Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pemberian Informed Consent pada Pasien Pra Operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues

(1)

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA

OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES

TESIS

Oleh

ENA TRIANA 107032002/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA

OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ENA TRIANA 107032002/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES TAHUN 2012

Nama Mahasiswa : Ena Triana Nomor Induk Mahasiswa : 107032002

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) (dr. Fauzi, S.K.M Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 30 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M

2. dr. Heldy BZ, M.P.H 3. dr. Surya Dharma, M.P.H


(5)

PERNYATAAN

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA

OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2012 Penulis,

Ena Triana 107032002/IKM


(6)

ABSTRAK

Operasi dapat menimbulkan kecemasan baik bagi klien maupun keluarga sehingga perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberi perhatian pada upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi yang dapat terjadi. Persiapan pra operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi, karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan penderita dan persiapan pra operasi yang telah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat kecemasan pada pasien bedah sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Jenis penelitian adalah quasi-eksperimen, dengan menggunakan satu kelompok subjek yang terdiri 32 responden serta dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Alat pengumpulan data adalah kuesioner dan uji yang digunakan adalah uji t-test dengan tingkat signifikasi (α) sebesar 0,05.

Uji t-test menunjukkan hasil yang signifikans (p < 0,05), artinya ada perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian informed consent.

Perubahan tingkat kecemasan pasien dari yang tidak mengalami kecemasan sebelum pemberian informed consent 7 orang sesudah pemberian informed consent 10 orang, tingkat kecemasan ringan sebelum pemberian informed consent 8 orang sesudah pemberian informed consent 16 orang, tingkat kecemasan sedang sebelum pemberian informed consent 12 orang sesudah pemberian informed consent 6 orang, dan tingkat kecemasan berat sebelum pemberian informed consent 5 orang sesudah pemberiani informed consent tidak ada.

Disarankan kepada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues perlu mempertahankan dan meningkatkan komunikasi dalam pemberian informed consent terhadap pasien yang mengahadapi operasi.

Kata Kunci : Pemberian Informed Consent, Tingkat Kecemasan Pasien Pra Bedah


(7)

ABSTRACT

Operation can cause anxiety for both the clients and their family that nurses and other health workers need to pay attention to the efforts to reduce anxiety and at the same time to lower the operation risks that may arise

The purpose of this quasi-experimental study was to find out the influence of the different levels of anxiety on the surgical patients before and after giving an informed consent. The samples for this study were a subject group consisting of 32 respondents who were measured before and after giving the informed consent. The data for this study were obtained through questionnaire distribution and then were analyzed through t-test at α = 0.05.

. Pre-operation preparation is very important to minimize the operation risk because the outcome of surgery depends very much on the assessment of the condition of patient and the pre-operation preparation done.

The result of t-test showed a significant result (p < 0.05) meaning that there was a difference between before and after giving the informed consent. The level of anxiety changed from 7 patients who did not experience anxiety before giving the informed consent to 10 after giving the informed consent; from 8 patients with minor anxiety before giving the informed consent to 16 after giving the informed consent; from 12 patients with moderate anxiety before giving the informed consent to 6 after giving the informed consent; from 5 patients with severe anxiety before giving the informed consent to after giving informed consent became zero.

The management of Gayo Lues District Hospital should motivate the medical personal to improve the quality of communication.


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT Karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pemberian Informed Consent pada Pasien Pra Operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues”.

Tesis ini merupakan salah satu pesyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan dr Fauzi, S.K.M selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini selesai. Pada kesempatan ini juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera.

3. Prof. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera


(9)

Utara serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.

5. dr. Heldy Bz, MPH dan dr. Surya Dharma, MPH selaku dosen Penguji yang telah banyak memberi masukan berupa saran dan kritikan untuk perbaikan tesis ini. 6. Kedua orang tua tercinta Asminah dan Basyarudin (Alm) yang telah banyak

membantu baik moril maupun material, memberikan dorongan dan semangat serta do’a yang tiada henti-hentinya kepada penulis dalam pembuatan tesis.

7. Kepada saudara-saudaraku Syafri Amin, Suriani, Laila Damai Yanti, Peni Ernita, Mirwan, Hilwa Iwayu, Nazira Khansa, M Fadhil Aufa yang penulis sayangi yang telah banyak memberi motivasi dan do’a kepada penulis dalam proses penyusunan tesis penelitian ini.

8. Rekan-rekan di peminatan AKK stambuk 2010 yang telah memberi dukungan kepada penulis.

9. dr. Taufik Ririansyah selaku Direktur RSUD Kabupaten Gayo Lues yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di RSUD Kabupaten Gayo Lues dan semua responden yang telah bersedia di wawancarai dalam penyusunan tesis ini.

Akhirnya dengan hati terbuka penulis mohon maaf andai terdapat kesalahan maupun kekeliruan dalam melakukan penelitian ini. Kiranya Allah SWT akan membalas semua kebaikan yang telah penulis terima selama ini. Semoga penelitian ini bermanfaat pada berbagai pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa


(10)

tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Oktober 2012 Penulis,

Ena Triana 107032002/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Ena Triana, lahir pada tanggal 3 Mei 1988 di Kabupaten Gayo Lues, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm. Basyarudin dan Asminah.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan dasar di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Gayo Lues selesai tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Blangkejeren selesai tahun 2002, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Blangkejeren selesai tahun 2005, S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat STIKes Helvetia Medan selesai 2009.

Tahun 2010 penulis mengikuti pendidikan lanjutan pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Permasalahan ... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Hipotesis ... 7

1.5Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Kecemasan ... 9

2.1.1 Pengertian dan Batas Kecemasan ... 9

2.1.2 Angka Kejadian Kecemasan ... 10

2.2.3 Cara Mengukur Kecemasan ... 11

2.2 Informed Consent ... 14

2.2.1 Pengertian Informed Consent ... 14

2.2.2 Tujuan dan Fungsi Persetujuan Tindakan Medis ... 15

2.2.3 Bentuk Persetujuan Tindakan Medis ... 16

2.2.4 Informasi ... 17

2.2.5 Informasi yang Harus Disampaikan ... 21

2.2.6 Hak-Hak dan Kewajiban Pasien ... 23

2.2.7 Persetujuan Tindakan Medis ... 26

2.2.8 Penolakan Tindakan Medis ... 26

2.2.9 Manajemen Unit Kerja Informasi Kesehatan ... 27

2.3 Operasi ... 28

2.3.1 Pengertian Operasi ... 28

2.3.2 Tahap-Tahap Operasi ... 30

2.3.3 Persiapan-Persiapan Sebelum Operasi ... 31

2.4 Landasan Teori ... 33


(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Jenis Penelitian ... 37

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

3.3 Populasi dan Sampel ... 38

3.3.1 Populasi ... 38

3.3.2 Sampel ... 38

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 38

3.4.1 Data Primer ... 38

3.4.2 Data Sekunder ... 39

3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 39

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 41

3.5.1 Variabel Bebas ... 42

3.5.2 Variabel Terikat ... 44

3.6 Metode Pengukuran ... 43

3.6.1 Tabel Pengukuran ... 43

3.6.2 Aspek Pengukuran ... 44

3.7. Metode Analisis Data ... 45

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 46

4.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ... 46

4.2 Analisis Univariat ... 46

4.2.1 Gambaran Karakteristik Responden ... 46

BAB 5. PEMBAHASAN ... 52

5.1 Karakteristik Responden ... 52

5.2 Kecemasan dalam Operasi... 52

5.3 Pemberian Informed Consent ... 54

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1 Kesimpulan ... 57

6.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Alat Ukur HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety) ... 12

3.1. Uji Validitas Variabel ... 40

3.2. Uji Reliabilitas Variabel ... 41

3.3. Tabel Pengukuran ... 43

4.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 46

4.2. Distribusi Jawaban Responden Berdasarkan Komunikasi dalam Pemberian Informed Consent ... 48

4.3. Distribusi Responden Berdasrkan Skor Tingkat Kecemasan sebelum dan sesudah Pemberian Komunikasi Informed Consent. ... 49

4.4. Distribusi Tingkat Kecemasan sebelum dan sesudah Komunikasi dalam Pemberian Informed Consent Pada Pasien Pra Operasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues ... 50


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 36


(16)

ABSTRAK

Operasi dapat menimbulkan kecemasan baik bagi klien maupun keluarga sehingga perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberi perhatian pada upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi yang dapat terjadi. Persiapan pra operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi, karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan penderita dan persiapan pra operasi yang telah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat kecemasan pada pasien bedah sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Jenis penelitian adalah quasi-eksperimen, dengan menggunakan satu kelompok subjek yang terdiri 32 responden serta dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian informed consent. Alat pengumpulan data adalah kuesioner dan uji yang digunakan adalah uji t-test dengan tingkat signifikasi (α) sebesar 0,05.

Uji t-test menunjukkan hasil yang signifikans (p < 0,05), artinya ada perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian informed consent.

Perubahan tingkat kecemasan pasien dari yang tidak mengalami kecemasan sebelum pemberian informed consent 7 orang sesudah pemberian informed consent 10 orang, tingkat kecemasan ringan sebelum pemberian informed consent 8 orang sesudah pemberian informed consent 16 orang, tingkat kecemasan sedang sebelum pemberian informed consent 12 orang sesudah pemberian informed consent 6 orang, dan tingkat kecemasan berat sebelum pemberian informed consent 5 orang sesudah pemberiani informed consent tidak ada.

Disarankan kepada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues perlu mempertahankan dan meningkatkan komunikasi dalam pemberian informed consent terhadap pasien yang mengahadapi operasi.

Kata Kunci : Pemberian Informed Consent, Tingkat Kecemasan Pasien Pra Bedah


(17)

ABSTRACT

Operation can cause anxiety for both the clients and their family that nurses and other health workers need to pay attention to the efforts to reduce anxiety and at the same time to lower the operation risks that may arise

The purpose of this quasi-experimental study was to find out the influence of the different levels of anxiety on the surgical patients before and after giving an informed consent. The samples for this study were a subject group consisting of 32 respondents who were measured before and after giving the informed consent. The data for this study were obtained through questionnaire distribution and then were analyzed through t-test at α = 0.05.

. Pre-operation preparation is very important to minimize the operation risk because the outcome of surgery depends very much on the assessment of the condition of patient and the pre-operation preparation done.

The result of t-test showed a significant result (p < 0.05) meaning that there was a difference between before and after giving the informed consent. The level of anxiety changed from 7 patients who did not experience anxiety before giving the informed consent to 10 after giving the informed consent; from 8 patients with minor anxiety before giving the informed consent to 16 after giving the informed consent; from 12 patients with moderate anxiety before giving the informed consent to 6 after giving the informed consent; from 5 patients with severe anxiety before giving the informed consent to after giving informed consent became zero.

The management of Gayo Lues District Hospital should motivate the medical personal to improve the quality of communication.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Manusia pernah merasakan sakit, baik itu penyakit ringan ataupun penyakit yang parah. Penyakit yang parah membutuhkan perawat dan terapi pengobatan yang baik. Pada penyakit-penyakit tertentu seperti Appendisitis, terapi yang baik adalah pembedahan disamping perawatan dan terapi pengobatan. Operasi atau pembedahan merupakan suatu langkah yang sangat penting untuk dilakukan apabila tindakan pembedahan tersebut merupakan satu-satunya jalan keluar bagi pasien (Effendy, 2005).

Salah satu layanan yang ada di Rumah Sakit adalah layanan pengobatan melalui operasi. Operasi merupakan tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan kecemasan. Kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam baik fisik maupun psikologis misalnya harga diri dan identitas diri (Brunner & Suddart, 2001).

Kebanyakan orang akan merasa cemas ketika divonis harus menjalani operasi meskipun itu hanya operasi kecil. Sebab menurut pemahaman awam operasi berarti ada bagian tubuh yang akan disayat, dibuka sampai ke dalam dalamnya. Oleh sebab itu, sebagian orang pasti akan merasa cemas ketika harus menunggu tindakan medis tersebut. Walaupun demikian, sebuah operasi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Misalnya, jika tumor ganas dibiarkan bersarang di tubuh seseorang, maka dapat dipastikan kisah hidupnya bakal berakhir, operasi dapat


(19)

menjadi salah satu solusi. Namun, jika tidak dipertimbangkan secara tepat dan penuh perhitungan, tindakan medis tersebut dapat berakhir dengan kerugian di pihak pasien (Kusmawan, 2011).

Operasi dapat menimbulkan respon yang berbeda bagi setiap pasien hal ini beralasan karena status kesehatan, kondisi akut atau kronis dan prognosa penyakit, serta pengalaman tindakan operasi pasien juga berbeda. sehingga respon pasien juga berbeda dan dapat ditunjukan melalui beberapa cara yaitu: cemas, marah, bingung, menolak, dan mengajukan banyak pertanyaan (Taylor, 1993).

Pasien pra operasi juga dapat mengalami berbagai ketakutan, terutama ketakutan terhadap anestesi, nyeri, sesuatu yang buruk akan terjadi dan kematian, rasa takut/khawatir, ancaman lain terhadap citra tubuh dapat timbul karena ketidak tahuan pasien. Selain ketakutan-ketakutan di atas pasien sering mengalami kekhawatiran masalah finansial, tanggung jawab terhadap keluarga dan kewajiban dalam pekerjaan yang ditinggalkan selama operasi. Hal tersebut dapat menyebabakan ketidaktenangan atau kecemasan pada pasien (Smiltzer & Bare, 1996).

Banyak pasien merasa tidak dapat mengeksperesikan ketakutannya, meskipun demikian penting untuk mengenali tanda-tanda lain dari kecemasan yang meliputi pucat yang berlebihan, pergerakan mata yang cepat, berkeringat, tremor tangan, postur kaku, agresif, bicara berlebihan serta tidak melihat langsung ke arah yang berbicara (Attree, 2000).


(20)

Operasi dapat menimbulkan kecemasan baik bagi klien maupun keluarga sehingga perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberi perhatian pada upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi yang dapat timbul. Persiapan pra operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi, karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan penderita dan persiapan pra operasi yang telah dilakukan.

Kecemasan merupakan respon umum yang sering muncul pada individu yang mengalami sakit dan takut yang terus-menerus timbul. Perasaan ini timbul akibat ancaman terhadap diri sendiri, identitas diri dan harga diri. Ancaman yang dirasakan pasien yang menderita sakit antara lain karena anggota tubuhnya mengalami kerusakan akibat sakit, penurunan fungsi tubuh akibat sakit (Tamsuri, 2006).

Cemas dalam operasi mungkin dapat dikurangi dengan cara mengetahui lebih banyak tentang kelainan yang pasien derita, sehingga pasien yakin kalau operasi merupakan jalan terbaik untuk mengatasi masalah. Sebenarnya, operasi tidak lagi menjadi hal yang menakutkan apalagi jika dikaitkan dengan rasa sakit. Pasalnya menjelang operasi pasien akan terbebas dari rasa sakit akibat kerja obat-obat anestesi. Cepatnya perkembangan kefarmasian terutama dengan formula yang diberikan oleh dokter anestesi, akan memperkuat keyakinan kalau pasien mendapatkan informasi tambahan dari orang lain yang pernah menjalani operasi yang sama. Jika dengan semua itu kekhawatiran masih juga menyelimuti tentu dokter bedah dapat menjadi tumpuan untuk bertanya (Kusmawan, 2011).


(21)

Ada sejumlah laporan mengenai informasi bagi pasien bahwa banyak pasien yang merasa tidak pernah menerima cukup informasi. Kita ketahui benar bahwa perasaan cemas menghalangi informasi yang baru. Kemampuan untuk mengurangi perasaan cemas dalam diri pasien merupakan keterampilan yang perlu dimiliki oleh dokter agar pasien mempunyai keyakinan melalui penyampaian informasi yang baik mengenai apa yang terjadi pada diri mereka (Roper, 2002).

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa ketidaktenangan, rasa khawatir, cemas yang diukur pada pasien tersebut adalah karena tidak sempurnanya informasi yang diterima. Di United Kingdom dan Eropa dilaporkan bahwa kebutuhan akan informasi dan dukungan pada pasien pra operasi cukup tinggi, akan tetapi dari laporan yang didapat kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak diberikan dengan baik oleh tim medis dan perawat di Rumah Sakit tersebut Chalmers (2001) dalam Dale (2004) Hasil penelitian lain di USA melaporkan bahwa kebutuhan informasi yang diperlukan pasien tidak sepenuhnya terpenuhi. kejadian ini dapat mempengaruhi perawatan kesehatan dan peningkatan penderitaan yang tidak seharusnya dialami oleh pasien (Wen & Gustafson, 2004).

Dokter dan perawat dapat melakukan banyak hal untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan informasi yang diperlukan pasien. Corbet (1994) dalam Ellis (1999) menyatakan bahwa dokter dan pasien diperbolehkan memasuki hubungan interpersonal yang akrab. Pasien berhak mengetahui lebih banyak tentang asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat sebagai petugas kesehatan yang profesional. Dokter seharusnya memberikan informasi kepada pasien mengenai


(22)

hal-hal yang tidak atau belum diketahui bila pasien bertanya. Memberikan informasi yang diperlukan sebagai suatu cara untuk membina hubungan saling percaya dengan pasien sehingga menambah pengetahuan pasien yang berguna bagi pasien dalam mengambil keputusan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Handerson dan Chien (2004) di Hongkong (N=83) pada pasien pra operasi, ditemukan bahwa pasien membutuhkan berbagai macam tipe informasi. Pasien tersebut kebanyakan membutuhkan informasi tentang tanda dan gejala penyakit yang dialami, komplikasi pasca operasi, efek prosedur operasi pada perubahan gaya hidup, efek operasi 24-48 jam pertama, alasan mengapa dokter menyarankan dilakukan operasi, bagaimana dokter melakukan tindakan operasi, kewajiban administrasi yang harus dipenuhi pasien saat berada di Rumah Sakit dan obat-obat yang dapat mempercepat penyembuhan.

Perbedaan budaya dapat mempengaruhi penyampaian informasi pada pasien Usia memilki pengaruh yang terhadap kebutuhan informasi, dimana dilaporkan pasien yang lebih muda akan lebih membutuhkan informasi tentang penyakitnya (Dale, 2004).

Taylor (1997) menyatakan bahwa operasi merupakan masa kritis dan menghasilkan ketakutan atau kecemasan yang dapat dikuranggi dengan komunikasi.

