Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemeliharaan Dalam Realisasi Anggaran Pemerintahan Kabupaten Dan Kota Di Propinsi Sumatera Utara

(1)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja

ANALISIS PENGARUH BELANJA MODAL DAN PENDAPATAN

ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA PEMELIHARAAN

DALAM REALISASI ANGGARAN PEMERINTAHAN

KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI

SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

SRI HAYATI BR. SEMBIRING 077017088/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2009

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA


(2)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja

ANALISIS PENGARUH BELANJA MODAL DAN PENDAPATAN

ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA PEMELIHARAAN

DALAM REALISASI ANGGARAN PEMERINTAHAN

KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI

SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Akuntansi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRI HAYATI BR. SEMBIRING 077017088/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2009


(3)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH BELANJA MODAL DAN

PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA PEMELIHARAAN DALAM REALISASI ANGGARAN PEMERINTAHAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Sri Hayati Br. Sembiring

Nomor Pokok : 077017088 Program Studi : Akuntansi

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof.Dr.Azhar Maksum, M.Ec. Ak) (Drs. Rasdianto, M.Si Ak)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc

Tanggal lulus : 24 Juni 2009


(4)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Telah diuji pada

Tanggal : 24 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec.Ak. Anggota : 1. Drs. Rasdianto, M.Si.Ak.

2. Prof.Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak. 3. Dra. Tapianda Sari Lubis, M.Si. Ak.


(5)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja 4. Drs. Zainul Bahri Torong, M. Si. Ak.

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :

Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemeliharaan Dalam Realisasi Anggaran Pemerintahan Kabupaten Dan Kota Di Propinsi Sumatera Utara.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya.

Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, 22 Juni 2009 Yang membuat pernyataan


(6)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh belanja modal dan pendapatan asli daerah terhadap belanja pemeliharaan dalam realisasi anggaran pemerintahan kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Utara. Reformasi anggaran dalam koteks otonomi memberikan paradigma baru terhadap anggaran daerah yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan publik, dikelola dengan berdaya guna dan berhasil guna serta memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah belanja modal dan pendapatan asli daerah sedangkan yang menjadi variable dependen adalah belanja pemeliharaan. Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara dan Bappeda Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 15 kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja modal dan pendapatan asli daerah berpengaruh secara signifikan terhadap belanja pemeliharaan. Pengujian secara parsial menunjukkan bahwa belanja modal dan pendapatan asli daerah secara individu berpengaruh terhadap belanja pemeliharaan, namun belanja modal memiliki pengaruh yang paling besar terhadap belanja pemeliharaan pada kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Utara.


(7)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja ABSTRACT

The research is aimed to observe the influence of the expense of regional original capital and income into the expense of maintenance in realizing the budget of regional and city government in North Sumatra Province. Reformation in the expense related to the autonomy will give the new paradigm into regional budget. It means that the regional budget will be emphasized to the public importance, managed productively and usefully, and can be accounted transparently and reasonably for all cycles of budget.

In this research, the independent variable is the expense of regional original capital and income, while the dependent variable the expense of maintenance. Data is the secondary one which is taken from the Central Board of Statistics – Province of North Sumatra and the Board of Regional Development – Propince of North Sumatra which consist of 15 city and town, and regencies in the Province of North Sumatra.

The result of this research shows that the expense of regional original capital and income has influence significantly into the expense of maintenance. The partial examination shows that the expense of regional original capital and income has influence individually int the expense of maintenance. On the other hand, the expense of capital has influence largely into the expense of maintenance in the city, town and regencies in the Province of North Sumatra.


(8)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbiul’Alamin

Pertama-tama penulis panjatkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis telah dapat merampungkan studi dan menyelesaikan sebuah karya akhir yang berjudul “Analisis Pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemeliharaan Dalam Realisasi Anggaran Pemerintahan Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan selama ini. Tesis ini dimaksudkan untuk melengkapi sebagian dari syarat-syarat untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Akuntansi pada Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, segala upaya maksimal telah penulis berikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik agar kelak dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukan. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, usaha, bimbingan, serta dorongan moral dan spiritual, sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

1. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MBA, MAFIS selaku Ketua program Studi Ilmu Akuntansi.

