Dinamika Perubahan Budaya Organisasi dan Kinerja Karyawan
2.5. Dinamika Perubahan Budaya Organisasi dan Kinerja Karyawan
Keterkaitan hubungan antara budaya korporat dengan kinerja organisasi yang dapat dijelaskan dalam model diagnosis budaya organisasi Tiernay bahwa semakin baik kualitas faktorfaktor yang terdapat dalam budaya organisasi makin baik kinerja organisasi tersebut (Moelyono Djokosantoso, 2003 : 42, dalam Soedjono).
Karyawan yang sudah memahami keseluruhan nilainilai organisasi akan menjadikan nilai nilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga akan menjadi kinerja individual. Didukung dengan sumber daya manusia yang ada, sistem dan teknologi, strategi perusahaan dan logistik, masingmasing kinerja individu yang baik akan menimbulkan kinerja organisasi yang baik pula (Soedjono).
Dampak budaya organisasi terhadap kinerja dapat dilihat pada beberapa contoh perusahaan yang memiliki kinerja yang tinggi, seperti Singapore Airlines yang menekankan pada perubahan perubahan yang berkesinambungan, inovatif dan menjadi yang terbaik. Baxter International, salah satu perusahaan terbesar di dunia, memiliki budaya respect, responsiveness dan result, dan nilai nilai yang tampak disini adalah bagaimana mereka berperilaku ke arah orang lain, kepada customer, pemegang saham, supplier dan masyarakat (Pastin, 1986; 272). Hasil penelitian Chatman dan Bersade (1997) dan Udan Bintoro (2002) menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat dapat meningkatkan kinerja organisasi (Soedjono).
PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN : SUATU TINJAUAN PUSTAKA
Andarias Patiran
Stephen P. Robbins, 2003, 738, dalam bukunya juga mengungkapkan kasus Enron dan penciptaan budaya yang tidak etis dapat mengakibatkan organisasi menghadapi masalah besar penilaian kinerjanya. Dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan, Stephen P. Robbins, 2003, memberi kesimpulan bahwa Enron Corp, yang pada Desember 2001 menimbulkan kepailitan terbesar di AS, tidak hanya gagal karena praktek akuntansi yang tidak tepat, walaupun itu memang penyebab terbesarnya. Ia juga gagal karena memiliki budaya yang mendorong eksekutif ke dalam perilaku yang tidak etis.
Selama masa keemasan Enron di akhir 1990an, pers selalu memuji perusahaan itu karena budaya wirausahanya : cerdas, lancang, kreati dan bisa mengambil resiko. Namun analisis setelah pailit menyingkapkan adanya budaya yang berbeda – tekanan yang terus menerus akan pertumbuhan pendapatan dan prakarsa individu. Bukannya memberi imbalan atas gagasan baru, perusahaan mendorong jalan pintas (comer–cutting) yang tidak etis.
u Pertama, ia menekan para eksekutif untuk meningkatkan penghasilan, u Kedua, ia menanamkan kontrol yang longgar atas cara penbciptaan penghasilan itu. u Ketiga, ia memelihara budaya “YESMAN” di kalangan eksekutif. Orang takut berbicara tentang praktik–praktik yang dipertanyakan karena takut bahwa hal itu akan sebaliknya mempengaruhi evaluasi kinerja dan besarnya bonus mereka. u Keempat, bonus dan uang menjadi segala–galanya. Perusahaan mencari dan mengimbalai orang yang dsangat mementingkan uang. Jeff Skilling, CEO yang menciptakan budaya “in your face” Enron, dikutip dengan mengatakan “Semua masalahnya adalah uang, anda dapat membeli loyalitas dengan uang”. u Kelima, walaupun manajer harus diperingkat berdasarkan kerja tim, budaya terutama dibangun berdasar pemain bintang, dengan sedikit nilai yang dicantelkan pada pembangunan tim. Organisasi mengimbali orang yang sangat kompetitif yang kurang cenderung berbagi kekuasaan, wewenang, atau informasi.
Akhirnya, perusahaan terus menetapkan sendiri harapan yang sangat optimistik atas pertumbuhan dan kemudian mendorong eksekutif menemukan cara mencapainya. (Stephen P. Robbins, 2003)
Soedjono, 2005, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hasil output AMOS 4.01 diperoleh nilai probabilitas error 3,5291 10 14 lebih kecil dari taraf signifikan 0,05 dan nilai loading 0,756 artinya hipotesis yang menyatakan budaya organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja organisasi dapat diterima. Penelitian ini mendukung penelitian Kotter dan Heskett (1992) yang menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai dampak yang kuat dan semakin besar dampaknya terhadap prestasi kerja organisasi. Budaya organisasi yang kuat dikantor dan keempat UPTD terminal merupakan hasil dari penyebaran kepercayaan dan nilainilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggotanya.
Selain itu, menurut H. Teman Koesmono, dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
terdapat pengaruh tidak langsung dari variabel Budaya organisasi terhadap variabel
Kinerja sebesar 0.267, sedangkan pengaruh tidak langsung dari variabel Motivasi terhadap variabel Kinerja sebesar 0.005. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa ada pengaruh tidak langsung dari Budaya organisasi terhadap kinerja melalui variable antara yaitu Motivasi dan kepuasan kerja. Selain itu ada pengaruh tidak langsung dari variabel Budaya organisasi terhadap kinerja