan dari luar sehingga mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan kebijakan yang independen. Kedua, sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa yang besar karena tidak ada kewajiban untuk intervensi di pasar valas guna mempertahankan nilai tukar.

Kelemahan sistem ini adalah nilai tukar sangat mudah berfluktuasi karena tergantung pada permintaan dan penawarannya di pasar.

Rate/FBAR)

Sistem ini merupakan kombinasi sistem nilai tukar tetap dengan sistem nilai tukar mengambang. Dalam sistem nilai tukar FBAR, besarnya nilai tukar ditetapkan oleh pembuat kebijakan dan dipertahankan melalui intervensi langsung di pasar valas. Sistem ini mempunyai ciri adanya komitmen dari bank sentral/pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar dalam besaran tertentu. Nilai tukar dapat berubah namun penyesuaiannya jarang dilakukan untuk menjaga kredibilitas. Perubahan nilai tukar mencerminkan persepsi resmi dari pemerintah mengenai perubahan fundamental ekonomi yang memerlukan penyesuaian nilai tukar atau terdapatnya tekanan pasar yang kuat yang mempengaruhi cadangan devisa sehingga memaksa perlu penyesuaian nilai tukar.

4. Teori Nilai Tukar

a. Pendekatan Perdagangan atau Pendekatan Elastisitas

Pendekatan ini mengkaji bahwa besar kecilnya kurs tergantung pada besar kecilnya transaksi perdagangan barang dan jasa yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara mitra dagangnya (Yuliadi, 2008: 61).

Dalam pendekatan ini, jika nilai impor suatu negara lebih besar daripada nilai ekspornya, ceteris paribus, berarti negara tersebut mengalami defisit neraca perdagangan, sehingga nilai tukar mata uangnya mengalami depresiasi terhadap mata uang mitra dagangnya. Begitu juga sebaliknya, jika nilai ekspor suatu negara lebih besar daripada nilai impornya, ceteris paribus,

tukar mata uangnya mengalami apresiasi terhadap mata uang mitra dagangnya. Dalam sistim nilai tukar fleksibel, depresiasi atau apresiasi nilai tukar akan mendorong perubahan arus perdagangan internasional atau ekspor dan impor dari satu negara ke negara lainnya sehingga akan tercapai keseimbangan kurs di mana nilai ekspor sama dengan nilai impor. Proses penyesuaian dalam mencapai keseimbangan kurs tersebut ditentukan oleh sejauh mana elastisitas impor dan ekspor barang dan jasa terhadap perubahan nilai tukar. Kondisi ini disebut Marshall-Lerner condition, yaitu kondisi yang menyatakan bahwa depresiasi akan mengakibatkan surplus transaksi berjalan jika jumlah elastisitas ekspor dan impor lebih dari satu, dengan asumsi selama terjadi perubahan kurs, tingkat pendapatan bersih tetap konstan (Krugman, 1994: 224).

Namun, banyak pandangan yang meragukan terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner dalam jangka pendek. Levi (2001: 145) menyatakan bahwa dalam jangka pendek permintaan barang tidak elastis karena masyarakat memerlukan waktu untuk menyesuaikan preferensi mereka terhadap barang substitusi yang dihasilkan di dalam negeri. Setelah konsumen telah beralih ke barang substitusi impor yang dihasilkan di dalam negeri, maka permintaan impor dapat diturunkan. Peningkatan volume ekspor juga akan terjadi setelah konsumen asing bersedia beralih ke produk yang dihasilkan oleh negara kita dan produsen memiliki kemampuan untuk memproduksi lebih banyak barang untuk diekspor.

Gambar 2.2. Kurva J: Perubahan neraca perdagangan setelah apresiasi kurs Sumber: Levi (2001: 146)

Perubahan Neraca perdagangan

Waktu

dalam jangka pendek dan akan membaik dalam jangka panjang setelah terjadi kenaikan elastisitas antara barang ekspor dan impor. Begitu juga sebaliknya, apresiasi akan memperbaiki neraca perdagangan dalam jangka pendek dan selanjutnya akan memperburuk neraca perdagangan dalam jangka panjang. Kondisi tersebut digambarkan dalam gambar (2.1) kurva J (J-Curve).

Gambar 2.1. Kurva J: Perubahan neraca perdagangan setelah depresiasi kurs Sumber: Levi (2001: 146)

Perubahan Neraca perdagangan

Waktu

Teori paritas daya beli (Purchasing Power Parity) merumuskan bahwa kurs antara kedua mata uang adalah rasio tingkat harga umum dari dua negara yang bersangkutan. Mark (2000:81) menyatakan bahwa:

“International macroeconomists view Casselian PPP as a theory of the long-run determination of the exchange rate in which the PPP (P-P* )

is a long-run attractor for the nominal exchange rate ”.

Mark (2000) menyarankan untuk menggunakan CPI (Consumer Price Indexs) dalam teori ini karena PPP mengarah pada nilai internal dari mata uang terkait dan variasi nilai dapat diukur hanya dengan indeks umum.

Terdapat dua bentuk persamaan dalam teori paritas daya beli, yaitu (Yuliadi, 2008: 64):

1) Paritas Daya Beli Absolut Teori ini menyatakan bahwa keseimbangan kurs merupakan perbandingan harga absolute dalam negeri dan luar negeri. Bentuk persamaannya adalah:

dimana R ab adalah kurs mata uang negara a terhadap mata uang negara b, dan P adalah tingkat harga di negara a dan negara b. Teori ini mengasumsikan bahwa tidak terdapat pajak, biaya transport atau hambatan lainnya dalam perdagangan internasional, serta semua jenis komoditas dapat diperdagangkan secara bebas.

Paritas daya beli relatif dipandang lebih realistis dan potensial untuk menjelaskan proses terjadinya kurs. Teori ini menyatakan bahwa fluktuasi kurs valas merupakan prosentase perubahan tingkat harga di kedua negara dalam periode yang sama. Bentuk persamaannya adalah:

……(2.2)

dimana R adalah kurs, P adalah tingkat harga, 1 adalah periode 1, dan 0 adalah periode dasar.

Misalkan tingkat harga umum di negara B tidak mengalami perubahan dari periode dasar ke periode 1 (P b1 /P b0 = 1), sementara pada periode yang sama, tingkat harga di negara A mengalami kenaikan sebesar 70%, maka menurut teori PPP relatif, kurs mata uang negara A terhadap mata uang negara B naik sebesar 70% atau mata uang negara A terhadap mata uang negara B mengalami depresiasi sebesar 70%.

Untuk mengetahui hubungan tingkat harga dengan nilai tukar dapat dilihat melalui persamaan di bawah ini (Wibowo dan Amir, 2005):

P Ind =P USA x Rp/US$ .............................................. (2.3) Jika diketahui bahwa; PPP = P Ind /P USA atau PPP = CPI Ind / CPI USA ......... (2.4) Maka persamaan (2.3) dapat ditulis menjadi: Rp/US$ = b (CPI Ind / CPI USA ) .................................. (2.5)

atau Log Rp/US$ = (INF Ind – INF USA ) ............................. (2.7) Model diatas merupakan penurunan dari model paritas daya beli relatif. Apabila laju inflasi Indonesia lebih tinggi dari Amerika Serikat dan nilai tukarnya tidak berubah. Keadaan itu menyebabkan harga ekspor barang Indonesia menjadi relatif lebih mahal. Peningkatan harga akan menurunkan volume ekspor Indonesia dan meningkatkan volume impor. Kondisi itu berdampak pada nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi.

c. Paritas Suku Bunga Tidak Tertutup (Uncovered Interest Rate Parity)

Kondisi paritas suku bunga tidak tertutup (uncovered interest parity) menegaskan hubungan antara tingkat suku bunga dan nilai tukar untuk dua negara dalam keadaan keseimbangan. Krugman (2009: 336) menyatakan bahwa,

“The foreign exchange market is in equilibrium when deposits of all currencies offer the same expected rate of return ”.