2. Ibu Dra. Tapianda Sari Lubis, M.Si. Ak. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Akuntansi.

3. Bapal Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec.Ac. selaku pembimbing pertama. 4. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si. selaku pembimbing Kedua.


(9)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja 5. Seluruh para dewan dosen yang telah menyumbangkan ilmunya yang tidak

mungkin penulis sebutkan satu persatu selama penulis mengikuti perkuliahan. 6. Ibunda tercinta, yang telah memberikan dukungan, doa, cinta dan kasih sayangmu

selama ini akan menjadi penerang di setiap perjalanan ananda.

7. Saudara-saudaraku, Uwa Rukun, Kakak-kakak, Abang-abang dan keponakan-keponakanku terima kasih untuk dukungan dan motivasi yang tak pernah henti. 8. Nani, Kak Nur, Kak Cicik, Bang Ari dan yang spesial buat Bang Leo yang telah

banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studi ini.

9. Seluruh temen-temen baik seperjuangan Angkatan I prodi. Ilmu Akuntansi Khususan Akuntansi Sektor Publik USU maupun temen sekerja penulis di Politeknik Negeri Medan yang tak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga sukses dalam meraih cita-cita.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mungkin bisa disempurnakan baik dalam uraian maupun pembahasan yang ada dalam penulisan tesis ini. Hal tesebut disebabkan antara lain adanya keterbatasan pengetahuan penulis. Terlepas itu semua, mudah-mudahan karua tulis ini dapat memberi manfaat bagi penulis terutama dalam penyempurnaannya ke depan. Namun kepada semua pihak yang telah banyak membantu selama ini untuk kesempurnaan tesis ini, penulis ucapkan terima kasih.

Akhirnya, semoga Allah SWT selalu melimpahkan berkah dan hidayah-Nya, serta memberikan kemudahan bagi kita semua. Amin.

Medan, Penulis,

Sri Hayati Br. Sembiring NIM. 077017088


(10)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terima kasih kepada Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui Program Beasiswa Unggulan hingga penyelesaian tugas akhirThesis berdasarkan DIPA Sekretariat Jenderal DEPDIKNAS Tahun Anggaran 2007 Sampai dengan 2009.


(11)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Sri Hayati Br. Sembiring

2. Tempat/Tanggal Lahir : Securai/03 September 1977

3. Alamat : Jl. Pungguk Gg. Aneka No. 55 C Medan 4. Telepon/Hp No. : (061) 77674898/08126041703

5. Agama : Islam

6. Jenis Kelamin : Perempuan

7. Status :

8. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pada Politeknik Negeri Medan.

9. Pendidikan :

*) Formal :

a. Lulus SD Negeri

b. Lulus SMP Negeri 19 Medan Tahun 1993 bersertifikat

c. Lulus SMA Swasta Tunas Kartika – 1 Medan Tahun 1996 bersertifikat d. Lulus Sarjana(S1) Akuntansi USU Tahun 2003 bersertifikat

*) Non Formal

a. Kursus komputer Tricom Medan Tahun 1999


(12)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Originalitas Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tinjauan Teori ... 10

2.1.1 Belanja Daerah ... 10

2.1.1.1. Klasifikasi belanja daerah menurut Kepmendagri 29/2002 vs PP 24/2005 ... 12


(13)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja 2.1.1.2. Klasifikasi Belanja menurut PP No. 24/2005 15 2.1.1.3. Klasifikasi Belanja Berdasarkan PP

No.58 Tahun 2005 ... 19

2.1.2. Belanja Modal ... 21

2.1.2.1. Belanja Modal Tanah ... 21

2.1.2.2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin ... 22

2.1.2.3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan ... 22

2.1.2.4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan .. 22

2.1.2.5. Belanja Modal Fisik Lainnya ... 22

2.1.3. Belanja Pemeliharaan. ... 23

2.1.4. Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan dalam Anggaran Daerah ... 23

2.1.5. Perbandingan Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan ... 25

2.1.6. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 30

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ... 36

3.1. Kerangka Konsep... 36

3.2. Hipotesis Penelitian ... 38

BAB IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1. Jenis Penelitian ... 39

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 39

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

4.4. Prosedur Pengumpulan Data ... 40

4.5. Variabel Penelitian ... 41

4.6. Defenisi Operasional ... 42


(14)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja

4.6.2. Variabel Dependen ... 42

4.7. Model dan Teknik Analisis Data ... 44

4.8. Uji Hipotesis ... 46

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

5.1. Hasil Penelitian ... 48

5.1.1. Statistik Deskriptif ... 48

5.1.2. Uji Asumsi Klasik ... 49

5.1.2.1. Uji Normalitas ... 49

5.1.2.2. Uji Multikolinearitas ... 52

5.1.2.3. Uji Heteroskedastisitas ... 53

5.1.2.4. Uji Autokorelasi ... 55

5.1.3. Pengujian Hipotesis ... 56

5.2. Pembahasan Hasil Analisis ... 58

5.2.1. Pengaruh Belanja Modal Terhadap Belanja Pemeliharaan ... 59

5.2.2. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemeliharaan ... 60

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

6.1. Kesimpulan ... 61

6.2. Keterbatasan ... 62

6.2. Saran ... 63


(15)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja DFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Pemetaan Struktur Belanja Daerah ... 14

2.2. Review Penelitian Terdahulu ... 34

4.1. Daftar Sampel Penelitian ... 41

4.2. Defenisi Operasional Variabel ... 43

5.1. Statistik Deskriptif... 48

5.2. Uji Normalitas ... 50

5.3. Uji Normalitas ... 51

5.4. Uji Multikolinearitas ... 53

5.5. Uji Heterokedastisitas ... 54

5.6. Uji Autokorelasi ... 55

5.7. Uji Goodness Of Fit ... 56

5.8. Uji t ... 57


(16)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 3.1. Kerangka Konsep ... 36


(17)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1 Data Penelitian (tidak normal) Juta Rupiah ... 68 2. Data Penelitian (sudah dinormalkan) ... 71 3. Uji Normalitas dengan Kolmogprov Smirnov, Grafik Skewness

P-P Plot Data awal... 74 4. Uji Normalitas dengan Kolmogorov Smirnov, Grafik Skewness

P-P Plot Data Yang dinormalkan ... 77 5. Hasil Regresi ... 80


(18)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kabijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Budiono (Sidik et al, 2002), tujuan otonomi adalah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Dalam UU No. 32/2004, UU dan UU No. 33/2004 yang menjadi landasan otonomi tersebut dijelaskan lebih jauh bagaimana pengaplikasian hal-hal tersebut melalui beberapa Peraturan Pemerintah (PP), yang kemudian “dipandu” dengan Kepmendagri No. 29/2002 dan Permendagri No. 13/2006. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak tahun 2001 berimplikasi pada perubahan dalam sistem pembuatan keputusan terkait dengan pengalokasian sumberdaya dalam anggaran pemerintah daerah.


(19)

Sri Hayati Br. Sembiring : Analisis Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Bersamaan dengan itu, dikeluarkan pula UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Yang dimaksud dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam UU No.33 Tahun 2004 adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar


(20)

daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Perimbangan keuangan tersebut tercermin dengan adanya dana perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang diberikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya hak otonomi daerah yang disertai perimbangan keuangan pusat-daerah, diharapkan tiap daerah mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya.

