Mayerni Siterpu. Campur kode dalam majalah aneka yess. 2007 USU e-Repository©2009
paragraf di atas adalah penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata. Kata supporter merupakan jenis kata benda yang menyatakan hal
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Bilingualisme
Bilingualisme dapat juga disebut kedwibahasaan. Untuk dapat menentukan seseorang itu bilingual atau tidak, ada batasan-batasan mengenai bilingualisme yang
dikemukakan oleh beberapa orang pakar.
Spolsky 1998:45 mengatakan, “Bilingual is a person who has some functional ability in a second language” Bilingual adalah seseorang yang mempunyai beberapa
kemampuan fungsional dalam menggunakan bahasa keduanya. Bloomfield dalam Chaer dan Agustina, 1995:113 mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan
seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, menurut Bloomfield seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan bahasa Pertama
B1 dan Bahasa kedua B2 dengan derajat yang sama baiknya. Weinrich dalam Umar dan Delvi, 1994:8 mengartikan kedwibahasaan sebagai
praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian. Dalam hal ini tidak diisyaratkan tingkat penguasaannya. Haugen dalam Umar dan Delvi, 1994:8 mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan untuk mengeluarkan ucapan-ucapan yang berarti dalam bahasa lain.
Nababan 1991:27 mengemukakan pendapatnya tentang bilingualisme dan bilingualitas. Ia mengatakan bahwa:
“Kalau kita melihat seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulan dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanankan kedwibahasaan yang kita
akan sebut bilingualisme. Jadi, bilingualisme ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa
Mayerni Siterpu. Campur kode dalam majalah aneka yess. 2007 USU e-Repository©2009
dalam interaksi dengan orang lain. Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita akan sebut ini
bilingualitas dari bahasa Inggris bilinguality.”
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bilingualisme
adalah kemampuan penutur dalam memahami, mengerti, atau menggunakan dua bahasa.
1.5.2 Campur Kode
Teori yang dipakai untuk mengamati gejala campur kode pada majalah Aneka Yess dalam kajian ini adalah teori sosiolinguistik. Campur kode merupakan peristiwa
yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual atau berdwibahasa, bahkan yang multilingual.
Nababan 1985:32, mengatakan bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain apabila orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa
dalam satu tindakan bahasa speech act atau discourse tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa tersebut. Dalam keadaan seperti itu,
hanya kesantaian penutur atau kebiasannya yang dituruti. Kachru dalam Umar Azhar, 1978:74, mengatakan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih
dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Unsur-unsur yang telah menyatu dengan bahasa yang disusupinya dan secara
keseluruhan hanya mendukung suatu fungsi. Di Indonesia, campur kode ini sering sekali terdapat dalam keadaan orang
berbincang-bincang; yang dicampur ialah bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Jika yang berbincang-bincang itu orang-orang yang “terpelajar”, kita dapat juga melihat
campur kode antara bahasa Indonesia atau bahasa daerah dengan bahasa asing Inggris atau Belanda.
Mayerni Siterpu. Campur kode dalam majalah aneka yess. 2007 USU e-Repository©2009
Ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau
terdapat campur kode dalam keadaan demikian, itu disebabkan oleh tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau
ungkapan dari bahasa asing. Dalam bahasa tulisan, hal ini dinyatakan dengan mencetak miring atau menggarisbawahi kataungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-
kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicara ingin memamerkan “keterpelajarannya” atau “kedudukannya”.
Istilah campur kode dibedakan dengan istilah alih kode. berbicara mengenai alih kode dan campur kode, Hudson 1996 mengemukakan pendapatnya tentang kedua hal
tersebut, yaitu: “In code-switching the point at which the languages change corresponds to a
point where the situation changes, either on its own or precisely because the language changes. There are other cases, however, where a fluent bilingual
talking to another fluent bilingual change at all in the situation. This kind of alternation is called code-mixing”.
Alih kode dibatasi pada pertukaran bahasa yang sesuai untuk menyampaikan suatu maksud tertentu, dimana situasinya berubah yang disebabkan oleh
pergantian bahasa yang dimilikinya secara tepat. Pada kasus-kasus yang lain, seorang bilingual yang fasih berbicara kepada bilingual yang fasih lainnya dan
mengganti bahasa tanpa menggantikannya secara keseluruhan. Jenis pergantian ini disebut campur kode.
Menurut Chaer dan Agustina 1995: 151 kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari
sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak pendapat mengenai perbedaan keduanya. Namun, yang jelas kalau
dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-
Mayerni Siterpu. Campur kode dalam majalah aneka yess. 2007 USU e-Repository©2009
sebab tertentu, sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode
lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan pieces saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode Chaer dan Agustina,
1995:151. Campur kode merupakan konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari
beberapa bahasa, masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disusupinya Suwito dalam Umar dan Delvi,1994:14. Hal senada juga
disampaikan oleh Thelander dan Fasold dalam Chaer dan Agustina, 1995:152. Thelander menjelaskan bahwa apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa
maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran hybrid clases, hybrid phrases dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung
fungsi sendiri-sendiri, peristiwa yang terjadi adalah peristiwa campur kode. Sementara itu, Fasold menjelaskan bahwa kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase satu
bahasa dan dia memasukkan kata tersebut ke dalam bahasa lain yang digunakannya dalam berkomunikasi, maka dia telah melakukan campur kode. Dapat dijelaskan bahwa
campur kode ini menggabungkan dua kode bahasa di dalam berkomunikasi, tetapi lawan bicara dapat mengerti apa yang diucapkan oleh pembicara.
Konsep campur kode yang dipakai dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada konsep Suwito dalam Umar yang didukung oleh pendapat Thelander dan Fasold.
Hal ini dilakukan karena penelitian ini berhubungan dengan konsep campur kode yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut.
Suwito dalam Umar dan Delvi, 1994:14 membedakan unsur-unsur bahasa yang menyusup itu ke dalam dua golongan yaitu:
Mayerni Siterpu. Campur kode dalam majalah aneka yess. 2007 USU e-Repository©2009
1. bersumber dari bahasa daerah innercode mixing 2. bersumber dari bahasa asing outercode mixing.
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito 1985:78 membedakan campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:
1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata Kata adalah satuan bebas yang paling kecil yang dapat berdiri sendiri dan
mempunyai arti. Gorys Keraf dalam Harimurti Kridalaksana, 1990:25 membagi kata atas empat bagian yaitu:
1. Kata benda atau nomina 2. Kata kerja atau verba
3. Kata sifat atau adjektiva 4. Kata tugas.
Pendapat Gorys Keraf ini disebut sebagai aliran struktural.
2. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase. Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi unsur klausa Ramlan, 1995:151. Berdasarkan jenis atau kategori kata frase dibagi menjadi:
1. Frase nominal 2. Frase verbal
3. Frase adjektival 4. Frase adverbial
5. Frase preposisi 3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster
Mayerni Siterpu. Campur kode dalam majalah aneka yess. 2007 USU e-Repository©2009
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster artinya penyisipan bentuk baster Hybrid atau kata campuran menjadi serpihan dari bahasa yang dimasukinya.
4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata Penyisipan unsur yang berwujud perulangan kata maksudnya penyisipan
perulangan kata ke dalam bahasa inti atau bahasa utama dari suatu kalimat. 5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom yaitu penyisipan kiasan dari suatu bahasa menjadi serpihan dari bahasa inti yang dimasukinya.
6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari Subjek dan Predikat baik disertai
Objek, Pelengkap, dan Keterangan ataupun tidak Ramlan, 1995:89. Dalam penelitian mengenai bentuk-bentuk campur kode ini peneliti mengambil
pendapat Suwito sebagai acuan karena hanya pendapat Suwito yang sesuai dengan penelitian peneliti.
1.5.3 Interferensi dan Integrasi