Rumah Sakit merupakan salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan, Dalam pelaksanaan setiap rumah sakit harus mempunyai prosedur tetap sebagai acuan pelaksanaan kegiatan, salah satu isi antara lain mewajibkan semua dokter yang akan melakukan tindakan operasi agar memberikan informasi ataupun penjelasan


(23)

kepada pasien sebelum tindakan dilaksanakan. Kepada pasien harus dijelaskan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan yang akan diberikan serta resiko yang mungkin saja terjadi, apa yang akan terjadi bila tindakan tidak dilaksanakan dan apakah ada tindakan lain yang dapat dilakukan. Hal ini tercakup dalam Informed Consent.

Keberhasilan tindakan kedokteran bukan suatu kepastian, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan keberhasilan yang berbeda-beda dari satu kasus ke kasus lainnya. Dewasa ini pasien mempunyai pengetahuan yang semakin luas tentang bidang kedokteran, serta lebih ingin terlibat dalam pembuatan keputusan perawatan terhadap diri mereka. Karena alasan tersebut, persetujuan yang diperoleh dengan baik dapat memfasilitasi keinginan pasien tersebut, serta menjamin bahwa hubungan antara dokter dan pasien adalah berdasarkan keyakinan dan kepercayaan. Proses informed consent merupakan manisfetasi dari terpeliharanya hubungan saling menghormati dan komunikasi antara dokter dengan pasien, yang bersama-sama menentukan pilihan tindakan yang terbaik bagi pasien demi mencapai tujuan pelayanan kedokteran yang disepakati ( Medical Counsil, 2006).

Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap 8 pasien pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues cemas dalam menghadapi operasi diantaranya cemas bila operasi gagal, cemas menghadapi ruang operasi dan peralatan operasi. Pasien pra operasi menyatakan pemberian informasi belum dilakukan pada seluruh


(24)

pasien,sementara menurut permenkes No.585 tahun 1989 tentang informed consent dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada pasien pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada pasien pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues?.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dan mengidentifikasi masalah kecemasan yang dihadapi oleh pasien pra operasi.

2. Menganalisis perbedaan tingkat kecemasan pasien pra operasi sebelum dan sesudah pemberian informed consent.

1.4 Hipotesis

Ada perbedaan pemberian informed consent terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues.


(25)

1.5 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan Rumah Sakit untuk meningkatkan kewajiban dokter yang akan melakukan tindakan operasi agar melaksanakan Persetujuan Tindakan Medis sesuai dengan prosedur, sehingga terjadi komunikasi efektif antara dokter dengan pasien agar dapat mengurangi tingakat kecemasan sebelum operasi dilaksanakan.

2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan dapat dijadikan referensi bagi calon peneliti yang ingin meneliti topik yang sama atau hampir sama.

3. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang pemberian informed consent terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pra operasi.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan

2.1.1 Pengertian dan Batasan Kecemasan

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau tidak mengalami keretakan kepribaadian normal (Hawari, 2008).

Kecemasan adalah perasaan yang menetap berupa ketakutan atau kecemasan yang merupakan respon terhadap kecemasan yang akan datang. Hal tersebut dapat merupakan perasaan yang ditekan kedalam bawah alam sadar bila terjadi peningkatan akan adanya bahaya dari dalam. Kecemasan bukanlah suatu panyakit melainkan suatu gejala. Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu panjang dan sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa-perstiwa atau situasi-situasi khusus dapat menpercepat munculnya kecemasan tetapi setelah terbentuk pola dasar yang menunjukan reaksi rasa cemas pada pengalaman hidup seseorang (Ibrahim, 2007).

Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam merespon ancaman yang tidak jelas. Kecemasan akibat terpejan pada peristiwa traumatik yang dialami individu yang mengalami, menyaksikan atau menghadapi satu atau beberapa


(27)

peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau ancaman kematian atau cidera serius atau ancaman fisik diri sendiri (Doenges, 2006).

Kecemasan adalah respon subjektif terhadap stres, ciri-ciri kecemasan adalah keperihatinan, kesulitan, ketidakpastian atau ketakutan yang terjadi akibat ancaman yang nyata atau dirasakan (Isaacs, 2004).

Kecemasan merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi permasalahan (Asmadi, 2009).

2.1.2 Angka Kejadian Kecemasan

Menurut Ibrahim (2007), kriteria diagnosis untuk gangguan kecemasan karena kondisi medis meliputi:

a. Kecemasan yang menonjol, serangan panik, obsesi, atau kompulsi yang menguasai gejala klinis.

b. Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium bahwa gangguan adalah akibat langsung dari kondisi medis umum. c. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain

(misalnya gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dimana stresor adalah suatu kondisi medis umum yang serius).

d. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, perjalanan atau fungsi penting lain.

Manifestasi klinis, Gejala utamanya adalah kecemasan, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom, dan kewaspadaan kognitif. Ketegangan motorik sering


(28)

dimanifestasi oleh sesak nafas, keringat berlebihan, palpitasi dan gejala gastrointestinal. Gejala lain adalah mudah tersinggung dan mudah dikejutkan (Manjoer, 2000).

Kecemasan pada tingkat fisiologik atau kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala fisik terutama pada fungsi saraf. Misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, keluar keringat dingin berlebih, sering gemetar, perut mual, dan yang lainnya.

Tingkatan ansietas adalah sebagai berikut :

a. Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari

dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsi.

b. Ansietas sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

c. Ansietas berat, sangat mengurangi persepsi seseorang yang cenderung

memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain.

d. Tingkat panik dari ansietas, berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

2.1.3 Cara Mengukur Kecemasan

Menurut Hawari (2008), untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali digunakan alat ukur yang


(29)

dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya nilai 0 berarti tidak ada gejala, nilai 1 gejala ringan, nilai 2 gejala sedang, nilai 3 gejala berat, dan nilai 4 gejala berat sekali. Masing-masing nilai angka (score) dari ke-14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu Total nilai (score) < 14 tidak ada kecemasan, nilai 14-20 kecemasan ringan, nilai 21-27 kecemasan sedang, nilai 28-41 kecemasan berat dan nilai 42-56 kecemasan berat.

Tabel 2.1. Alat Ukur HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety)

No Gejala kecemasan Nilai Angka (skor)

1. 2. 3. 4. Perasaan cemas a. Cemas b.Firasat buruk

c. Takut akan pikiran sendiri d.Mudah tersinggung Ketegangan

a. Merasa tegang b.Lesu

c. Tidak bisa istirahat tenang d.Mudah terkejut

e. Mudah menangis f. Gemetar

g.Gelisah Ketakutan a. Pada gelap b.Pada orang asing c. Ditinggal sendiri Gangguan tidur a.Sukar tidur

b.Terbangun malam hari

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4


(30)

5 6. 7. 8. 9. 10. 11.

c.Tidur tidak nyenyak d.Bangun dengan lesu

e.Banyak mimpi-mimpi (mimpi buruk) Gangguan kecerdasan

a. Sukar konsentrasi b.Daya ingat menurun c. Daya ingat buruk Perasaan depresi (murung) a. Hilangnya minat

b.Sedih

c. Bangun dini hari

d.Perasaan berubah-rubah Gejala somatik/fisik (otot) a.Sakit dan nyeri di otot-otot b.Kaku

c.Kedutan otot d.Gigi gemerutuk e.Suara tidak stabil

Gejala somatik/fisik (sensorik) a. Tinitus (telinga berdenging) b. Penglihatan kabur

c. Muka merah atau pucat d. Merasa lemas

Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah)

a.Takikardia (denyut jantung cepat) b.Berdebar-debar

c.Nyeri di dada

d.Denyut nadi mengeras

e.Rasa lesu/lemas seperti mau pingsan Gejala respiratori (pernafasan)

a.Rasa tertekan atau sempit didada b.Rasa tercekik

c.Sering menarik nafas d.Nafas pendek/sesak

Gejala gastrointestinal (pencernaan) a.Sulit menelan

b.Perut melilit

c.Gangguan pencernaan

d.Nyeri sebelum atau sesudah makan

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4 Tabel 2. 1 (Lanjutan)


(31)

12.

13.

14.

e.Rasa penuh dan kembung f. Mual atau muntah

g.Buang air besar lembek atau konstipasi Gejala urogenital (perkemihan)

a. Sering buang air kecil

b.Tidak dapat menahan air seni Gejala autonom

a. Mulut kering b.Muka merah c. Mudah berkeringat d.Kepala terasa berat Tingkah laku

a.Gelisah b.Tidak tenang

c.Jari gemetar d.Kerut kening

e.Muka tegang

f. Otot tegang/mengeras

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

0 1 2 3 4

2.2 Informed Consent

2.2.1 Pengertian Informed Consent

Menurut Permenkes Republik Indonesia nomor 585/Menkes/Per/IX/ 1989 Informed consent atau Persetujuan Tindakan Medis adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Persetujuan Tindakan Medis adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah informed consent, Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu (Hanafiah & Amir, 2008).


(32)

Informed Consent adalah suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional sesudah mendapat informasi dari dokter dan yang sudah dimengerti (Guwandi, 1994).

Menurut Sampurna dalam proceding seminar lokakarya yang dikutip oleh IDI (2005), yang mengatakan Informed Consent adalah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan tehadap pasien.

2.2.2 Tujuan dan Fungsi Persetujuan Tindakan Medis

Menurut Guwandi (2004), fungsi dari Persetujuan Tindakan Medis antara lain: 1) promosi dari hak otonomi perorangan, 2) proteksi dari pasien dan subjek, 3) mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, 4) menimbukan ransangan kepada profesi medik untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri, 5) promosi dari keputusan-keputusan yang rasional, 6) keterlibatan masyarakat dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan dalam pengawasan penyelidikan biomedik.

Dasar hukum Persutujuan Tindakan Medis adalah hubungan dokter dengan pasien yang atas dasar kepercayaan, tujuannya adalah memberikan perlindungan pasien tehadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dimana secara medik tidak ada dasar pembenaran yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dan memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena setiap prosedur medik melekat suatu risiko (Affandi dkk, 2005).


(33)

Tujuan dan fungsi Persetujuan Tindakan Medis adalah:

a. Persetujuan Tindakan Medis dimaksudkan sebagai alat untuk memungkinkan penentu nasib sendiri dan berfungsi sebagai jaminan untuk terpenuhi hak dan informasi dalam suatu hubungan medik/kesehatan.

b. Persetujuan Tindakan Medis ini juga dimaksudkan untuk melindungi hak individu pasien dari tindakan tidak sah oleh dokter dan dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak pribadi pasien tersebut.

c. Persetujuan Tindakan Medis dapat menjadi doktrin hukum apabila adanya kewajiban dokter untuk memberi informasi dan kewajiban untuk mendapatkan persetujuan mempunyai dasar hukum tertentu.

d. Persetujuan Tindakan Medis dapat diartikan sebagai perwujudan prinsip mengutamakan pasien, tanpa mengabaikan kepentingan dokter, maka Persetujuan Tindakan Medis secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti untuk membebaskan dokter dari tuntutan resiko yang mungkin timbul dari tindakan medik yang dilakukan. Karena itu, Persetujuan Tindakan Medis bertujuan supaya dokter dapat menghindari resiko sekecil apapun atau demi kepentingan pasien. 2.2.3 Bentuk Persetujuan Tindakan Medis

Ada dua bentuk Persetujuan Tindakan Medis yaitu: 1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied consent)

a. keadaan normal b. keadaan darurat


(34)

2. Dinyatakan (Expressed consent) a. lisan

b. tulisan

Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini dilihat dokter dari sikap dan tindakan pasien. Tindakan dokter yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Misal pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, dan melakukan penjahitan. Implied consent adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat (emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarga tidak di tempat, dokter dapat melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter (Permenkes No 585 tahun1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian, sebaliknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya, pemeriksaan dalam rektal atau pemeriksaan dalam vagina, mencabut kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis, persetujuan secara lisan sudah mencukupi. Namun, bila tindakan yang akan dilakukan mengandung risiko


(35)

seperti tindakan pembedahan, sebaliknya didapatkan Persetujuan Tindakan Medis secara tertulis (Hanafiah & Amir, 2008).

2.2.4 Informasi

Bagian yang terpenting dalam pembicaraan mengenai informed consent tentulah mengenai informasi. Menurut Depdiknas, 2005 informasi identik dengan pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu, identik dengan jalan masuk. informasi berasal dari kata informare yang sebenarnya berarti memberi bentuk. Informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang dapat membentuk pendapat berdasarkan sesuatu yang diketahui.

Kata informasi diambil dari bahasa latin informationem yang berarti ”garis besar, konsep atau ide” informasi merupakan kata benda dari informare yang berarti aktivitas dalam ”pengetahuan yang dikomunikasikan”. Informasi adalah pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi. Namun demikian istilah ini memiliki banyak arti bergantung kontek, dan secara umum berhubungan erat dengan konsep seperti arti, pengetahuan, komunikasi, kebenaran, dan rangsangan mental.Dewasa ini setiap anggota masyarakat dan institusi membutuhkan informasi. Siapa yang lebih cepat menguasai informasi, dialah yang kemungkinan suksesnya akan lebih besar. Pendapat ini memang benar adanya, setiap orang berhak mendapatkan informasi yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terutama berkaitan dengan masalah kesehatan (Andhi, 2008).

Seorang pasien membutuhkan informasi, informasi yang diberikan kepada pasien dapat meliputi arti yang sangat luas yaitu segala pengetahuan yang dapat


(36)

diberikan kepada pasien sehingga dapat juga diartikan sebagai pemberian pengetahuan. Sedangakan yang dimaksud dengan bimbingan dan tuntutan kepada pasien merupakan suatu metode penerangan kepada pasien yang bermaksud untuk menolong pasien melalui komunikasi dalam menghadapi beban psikis yang mungkin timbul karena perawatan serta akibat-akibatnya agar pasien mampu menghadapi atau mengatasinya. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan pasien adalah memberikan bantuan penerangan kepada pasien mengenai segala kemungkinan yang terjadi, sehingga pasien siap dalam menghadapi dan menyesuaikan dengan keadaan dirinya. Instruksi kepada pasien dapat tertulis dan dapat pula tidak, dan dapat gerakan tangan yang dilakukan pada pemeriksaan selama proses penyembuhan (Astuti, 2009).

Menurut Bloom yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), proses dalam penyampaian informasi sampai dapat dipahami oleh seseorang tergantung pada kemahiran intelektualnya. Untuk menagkap rangsangan atau stimulus dari orang lain yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari orang yang bersangkutan. Faktor karakteristik orang digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Hal ini disebabakan karena adanya ciri-ciri individu yang berbeda-beda.

Untuk dapat mengerti ataupun paham tentang informasi yang disampaikan seseorang kepada orang lain haruslah melalui beberapa proses antara lain:

1. Sensasi

Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan paenguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan


(37)

dengan kegiatan alat indra. Fase ini yang paling berperan untuk dapat mencerna informasi adalah alat-alat indra.

2. Persepsi

Adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Banyak hal yang mempengaruhi persepsi seseorang seperti pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional dan latar belakang budaya.

3. Memori

Memori adalah sistem yang sangat berstruktur,yang menyebabkan Organisme merekam fakta tentang dunia dan mengunakan pengetahuan untuk membimbing prilaku.

4. Berfikir

Adalah proses untuk menarik kesimpulan untuk membuat keputusan. Dengan berfikir seseorang akan dapat menyimpulkan arti dari ransangan yang diterimanya melalui indera yang menangkap ransangan tersebut (Arikunto, 2006).

Fungsi utama dan pertama dari informasi adalah menyampaikan pesan atau menyebarluaskan informasi kepada orang lain yang bersifat mendidik. Artinya, dari penyebarluasan informasi itu diharapkan para penerima informasi akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang ingin dia ketahui (Liliweri, 2008).

Pada pasien pra operasi sangat perlu mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan selengkapnya yaitu informasi tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan dan resiko yang ditimbulkannya. Informasi yang harus diberikan adalah


(38)

tentang keuntungan dan kerugian atau faktor resiko dari tindakan medis yang akan dilaksanakan. Namun jika dokter banyak memberikan informasi tentang resiko, terdapat kemungkinan akan mempengaruhi mental pasien yang sangat awam dan dalam keadaan sakit atau takut yang bisa-bisa mengarah pada kegagalan sebelum dilakukan tindakan medis (Astuti, 2009).

Menurut Astuti (2009), isi informasi medis yang dikemukakan adalah: a. Diagnosa

b. Terapi dengan kemungkinan alternatif terapi c. Tentang cara kerja dan pengalaman dokter d. Resiko

e. Kemungkinan perasaan sakit ataupun perasaan lainnya (misalnya, gatal-gatal) f. Keuntungan terapi

g. Prognosis

Hal-hal yang perlu diketahui pasien praoperasi untuk mengurangi kecemasan adalah : a. Pengenalan staf

b. Lama waktu perawatan di rumah sakit c. Pengetahuan tentang operasi

d. Persiapan sebelum operasi e. Pembiusan

f. Perawatan sesudah operasi g. Pengobatan


(39)

i. Kapan pasien boleh bangun dari tempat tidur setelah operasi (Roper, 2002). 2.2.5 Informasi yang Harus Disampaikan

Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 168 ayat 1 ‘’Untuk menyelenggarakan Upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan informasi kesehatan, ayat 2 ‘’ Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui lintas sektor, ayat 3 ‘’ Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam Pasal 169 Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat .

Sedangkan Informasi yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga adalah informasi mengenai apa yang perlu disampaikan, kapan disampaikan, siapa yang harus menyampaikan dan informasi mana yang harus disampaikan, tentu segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostik maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Hal ini mencakup bentuk, tujuan, risiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif terapi. Mengenai kapan disampaikan bergantung pada waktu yang tersedia setelah dokter memutuskan akan melakukan tindakan invasif. Pasien atau keluarga harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputusannya. Yang menyampaikan informasi, bergantung pada jenis tindakan yang akan dilakukan dalam tindakan


(40)

bedah dan tindakan invasif lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan. Penyampaian informasi ini memerlukan kebijaksanaan dari dokter yang akan melakukan tindakan tersebut atau petugas yang ditunjuk. Mengenai informasi mana yang harus disampaikan haruslah selengkap-lengkapnya, kecuali dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi, bila perlu, informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien (Hanafiah & Amir, 2008).

Dokter yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan, informasi dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan. informasi dan penjelasan disampaikan disampaikan secara lisan, sedangkan secara tulisan dilakukan hanya sebagai pelengkap penjelasan yang telah disampaikan secara lisan. Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien ( Guwandi, 2004).

2.2.6 Hak dan Kewajiban Pasien a. Hak untuk menentukan nasib sendiri

Dalam Hospital Patients Charter yang disepakati dalam sidang pleno memuat hal-hal yang berhubungan dengan pasien yaitu dikatakan bahwa pasien berhak untuk memilih dokternya secara bebas. Pasien berhak untuk menerima atau menolak pengobatan sesudah pasien menerima informasi yang jelas. Pasien berhak untuk mengakiri atau memutuskan dengan dokter tersebut. Dengan kata lain dokter


(41)

tidak berhak untuk mencegah atau melarang jika pasien hendak berobat kepada dokter yang lain. Dalam kenyataan dokter dan pasien melihat suatu keadaan dari sudut pandang yang bebeda, Disatu pihak tindakan medis terhadap seseorang yang tidak didasarkan pada informasi yang adekuat akan mencemarkan atau menganggu pribadi orang tersebut. Dipihak lain untuk menentukan nasib sendiri yang mengandung hak untuk berkembang dalam masyarakat tidak dapat diwujudkan apabila individu tidak memperoleh informasi yang cukup yang berhubungan langsung dengan kepentingan jasmani dan rohaninya.

b. Hak atas informasi

Hak untuk menentukan nasib sendiri tidak akan terwujud secara optimal jika tidak didampingi hak atas informasi, Karena keputusan akhir mengenai penentuan nasibnya sendiri itu dapat diberikan jika untuk pengambilan keputusan tersebut memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan ruginya apabila suatu keputusan telah diambil.

Selain dari kedua hak tersebut, hak-hak pasien yang lain adalah sebagai berikut: a. Hak memberikan persetujuan tindakan medis

Persetujuan tindakan medis atau Informed consent merupakan hal yang sangat prinsip dalam profesi kedokteran jika ditinjau dari sudut hukum perdata ataupun pidana.


(42)

Walaupun pada dasarnya setiap dokter dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindak medis dalam bidang masing-masing, pasien tetap berhak memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendaki.

c. Hak atas rahasia medis

Yaitu segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien (secara sadar dan tidak sadar) kepada dokter dan segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sesuatu mengobati dan merawat pasien. Etika kedokteran mengatakan behwa rahasia ini harus dihormati oleh dokter, bahkan setelah pasien itu meninggal.

d. Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan serta tindakan medis

Dokter atau rumah sakit tidak boleh memaksa pasien untuk menerima suatu tindakan medis tertentu, tetapi dokter harus menjelaskan risiko atau kemungkinan yang terjadi jika tindakan medis itu tidak dilakukan. Apabila setelah menerima penjelasan pasien tetap menolak, pasien harus menandatangani penolakan itu. e. Hak atas pendapat kedua (second opinion)

Usaha mendapatkan second opinion dari dokter lain, maka dokter pertama tidak perlu tersinggung, demikian pula dengan keputusan pasien setelah mendapatkan second opinion.

f. Hak untuk mengetahui isi rekam medis

Pasien adalah pemilik berkas rekam medis serta bertanggung jawab sepenuhnya atas rekam medis tersebut. Apabila pasien menghendaki keluarga atau pengacara untuk mengetahui isi rekam medis tersebut, pasien harus membuat izin tertulis atau surat kuasa untuk itu. Berdasarkan izin itu, dokter atau rumah sakit dapat


(43)

memberikan ringkasan atau foto kopi rekam medis tersebut meskipun dokter atau rumah sakit harus tetap menjaga rekam medis tersebut dari orang yang tidak berhak.

Kewajiban-kewajiban pasien adalah sebagai berikut : a. Kewajiban memberikan informasi medis.

b. Kewajiban mentaati petunjuk.

c. Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada sarana kesehatan. d. Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter. e. Kewajiban berterus terang.

f. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahui. 2.2.7 Persetujuan Tindakan Medis

Inti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang diperhatikan bahwa yang berhak memberikan persetujuan tindakan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak Persetujuan Tindakan Medis yang ada selama ini, penanda tanganan persetujuan ini lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien atau atas alasan lain. Untuk pasien di bawah umur 21 tahun, dan pasien-pasien gangguan jiwa yang menandatangani adalah orang tua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga


(44)

terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun.

2.2.8 Penolakan Tindakan Medis

Sepeti dikemukakan pada bagian awal, tidak selamanya pasien atau keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian kalangan dokter maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Hal ini disebut informed refusal. Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien. Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien dalam alternatif tindakan yang diperlukan, untuk keamanan di kemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan. Dalam kaitan transaksi terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik . Dengan demikian, apa yang terjadi di belakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter atau rumah sakit lagi (Hanafiah, Amir, 2008).

2.2.9 Manajemen Unit Kerja Informasi Kesehatan

a. Memprediksi kebutuhan informasi dan teknik dalam sistem pelayanan kesehatan dimasa yang akan datang.


(45)

c. Merencanakan kebutuhan sarana dan prasarana unit kerja rekam medis untuk memenuhi kebutuhan kerja.

d. Menyusun anggaran. e. Menggunakan anggaran.

f. Menerapkan program orientasi dan latihan staf bagi yang terkait dalam sistem data pelayanan kesehatan.

g. Menyusun kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis yang sesuai hukum, sertifikasi, akreditasi dan kebutuhan setempat.

h. Mengembangkan kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis. i. Mengimplementasikan kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis j. Mengevaluasi kebijakan dan prosedur tentang sistem rekam medis.

k. Menyusun analisa jabatan dan uraian tugas perekam medis.

l. Menyusun kebijakan dan prosedur antar unit kerja tentang arus informasi setempat ( Rustiyanto, 2009).

2.3 Operasi

2.3.1 Pengertian Operasi

Operasi adalah suatu bentuk tindakan invasif yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga professional dan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pasien dan keluarganya. Operasi atau pembedahan merupakan salah satu prosedur khusus medik yang dapat atau harus dilakukan sebagai terapi terhadap penyakit (Tamsuri, 2006).


(46)

Operasi adalah salah satu tindakan medis yang kadang harus dijalankan menyangkut penyakit yang ada di dalam tubuh, yang apabila tidak dilakukan pembedahan akan semakin parah. Namun, kebanyakan orang yang merasa cemas bahkan tidak sedikit yang panik ketika divonis harus menjalani operasi (Kusmawan, 2011).

Operasi dilakukan setidaknya memiliki beberapa tujuan sebagai berikut: a. Kuratif

Artinya, operasi dilakukan agar penyakit bisa tuntas diatasi jika tidak dilakukan operasi pasien harus terus-menerus menjalani pengobatan.

b. Diagnostik

Tidak selamanya operasi bertujuan untuk menyembuhkan pada kondisi tertentu, operasi bertujuan untuk mengetahui penyakit yang diderita. Misalnya, operasi biopsi , selain itu, operasi bertujuan untuk eksplorasi, misalnya eksplorasi laparotomi (memerisa rongga perut). Hasil diagnostik dengan teknik operasi semacam ini tentu yang terakurat dibandingkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya.

c. Penyelamatan Nyawa

Operasi ini bertujuan menyelamatkan nyawa seorang pasien. Misalnya, operasi emergensi yang melibatkan salah satu dari tiga fungsi tubuh, yakni jalan napas, alat pernapasan, dan sistem jantung pembuluh darah.


(47)

Tujuan untuk mengembalikan fungsi sistem organ yang terganggu akibat kerusakan atau penyakit, bisa dilakukan secara emergensi maupun terencana. misalnya sumbatan pada saluran pencernaan, saluran kencing, gangguan fungsi penglihatan, fungsi pendengaran dan lain-laiin.

e. Preventif

Operasi bertujuan mencegah terjadi sesuatu yang lebih buruk akibat gangguan sebelumnnya. Misal, operasi hernia dengan pemasangan mash untuk memperkuat lapisan penutup untuk memperkecil risiko kekambuhan.

f. Rekonstruksi

Operasi ini bertujuan untuk memperbaiki struktur yang mengalami kerusakan atau kelaianan bentuk.

g. Estetika

Operasi ini bertujuan untuk memperbaiki penampilan demi kecantikan atau ketampanan seseorang (Kusmawan, 2011).

2.3.2 Tahap-Tahap Operasi

Menururut Tamsuri (2006), berdasarkan setting operasi, situasi atau tahapan dapat dibedakan tiga bagian yaitu pra operasi, operasi dan pasca operasi. Ketiga bagian ini memiliki karakteristik dan tujuan perawatan yang berbeda sehingga kegiatan yang dilakukan dengan pasien dan atau komunikasi yang diperlukan pada fase ini berbeda satu sama lain.


(48)

Pra operasi dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Dalam hal ini dokter dan perawat dapat melakukan pengkajian awal, merencanakan metode penyuluhan sesuai dengan kebutuhan pasien dan melibatkan keluarga Atkinson (1992) dalam Tanjung (2004).

b. Tahap operasi

Masa operasi dimulai pada saat pasien masuk ruang operasi hingga pasien dipindah ke ruang pemulihan. Pada situasi ini perawat tidak berperan dominan, tetapi bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pasien.

c. Tahap pasca operasi

Masa pasca operasi adalah situasi setelah pasien kembali dari ruang operasi kemudian ditempatkan di ruang pemulihan atau dikembalikan ke ruang rawat. Pada tahap ini perawat berperan membantu pasien memenuhi kebutuhan harian sekaligus melanjutkan perawatan luka operasi (Tamsuri, 2006).

2.3.3 Persiapan - Persiapan sebelum Operasi a. Pemeriksaan fisik.

b. Pemeriksaan tekanan darah. c. Status pernafasan.

Tujuan bagi pasien yang berpotensi menjalani operasi adalah untuk mempunyai fungsi pernafasan yang optimal. Semua pasien diminta untuk berhenti merokok 4 - 6 minggu sebelum menjalani operasi.


(49)

d. Status kardiovaskuler

Tujuan dalam menyiapkan semua pasien pra operasi adalah agar fungsi sistem kardiovaskuler berfungsi memenuhi kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi Karena penyakit kardiovaskuler meningkatkan resiko, pasien dengan penyakit membutuhkan perhatian yang lebih besar dari biasanya selama fase perawatan dan penatalaksanaan. Tergantung pada keparahan gejala, pembedahan mungkin diundur sampai pengobatan medis dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi pasien.

e. Fungsi imunologi

Fungsi pengkajian pra operasi yang penting adalah untuk menentukan adanya alergi, termasuk reaksi alergi sebelumnya. Penting untuk mengidentifikasi dan mencatat segala bentuk sensitivitas. Pasien diminta untuk mengingat segala substansi yang menyebabkan reaksi alergi sebelumnya, termasuk medikasi, transfusi darah dan agen kontras dan untuk menggambarkan tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh substansi ini.

f. Persiapan intestinal

Pembersihan dengan enema mungkin dilakukan pada malam sebelum operasi dan diulang jika tidak efektif. Pembersihan ini adalah untuk mencegah trauma yang tidak diinginkan pada intestinal.

g. Pertimbangan gerontologi

Individu lansia yang menghadapi operasi dapat mempunyai suatu kombinasi penyakit kronik dan masalah kesehatan yang mengidentifikasi pembedahan.


(50)

Individu lansia sering tidak melaporkan gejala, barangkali kerena mereka takut akan diagnosa penyakit serius atau karena mereka menerima gejala tersebut sebagai bagian dari proses penuaan. Secara umum, lansia dianggap memiliki resiko operasi lebih buruk dibandingka pasien yang lebih muda. Cadangan jantung menurun, fungsi ginjal dan hepar menurun dan aktifitas gastrointestinal tanpaknya berkurang. Dehidrasi, konstipasi dan malnutrisi mungkin terjadi.Secara ringkas, tujuan keseluruhan dalam periode pra operasi adalah untuk memperbanyak mungkin faktor-faktor kesehatan yang positif. (Brunner & Suddarth, 2001).

Mengatasi rasa cemas dan takut dapat dilakukan persiapan psikologis pasien melalui pengetahuan kesehatan, penjelasan tentang peristiwa yang mungkin terjadi. Sedangkan resiko infeksi atau cedera lainya dapat dilakukan dengan persiapan pra operasi sepeti diet, persiapan perut, kulit, persiapan bernapas dan latihan kaki dan latihan mobilitas. Malam sebelum di operasi, diusahakan agar pasien dapat istirahat dan tidur nyeyak. perasaan nyeri dapat mengganggu tidur pasien. Bila perlu, diberi satu tabelt parasetamol dan pasien yang tidak bisa tidur diberi satu tabelt Luminal (Kozier,2004).

2.4 Landasan Teori

Menurut Smeltzer dan Bare (1996) dalam bukunya menjelaskan pentingnya Informed Consent dimana izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela dari pasien diperlukan sebelum pembedahan dilakukan. Izin tertulis seperti itu


(51)

melindungi pasien terhadap operasi yang lalai dan melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. Demi kepentingan semua pihak yang terkait, perlu mengikuti prinsip medikolegal yang baik. Sebelum pasien menandatangani formulir Informed Consent, ahli bedah harus memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana tentang apa yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus menginformasikan pasien tentang alternatif-alternatif yang ada, kemungkinan resiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh, menimbulkan kecacatan, pengangkatan bagian tubuh, juga tentang apa yang diperkirakan terjadi pada periode pasca operasi awal dan lanjut.

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan kecemasan, diantaranya: 1) Teori Psikoanalisa menunjukkan sesuatu tentang ego manusia. Ego manusia tidak seluruhnya dan tidak selamanya sanggup menghadapi stimulus dari luar dan dalam dirinya. Dalam keadaan demikian manusia akan mempergunakan berbagai macam mekanisme pertahanan diri. Bila mekanisme pertahanan ini tidak mampu mengendalikan stimulus dari luar, beberapa di antara mekanisme pertahanan diri yang patologik, baik sendiri atau bersamaan, akan dipergunakan. 2) Teori interpersonal dihubungkan dengan trauma pada masa perkembangan atau pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami kecemasan berat . 3) Teori perilaku Kecemasan merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku


(52)

menganggap kecemasan merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini meyakini bahwa manusia yang pada awal kehidupannya dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan kecemasan yang berat pada kehidupan masa dewasanya. 4) Teori keluarga kecemasan yang dialami oleh individu kemungkinan memiliki dasar genetik. Orang tua yang memiliki gangguan cemas tampaknya memiliki resiko tinggi untuk memiliki anak dengan gangguan cemas. 5) Teori biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan. Penghambat asam aminobutirik-gamma neuroregulator (GABA) dan endorfin juga berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan sebagaimana halnya dengan endorfin.

kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan menurut Hawari (2008) adapun tingkat kecemasan adalah ringan, sedang, berat dan panik.


(53)

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen yaitu : Komunikasi dalam pemberian informed consent Variabel dependen yaitu : Tingkat kecemasan

Komunikasi dalam Pemberian informed Consent:

1. Cara Penyampaian 2. Siapa yang

menyampaikan 3. Isi pesan: a.Diagnosa b.Terapi c.Cara kerja d.Prognosis e.Resiko 4. Kapan Informed

Consent diberikan Pengukuran Tingkat kecemasan Sesudah : Pemberian Informed Consent Pengukuran Tingkat kecemasan Sebelum : Pemberian Informed Consent


(54)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Quasi Experiment yang bertujuan menyelidiki hubungan sebab akibat dengan cara mengadakan intervensi atau mengadakan perlakuan kepada satu atau lebih kelompok eksprimen, kemudian hasil (akibat) dari intervensi dibandingkan dengan kelompok yang tidak dikenakan perlakuan (kelompok kontrol). Quasi Experiment disebut juga dengan one group pretest and posttest design yaitu rangcangan penelitian yang melakukan pengukuran sebelum dan sesudah pamberian informed consent (Setiadi, 2007).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Kabupaten Gayo Lues dengan alasan rumah sakit ini merupakan Rumah Sakit Umum Daerah dan satu-satunya Rumah Sakit yang ada di Kabupaten Gayo Lues, tersedianya jumlah sampel, adanya izin dari instansi tempat penelitian, belum pernah dilakukan penelitian tentang perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed Consent pada pasien pra operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues. Penelitian dimulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Juni 2012.


(55)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien yang operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues. Dari hasil survei awal yang telah dilakukan pada Februari 2012, dilaporkan jumlah populasi pasien yang dilakukan tindakan operasi sebanyak 60 orang ( Rekan Medis RSUD, 2012).

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi dalam suatu penelitian (Notoatmodjo, 2005). Sampel penelitian ini diambil dengan purposive sampling, artinya pengambilan sampel secara puposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Kriteria inklusi sampel (1) pasien yang akan dioperasi (2) kondisi kesehatan memungkinkan untuk dijadikan subjek penelitian berdasarkan laporan subjektif responden (3) dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar (4) bersedia menjadi subjek penelitian (5) pasien pra operasi ≥ 15 tahun (6) pasien yang dirawat di Rumah Sakit. Berdasarkan kriteria inklusi sampel berjumlah 32 orang.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang dihimpun melalui wawancara berpedoman kepada kuesioner penelitian dan berhubungan langsung dengan permasalahan yang


(56)

diteliti. Adapun sumber data primer didapat dari hasil jawaban responden yang diteliti. Data primer sebagai variabel bebas adalah pemberian informed consent. Variabel terikat adalah tingkat kecemasan pasien pra bedah di RSUD Kabupaten Gayo Lues.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan maupun dokumen-dokumen resmi lainya terutama data di RSUD Kabupaten Gayo Lues, Laporan tahunan dan dari jurnal/hasil penelitian yang digunakan untuk membantu analisis tehadap data primer yang diperoleh.