Sebelumnya penentuan besarnya anggaran ditentukan oleh pemerintah pusat dengan mengacu pada realisasi anggaran tahun sebelumnya dengan sedikit peningkatan (incremental) tanpa merubah jenis atau pos belanja (line-item). Sistem ini disebut sistem anggaran berimbang dan dinamis (line-item and incremental

budgeting). Setelah otonomi daerah, tepatnya pada tahun 2003, pendekatan anggaran

yang digunakan adalah anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting). Peraturan Pemerintah (PP) No. 58/2005, Kepmendagri No. 29/2002, Permendagri No. 13/2006, UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 memberikan penegasan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumberdaya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan, dan kemampuan daerah.

Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Penafsiran atas


(21)

Permendagri No. 13/2006 menyatakan bahwa besaran belanja modal sama dengan besaran penambahan aset di neraca yaitu semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tersebut termasuk di dalamnya belanja pegawai dan belanja barang & jasa. Di samping aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD ada aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini, perolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai dan belanja barang & jasa. Pemerintah daerah sering menerima aset dari pihak lain, seperti lembaga donor dan masyarakat, hal ini lah yang sering membuat belanja pemeliharaan tidak mampu memelihara aset-aset pemerintah daerah, karena tidak seimbangnya jumlah aset yang dimilik pemerintah daerah dengan anggaran belanja pemerintah yang dapat terealisasi dalam satu tahun anggaran.

Dalam prakteknya belanja modal berpengaruh terhadap belanja pemeliharaan, namun peningkatan realisasi anggaran belanja modal yang diikuti dengan peningkatan realisasi belanja pemeliharaan setiap tahunnya tidak menjamin aset pemerintah daerah dapat dipelihara sesuai dengan tujuan dari belanja pemeliharaan itu sendiri, hal ini karena seringnya belanja pemeliharaan tidak diperuntukkan sebagai mana mestinya karena belanja pemeliharaan merupakan salah satu objek belanja yang paling sering difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA), atau dalam perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaan terealisasi 100% habis tidak bersisa namun kita tetap


(22)

menemukan aset-aset daerah yang tidak terpelihara dengan baik bahkan banyak yang tidak berfungsi atau hilang.

Fenomena yang terjadi pada saat ini di daerah-daerah adalah banyaknya kasus penyelewengan belanja pemeliharaan, seperti yang terjadi di kota Binjai pada tahun anggaran 2005 dan tahun anggaran 2006 di mana terjadi penyelewengan anggaran belanja pemeliharaan sehingga negara dirugikan sebesar Rp. 1.326.467.500. Belanja pemeliharaan yang dianggarkan pada kedua tahun tersebut digunakan untuk membiayai pemeliharaan bangunan gedung tempat tinggal untuk pimpinan dan anggota DPRD yang dana pemeliharaan tersebut diterima langsung secara tunai oleh masing-masing anggota DPRD. Namun pada dasarnya tidak ada rumah dinas anggota DPRD yang harus dipelihara oleh pemerintah daerah, sehingga dengan kata lain anggaran belanja pemeliharaan hanya sebagai tambahan penghasilan bagi anggota DPRD dan anggaran tersebut tidak diperuntukan pada belanja yang seharusnya. Hal ini tidak hanya terjadi di Sumatera Utara, tapi juga kota-kota lain di Indonesia (Suara Sumut, 30 Mei 2007)

Idealnya hubungan belanja modal dan belanja pemeliharaan sangatlah erat, hal ini dapat dilihat dari persentase belanja barang dan belanja pemeliharaan di suatu daerah dapat menjadi indikator bertambahnya aset pemerintah daerah serta dapat meningkatkan kepedulian akan pemeliharaan aset yang telah ada. Bila pemerintahan kabupaten/kota ingin menambah aset tetap, maka pemerintahan kabupaten/kota tersebut harus memperhitungkan besarnya realisasi belanja pemeliharaan agar


(23)

terdapat keseimbangan antara belanja modal dan belanja untuk memelihara aset tersebut.

