Perbandingan Keakuratan Antara C – Reaktif Protein Dan Hitung Leukosit Dalam Mendiagnosis Radang Apendiks Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Pendidikan FK USU

(1)

KARYA TUGAS MAGISTER PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN USU

PERBANDINGAN KEAKURATAN ANTARA C – REAKTIF PROTEIN DAN HITUNG LEUKOSIT DALAM MENDIAGNOSIS RADANG APENDIKS AKUT

PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK USU

Oleh

Dr. KAPRI JAYA SAKTI \

Pembimbing :

Dr. MAHYONO , SpB - KBA

Dr. ERJAN FIKRI , M.Ked (Surg), SpB - KBA

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN USU UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 1 3


(2)

KARYA TULIS TUGAS MAGISTER

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH : NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI

RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

PENELITI Dr. KAPRI JAYA S

PEMBIMBING 1: PEMBIMBING 2:

( Dr. MAHYONO SpB, SpBA ) ( Dr. ERJAN FIKRI, M. Ked (Surg), SpB, SpBA ) NIP : 140 161 421 NIP : 19630127198911101

DIKETAHUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN ILMU BEDAH KETUA PROGRAM STUDI ILMU BEDAH FK USU, FK USU,

Dr. EMIR TARIS PASARIBU, SpB (K) Onk

NIP : 19520304 198002 1 001 NIP : 19610316 198611 1 001 Dr. MARSHAL, SpB. TKV


(3)

KARYA TULIS TUGAS MAGISTER

NAMA : Dr. KAPRI JAYA SAKTI SEMESTER : XII

JUDUL : HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH:

NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING

HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

PEMBIMBING 1 : Dr. MAHYONO SpB, SpBA

NIP : 140 161 421

PEMBIMBING 2 : Dr. ERJAN FIKRI, M. Ked (Surg), SpB, SpBA NIP : 19630127198911101

MEDAN, JUNI 2013 SEKSI ILMIAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU

NIP : 196712201997031001 Dr. BUDI IRWAN , SpB (K) BD


(4)

SURAT KETERANGAN

SUDAH DIPERIKSA KARYA TULIS TUGAS AKHIR

JUDUL : HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH: NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

PENELITI : Dr. KAPRI JAYA S

DEPARTEMEN : DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU INSTITUSI : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, 15 JUNI 2013 KONSULTAN

METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN

USU MEDAN

NIP : 19511202 197902 1 001 PROF. Dr. AZNAN LELO, PhD, SpFK


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH ( NEUTROFIL DAN CRP ) DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA

ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2013


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini yang merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terimakasih da penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

Kedua orang tua, ayahanda dan Ibunda terimakasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani kehidupan.

Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta, Tri Murti dan anak-anakku Miranda , Kevin , Meisya dan Asyifa atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini.

Kepada kakak-kakak dan adik dan seluruh keluarga besar yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu di sini, penulis menucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

Kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kepada Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. Emir T Pasaribu, SpB(K)ONK dan Sekretaris Departemen, Dr. Erjan Fikri, SpB, SpBA (yang sekaligus pembimbing penulisan tesis ). Ketua Program Studi Ilmu Bedah, Dr. Marshal SpB, SpBTKV dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, Dr. Asrul S, SpB-KBD,


(7)

yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan.

Rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru di divisi Bedah Anak , Dr. Mahyono , Dr. Erjan Fikri , Dr. M. Iqbal , pembimbing penulisan tesis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah sabar membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru saya: Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. IskandarJapardi, SpBS(K), Prof. Adril A Hakim, SpS, SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB, SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB, SpOT, Alm.Prof. Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof. BuchariKasim, SpBP, dr. Syahbuddin Harahap, SpB, dr. Syahbuddin Harahap, SpB; dr. Liberti Sirait, SpB-KBD; dr. Budi Irwan SpB-KBD; dr. Asrul S, SpB-KBD; dan dr. Adi Muradi SpB-KBD , dr. Harry Soejatmiko, SpB, SpBTKV, dr. Edi Sutrisno, SpBP, dr. Chairiandi Siregar, SpOT, , dr. Riahsyah Damanik, SpB(K)Onk, dr.Tiur Purba, SpB, dr. Kamal B Siregar, SpB(K)Onk, dr. Suyatno SpB (K) Onk , dr. Bungaran Sihombing, SpU, dr. Syah M Warli, SpU, dr. Sumiardi Karakata, SpU, dr. Jaelani, SpBP, dr. Frank Buchari, SpBP(K)RE, dr. Utama Tarigan, SpBP(K)RE, dr. Rasidi Siregar, SpB, dr. Suhelmi, SpB, dr. Ramotan Purba, SpB, dr. Nazwir Nazar, SpB, dr. Manan, SpOT, dr. Zahri A Rani, SpU, dr. Azwarto, SpB, dr. Albiner Simarmata, SpB(K)Onk, dr. Robert Siregar, SpB, dr. Nasrun, SpB, dr. Afdol, SpB, dr. ErinaOutri, SpB-KBD, dr. Marahakim, SpB, dr. Amrin Hakim, SpB, Alm. dr.Daten Bangun, SpB dan seluruh guru bedah saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program pendidikan ini.

Kepada Dr. Jamaluddin SpPA , Dr. Sutoyo SpPA , dan semua staf di Departemen Patologi Anatomi saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya yang telah memberikan bimbingan , masukan dan saran kepada saya sewaktu konsultasi karya tulis ini di Departemen Patologi Anatomi .


(8)

Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu serta motivasi beliau dalam membimbing metodologi dan statistik dari tulisan tugas akhir ini.

Para senior, dan semua rekan seperjuangan peserta program studi Bedah Medan yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan. Terima kasihku buat kalian semua di sepanjang waktu kebersamaan kita.

Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi, RSUD Singkil, RSUD Panyabungan, RS Balige, RSUD Samosir , RSUD Sipirok, dan di semua tempat yang pernah bersama penulis selama penulis menimba ilmu. Terima kasihku buat kalian semua di sepanjang waktu kebersamaan kita.

Mohon maaf penulis pada semua orang, atas kesalahan ucapan dan perbuatan yang telah terjadi. Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.

Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan spesialisasi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Juni 2013

Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ………. i

LEMBAR PERNYATAAN ……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ……… x

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii

ABSTRAK ………. xiii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Hipotesis Penelitian... 2

1.4. Tujuan Penelitian …... 2

1.5. ManfaatPenelitian... 1.5.1. Bidang akademik/ilmiah ...……… 3

1.5.2. Bidang pelayanan Masyarakat ... 3

1.5.3. Bidang pengembangan penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Apendisitis ………. ... 6

2.1.1. Anatomi ……… 7

2.1.2. Fisiologi ………. 8

2.1.3. Etilogi ……… 10

2.1.4. Patofisiologi ………. 10

2.1.5. Klasifikasi Histopatologi ………. 11

2.2. Gejala Klinis ... 15

2.3. Pemeriksaan Penunjang ... 16

2.3.1. Pemeriksaan darah ( Penanda Inflamasi ) ……… 16

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain ... 19

3.2. Tempat dan Waktu ... 19

3.3. Populasi dan Sampel ... 19

3.4. Perkiraan Besar Sampel ... 19

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 19

3.5.1. Kriteria inklusi ... 19


(10)

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 19

3.7. Etika Penelitian ... 20

3.8. Cara Kerja ... 20

3.8.1.Alokasi Subjek ...…20

3.8.2.Tahap persiapan ... 20

3.8.3.Tahap pelaksanaan ... 20

3.8.4.Tahap akhir penelitian ... 20

3.9. Identifikasi Variabel ... 20

3.10. Kerangka Kerja ………... 21

3.11. Kerangka Teori ……… ………..…… 22

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisa Data ... 22

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sampel ……… 23

4.2. Histopatologi Apendisitis ……… 25

4.3. Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis…27 4.4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ………....… 27

4.5. Hubungan antara Nilai Neutrofil dan CRP dengan Grading Histopatologi…. 28 BAB 5. PEMBAHASAN Pembahasan ………. 31

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ………. 33

6.2. Saran ………33


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1.1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin ………..… 23 4.1.2. Distribusi pasien berdasarkan usia ………..……….….... 24