Miskhin (2008: 218) menyatakan bahwa teori uncovered interest parity mengasumsikan bahwa dalam perekonomian terbuka dimana modal dapat mengalir dengan sempurna, masyarakat luar negeri dapat membeli asset domestik, dan sebaliknya masyarakat domestik dapat membeli asset luar negeri. Hipotesisnya bahwa investor akan membuat keputusan investasinya dari perbandingan rate of return to assets, berdasarkan ekspektasi tingkat perubahan nilai tukar. Jadi, rate of return to assets harus disamakan untuk Miskhin (2008: 218) menyatakan bahwa teori uncovered interest parity mengasumsikan bahwa dalam perekonomian terbuka dimana modal dapat mengalir dengan sempurna, masyarakat luar negeri dapat membeli asset domestik, dan sebaliknya masyarakat domestik dapat membeli asset luar negeri. Hipotesisnya bahwa investor akan membuat keputusan investasinya dari perbandingan rate of return to assets, berdasarkan ekspektasi tingkat perubahan nilai tukar. Jadi, rate of return to assets harus disamakan untuk

i $ =i Rp –

Persamaan (2.8) menyatakan bahwa suku bunga domestik sama dengan suku bunga luar negeri dikurangi ekspektasi apresiasi nilai mata uang domestik dan mengasumsikan E [e t+1 ]=e t+1 , maka dapat ditulis kembali:

i Rp =i $ +

atau sama dengan e t =i Rp –i $

Teori ini disebut “uncovered” karena investor tidak terlindungi resiko

terkait dengan ketidakpastian nilai tukar dimasa yang akan datang e t+1

(Dornbusch, 1998: 400) Gambar (2.3) menunjukkan pergerakan nilai tukar ketika terjadi perubahan tingkat suku bunga.

Suku bunga/ Imbalan (dalam rupiah)

Gambar 2.3. Pergerakan nilai tukar akibat perubahan tingkat suku bunga Sumber: Krugman dan Obstfeld (1994: 71)

Kurs, E Rp/$

R 1 IND R 2 IND

E 2 RP/US

E 1 Rp/US

Simpanan Rp

Simpanan $ Simpanan $

dengan jarak antara titik 1 dengan titik 1’. Peningkatan tingkat suku bunga tersebut menyebabkan rupiah mengalami apresiasi ke titik E 2 RP/US$.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar

1. Hubungan Inflasi dengan Nilai Tukar

Boediono (1994: 161) menyatakan bahwa inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali jika kenaikan tersebut mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga musiman, seperti menjelang hari raya, atau yang terjadi sekali saja dan tidak berdampak terhadap kenaikan sebagian besar harga barang- barang lain juga tidak disebut inflasi. Inflasi di suatu negara dapat menurunkan daya beli masyarakat dan meningkatkan biaya produksi perusahaan.

Ada beberapa kategori inflasi sebagaimana dikemukakan oleh Nopirin (2000:27), yaitu :

a. Inflasi berdasarkan laju inflasi

1) Inflasi merayap (creeping inflation), yaitu inflasi yang ditandai dengan adanya laju inflasi yang sangat rendah yaitu kurang dari 10% per tahun dan kenaikan harga berjalan sangat lamban dengan persentase kenaikan yang kecil dalam jangka waktu relative lama.

inflasi yang cukup tinggi yaitu diatas 10% sampai dengan 20% per tahun dan kenaikan harga berlangsung cepat dalam waktu relative singkat.

3) Inflasi tinggi (hyper inflation), yaitu ditandai dengan adanya kenaikan harga secara umum sampai lima atau enam kali lipat dari semula atau diatas 40%. Masyarakat tidak lagi mempunyai keinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang.

b. Inflasi berdasarkan faktor penyebabnya

1) Demand pull inflation, adalah inflasi yang terjadi karena bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati keadaan kesempatan kerja penuh. Dalam keadaan hampir penuh, kenaikan permintaan total disamping menaikan harga tetapi juga menaikan hasil produksi (output). Namun apabila keadaan kesempatan kerja penuh (full employment ) telah tercapai, maka kenaikan permintaan total hanya akan menaikan harga saja. Kondisi ini kemudian disebut inflasi murni.

2) Cost-push inflation, adalah inflasi yang ditandai dengan turunya produksi. Keadaan ini timbul karena penurunan dalam penawaran total (aggregate supply ) sebagai akibat kenaikan harga biaya produksi. Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikan harga dan turunnya produksi.

Laju pertumbuhan inflasi dapat dihitung dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK banyak digunakan untuk menghitung angka inflasi,

Besarnya inflasi pada bulan tertentu dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

INF = Inflasi pada periode t dalam persen t IHK = Indeks harga konsumen pada periode t t