Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemeliharaan Dalam Realisasi Anggaran Pemerintahan Kabupaten Dan Kota Di Propinsi Sumatera Utara, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kabijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Budiono Sidik et al, 2002, tujuan otonomi adalah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Dalam UU No. 322004, UU dan UU No. 332004 yang menjadi landasan otonomi tersebut dijelaskan lebih jauh bagaimana pengaplikasian hal-hal tersebut melalui beberapa Peraturan Pemerintah PP, yang kemudian “dipandu” dengan Kepmendagri No. 292002 dan Permendagri No. 132006. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak tahun 2001 berimplikasi pada perubahan dalam sistem pembuatan keputusan terkait dengan pengalokasian sumberdaya dalam anggaran pemerintah daerah. Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemeliharaan Dalam Realisasi Anggaran Pemerintahan Kabupaten Dan Kota Di Propinsi Sumatera Utara, 2010. Bersamaan dengan itu, dikeluarkan pula UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Yang dimaksud dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam UU No.33 Tahun 2004 adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar 10 daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Perimbangan keuangan tersebut tercermin dengan adanya dana perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang diberikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya hak otonomi daerah yang disertai perimbangan keuangan pusat-daerah, diharapkan tiap daerah mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Sebelumnya penentuan besarnya anggaran ditentukan oleh pemerintah pusat dengan mengacu pada realisasi anggaran tahun sebelumnya dengan sedikit peningkatan incremental tanpa merubah jenis atau pos belanja line-item. Sistem ini disebut sistem anggaran berimbang dan dinamis line-item and incremental budgeting. Setelah otonomi daerah, tepatnya pada tahun 2003, pendekatan anggaran yang digunakan adalah anggaran berbasis kinerja performance-based budgeting. Peraturan Pemerintah PP No. 582005, Kepmendagri No. 292002, Permendagri No. 132006, UU No. 322004 dan UU No. 332004 memberikan penegasan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumberdaya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan, dan kemampuan daerah. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan outputoutcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Penafsiran atas 11 Permendagri No. 132006 menyatakan bahwa besaran belanja modal sama dengan besaran penambahan aset di neraca yaitu semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tersebut termasuk di dalamnya belanja pegawai dan belanja barang jasa. Di samping aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD ada aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini, perolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai dan belanja barang jasa. Pemerintah daerah sering menerima aset dari pihak lain, seperti lembaga donor dan masyarakat, hal ini lah yang sering membuat belanja pemeliharaan tidak mampu memelihara aset-aset pemerintah daerah, karena tidak seimbangnya jumlah aset yang dimilik pemerintah daerah dengan anggaran belanja pemerintah yang dapat terealisasi dalam satu tahun anggaran. Dalam prakteknya belanja modal berpengaruh terhadap belanja pemeliharaan, namun peningkatan realisasi anggaran belanja modal yang diikuti dengan peningkatan realisasi belanja pemeliharaan setiap tahunnya tidak menjamin aset pemerintah daerah dapat dipelihara sesuai dengan tujuan dari belanja pemeliharaan itu sendiri, hal ini karena seringnya belanja pemeliharaan tidak diperuntukkan sebagai mana mestinya karena belanja pemeliharaan merupakan salah satu objek belanja yang paling sering difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran LRA, atau dalam perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaan terealisasi 100 habis tidak bersisa namun kita tetap 12 menemukan aset-aset daerah yang tidak terpelihara dengan baik bahkan banyak yang tidak berfungsi atau hilang. Fenomena yang terjadi pada saat ini di daerah-daerah adalah banyaknya kasus penyelewengan belanja pemeliharaan, seperti yang terjadi di kota Binjai pada tahun anggaran 2005 dan tahun anggaran 2006 di mana terjadi penyelewengan anggaran belanja pemeliharaan sehingga negara dirugikan sebesar Rp. 1.326.467.500. Belanja pemeliharaan yang dianggarkan pada kedua tahun tersebut digunakan untuk membiayai pemeliharaan bangunan gedung tempat tinggal untuk pimpinan dan anggota DPRD yang dana pemeliharaan tersebut diterima langsung secara tunai oleh masing-masing anggota DPRD. Namun pada dasarnya tidak ada rumah dinas anggota DPRD yang harus dipelihara oleh pemerintah daerah, sehingga dengan kata lain anggaran belanja pemeliharaan hanya sebagai tambahan penghasilan bagi anggota DPRD dan anggaran tersebut