4.2.1. Distribusi Frekuensi Pasien berdasarkan Diagnosis ………..… 26

4.2.2 Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis …….. 27

4.4.1. Kadar Neutrofil menurut diagnosis Apendisitis ……….. 29

4.4.2. Kadar CRP menurut diagnosis Apendisitis ………. 30


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Variasi Posisi Apendiks ……… 8 Gambar 2. Sel-sel radang akut di lapisan mukosa ……….. 12 Gambar 3. Sel-sel radang akut di lapisan mukosa , submukosa dan muskularis ………… 12 Gambar 4. Sel-sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik ……….. 13 Gambar 5. Sel-sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai

Diskontinuitas jaringan ………. 13 Gambar 6. Sel-sel radang akut menginfiltrasi sampai serosa ………. 14 Gambar 7. Induction and synthesis of CRP in hepatocytes ……… 18 Diagram 4.1.1. Persentase jenis kelamin penderita radang apendiks akut pada anak ……. 24 Diagram 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan Usia ………..… 25 Diagram 4.2.1. Frekuensi pasien berdasarkan diagnosis histopatologi ……….. 26 Diagram 4.4.1. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda

Neutrofil ……… 28

Diagram 4.4.2. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda CRP …… 28


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Variabel Data Penelitian 2. Susunan Peneliti

3. Rencana Anggaran Penelitian 4. Jadwal Penelitian

5. Naskah Penjelasan kepada Orang Tua /Kerabat Pasien lainnya 6. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

7. Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian 8. Formulir/Kuisioner


(14)

Hubungan antara Penanda Inflamasi Darah ( Neutrofil dan CRP ) dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut pada Anak di Rumah Sakit Pendidikan

FK – USU Medan Abstrak Latar belakang

Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Ulrich sach dkk di Jerman mengatakan bahwa Sitokin dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk beratnya radang Appendiks . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000 anak antara usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17 tahun . Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem pada bidang bedah, angka negative Apendectomy berkisar 20 – 35 % . C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan . Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional untuk mengetahui hubungan antara penanda inflamasi ( Neutrofil dan CRP ) dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak. Penelitian dilakukan di sub bagian Bedah Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan , selama kurun waktu Desember 2012 sampai April 2013.

Hasi Penelitian

Selama periode Desember 2012 sampai dengan April 2013 terdapat 26 pasien anak dengan radang apendiks akut yang datang ke RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan. Dari 26 pasien anak tersebut , jumlah anak laki-laki 15 orang , perempuan 11 orang , umur terendah yang dijumpai 3,5 tahun , dengan rata-rata umur 9 tahun ( 9,7 ± 3, 45 ). Dari hasil analisa statistik nilai Neutrofil dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,165 (α = 0,05). Analisa statistik nilai CRP dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,022 (α = 0,05) . Dari penelitian ditemukan 18 anak dengan apendisitis akut perforasi ( 68 % ) dan terbanyak pada kelompok umur 6 – 10 tahun , 11 orang (42 %) dengan apendisitis akut perforasi.

Kesimpulan

Jenis radang apendiks akut pada anak yang banyak djumpai setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adalah apendisitis akut perforasi. Pada penelitian ini pemeriksaan CRP menunjukkan hubungan yang bermakna dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak , dimana peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi yang meningkat.


(15)

Hubungan antara Penanda Inflamasi Darah ( Neutrofil dan CRP ) dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut pada Anak di Rumah Sakit Pendidikan

FK – USU Medan Abstrak Latar belakang

Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Ulrich sach dkk di Jerman mengatakan bahwa Sitokin dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk beratnya radang Appendiks . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000 anak antara usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17 tahun . Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem pada bidang bedah, angka negative Apendectomy berkisar 20 – 35 % . C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan . Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional untuk mengetahui hubungan antara penanda inflamasi ( Neutrofil dan CRP ) dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak. Penelitian dilakukan di sub bagian Bedah Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan , selama kurun waktu Desember 2012 sampai April 2013.

Hasi Penelitian

Selama periode Desember 2012 sampai dengan April 2013 terdapat 26 pasien anak dengan radang apendiks akut yang datang ke RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan. Dari 26 pasien anak tersebut , jumlah anak laki-laki 15 orang , perempuan 11 orang , umur terendah yang dijumpai 3,5 tahun , dengan rata-rata umur 9 tahun ( 9,7 ± 3, 45 ). Dari hasil analisa statistik nilai Neutrofil dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,165 (α = 0,05). Analisa statistik nilai CRP dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,022 (α = 0,05) . Dari penelitian ditemukan 18 anak dengan apendisitis akut perforasi ( 68 % ) dan terbanyak pada kelompok umur 6 – 10 tahun , 11 orang (42 %) dengan apendisitis akut perforasi.

Kesimpulan

Jenis radang apendiks akut pada anak yang banyak djumpai setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adalah apendisitis akut perforasi. Pada penelitian ini pemeriksaan CRP menunjukkan hubungan yang bermakna dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak , dimana peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi yang meningkat.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa Sitokin dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk beratnya radang Appendiks ( Ulrich Sach, 2006 ) . Radang apendiks akut banyak dijumpai pada usia muda, 40 % penderita radang apendiks akut dijumpai antara umur 10 – 30 tahun, sangat jarang pada bayi . Ratio laki-laki dibandingkan dengan perempuan pada usia remaja 3:2 dan menjadi 1 :1 sesudah usia 25 tahun . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000 anak usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17 tahun ( Schwartz, 2009 ) Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem pada bidang bedah, angka negative Appendectomy berkisar 20 – 35 % . ( Lawrence , 2002 )

Secara umum bahwa appendectomy adalah terapi pilihan pada anak , keterlambatan dalam diagnosis apendisitis akut dikaitkan dengan peningkatan resiko perforasi dan komplikasi lebih lanjut. Saat ini , angka kematian akibat radang apendiks akut yang telah dilakukan pengobatan dilaporkan < 1 %. Penatalaksanaan secara konservatif telah dievaluasi pada beberapa penelitian pada orang dewasa , tetapi tidak ditetapkan pada anak-anak . Di sisi lain pada anak-anak , pasien geriatri dan wanita usia remaja , tingkat negative appendectomy dapat mencapai 50 % ( Ulrich Sach, 2006 ). Banyak upaya telah dilakukan untuk menentukan cara mengurangi tingkat negative appendectomy setelah klinis dicurigai apendisitis akut . Berdasarkan hal ini akan menjadi sangat penting untuk dapat membedakan gejala awal apendisitis dengan nyeri abdominal non spesifik. ( Sabiston, 2008 )

Selama ini radang apendiks akut ditegakkan berdasarkan anamnese , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium / darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/ml ( leuko sitosis ) , walaupun WBC count lazim digunakan pada anak-anak dengan sangkaan radang apendiks akut , ini tidak spesifik dan tidak sensisitif untuk penyakit ini. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa leukositosis ( wbc count ≥ 15.000 /mm3 , pada usia anak < 10 tahun , dan ≥ 13.000/mm3 pada usia > 10 tahun ) adalah 18 % sensitivitasnya untuk apendisitis jika gejalanya dijumpai kurang dari 24 jam , sebaliknya sensitivitas mencapai 90


(17)

% jika gejala dijumpai dalam 48 jam atau lebih. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam , persentase wbc count

dan neutrofil pada anak-anak dengan apendisitis adalah tinggi 90% - 96 % .

( Santacrose, 2006 )

C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan. CRP adalah suatu mediator inflamasi non spesifik, ditemukan jumlah serum yang meningkat , sensitivitas 43 % - 92 % dan spesifisitas 33 % - 95 % untuk apendisitis dengan akut abdomen . Dari penelitian memberi kesan bahwa CRP adalah lebih sensitif ( > 90 % ) dari WBC count untuk mendeteksi apendiks perforasi dan abses apendiks. Pada tahun 1992 s/d 1996 dengan 211 kasus yang di diagnosa sebagai apendisitis akut, pada kelompok umur 4 s/d 14 tahun , dikatakan bahwa WBC count , CRP berkolerasi secara signifikan dengan beratnya peradangan apendiks. Identifikasi pada anak-anak dengan radang apendiks berat didukung oleh CRP, tetapi tidak dengan WBC. ( Ulrich Sach et all, 2006 )

Dari penanda inflamasi ini masing-masing memiliki tempat untuk menegakkan

radang apendiks akut pada anak. WBC count memiliki sensitivitas ≥ 90 % jika infeksi dijumpai sejak hari ke-2, Neutrofil memiliki sensitivitas 95 % jika klinis dijumpai <24 jam.

CRP dengan sensitivitas 92 % pada radang apendiks yang disertai dengan akut abdomen. ( Rothrock S.G, 2006 )

Pemeriksaan histopatologi adalah standard emas (gold standard) untuk diagnosis apendisitis akut. Gambaran histopatologi erat hubungannya dengan patofisiologi apendisitis akut. Proses peradangan apendiks dimulai dari lapisan mukosa yang akan berlanjut sampai keseluruhan dinding, juga disertai pembentukan nanah dan akhirnya terjadi perforasi. Selain terjadi perubahan histologi jaringan apendiks, juga terdapat pengimpulan sel polimorfonuklear yang menandakan adanya peradangan organ.( Robbins and Cotrans, 2004 )


(18)

Klasifikasi Klinikopatologi Robbins Cotran

Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran , klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

Apendisitis Simpel (grade I):

Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.

Apendisitis Supurativa (grade Il):

Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.

Apendisitis Gangrenosa (grade III):

Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.

Apendisitis Ruptur (grade IV):

Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.

Apendisitis Abses (grade V):

Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III,IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

Penulis mencoba melakukan penelitian yang dilakukan pada Divisi Bedah Anak RS. Pendidikan FK – USU ( RS. H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan ) , hingga saat ini belum ada dilakukan penelitian yang sama , dengan tujuan untuk mengetahui hubungan


(19)

antara penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP, dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak .

1.2. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan

1.3. Hipotesa

Ada hubungan antara peningkatan nilai marker inflamasi Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Umum

Menentukan hubungan antara peningkatan marker inflamasi Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak.

1.4.2. Khusus

Diharapkan peningkatan penanda inflamasi Neutrofil dan CRP dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui grading histopatologi dan memprediksi beratnya radang apendiks pada anak-anak .

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bidang Ilmiah

Peningkatan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP pada radang apendiks akut anak diharapkan dapat digunakan sebagai indikator untuk menegakkan diagnosis dan memprediksi beratnya radang apendiks akut

1.5.2. Bidang Pelayanan Masyarakat

Sebagai bahan informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya radang apendiks akut pada anak sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan perencanaan pengobatan.


(20)

1.5.3. Bidang Pengembangan Penelitian

Memberikan data awal kepada Divisi Bedah Anak tentang karakteristik dan hubungan antara peningkatan marker inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak di RSUP H Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Medan.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses disekitar apendiks ( Schwartz, 2006 )

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya

1. Faktor sumbatan (obstruksi)

: ( Sabiston , 2008 )

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringanlymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing

2. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.

3. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang


(22)

pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

2.1.1. Anatomi

Apendiks vermikularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen yang sempit pada bagian proksimal dan melebar pada bagian distal , kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT ( Gut Associated Lymphoid Tissue ). Lo kasi apendiks t erbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium yang mengelilinginya, yang disebut mesoapendiks yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis.

Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari lokasi apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat terjadi peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah sebagai berikut : ( Aschraff, 2000 )

1 . R e t r o c a e c a l ( 6 5 % ) 2 . P e l v i c

3 . A n t e c a e c a l 4 . P r e i l e a l 5 . P o s t i l e a l


(23)

Gambar 1. Variasi Posisi Appendix

Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat ditemukan dengan me ne lusuri ket iga t aenia ya ng t erdapat pada caecum (dan co lo n), ya it u taenia co lica, taenia libra dan taenia omentalis.

Vaskularisasi appendik berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari arteri mesent erika superior. Cabang arteri ileo ko lika ini d isebut art eri appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena mesenterika superior. Art eri appendicular is ini t ida k me milik i ko lateral sehingga ket ika terjadi o klusi a p a p u n p e n y e b a b n y a , m a k a m u d a h t e r j a d i i s k e m i a d a n g a n g r e n , h i n g g a a k h i r n y a perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n . v a g u s yang me ng ikut i a.mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.

2.1.2. Fisiologi

Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis


(24)

(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum)

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

.

Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi

obliterasi lumen apendiks komplit.

Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.

Histologis

- Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus. :

- Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid.

- Tunika muskularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale ( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.

- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum viscerale.


(25)

2.1.3. Etiologi

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding apendiks. Selain infeksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ

lain yang kemudian menyebar secara Hematogen ke apendiks.

2.1.4. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20 .

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi Apendisitis akut fokal

yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.


(26)

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendisitis supuratif akut.

Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan obstruksi lumen apendiks oleh fekalith atau hiperplasia. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut pecah,

akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke dalam rongga peritoneum yang mengakibatkan peritonitis dan dapat berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan kematian.

Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam pertama. Bila semua proses tersebut berjalan lambat maka usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan

berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. ( Hermanto, 2011 )

2.1.5. Klasifikasi Histopatologi

Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran , klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

Apendisitis Simpel / Apendistis akut fokal (grade I):

Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.


(27)

Gambar 2. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa

Apendisitis Supurativa (grade Il):

Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.

Gambar 3. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa dan muskularis


(28)

Apendisitis Gangrenosa (grade III):

Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.

Gambar 4. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik

Apendisitis Ruptur (grade IV):

Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.

Gambar 5. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai disertai diskontinuitas jaringan


(29)

Apendisitis Abses (grade V):

Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Gambar 6. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. ( Santacrose, 2006 )


(30)

2.2. Gejala Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar ( nyeri tumpul ) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Apendisitis kadang juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 – 38,5 derajat celcius

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan

mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.

1. Nyeri abdominal

2. Mual-muntah biasanya pada fase awal. 3. Nafsu makan menurun.

4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. ( Aiken et all , 2007 )


(31)

2.3. Pemeriksaan Penunjang

2.3.1.Pemeriksaan Darah ( Penanda Inflamasi ) 1. Neutrofil

Disebut juga leukosit polimorfonuklear ( PMN ) karena gumpalan-gumpalan inti yang berikat secara fleksibel dapat mengambil sekian banyak (poly) bentuk (morf) , merupakan jenis granulosit sel darah putih dan yang paling banyak dalam leukosit 45 -75 % . Neutrofil berperan di dalam garis depan pertahanan seluler terhadap invasi kuman –kuman.

Fungsi utama neutrofil adalah sebagai fagositosis dan pembersihan debris , partikel dan bakteri serta pemusnahan organisme mikroba , dan hal ini mungkin disebabkan spesialisasi membrannya untuk proses ini. Peran bermanfaat neutrofil yang telah terbukti adalah mencegah invasi oleh mikroorganisme patogen , serta melokalisasi dan mematikan patogen tersebut apabila telah terjadi invasi . ( Ronald A, 2004 )

Neutrofil ditemukan dalam aliran darah , selama fase akut peradangan , terutama sebagai akibat infeksi bakteri , paparan lingkungan dan beberapa jenis kanker , neutrofil adalah salah satu yang pertama merespon sel-sel inflamasi untuk bermigrasi ke arah sumber peradangan. Bermigrasi melalui pembuluh darah , kemudian melalui jaringan interstitial , ditargetkan oleh sinyal kimia seperti interleukin -8 , interferon gamma , dalam proses yang disebut kemotaksis.

Neutrofil berpindah dari plasma menuju daerah radang melalui diapedesis sel karena adanya sinyal-sinyal kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Perpindahan tersebut dikenal dengan kemotaksis atau perpindahan yang dirangsang oleh zat kimia. Kepekaan neutrofil terhadap rangsangan kimia tersebut menyebabkan neutrofil yang paling dahulu sampai di daerah inflamasi.

Adapun urutan yang dialami oleh sel neutrofil adalah neutrofil bergerak ke tepi pembuluh darah → melekat pada dinding pembuluh darah → keluar dari pembuluh darah→ neutrofil menelan bakteri dan debris jaringan (fagositosis). ( Dalal I , 2005 )

2. C – Reaktif Protein

C -Reaktif Protein merupakan protein darah yang terikat dengan C-polisakarida, pentamer 120 kDa. Kadarnya dapat meningkat 100 . 200 kali atau lebih tinggi pada inflamasi sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. CRP merupakan penanda inflamasi yang paling stabil. Suatu pemeriksaan C –reaktif protein adalah pemeriksaan darah yang


(32)

mengukur jumlah protein C –reaktif di dalam tubuh. CRP yang meningkat sebagai respon terhadap peradangan (alat ukur beratnya peradangan dalam tubuh). ( Ronald A, 2004 )

C-reactive protein (CRP) adalah protein yang mengikat fraksi C polisakarida dari dinding sel pneumokokus. Protein ini adalah protein fase akut klasik yang dapat disintesis di hati.Protein ini dibentuk akibat proses infeksi,peradangan, luka bakar dan keganasan.Respon fase akut diikuti dengan peningkatan aktifitas koagulasi,fibrinolitik, leukositosis, efek sistemik dan perubahan kadar beberapa jenisprotein plasma seperti CRP atau hsCRP.