3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur (instrumen) dalam mengukur suatu data. Uji validitas (Ghozali, 2005). Untuk mengetahui validitas suatu instrumen (dalam kuesioner) dilakukakan dengan menghitung korelasi antara skor r-hitung masing-masing pertanyaan dalam suatu variabel. Pertanyaan pada kuesioner dapat dikatakan valid apbila nilai koefisien korelasi > 0,2 dan dikatakan reliabel apabila nilai alpha cronbach >0,6 . Teknik korelasi yang digunakan adalah pearson product Moment Correlation, dengan kriteria:

a. Bila r-hitung > r - tabel maka pertanyaan valid b. Bila r-hitung < r - tabel maka pertanyaan tidak valid


(57)

Tabel 3.1 Uji Validitas Variabel

Variabel Instrumen r-hitung r-tabel Ket

Pemberian P1 0,812 0,2 Valid

Informed P2 0,918 0,2 Valid

Consent P3 0,619 0,2 Valid

P4 0,947 0.2 Valid

P5 0,946 0,2 Valid

P6 0,947 0,2 Valid

P7 0,655 0,2 Valid

P8 0,725 0,2 Valid

P9 0,890 0,2 Valid

P10 0,667 0,2 Valid

P11 0,667 0,2 Valid

P12 0,789 0,2 Valid

P13 0,918 0,2 Valid

Tingkat TK1 0,777 0,2 Valid

Kecemasan TK2 0,792 0,2 Valid

TK3 0,764 0,2 Valid

TK4 0,853 0.2 Valid

TK5 0,853 0,2 Valid

TK6 0,833 0,2 Valid

TK7 0,681 0,2 Valid

TK8 0,618 0,2 Valid

TK9 0,671 0,2 Valid

TK10 0,668 0,2 Valid

TK11 0,907 0,2 Valid

TK12 0,713 0,2 Valid

TK13 0,613 0,2 Valid

TK14 0,911 0,2 Valid

TK15 0,887 0,2 Valid

Sumber lampiran

Berdasarkan hasil uji validitas dapat disimpulkan bahwa seluruh item pertanyaan untuk mengukur masing-masing variabel penelitian dikatakan valid. Hal ini dapat dilihat bahwa r-hitung lebih besar. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 10 orang pasien pra operasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues.


(58)

b. Uji Reliabilitas

Reabilitas adalah suatu indeks yang menunjukan suatu alat ukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Setelah semua pertanyaan valid, analisis dilanjutkan dengan uji realibilitas. Pertanyaan dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2005) Untuk mengetahui reliabilitas suatu pertanyaan dengan membandingkan nilai r-hasil (alpha cronbach) dengan r-tabel:

a. Bila r-alpha cronbach> r- tabel maka pertanyaan reliabel

b. Bila r-alpha cronbach < r- tabel maka pertanyaan tidak reliabilitas Tabel 3.2 Uji Reliabilitas Variabel

Variabel Alpha Batas Keterangan

Cronbach’s Reliabilitas Pemberian

0.949 0,6 Reliabilitas

Informed Consent Tingkat

0,958 0,6 Reliabilitas

Kecemasan Sumber lampiran

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel adalah karkateristik yang diamati yang mempunyai variasi nilai dan merupakan variasi nilai dan merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat diteliti secara emperis atau ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2007).

Menurut hubungan antara variabel akan ditemukan variabel yang menjadi sebab, dan di pihak lain variabel menjadi akibat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel penelitian ada yang berperan sebagai variabel yang mempengaruhi


(59)

(variabel bebas) karena menjadi sebab, dan ada yang menjadi variabel yang dipengaruhi (variabel terikat) karena menjadi akibat. Definisi Operasional adalah batasan-batasan yang menyebabkan sebuah variabel memiliki kriteria yang pasti dan tetap (Zaluchu, 2010).

3.5.1 Variabel Bebas

Adapun definisi operasional penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Komunikasi dalam pemberian informed consent adalah proses penyampaian pesan tentang persetujuan tindakan medis oleh dokter kepada pasien secara tersirat maupun dinyatakan.

2. Cara Penyampaian adalah cara responden dalam mendapatkan informasi tindakan medis sebelum operasi dilakukan.

3. Siapa yang menyampaikan adalah orang yang menyampaikan persetujuan tindakan medis.

4. Isi pesan adalah isi dari informasi yang diperoleh responden tentang persetujuan tindakan medis.

5. Diagnosa adalah penentuan jenis penyakit

6. Terapi adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit 7. Prognosa adalah gambaran yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan

8. Cara kerja adalah tahapan dalam tata cara yang harus dilalui suatu pekerjaan baik mengenai dari mana asalnya dan menuju kemana, kapan pekerjaan tersebut harus diselesaikan maupun alat apa yang harus digunakan agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan.


(60)

9. Resiko adalah kejadian yang tidak diinginkan.

10.Kapan informed consent diberikan adalah waktu responden memperoleh informasi tentang persetujuan tindakan medis.

3.5.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan. tingkat kecemasan adalah tingkatan reaksi ketakutan pasien yang membuat pasien waspada.

3.6 Metode Pengukuran

Tabel 3.3 Tabel Pengukuran

Variabel Parameter Alat ukur Skala Hasil pengukuran

Independen Komunikasi dalam pemberian Informed Consent

Pemberian Informed Consent meliputi:

1. Cara penyampaian

2. Siapa yang menyampaikan 3. Isi pesan tentang:

a. Diagnosa b. Terapi c. Cara Kerja d. Prognosis e. Resiko

4. Kapan informed consent diberikan

Kuesioner Ordinal 1. Baik 76 s/d100% 2. Cukup 56 s/d 75

%

3. Kurang 40 s/d 55%.

4. Tidak baik < 40%

(Arikunto, 2006)

Dependen Tingkat Kecemasan

Kuesioner Ordinal 1. Tidak ada kecamasan < 14

2. Ringan 14 s/d 20 3. Kecemasan sedang

21 s/d 27

4. Kecemasan berat 28 s/d 41

5. Panik 42 s/d 56 (Alimul, 2007)


(61)

3.6.2 Aspek Pengukuran

1. Komunikasi dalam Pemberian Informed Consent

Jawaban responden pada kuesioner tingkat informasi apabila menjawab ya diberi skor 1 dan apabila menjawab tidak diberi skor 0. Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh maka dapat dikategorikan komunikasi dalam pamberian informed consent dalam 4 kategori:

a. Baik, apabila responden menjawab pertanyaan dengan skor 76-100%. b. Cukup baik, apabila responden menjawab pertanyaan dengan skor 56-75%. c. Kurang baik, apabila responden menjawab pertanyaan dengan skor 40-55% d. Tidak baik, apabila responden menjawab pertanyaan dengan skor ≤ 40%. 2. Kecemasan

Jawaban responden pada kuesioner tingkat kecemasan apabila responden menjawab (SLL) diberi skor 3, (SRG) diberi skor 2, (KDG) diberi skor 1, (TAK) diberi skor 0. Berdasarkan jumlah nilai yang diperoleh maka dapat dikategorikan tingkat kecemasan dalam 5 kategori:

a. Panik, apabila responden menjawab pernyataan dengan skor 42-56

b. Kecemasan berat, apabila responden menjawab pernyataan dengan skor 28-41. c. Kecemasan sedang, apabila responden menjawab pernyataan dengan skor 21-27. d. Kecemasan ringan, apabila responden menjawab pernyataan dengan skor 14-20 e. Tidak ada kecemasan, apabila responden menjawab pernyataan dengan skor < 14


(62)

3.7 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini meliputi :

a. Analisis univariat merupakan metode statistik dalam penelitian yang hanya menggunakan satu variabel . Penggunaan satu variabel dalam penelitian sangat tergantung dari tujuan dan skala pengukuran yang digunakan. Analisis univariat juga dapat digunakan untuk melakukan uji hipotesis. Pengujian hipotesis dengan satu variabel penelitian sangat tergantung pada tujuan dan pertanyaan penelitian (Nugroha, 2005).

b. Analisis bivariat, yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel bebas dengan terikat. rancangan data dalam penelitian ini adalah berpasangan (one group before and after design), maka analisis yang digunakan untuk melihat perubahan tingkat kecemasan akibat pemberian informed consent digunakan Uji t dependen Interval kepercayaan yang ditetapkan sebesar 95 %, dengan demikian jika nilai p-value < 0,05 maka dikatakan (Ho) ditolak, artinya ada perbedaan tingkat kecemasan sesudah pemberian Informed Consent pada pasien pra operasi (Setiadi, 2007).


(63)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues adalah salah satu rumah sakit yang ada di Kabupaten Gayo Lues yang bertujuan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang optimal dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pelayananan kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues mempunyai tugas yaitu melaksanakan pelayanan medis, rujukan, kedokteran kehakiman, penyululuhan kesehatan, rawat jalan, rawat inap, kedokteran gigi dan pelayanan administrasi. Rumah Sakit mempunyai 4 orang dokter spesialis,10 orang dokter umum, 3 orang dokter gigi, 73 orang perawat, 21orang bidan dan tenaga kesehatan lainya 47 orang.

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Gambaran Karakteristik Responden

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden

No Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%) 1. Usia

15-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun

13 8 11

40,5 27,9 31,6 2. Jenis Kelamin

a. Laki-laki b. Perempuan

12 20

37,5 62,5


(64)

Tabel 4.1 (Lanjutan) 3. Suku

a. Aceh b. Alas c. Batak d. Gayo e. Karo f. Dll 3 5 1 15 1 7 9,4 15,6 3,1 46,9 3,1 21,9 4. Agama

a. Islam b. Kristen c. Budha d. Hindu 30 2 0 0 93,8 6,2 0 0 5. Pendidikan

a. SD b. SMP c. SMA

d. PT (D3/Sarjana)

3 5 15 9 9,4 15,6 46,9 28,1 6. Pekerjaan

a. PNS/TNI/POLRI

b. Pegawai BUMN/ Swasta c. Petani/Wiraswasta d. Tidak tetap

8 5 14 5 25,0 15,6 43,8 15,6 7. Penghasilan berdasarkan Upah

Minimum Regional Gayo Lues tahun 2012

a. Rp < 1400.000 dibawah UMR Gayo Lues

b. Rp > 1400.000 diatas UMR Gayo Lues 9 23 28,1 71,9

Jumlah 32 100

Pada Tabel 4.1 di atas dapat dilihat karakteristik pasien pra operasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gayo Lues dari 32 orang responden yang paling banyak berusia 15-25 tahun (40,5%). Jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan (62,5%). Suku yang paling banyak adalah suku Gayo 15 (46,9%). Agama yang paling banyak beragama islam (93,8%). Tingkat pendidikan yang paling banyak


(1)

mempersilakan petugas medis mengerjakan tindakan operasi tersebut, dokter dan perawat dapat mengurangi dan memperbaiki kecemasan paisen dengan tindakan dokter dan perawat yang diberikan melalui komunikasi Pendapat ini didukung oleh Smeltzer dan Bare (1996) pentingnya Informed Consent sebelum operasi dilakukan.

Berdasarkan perhitungan hasil penelitian dari 32 responden tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian komunikasi (informed consent) diproleh nilai signifikasi (p) 0,001 maka dapat dikatakan bahwa komunikasi dalam pemberian informed consent mempunyai pengaruh yang singnifikan terhadap tingkat kecemasan paisen.

Selama proses pemberian informed consent berlangsung pasien umumnya mengespresikan kecemasan dan perasaannya tentang operasi dan penyakit yang dialaminya.Interaksi antara dokter dan pasien dapat meningkatkan mekanisme pelayanan kesehatan dan memberi dukungan emosional kepada pasien yang mengalami kecemasan dan rasa takut.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Distribusi tingkat kecemasan pasien pra operasi adalah kecemasan sedang (38%), kecemasan ringan (25%), kecemasan berat (16%), dan tidak ada kecemasan (22%).

2. Tingkat kecemasan pra operasi mempunyai skor 21,1 7,168 dan setelah pemberian informed consent menurun menjadi rata – rata 16,8 4,454.

3. Hasil uji-t menunjukan adanya perbedaan yang bermakna dalam penurunan tingkat kecemasan sesudah pemberian informed consent pada pasien dalam menghadapi tindakan operasi.

6.2 Saran

1. Pemberian informed consent sangat penting dilakukan karena dapat mengurangi tingkat kecemasan, memberi kenyamanan dan pasien merasa tidak ragu-ragu dalam menghadapi tindakan operasi.

2. Direksi Rumah Sakit agar mensosialisasikan ketentuan tindakan kedokteran bagi seluruh dokter.

3. Untuk dokter dan perawat perlu mempertahankan dan meningkatkan komunikasi dalam pemberian informed consent karena dapat membangun rasa percaya pada diri pasien


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi B, dkk, 2005. Etichal Decision Making In Health Service.Departeman Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS. DR. Cipto Mangun Kusumo. Jakarta.

Alimul Hidayat, A.A, 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan.Edisi 3, Salemba Medica, Jakarta.

Andhi, 2008. Informasi.

Asmadi. (2009). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien Jakarta: Salemba Medika.

Astuti, Endang Kusuma, 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis

di Rumah Sakit. Citra Aditya Bakti, Semarang.

Atkinson, L.J & Fortunato, N.H.(1992). Berry & Kohn’s Operating room technique (8th ed). Missouri: Mosby.

Attree, M. & Merchant, J. 2000. Belajar Merawat di Bangsal Bedah. EGC, Jakarta.

Brunner dan Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, volume 1, EGC, Jakarta.

Chalmers et al. (2001). Information and support needs of women with primary relatives with breast cancer. Dibuka pada website: .blackwellsynergy.com/doi/abs/10.1046/j. 1365-2648.2001.01866.x

Dale et al. (2004). Information nedd and prostate cancer. Dibuka pada website: http//www.blackwellsinergy.com /doi/abs/10.1111/j .1464410x.2004.04902.x Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai


(4)

Doengoes, Marilynn, E, 2006. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri. Edisi ke-3, EGC, Jakarta.

Effendy, 2005. Kiat Sukses Menghadai Operasi. Seri Kesehatan. Sahabat setia, Jogjakarta.

Ellis et al, (1999). Komunikasi Interpersonal dalam Keperawatan. Edisi terjemahan, EGC, Jakarta.

Ghozali, Imam 2005. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPPS. Edisi Ketiga , BP –Universitas Diponegoro, Semarang.

Guwandi J, 2004. Informed Consent .Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Hanafiah J & Amir A,2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan.Edisi 4, EGC, Jakarta.

Hawari, Dadang, 2008. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Edisi ke-2, cetakan II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Henderson & Chien (2004). Information needs of Hongkong Chinese pasients undergoingsurger. Dibuka pada website:http://www.blackwellsynergy. com/doi/abs/10.1111/j.1365-2702.2004.01004

Ibrahim, Ayub Sani, 2007. Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas. Cetakan II, Jakarta.

Isaacs, Ann, 2004.Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan dan Psikiatrik Edisi ke-3 Jakarta: EGC.

Kozier et al, 2004. Fundamental of nursing ; concepts, process and practice 7nd ed. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Kusmawan, Eka , 2011.Jangan Segera Katakan ‘’Ya’’ Untuk Operasi.Edisi Pertama, Pohon Cahaya,Yogyakarta.


(5)

Liliweri, Alo, 2008. Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan.Edisi ke-2, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Manjoer, Aesculapius, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3, Jilid Pertama. Media Aesculapius FKUI, Jakarta.

Medical Counsil,2006.Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Notoatdmodjo, Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Cetakan II, Rineka Cipta, Jakarta.

2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi, cetakan III, Rineka Cipta, Jakarta.

Nugroho, Bhuono Agung, 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Stastik Penelitian dengan SPSS. Edisi Pertama. Andi, Yogyakarta.

Rekam Medis, 2012. RSUD Kabupaten Gayo Lues 2012.

Roper, Nancy, 2002. Prinsip-Prinsip Keperawatan. Edisi Pertama, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.

Rustiyanto, Ery, 2009. Etika Profesi: Perekam Medis & Informasi Kesehatan. Edisi Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sampurna, 2005. Patient Autontomy and impormed Consent, Makalah pada Prosiding Seminar Lokakarya 19-20 Maret 2003, Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. .

Setiadi, 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Smeltzer, S. C & Bare, B. G., 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta.

Stuart & Sundeen, 1998. Prinsip dan Praktek Keperawatan Jiwa. Edisi terjemahan, EGC, Jakarta.

Tamsuri, Anas, 2006. Komunikasi dalam Keperawatan. Cetakan pertama, EGC, Jakarta.


(6)

Tanjung, Syukri, 2004. Efek Komunikasi Terapeutik terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RS Imelda Medan, Skiripsi USU, Medan.

Taylor, 1993.Fundamental of nursing :the art and science of nursing: (2nd ed) Philadelphia: Lippincott.

Undang-Undang RI tentang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.Fokusmedia, Bandung. Wen & Gustafson, 2004. Needs assessment for cancer patients and their families.

Dibuka pada website

Zaluchu, Fotarisman, 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Cetakan 4, Citapustaka Media, Bandung.


Dokumen yang terkait

PENGARUH INFORMED CONSENT TERHADAP KECEMASAN DAN PENGETAHUAN PADA PASIEN PRE OPERASI HERNIA DI RSUD KABUPATEN SRAGEN

0 11 109

PENGARUH INFORMED CONSENT TERHADAP KECEMASAN DAN PENGETAHUAN PADA PASIEN PRE OPERASI HERNIA DI RSUD KABUPATEN SRAGEN

0 4 137

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PEMBERIAN INFORMED CONSENT SEBELUM TINDAKAN OPERASI Hubungan Antara Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pemberian Informed Consent Sebelum Tindakan Operasi Di RSUD Dr.Moewardi.

0 2 16

PENDAHULUAN Hubungan Antara Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pemberian Informed Consent Sebelum Tindakan Operasi Di RSUD Dr.Moewardi.

0 1 6

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PEMBERIAN INFORMED CONSENT SEBELUM TINDAKAN OPERASI Hubungan Antara Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pemberian Informed Consent Sebelum Tindakan Operasi Di RSUD Dr.Moewardi.

0 1 13

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK DI RSUD TUGUREJO SEMARANG Afitaria Qulsum

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecemasan 2.1.1 Pengertian dan Batasan Kecemasan - Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pemberian Informed Consent pada Pasien Pra Operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues

0 0 28

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pemberian Informed Consent pada Pasien Pra Operasi di RSUD Kabupaten Gayo Lues

0 0 8

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN PRA OPERASI DI RSUD KABUPATEN GAYO LUES TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

0 0 15

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRA OPERASI SEBELUM DAN SESUDAH DIBERIKAN INFORMED CONCENT PADA PASIEN PRA OPERASI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LIWA LAMPUNG BARAT TAHUN 2013

0 1 6