tidak diperuntukan pada belanja yang seharusnya. Hal ini tidak hanya terjadi di Sumatera Utara, tapi juga kota-kota lain di Indonesia Suara Sumut, 30 Mei 2007 Idealnya hubungan belanja modal dan belanja pemeliharaan sangatlah erat, hal ini dapat dilihat dari persentase belanja barang dan belanja pemeliharaan di suatu daerah dapat menjadi indikator bertambahnya aset pemerintah daerah serta dapat meningkatkan kepedulian akan pemeliharaan aset yang telah ada. Bila pemerintahan kabupatenkota ingin menambah aset tetap, maka pemerintahan kabupatenkota tersebut harus memperhitungkan besarnya realisasi belanja pemeliharaan agar 13 terdapat keseimbangan antara belanja modal dan belanja untuk memelihara aset tersebut. Tapi pada kenyataannya realisasi anggaran belanja modal setiap tahunnya pada pemerintahan kabupatenkota sering tidak diikuti dengan penambahan belanja pemeliharaan atau walaupun belanja pemeliharaan meningkat bahkan dapat terealiasi 100 tapi tidak menjamin aset pemerintah daerah tersebut dapat terpelihara dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gedung-gedung yang tidak terawat sebagaimana mestinya, karena dana yang tersedia hanya diperuntukkan bagi pembangunan tanpa adanya dana yang cukup untuk melakukan perawatan dalam tahun berjalan atau adanya penyelewengan belanja pemeliharaan yang tidak gunakan pada yang semestinya. Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, belanja modal sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka panjang, terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari belanja modal tersebut. Konsep multi- term expenditure framework MTEF menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan usefulness dan kemampuan keuangan pemerintah daerah budget capability dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang Allen dan Tommasi, 2001. Proporsi anggaran belanja pemeliharaan yang ideal di dalam APBD, untuk setiap daerah di Indonesia, sulit ditentukan persentasenya mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal fiscal gap antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah yang berbeda-beda. 14 Angka yang terdapat di dalam rencana APBN dan APBD memang tidak selalu dapat dijadikan patokan untuk melihat besaran dana pembangunan yang sesungguhnya dibelanjakan bagi publik di daerah. Terlebih lagi, setelah masa penyelesaian DIPA Daftar Isian Penggunaan Anggaran, belum bisa dijamin bahwa ketentuan pencairan dana mulai tanggal 31 Desember sesuai yang diharapkan oleh daerah. Penundaan pencairan anggaran berdampak pada rendahnya realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahunnya, hingga triwulan I realisasi belanja pemerintah daerah hanya untuk belanja rutin yaitu membiayai gaji pegawai, sementara untuk belanja barang dan belanja pemeliharaan belum dapat dilaksanakan. Rendahnya realisai belanja modal akan berdampak pada rendahnya realisasi kegiatan investasi di wilayah Sumatera Utara yang juga sangat mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah di Sumatera Utara. Belanja pemeliharaan untuk publik dalam banyak hal sangat tergantung kepada komitmen para pembuat kebijakan daerah sendiri. Dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001, komitmen Pemda yang ditunjukkan dalam proporsi APBD pada umumnya masih sangat rendah. Data dari departemen keuangan menunjukkan bahwa rerata “belanja pelayanan dasar” di seluruh daerah hanya 9,5 persen dari APBD. Komitmen sekecil ini tentunya harus dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Kata komitmen di sini perlu digarisbawahi karena sebenarnya anggaran belanja pemeliharaan untuk publik tidak selalu tergantung kepada besar-kecilnya APBD. Sebagai contoh, Kabupaten Bandung yang volume APBD-nya lebih dari Rp 900 milyar ternyata 15 hanya mengalokasikan sekitar 3,7 persen untuk kesehatan dan 2,9 persen untuk pendidikan. Tidak heran bahwa 233 Puskesmas dan 3.793 gedung SD di KabupatenKota Propinsi Sumatera Utara tidak terurus lagi Suara Sumut 30 Mei 2007, Sebaliknya, Kabupaten Simeleu, Blitar, dan Mojokerto yang anggaran daerahnya di bawah Rp 200 milyar ternyata justru mengalokasikan lebih dari 20 persen untuk pelayanan dasar Karo-Karo 2006. Angka ini lebih tinggi dari rerata nasional walaupun sebenarnya masih belum memadai untuk pelaksanaan pelayanan dasar yang sangat vital bagi masyarakat. Jelas bahwa kata kuncinya bukan pada volume APBD, tetapi pada komitmen pembuat kebijakan daerah. Penelitian ini bermaksud menganalisis pengaruh belanja modal terhadap belanja pemeliharaan dalam realisasi anggaran pemerintah daerah dengan menggunakan data realisasi anggaran setelah otonomi daerah dengan tujuan untuk memberikan bukti empiris tentang: pengaruh alokasi belanja modal terhadap belanja pemeliharaan dan pengaruh sumber pendapatan terhadap hubungan belanja modal dengan belanja pemeliharaan.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian