antara penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP, dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak .
1.2. Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi
Medan
1.3. Hipotesa
Ada hubungan antara peningkatan nilai marker inflamasi Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr.
Pirngadi Medan 1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Umum
Menentukan hubungan antara peningkatan marker inflamasi Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak.
1.4.2. Khusus
Diharapkan peningkatan penanda inflamasi Neutrofil dan CRP dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui grading histopatologi dan memprediksi beratnya radang
apendiks pada anak-anak .
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bidang Ilmiah
Peningkatan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP pada radang apendiks akut anak diharapkan dapat digunakan sebagai indikator untuk menegakkan diagnosis dan
memprediksi beratnya radang apendiks akut
1.5.2. Bidang Pelayanan Masyarakat
Sebagai bahan informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya radang apendiks akut pada anak sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dan perencanaan pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
1.5.3. Bidang Pengembangan Penelitian
Memberikan data awal kepada Divisi Bedah Anak tentang karakteristik dan hubungan antara peningkatan marker inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi
radang apendiks akut pada anak di RSUP H Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Apendisitis
Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai saat ini belum diketahui
secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan
flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses
disekitar apendiks
Schwartz, 2006
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya
1. Faktor sumbatan obstruksi
:
Sabiston , 2008
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis 90 yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60 obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringanlymphoid sub
mukosa, 35 karena stasis fekal, 4 karena benda asing dan sebab lainnya 1 diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,
karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu
Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96 dan aerob 10.
3. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang
Universitas Sumatera Utara
pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
2.1.1. Anatomi
Apendiks vermikularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen yang sempit pada
bagian proksimal dan melebar pada bagian distal , kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT Gut
Associated Lymphoid Tissue . Lo kasi apendiks t erbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium
yang mengelilinginya, yang disebut mesoapendiks yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis.
Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari lokasi apendiks ini. 65 dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya
retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat terjadi peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah sebagai berikut
:
Aschraff, 2000
1 . R e t r o c a e c a l 6 5 2 . P e l v i c
3 . A n t e c a e c a l 4 . P r e i l e a l
5 . P o s t i l e a l
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Variasi Posisi Appendix
Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat ditemukan dengan me ne lusuri ket iga t aenia ya ng t erdapat pada caecum dan co lo n, ya it u
taenia co lica, taenia libra dan taenia omentalis. Vaskularisasi appendik berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari
arteri mesent erika superior. Cabang arteri ileo ko lika ini d isebut art eri appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena mesenterika
superior. Art eri appendicular is ini t ida k me milik i ko lateral sehingga ket ika terjadi o klusi a p a p u n p e n y e b a b n y a , m a k a m u d a h t e r j a d i i s k e m i a d a n
g a n g r e n , h i n g g a a k h i r n y a perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n . v a g u s yang me ng ikut i a.mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.
2.1.2. Fisiologi
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch analog dengan Bursa Fabricus membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil,
berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis
Universitas Sumatera Utara
Bauhini dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis Gerlachi. Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli taenia libera, taenia colica, dan taenia
omentum Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
.
Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT gut
associated lymphoid tissue yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh. Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan
terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.
Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian
luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.
Histologis - Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.
:
- Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid. - Tunika muskularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale
gabungan tiga tinea coli sebelah luar. - Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum viscerale.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi
ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras fekalit, hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi
yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin
atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga
semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding
apendiks. Selain infeksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara Hematogen ke apendiks.
2.1.4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60
cmH20 . Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah edema dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural dinding apendiks. Pada saat inilah terjadi Apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Universitas Sumatera Utara
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendisitis supuratif akut.
Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan obstruksi lumen apendiks oleh fekalith atau hiperplasia. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut pecah, akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke dalam rongga peritoneum yang
mengakibatkan peritonitis dan dapat berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan kematian.
Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam pertama. Bila semua proses tersebut
berjalan lambat maka usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat
. Hermanto, 2011
2.1.5. Klasifikasi Histopatologi
Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran ,
klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
Apendisitis Simpel Apendistis akut fokal grade I:
Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa
Apendisitis Supurativa grade Il:
Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat
fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan
mesenterium didekatnya.
Gambar 3. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa dan muskularis
Universitas Sumatera Utara
Apendisitis Gangrenosa grade III:
Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman area gangren. Pada stadium
ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.
Gambar 4. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik
Apendisitis Ruptur grade IV:
Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan
berbau busuk.
Gambar 5. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai disertai diskontinuitas jaringan
Universitas Sumatera Utara
Apendisitis Abses grade V:
Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau
seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.
Gambar 6. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh
karena itu pendeita harus benar-benar istirahat bedrest. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
Santacrose, 2006
Universitas Sumatera Utara
2.2. Gejala Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar nyeri tumpul di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di
daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Apendisitis kadang juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 – 38,5 derajat celcius
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain
6
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar- samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar
umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah
titik Mc Burney. Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.
1. Nyeri abdominal
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh
belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang
tidak spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi
. Aiken et all , 2007
Universitas Sumatera Utara
2.3. Pemeriksaan Penunjang