Budaya Organisasi

2.2. Budaya Organisasi

Budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat, serta termasuk pengakumulasian sejarah dari objek­objek atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu (Perucci and Hamby, 1977, dalam Tampubolon 2004, 184)

Owen, 1991, dalam Tampubolon 2004, 185, mengungkapkan bahwa budaya dipandang sebagai : v Nilai – nilai atau norma yang merujuk kepada bentuk pernyataan tentang apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan oleh anggota organisasi, v Sebagai asumsi, yang merujuk kepada hal – hal apa saja yang dianggap benar atau salah. Sedangkan yang dimaksud dengan budaya organisasi (organizational culture) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan internal organisasi, karena keragaman budaya yang ada dalam suatu organisasi sama banyaknya dengan jumlah individu yang ada di dalam organisasi. Umumnya suatu budaya organisasi sangat dipengaruhi lingkungan eksternal organisasi. Setiap karyawan mempunyai ciri dan karakteristik budaya masing­masing, sehingga tidak tertutup kemungkinan ada karyawan yang tidak menyukai, tetapi ada juga yang menyukainya, sehingga diperlukan penyatuan persepsi dari seluruh karyawan atas pernyataan budaya organisasi (Tampubolon, 2004, 178)

Budaya organisasi dapat dijadikan eksplisit ketika didefinisikan sebagai sistem makna yang dianut bersama, mempunyai sifat – sifat umum yang dominan dan sejumlah sub – budaya, serta individu – individu dengan latar belakang yang berlainan dalam organisasi itu akan cenderung mendeskripsikan budaya organisasi dalam istilah – istilah yang serupa. Budaya Dominan, mengungkapkan nilai – nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Pandangan makro mengenai budaya itu memberi organisasi kepribadian yang jelas terbedakan. Sedangkan Sub – Budaya, cenderung berkembang dalam organisasi besar untuk mencerminkan masalah, situasi, atau penglaman bersama yang dapat mempengaruhi perilaku anggota – anggotanya (Robbins, 2003 : 720 ­721).

Untuk memenuhi keinginannya, suatu organisasi berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap orang – orang yang berada di dalam dan di sekitar lingkungan kerja organisasi tersebut. Kondisi seperti ini pada akhirnya membentuk suatu budaya dalam lingkungan kerja organisasi tersebut. Budaya organisasi itu didasarkan pada suatu konsep bangunan pada tiga tingkatan (Schein, 1991:

14 dalam Armanu Thoyib), yaitu:

58 Fokus Ekonomi

Vol. 2 No. 2 Desember 2007 : 51 ­ 64

Tingkatan Asumsi Dasar (Basic Assumption), Tingkatan asumsi dasar itu merupakan hubungan manusia dengan apa yang ada di lingkungannya, alam, tumbuh­tumbuhan, binatang, manusia, hubungan itu sendiri, dan hal ini, asumsi dasar bisa diartikan suatu philosophy, keyakinan, yaitu suatu yang tidak bisa dilihat oleh mata tapi ditanggung bahwa itu ada

Tingkatan Nilai (Value). Value itu dalam hubungannya dengan perbuatan atau tingkah laku, untuk itu, value itu bisa diukur (ditest) dengan adanya perubahan­perubahan atau dengan melalui konsensus sosial.

Tingkatan Artifact yaitu sesuatu yang ditinggalkan. Artifact adalah sesuatu yang bisa dilihat tetapi sulit untuk ditirukan, bisa dalam bentuk tehnologi, seni, atau sesuatu yang bisa didengar Salah satu hasil yang spesifik dari budaya yang bertumbuh dan berkembang dalam organisasi dapat menjadi perekat sosial yang membantu mempersatukan pemahaman persepsi dalam menjalankan kegiatan organisasi, dengan memberikan standar – standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.

Robbins, (2003: 721) menjelaskan bahwa budaya organisasi itu merupakan suatu system nilai yang dipegang dan dilakukan oleh anggota organisasi, sehingga hal yang sedemikian tersebut bisa membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. System nilai tersebut menurut Robbins, dibangun oleh 7 karakteristik sebagai sari (essence) dari budaya organisasi, 7 karakteristik adalah:

1. Inovasi dan pengambilan risiko (Innovation and risk taking). Tingkatan dimana para karyawan terdorong untuk berinovasi dan mengambil risiko.

2. Perhatian yang rinci (Attention to detail). Suatu tingkatan dimana para karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis dan perhatian kepada rincian.

3. Orientasi hasil (Outcome orientation). Tingkatan dimana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.

4. Orientasi pada manusia (People orientation). Suatu tingkatan dimana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil – hasil pada orang–orang anggota organisasi itu.

5. Orientasi tim (Team orientation). Suatu tingkatan dimana kegiatan kerja diorganisir di sekitar tim – tim, bukannya individu – individu.

6. Keagresifan (Aggressiveness). Suatu tingkatan dimana orang – orang (anggota organisasi) itu memiliki sifat agresif dan kompetitif dan bukannya santai – santai.

7. Stabilitas (Stability). Suatu tingkatan dimana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo daripada pertumbuhan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Budaya organisasi itu merupakan bentuk keyakinan, nilai, cara yang bisa dipelajari untuk mengatasi dan hidup dalam organisasi, budaya organisasi itu cenderung untuk diwujudkan oleh anggota organisasi (Brown, 1998: 34, dalam Amanu Thoyib).