Kadar CRP biasanya meningkat 6 – 8 jam setelah demam dan mencapai puncak 24 –48 jam. Pada orang normal kadar CRP < 5 mg/L dan dapat meningkat 30x dari nilai normal pada respon fase akut. ( Lorentz, 2000 )

C – Reaktif Protein dipakai untuk :

• memberikan informasi seberapa akut dan seriusnya suatu penyakit. • deteksi proses peradangan sistemik di dalam tubuh.

• membedakan antara infeksi aktifdan inaktif.

• mengikuti hasil pengobatan infeksibakterial setelah pemberian antibiotika. • mendeteksi infeksi dalam kandungankarena robeknya amnion.

• untuk mengetahui adanya infeksi pasca operasi.

• membedakan antara infeksi dan reaksi penolakan pada transplantasisumsum tulang. • mempunyai korelasi yang baik dengan laju endap darah (LED).

Sebagaimana disebutkan diatas, dikenal 2 macam protein fase akut reaktif yaitu 1. C-reactive protein (CRP)

2. high sensitive C-reactive protein (hsCRP).

hsCRP dipakai untuk deteksi dini infeksi pada anak dan menilai resiko penyakit jantung koroner. Hasil beberapa penelitian menyimpulkan bahwa hsCRP dipakai untuk memprediksi resiko penyakit jantung koroner pada orang yang tampak sehat dan dapat dipakai sebagai indikator prognosis. Oleh karena itu peningkatan kadar hsCRP tidak spesifik dan tidak dapat dinilai tanpa ada pendapat klinis (keluhan). ( Bangert SK, 2004 )


(33)


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Rancangan penelitian ini merupakan penelitian studi analitik Cross Sectional Studi 3.2.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sub Bagian Bedah Anak RSUP H.Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.

Waktu : Desember 2012 – April 2013 3.3.Objek Penelitian / Sampel

Sampel penelitian adalah anak-anak yang telah di diagnosa radang apendiks akut di Divisi Bedah Anak Rumah Sakit H. Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan. 3.4.Besar sampel

Jumlah sampel diambil berdasarkan jumlah pasien yang masuk ke divisi Bedah Anak RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

- pasien anak , usia 1 hari s/d 15 tahun

- penderita dengan diagnosis radang apendiks akut 3.5.2. Kriteria Eksklusi

- pasien anak dengan diagnosis radang apendiks kronis

- penderita anak dengan radang apendiks akut , disertai penyakit infeksi lain 3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan

Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari pasien dan keluarga pasien setelah diberi penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan 3.7. Etika penelitian


(35)

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian , yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari komisi etika penelitian Fakultas Kedokteran USU

3.8. Cara Kerja

3.8.1. Alokasi subjek

Pemilihan subjek ditetapkan melalui total sampling dan kriteria inklusi pada penelitian ini.

3.8.2. Tahap Persiapan

- Melakukan anamneses dan alloanamnese pada anak penderita radang akut appendix - Melakukan Pemeriksaan fisik diagnostik

- Melakukan pengambilan sample dengan menilai kriteria inklusi dan eksklusi 3.8.3. Tahap Pelaksanaan

- Melakukan pemeriksaan darah lengkap, neutrofil dan CRP 3.8.4. Tahap Akhir Penelitian

1. Melakukan pengumpulan data

2. Melakukan pengolahan dan analisis data hasil penelitian 3. Melakukan penyusunan dan penggandaan laporan 3.9. Identifikasi Variabel

Variabel Bebas : Radang Apendiks akut , Histopatologi ( PA ) Variabel Tergantung : Neutrofil , CRP


(36)

3.10. Kerangka kerja

3.11. Kerangka Teori

Kriteria inklusi

Nilai Neutrofil, CRP

Kriteria eksklusi

Appendectomy

Histopatologi


(37)

- Neutrofil ↑ - Mc burney sign (+)

- CRP ↑ - Blumberg sign - Rovsing sign

- demam subfebril

- local rigidity difossa iliaka kanan

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan korelasi Pearson serta disajikan dengan menggunakan program komputer. Interval kepercayaan 95 % dan p < 0,05 dinyatakan secara statistik bermakna.

BAB IV

Gejala klinis Laboratorium


(38)

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013. Dalam kurun waktu tersebut didapatkan kasus sebanyak 26 sampel penelitian pasien anak dengan radang apendiks akut . Dari sampel tersebut dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan CRP test pre operasi dan pemeriksaan histopatologi jaringan paska operasi di RS. H. Adam Malik dan RS . Pirngadi Medan.

4.1. Karakteristik Sampel

Dari 26 penderita radang apendiks akut pada anak didapatkan 15 orang berjenis kelamin laki-laki dan 11 orang berjenis kelamin perempuan. Data demografi subjek yang mengikuti penelitian ini ditampilkan dalam tabel 4.1.1 dan diagram 4.1.1

Tabel 4.1.1 Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Jumlah Proporsi

Laki-laki 15 15 / 26

Perempuan 11 11 / 26


(39)

Diagram 4.1.1 Persentase jenis kelamin penderita radang apendiks akut pada anak

Peneliti kemudian mengelompokkan subjek penelitian berdasarkan usia. Distribusi subjek penilitian ditampilkan pada tabel 4.1.2 dan diagram 4.1.2

Tabel 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan kelompok usia

Usia ( tahun ) Jumlah Proporsi

0 – 5 2 2 / 26

6 – 10 15 15/ 26

11 – 15 9 9 / 26

Total 26

58% 42%

Laki-laki Perempuan


(40)

Diagram 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan Usia

Dari tabel 4.1.2 dan diagram 2 diketahui bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita radang apendiks akut adalah pada kelompok usia anak 6 - 10 tahun , sebanyak 15 kasus (58 %) , kedua terbanyak pada kelompok usia 11 – 15 ,sebanyak 9 kasus (34 %) dan 2 kasus (8 %) pada kelompok usia 0 – 5 tahun , dengan rentang usia 0 – 15 tahun. Rata-rata usia pasien yang menderita radang apendiks akut adalah 9,7 +

4.2. Histopatologi Apendisitis

3,45 tahun dengan usia terendah adalah 3 1/2 tahun.

Frekuensi apendisitis yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan histopatologi , dapat dilihat pada tabel 4.2 dan diagram 4.2

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 – 5 6 – 10 11 – 15

Distribusi pasien berdasarkan Usia

0 – 5 6 – 10 11 – 15


(41)

Tabel 4.2.1. Distribusi Frekuensi Pasien berdasarkan Diagnosis

Diagnosis PA Frekuensi Persentase

Apendisitis akut 6 24

Apendisitis akut perforasi 18 68

Apendisitis gangrenous 1 4

Apendisial abses 1 4

Jumlah 26 100

Apendisitis akut perforasi adalah diagnosis apendisitis yang paling banyak ditemukan, sebanyak 18 dari 26 kasus (68 %) , dan kedua terbanyak adalah apendisitis akut sebanyak 6 kasus (24 %). Apendisial abses dan apendisitis gangrenosa masing masing 1 kasus (4 %)

Diagram 4.2.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis Histopatologi

0 5 10 15 20

Distribusi Pasien berdasarkan Diagnosis

Histopatologi

Apendisitis akut

Apendisitis akut perforasi Apendisitis gangrenous Apendisial abses


(42)

Tabel 4.2.2 Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis

Diagnosis PA Kelompok Umur Jumlah

0 – 5 thn 6 – 10 thn 11 – 15 thn

Apendisitis akut 1 3 2 6

Apendisitis akut perforasi 1 11 6 18

Apendisitis gangrenous - 1 - 1

Apendisial abses - - 1 1

Jumlah 2 15 9 26

Dari table 4.3 dapat diketahui , bahwa pada kelompok umur 6 – 10 tahun , kasus terbanyak dengan apendisitis akut perforasi sebanyak 11 kasus (44 % ) , pada kelompok umur 11 -15 tahun dijumpai sebanyak 6 kasus (24 %) dengan apendisitis akut perforasi.

4.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pada 26 penderita yang diteliti yang sudah dilakukan pemeriksaan histopatologi , sebanyak 16 penderita (62 %) dengan nilai Neutrofil meninggi dan 10 penderita (38 %) dengan nilai Neutrofil normal (Diagram 4.4.1). Pada hasil pemeriksaan CRP test terhadap 26 penderita dijumpai sebanyak 23 (88 %) penderita dengan serum CRP meninggi dan 3 penderita (12 %) dengan serum CRP normal .(Diagram 4.4.2)


(43)

Diagram 4.4.1. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda Neutrofil

Diagram 4.4.2 Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda CRP

4.4. Hubungan antara Nilai Neutrofil dan CRP test dengan Grading Histopatologi.

Peneliti melakukan tabulasi terhadap seluruh sampel berdasarkan variabel , umur , jenis kelamin, diagnosis, nilai Neurofil, CRP test dan grading histopatologi. Data tabulasi ditampilkan pada tabel 4.5.1 dan diagram 4.5.1

58% 42%

Neutrofil (↑)

Neutrofil (N)

88% 12%

CRP (↑)


(44)

Tabel 4.4.1. Kadar Neutrofil menurut diagnosis Apendisitis

No Diagnosis paska bedah Neutrofil

Normal Meninggi Jumlah

1 Apendisitis akut 4 2 6

2 Apendisitis akut perforasi 6 12 18

3 Apendisitis gangrenosa - 1 1

4 Apendisitis abses - 1 1

10 16 26

X2 = 1,930 df = 1 p = 0,165

Berdasarkan tabel 4.5.1 diketahui bahwa pada diantara 6 penderita apendisitis akut, 4 orang (67 %) dengan nilai Neutrofil normal dan 2 orang (33 %) dengan Neutrofil meninggi . Sedangkan diantara 18 orang dengan apendisitis akut perforasi , 6 orang (33 %) dengan nilai Neutrofil normal dan 12 orang dengan Neutrofil meninggi (67 %). Penderita apendisial abses dan apendistis gangrenosa mempunyai nilai Neutrofil meninggi.

Kemudian dilakukan analisa secara statistik untuk melihat hubungan antara nilai Netrofil dengan grading histopatologi. Dengan menggunakan uji hipotesa Chi square setelah dilakukan perhitungan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara Neutrofil dengan grading histopatologi (p = 0,165) , dengan kata lain nilai Neutrofil belum dapat menunjukkan grading histopatologi apendisitis akut pada anak, dan demikian pula sebaliknya tingginya grading histopatologi apendistis akut belum dapat memastikan tingginya nilai Neutrofil . Hubungan ini kemudian dilakukan uji korelasi dengan menggunakan Spearman. Hasil yang didapatkan adalah bahwa terdapat hubungan yang lemah antara nilai netrofil dengan grading histopatologi ( r = 0,272 , p = 0,16 )


(45)

Peneliti juga mencari hubungan antara kadar CRP dengan grading histopatologi pada pasien appendisitis. Data diuji secara analitik dengan p<0,05 dianggap bermakna secara statistik.

Tabel 4.4.2. Kadar CRP menurut diagnosis Apendisitis

No Diagnosis paska bedah

C R P

Normal Meninggi Jumlah

1 Apendisitis akut 3 3 6

2 Apendisitis akut perforasi - 18 18

3 Apendisitis gangrenosa - 1 1

4 Apendisial abses - 1 1

3 23 26

X2

Berdasarkan tabel 4.5.2 diketahui bahwa pada 6 penderita apendisitis akut, 3 orang diantaranya (50 %) memiliki nilai CRP normal dan 3 orang ( 50 % ) dengan CRP meninggi . Sedangkan pada 18 orang pasien dengan apendisitis akut perforasi , seluruh penderita (100 %) dengan nilai CRP meninggi , penderita apendisial abses dan apendistis gangrenosa mempunyai nilai CRP yang juga meninggi.

= 7,63 df = 1 p = 0,022

Kemudian dilakukan analisa secara statistik untuk melihat hubungan antara nilai CRP dengan grading histopatologi. Dengan menggunakan uji hipotesa Chi square setelah dilakukan perhitungan didapatkan hasil hubungan yang bermakna secara statistik ( p = 0,022 ) , dengan arti kata terdapat hubungan peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi apendisitis yang makin tinggi dan sebaliknya tingginya grading histopatologi menunjukkan peningkatan nilai CRP yang signifikan. Kemudian kekuatan hubungan pada 2 variabel diatas memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara CRP dengan grading hitopatologi pasien apendisitis ( r = 0,542 ; p = 0,022)


(46)

BAB V PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini , penderita apendisitis akut terbanyak adalah laki-laki 15 (58 %) dari 26 kasus , perempuan sebanyak 11 kasus (42 %) , dari data epidemiologi dikatakan insiden apendisitis sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan pada masa anak-anak (prapuber). Usia anak terbanyak yang didiagnosis dengan apendistis akut pada usia 6-10 tahun ,sebanyak 15 kasus (58 %), kelompok umur 11 – 15 tahun sebanyak 9 kasus (34 %) dan sedikit kasus apendisitis dijumpai pada usia 0 – 5 tahun , 2 kasus (8 %). Hal ini sesuai dengan data epidemiologi dimana apendisitis akut jarang dijumpai pada balita , meningkat pada pubertas dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan umur awal 20-an. ( Schwartz,

2009 )

Suatu penelitian yang dilakukan di Netherland (Rotterdam Hospital) oleh V.C Cappendijk dkk ,mendapatkan hasil dari 129 sampel apendisitis akut pada anak dijumpai 71 % dengan apendisitis akut perforasi , dan pada usia dibawah 5 tahun angka apendisitis perforasi mencapai 82 % . Keterlambatan dalam mendiagnosis suatu apendisitis akut merupakan faktor yang menyebabkan tingginya komplikasi dari apendisitis akut pada anak-anak dan ini sering terjadi karena pada awalnya anak-anak dibawa ke Pediatrik dengan keluhan gastrointestinal. Komplikasi berupa apendisitis akut perforasi terbanyak dijumpai setelah diatas 48 jam datang ke Surgeon,

Pada penelitian ini apendisitis akut dengan perforasi adalah diagnosis apendisitis akut terbanyak pada anak yang dilakukan operasi dan dikirim ke Patologi Anatomi untuk diperiksa lebih lanjut. Pasien yang didiagnosis apendistis akut perforasi dengan pemeriksaan histopatologi sebanyak 18 kasus (68 %) dari 26 kasus yang didiagnosis apendisitis akut pada Divisi Bedah Anak FK USU RSUP H. Adam Malik dan RSUD. Pirngadi Medan antara bulan


(47)

Desember 2012 s/d April 2013 , yang kedua terbanyak dengan apendisitis akut , 6 kasus (24 %) , kemudian dijumpai masing-masing 1 kasus (4 %) dengan diagnosis apendistis gangrenosa dan apendisial abses. Hal ini sesuai dengan penelitian V.C Cappendijk dkk , komplikasi apendisitis akut perforasi terbanyak dijumpai dalam penelitian ini dan anak dibawa ke rumah sakit diatas 48 - 72 jam setelah timbul gejala.

Ulrich Sack ,dkk (2006) , menyatakan keterlambatan diagnosis apendistis akut pada anak berhubungan dengan peningkatan resiko perforasi dan pilihan terapinya yang paling baik pada anak adalah Appendectomy. Perforasi merupakan komplikasi dari apendisitis akut yang tidak tertangani dalam 24-36 jam. Pada umumnya , makin lama penundaan dari diagnosis dan tindakan bedah , kemungkinan terjadinya perforasi makin besar. Resiko perforasi setelah 36 jam setelah timbulnya gejala sedikitnya 15 % .

Santacroce R dan Craig S (2006) , anak-anak memiliki kecenderungan perforasi yang lebih tinggi yaitu sebesar 50 – 85 %. Pada anak-anak dengan omentum yang lebih pendek , apendiks yang lebih panjang dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Intervensi bedah pada pasien apendistis akut sangat penting untuk menghindari perforasi apendiks.

Pada penelitian ini , dari 26 kasus yang masuk ke rumah sakit melalui unit gawat darurat , 90 – 95 % datang dengan gejala lebih dari 48 jam. Seperti dikatakan Ulrich dkk , peningkatan resiko perforasi sering dijumpai pada kasus apendisitis akut yang tidak tertangani dalam 24 – 36 jam. Dari penelitian ini didapatkan yang terbanyak berdasarkan diagnosis paska bedah , pada kelompok unur 6 – 10 tahun dengan diagnosis apendistis akut perforasi , sebanyak 11 kasus (44 %) dari 26 kasus apendistis. Pada kelompok umur 11 – 15 tahun sebanyak 6 kasus (24 %) dengan diagnosis apendisitis akut perforasi.


(48)

Selama ini radang apendiks akut ditegakkan berdasarkan anamnese , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium / darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan, sensitivitas 43 % - 92 % dan spesifisitas 33 % - 95 % untuk apendisitis dengan akut abdomen . Pada tahun 1992 s/d 1996 dengan 211 kasus yang di diagnosa sebagai apendisitis akut, pada kelompok umur 4 s/d 14 tahun , dikatakan bahwa WBC count , CRP berkolerasi secara signifikan dengan beratnya peradangan apendiks. Identifikasi pada anak-anak dengan radang apendiks berat didukung oleh CRP, tetapi tidak dengan WBC. ( Ulrich Sach et all, 2006 )

Pada peneletian ini dilakukan pemeriksaan CRP , didapatkan hasil hubungan yang bermakna antara peningkatan nilai CRP dengan grading histopatologi apendisitis akut pada anak ( p = 0.022 ). Kemudian kekuatan hubungan pada 2 variabel diatas memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara CRP dengan grading hitopatologi pasien apendisitis ( r = 0,542 ; p = 0,022).

Santacrose dkk, 2006, dalam penelitiannya mengatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam , persentase wbc count dan neutrofil pada anak-anak dengan apendisitis adalah tinggi 90% - 96 % .

Pada penelitian ini pemeriksaan nilai Neutrofil didapatkan hasil hubungan yang tidak bermakna antara nilai Neutrofil dengan grading histopatologi ( p = 0,165 ). Hal ini bisa disebabkan karena penderita datang ke rumah sakit umumnya lebih dari 48 jam , sehingga sensitivitas untuk pemeriksaan neutrofil menurun. Kemudian dilakukan uji korelasi dengan


(49)

menggunakan Spearman. Hasil yang didapatkan adalah bahwa terdapat hubungan yang lemah antara nilai netrofil dengan grading histopatologi ( r = 0,272 , p = 0,16 )


(50)

BAB VI.

SIMPULAN DAN SARAN

I. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS. H. Adam Malik / RS. Pirngadi Medan , didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar CRP dengan grading histopatologi pada pasien dengan appendisitis (p = 0,022), sedangkan hubungan antara nilai neutrofil dengan grading histopatologi tidak memberikan hubungan yang bermakna secara statistik (p = 0,165)

2. Kasus terbanyak pada apendisitis adalah pasien dengan apendisitis akut perforasi yaitu dengan jumlah 18 (69 %) dari 26 kasus dan dijumpai terbanyak kasus apendisitis akut perforasi pada anak kelompok umur 6 – 10 tahun dengan jumlah 11 kasus (42 %).

II. SARAN

1. Tingginya kasus apendistis akut perforasi pada anak-anak (69 %) ,agar kiranya pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan ( paramedis maupun medis ) dapat memprediksi dengan cepat jika anak yang datang berobat dengan keluhan nyeri perut kanan bawah disertai mual muntah kemungkinan dengan suatu gejala apendisitis akut , sehingga dapat mengurangi resiko timbulnya apendisitis perforasi ataupun apendisial abses.


(51)

2. Pemeriksaan CRP agar kiranya dapat dipakai untuk pemeriksaan darah lengkap pada kasus anak yang disangkakan dengan diagnosis apendisitis akut

3. Penelitian lebih lanjut terhadap hubungan penanda inflamasi : Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan dalam kurun waktu yang lebih panjang untuk bisa mendapatkan hasil yang lebih representatif


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Aiken J.J.,Oldham K.T. 2007. Acute appendicitis. In Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton: Nelson Textbook of Pediatrics.18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.1628-35.

Andersson RE, Hugander A, Thulin AJ: Diagnostic accuracy and perforation rate in appendicitis: association with age and sex of the patient and with appendicectomy rate. Eur J Surg 1992, 158:37-41.

Aschraff, K.W., Pediatric Surgery, 3 th Edition, WB Saunders Company, Philadelpia-NewYork-London-Tokyo, 2000: p. 406-21.

Bangert SK. Marshall WJ, Clinical Chemistry , CRPHS C-reactive protein (latex) high sensitive assay . 5th ed. Edinburgh. 2004. p241-2.

Berger D.H., Jaffe B.M. 2006. The appendix. In F. Charles Brunicardi: Schwartz Manual Surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill. p.784-99.

Bickley L.S. 2004. Assessing possible appendicitis. In Lynn S. Bickley., Peter G. Szilagyi., Barbara Bates: Guide to Physical Examination and History Taking. 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins. p.347-8.

Dalal I, Somekh E, Bilker-Reich A, Boaz M, Gorenstein A, Serour F: Serum and peritoneal inflammatory mediators in children with suspected acute appendicitis. Arch Surg 2005, 140:169-173.

Dueholm S, Bagi P, Bud M. Laboratory aid in the diagnosis of acute appendicitis: a blinded, prospective trial concerning diagnostic value of leukocyte count, neutrophil differential count, and C-reactive protein. Dis Colon Rectum 1989;32:855-9.

Eriksson S, Granstrom L, Bark S: Laboratory tests in patients with suspected acute appendicitis. Acta Chir Scand 1999,155:117-120.

Hermanto : Apendisitis pada Anak , emergency department diagnosis & management. Artikel Kesehatan , 2011.


(53)

Jasonni V. 2006. Appendectomy. In Puri P., Hollwarth M: Pediatric Surgery. Berlin: Springer. p.321-6

Kirby CP, Sparnon AL. Active observation of children with possible appendicitis does not increase morbidity. ANZ J Surg 2001;71:412-3.

Kumar, Abbas, Fausto. 2005. Appendix. In Kumar, Abbas, Fausto: Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.870-1.

Lawrence PF MD, Bell RM.MD, Dayton MT.MD : Small Intestine and Appendix in Essentials of General Surgery, 4th ed. Baltomore : William & Wilkin, 2002 : 202-6. Lorentz R. Dr. Med : Clinical Significance od C- Reactive Protein, Diagnostic and Monitoring, Boehringer Memheinm, GMBH, 2000,5-6.

O’neil JA, Grosfeld JL, Fonkalsrud EW, Coran AG, Caldamone. Apendicitis In Principle of Pediatric Surgery 2nd ed. Mosby Elsevier. 2003 p. 565-572

Paajanen H, Mansikka A, Laato M, Kettunen J, Kostiainen S: Are serum inflammatory markers age dependent in acute appendicitis? J AmColl Surg 1997, 184:303-308.

Robbins and Cotran : Pathologic Basic of Disease , 8th ed Philadelpia : by Saunders, an imprint of Elsevier Inc , 2004

Rodriguez-Sanjuan JC, Martin-Parra JI, Seco I, Garcia-Castrillo L, Naranjo A: C- reactive protein and leukocyte count in the diagnosis of acute appendicitis in children. Dis Colon Rectum 1999, 42:1325-1329.

Ronald A. Sacher , Richard A.McPherson : Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium , EGC , 2004 .

Rothrock S.G., Pagane J. 2000. Acute appendicitis in children: emergency department diagnosis & management.


(54)

Santacrose R., Craig S. 2006. Appendicitis. http://www.emedicine.com/topic41. 30 Desember 2011

Sastraasmoro S, Ismael S. Uji Diagnostik Dalam Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis edisi ke -3. CV Sagung Seto. 2008

Schwartz SI : Appendix, in Principles of Surgery, 8th ed. New York : Mc Graw Hill Inc, 2009 : 1307-30

Shozo Yokoyama, Katsunari Takifuji : C-Reactive protein is an independent surgical indication marker for appendicitis , World Journal of Emergency Surgery 2009, 4:36 Sjamsuhidayat, R , Wim de Jong : Apendiks Vermiformis , Buku Ajar Ilmu Bedah , Ed 2 , EGC , 2005 : 639 – 35.2

Snell R.S. 2007. Appendix. In: Clinical Anatomy by Regions. 8th ed. Wolters Kluwer: Lippincott Williams & Wilkins. p.231-3.

Stuart J, Whicher JT (1998). Tests for detecting and monitoring the acute phase response. Arch. Dis. Child., 63: 115-117.

Styrud J, Eriksson S, Nilsson I, Ahlberg G, Haapaniemi S, Neovius G, Rex L, Badume I, Granstrom L: Appendectomy versus antibiotic treatmentin acute appendicitis. a prospective multicenter randomizedcontrolled trial. World J Surg 2006, 30:1033-1037.

Surya , B : Peran C – Reaktive Protein dalam Menentukan Diagnosa Apendisitis Akut , Majalah Kedokteran Nusantara ,2006 , No. 3 Vol 39.

Telford GL, Condon RE : Appendix, ini Schakelfod’s Surgery of the alimentary tract, 4th ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 2001 : 140 – 8.

Tietz ,N.W : Text Book of Clinical Chemistry , 3rd

Townsend: Appendix, Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Elsevier Inc, 2008 : X – 49

, C.A. Burtis , E.R Ashwood , W.B. Saunders , 1999


(55)

Tsuji M, Puri P, Reen DJ: Characterisation of the local inflammatory response in appendicitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003, 16:43-48

Ulrich Sack, Birgit Biereder, Tino Elouahidi : Diagnostic value of blood inflammatory markers for detection of acute appendicitis in children, BMC Surgery 2006, 6:15

V.C. Cappendijk, FW J Hazebroek : The Impact of Diagnostic delay on the course of Acute Appendicitis , Arch Dis Child 2000 , 83; 64 – 66.

Von Titte SN, McCabe CJ, Ottinger LW.Delayed appendectomy for appendicitis:causes and consequences. Am J Emerg Med1996;14:620-2.

` Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, ChenRJ. Laboratory tests in patients with acute appendicitis.ANZ J Surg Jan-Feb 2006;76(1-2):71-4.5.


(56)

Lampiran 1. Tabel 5.1 No Nama Umur

(tahun)

Sex Diagnosa Neutrofil Crp test

Nilai (%)

Hasil PA Nilai mg/dl

Hasil PA

1 SR 7 Pr Difus peritonitis 83,6 App,perforasi 24 App.perforasi

2 DA 5 Pr App,akut 86,4 App.akut 12 App.akut

3 IL 15 Pr Difus peritonitis 97 App.perforasi 24 App.perforasi

4 DM 15 Pr App.akut 53,5 App.akut 12 App.akut

5 Em 10 Pr App.akut 30,1 App.akut 6 App.akut

6 SW 15 Pr Difus peritonitis 86,4 App.perforasi 48 App.perforasi

7 KQ 10 Pr Difus peritonitis 73,6 App.perforasi 24 App.perforasi

8 AD 9 Lk Difus peritonitis 93,7 App.perforasi 24 App.perforasi

9 KL 13 Lk Apendisial mass 88,4 App.abses 48 App.abses

10 PS 3 Lk Difus peritonitis 64 App.perforasi 24 App.perforasi

11 WA 6 Lk Difus peritonitis 72,3 App.perforasi 24 App.perforasi

12 Su 15 Lk App.akut 69,8 App.akut 6 App.akut

13 AX 10 Lk App.akut 88,3 App.akut 12 App.akut

14 WA 15 Pr Difus peritonitis 83,6 App.perforasi 24 App.perforasi

15 MG 8 Lk Difus peritonitis 88,7 App.perforasi 24 App.perforasi

16 TS 7 Pr Difus peritonitis 94,6 App.perforasi 24 App.perforasi

17 NM 8 Pr Difus peritonitis 80,8 App.perforasi 24 App.perforasi

18 MR 11 Lk Difus peritonitis 70,5 App.perforasi 12 App.perforasi

19 MF 7 Lk Difus peritonitis 85,9 App.perforasi 24 App.perforasi

20 FR 7 Pr Difus peritonitis 90,3 App.perforasi 24 App.perforasi

21 MS 10 Lk Difus peritonitis 84,1 App.gangrenosa 48 App.gangrenosa


(57)

23 AG 11 Lk Difus peritonitis 70,6 App.perforasi 24 App.perforasi

24 RS 9 Lk Difus peritonitis 76 App.perforasi 12 App.perforasi

25 YF 8 Lk App.akut 73,9 App.akut 6 App.akut


(58)

Lampiran 2 Susunan Peneliti

Peneliti

a. Nama lengkap : dr. Kapri Jaya Sakti

b. Pangkat/Gol/NIP : Penata Tk. I / III d / 197212262002121003 c. Jabatan Fungsional : -

d. Fakultas : Kedokteran

e. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Pembimbing I

a. Nama lengkap : dr. Mahyono , SpB, SpBA

b. Pangkat/Gol/NIP : Penata Tk. I / III d / 140 161 421 c. Jabatan Fungsional : Kepala Divisi Bedah Anak

d. Fakultas : Kedokteran

e. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

f. Bidang Keahlian : Bedah Anak

Pembimbing II

a. Nama lengkap : dr. Erjan Fikri, M. Ked (Surg), SpB, SpBA b. Pangkat/Gol/NIP : Pembina / IV a / 19630127198911101

c. Jabatan Fungsional : Staf pengajar Divisi Bedah Anak

d. Fakultas : Kedokteran

e. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara f. Bidang Keahlian : Bedah Anak


(59)

Lampiran 3

Rencana Anggaran Penelitian

No Uraian Jumlah

1 Pengumpulan data & honorarium Rp 2.800.000,- 2 Fotocopi kuesioner, dll (800 lbr x Rp 200) Rp 1.600.000,- 3 Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian Rp 700.000,- 4 Penggandaan Proposal dan Laporan Penelitian Rp 1.500.000,-

Total Rp 6.600.000,-


(60)

Lampiran 4

Jadwal Penelitian DESEMBER

2012

JANUARI

2013

FEBRUARI

2013

MARET

2013

APRIL

2013

PERSIAPAN PELAKSANAAN PENYUSUNAN LAPORAN PENGGANDAAN LAPORAN


(61)

Lampiran 5

Naskah Penjelasan kepada Subjek Penelitian/Orangtua/Kerabat Pasien Lainnya

Yth. Bapak / Ibu ………..……….……

Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri. Saya dokter Kapri Jaya S dan teman-teman, bertugas di Departemen Ilmu Bedah FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. Saat ini kami sedang melaksanakan penelitian tentang Hubungan Antara Penanda Inflamasi Darah : Neutrofil dan CRP Dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut Pada Anak di RSUP.H.Adam Malik Medan RSUD Dr Pirngadi Medan.

Bersama ini kami mohon izin kepada Bapak/Ibu orang tua / kerabat dari

____________________________________, telp :____________________________ untuk melakukan pendataan tentang kondisi kesehatan anak/ kerabat Bapak / Ibu tersebut. Kami juga memohon izin kepada Bapak / Ibu untuk melakukan pemeriksaan Darah lengkap , CRP kepada anak/ kerabat yang sedang menjalani pemeriksaan dari penyakit yang dideritanya tersebut.


(62)

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Yth. Bapak / Ibu ………..

Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri dan ingin menjelaskan (dengan menunjukkan surat tugas dari Departemen Ilmu Bedah FK – USU ). Nama saya dokter Kapri Jaya Sakti bertugas di Divisi Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FK – USU / RSUP. H. Adam Malik . Saat ini saya sedang melaksanakan penelitian “ Hubungan Antara Penanda Inflamasi Darah : Neutrofil dan CRP dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut Pada Anak “. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara peningkatan nilai marker Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mngambil sampel darah dengan menggunakan jarum suntik (spuit) 5 cc di bagian punggung tangan kanan atau kiri dan darah yang diambil kurang lebih 5 cc oleh paramedis / laboran. Kemudian dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan test CRP di RS HAM yang dilakukan oleh tenaga ahli dalam bidangnya.

Subjek penelitian adalah anak – anak umur 0 – 15 tahun. penelitian tidak berbahaya dan tidak menimbulkan efek samping, hal yang mungkin terjadi pada saat pengambilan darah seperti memar, infeksi daerah tusukan jarum, penanganannya akan dilakukan kompres di daerah tusukan dengan air hangat dan diberi antibiotik. Setelah selesai pemeriksaan darah dan penderita setuju untuk dilakukan tindakan operasi, maka jaringan apendiks/usus buntu akan dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan di bagian Patologi Anatomi RS. H. Adam


(63)

Malik ,, yang sudah merupakan prosedur tetap di RS. H. Adam Malik untuk mengetahui jenis radang apendiks yang diderita.

Segala biaya penelitian ditanggung sepenuhnya oleh peneliti dan orangtua dari anak tidak dibebankan biaya apapun dalam penelitian ini

Jika bapak / ibu bersedia agar anaknya dilakukan pemeriksaan Darah lengkap dan CRP test , maka kami mengharapkan Bapak / Ibu menandatangani lembar persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).

Jika Bapak /Ibu ada yang belum mengerti atau memerlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi saya ( Dr. Kapri Jaya S , telp 0813-65668104 )

Demikian yang dapat kami sampaikan . Atas perhatian Bapak / Ibu , kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami , Tim Peneliti


(64)

Lampiran 6 Persetujuan Setelah Penjelasan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

“ Informed Consent “

Nama : ………..……

Umur : ……… tahun L / P

Alamat :………..………..

Hubungan dengan pasien : Saya sendiri/Bapak/Ibu/anak/hubungan kerabat lainnya Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pendataan tentang kondisi kesehatan diri saya/anak/kerabat/Bapak/ Ibu tersebut. Kami juga memberi izin kepada Bapak / Ibu untuk melakukan pemeriksaan Darah, Hitung jenis darah, , CRP (C- reactive protein) , terhadap diri saya/anak/kerabat saya :

Nama : ………. Umur ……...…… tahun

Alamat Rumah :……...………..

yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya. Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

Medan, ………2012 Yang memberikan Yang membuat pernyataan persetujuan penjelasan


(65)

Lampiran 7 Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian

PERSETUJUAN KOMISI ETIK TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

Nomor : ………..

Yang bertandatangan dibawah ini , Ketua Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokterran Universitas Sumatera Utara , setelah dilaksanakan pembahasan dan penilaian usulan penelitian yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH : NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI

RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN Yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian dengan :

Ketua Pelaksana / Peneliti Utama : dr. Kapri Jaya Sakti

Institusi : Departemen Ilmu Bedah FK – USU

Dapat disetujui pelaksanaannya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik.

Medan , ……… Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan

Fakultas Kedokteran USU

(………) Ketua


(66)

Formulir/Kuisioner

Status Pasien

No. MR : Tanggal : Dilakukan Oleh :

Identitas Pribadi

Nama : ………..L / P

Usia : ... tahun

Suku bangsa : ………

Tempat, Tanggal Lahir : ………...

Alamat Rumah : ………

ANAMNESIS

Penyakit lain yang sedang dialami (jika ada) : ……… ………..……… Penyakit terdahulu yang pernah dialami (jika ada) : ……… ……….….……… ……….


(67)

PEMERIKSAAN FISIK / PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Abdomen

- Inspeksi : ………

- Palpasi : ………

- Perkusi : ………

- Auskultasi : ………

Pemeriksaan Digital Rectal Examination - Perineum :

- Spinkter ani : - Mukosa : - Ampula recti : - Sarung tangan :

Pemeriksaan Laboratorium - Darah lengkap : - Neutrofil :


(68)

Keluarga :

Nama :

Alamat :

No. HP/Rumah :

Hubungan dengan pasien :


(1)

Malik ,, yang sudah merupakan prosedur tetap di RS. H. Adam Malik untuk mengetahui jenis radang apendiks yang diderita.

Segala biaya penelitian ditanggung sepenuhnya oleh peneliti dan orangtua dari anak tidak dibebankan biaya apapun dalam penelitian ini

Jika bapak / ibu bersedia agar anaknya dilakukan pemeriksaan Darah lengkap dan CRP test , maka kami mengharapkan Bapak / Ibu menandatangani lembar persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).

Jika Bapak /Ibu ada yang belum mengerti atau memerlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi saya ( Dr. Kapri Jaya S , telp 0813-65668104 )

Demikian yang dapat kami sampaikan . Atas perhatian Bapak / Ibu , kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami ,

Tim Peneliti


(2)

Lampiran 6 Persetujuan Setelah Penjelasan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

“ Informed Consent “

Nama : ………..……

Umur : ……… tahun L / P

Alamat :………..………..

Hubungan dengan pasien : Saya sendiri/Bapak/Ibu/anak/hubungan kerabat lainnya Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pendataan tentang kondisi kesehatan diri saya/anak/kerabat/Bapak/ Ibu tersebut. Kami juga memberi izin kepada Bapak / Ibu untuk melakukan pemeriksaan Darah, Hitung jenis darah, , CRP (C- reactive protein) , terhadap diri saya/anak/kerabat saya :

Nama : ………. Umur ……...…… tahun

Alamat Rumah :……...……….. yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya. Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

Medan, ………2012 Yang memberikan Yang membuat pernyataan persetujuan penjelasan


(3)

Lampiran 7 Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian

PERSETUJUAN KOMISI ETIK TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

Nomor : ………..

Yang bertandatangan dibawah ini , Ketua Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokterran Universitas Sumatera Utara , setelah dilaksanakan pembahasan dan penilaian usulan penelitian yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH : NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI

RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

Yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian dengan : Ketua Pelaksana / Peneliti Utama : dr. Kapri Jaya Sakti

Institusi : Departemen Ilmu Bedah FK – USU

Dapat disetujui pelaksanaannya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik.

Medan , ……… Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan

Fakultas Kedokteran USU

(………) Ketua


(4)

Formulir/Kuisioner

Status Pasien

No. MR : Tanggal : Dilakukan Oleh :

Identitas Pribadi

Nama : ………..L / P

Usia : ... tahun

Suku bangsa : ………

Tempat, Tanggal Lahir : ………...

Alamat Rumah : ………

ANAMNESIS

Penyakit lain yang sedang dialami (jika ada) : ……… ………..……… Penyakit terdahulu yang pernah dialami (jika ada) : ……… ……….….……… ……….


(5)

PEMERIKSAAN FISIK / PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Abdomen

- Inspeksi : ………

- Palpasi : ………

- Perkusi : ………

- Auskultasi : ………

Pemeriksaan Digital Rectal Examination - Perineum :

- Spinkter ani : - Mukosa : - Ampula recti : - Sarung tangan :

Pemeriksaan Laboratorium - Darah lengkap : - Neutrofil :


(6)

Keluarga :

Nama :

Alamat :

No. HP/Rumah :

Hubungan dengan pasien : Tanda tangan :


Dokumen yang terkait

Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

2 70 87

Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4 95 88

Perbandingan Kadar C-Reaktif Protein Pada Keturunan Diabetes Melitus Tipe 2

0 67 45

Perbandingan antara C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin pada Anak dengan Disfungsi Multi Organ Akibat Sepsis. Hanik

0 4 56

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score Dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Apendisitis - Perbandingan Keakuratan Antara C – Reaktif Protein Dan Hitung Leukosit Dalam Mendiagnosis Radang Apendiks Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Pendidikan FK USU

1 4 13

PERBANDINGAN KEAKURATAN ANTARA C – REAKTIF PROTEIN DAN HITUNG LEUKOSIT DALAM MENDIAGNOSIS RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK USU

0 3 14

HUBUNGAN JUMLAH NEUTROFIL DENGAN KADAR C REAKTIF PROTEIN PADA PENDERITA FEBRIS ANAK DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KEDIRI

0 1 16

HUBUNGAN JUMLAH LEUKOSIT DENGAN KADAR C- REAKTIF PROTEIN PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN INDIKASI KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH GRESIK

0 0 12

GAMBARAN PEMERIKSAAN LAJU ENDAP DARAH (LED), C-REAKTIF PROTEIN (CRP), DAN LEUKOSIT PADA PASIEN YANG DIDIAGNOSA SUSPECT TYPHOID FEVER DI RUMAH SAKIT SURABAYA MEDICAL SERVICE

0 0 13