Tapi pada kenyataannya realisasi anggaran belanja modal setiap tahunnya pada pemerintahan kabupaten/kota sering tidak diikuti dengan penambahan belanja pemeliharaan atau walaupun belanja pemeliharaan meningkat bahkan dapat terealiasi 100% tapi tidak menjamin aset pemerintah daerah tersebut dapat terpelihara dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gedung-gedung yang tidak terawat sebagaimana mestinya, karena dana yang tersedia hanya diperuntukkan bagi pembangunan tanpa adanya dana yang cukup untuk melakukan perawatan dalam tahun berjalan atau adanya penyelewengan belanja pemeliharaan yang tidak gunakan pada yang semestinya.

Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, belanja modal sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka panjang, terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari belanja modal tersebut. Konsep

multi-term expenditure framework (MTEF) menyatakan bahwa kebijakan belanja modal

harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang (Allen dan Tommasi, 2001).

Proporsi anggaran belanja pemeliharaan yang ideal di dalam APBD, untuk setiap daerah di Indonesia, sulit ditentukan persentasenya mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah yang berbeda-beda.


(24)

Angka yang terdapat di dalam rencana APBN dan APBD memang tidak selalu dapat dijadikan patokan untuk melihat besaran dana pembangunan yang sesungguhnya dibelanjakan bagi publik di daerah. Terlebih lagi, setelah masa penyelesaian DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran), belum bisa dijamin bahwa ketentuan pencairan dana mulai tanggal 31 Desember sesuai yang diharapkan oleh daerah.

Penundaan pencairan anggaran berdampak pada rendahnya realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahunnya, hingga triwulan I realisasi belanja pemerintah daerah hanya untuk belanja rutin yaitu membiayai gaji pegawai, sementara untuk belanja barang dan belanja pemeliharaan belum dapat dilaksanakan. Rendahnya realisai belanja modal akan berdampak pada rendahnya realisasi kegiatan investasi di wilayah Sumatera Utara yang juga sangat mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah di Sumatera Utara.

Belanja pemeliharaan untuk publik dalam banyak hal sangat tergantung kepada komitmen para pembuat kebijakan daerah sendiri. Dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001, komitmen Pemda yang ditunjukkan dalam proporsi APBD pada umumnya masih sangat rendah. Data dari departemen keuangan menunjukkan bahwa rerata “belanja pelayanan dasar” di seluruh daerah hanya 9,5 persen dari APBD. Komitmen sekecil ini tentunya harus dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Kata komitmen di sini perlu digarisbawahi karena sebenarnya anggaran belanja pemeliharaan untuk publik tidak selalu tergantung kepada besar-kecilnya APBD. Sebagai contoh, Kabupaten Bandung yang volume APBD-nya lebih dari Rp 900 milyar ternyata


(25)

hanya mengalokasikan sekitar 3,7 persen untuk kesehatan dan 2,9 persen untuk pendidikan.

Tidak heran bahwa 233 Puskesmas dan 3.793 gedung SD di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Utara tidak terurus lagi (Suara Sumut 30 Mei 2007), Sebaliknya, Kabupaten Simeleu, Blitar, dan Mojokerto yang anggaran daerahnya di bawah Rp 200 milyar ternyata justru mengalokasikan lebih dari 20 persen untuk pelayanan dasar (Karo-Karo 2006). Angka ini lebih tinggi dari rerata nasional walaupun sebenarnya masih belum memadai untuk pelaksanaan pelayanan dasar yang sangat vital bagi masyarakat. Jelas bahwa kata kuncinya bukan pada volume APBD, tetapi pada komitmen pembuat kebijakan daerah.

Penelitian ini bermaksud menganalisis pengaruh belanja modal terhadap belanja pemeliharaan dalam realisasi anggaran pemerintah daerah dengan menggunakan data realisasi anggaran setelah otonomi daerah dengan tujuan untuk memberikan bukti empiris tentang: pengaruh alokasi belanja modal terhadap belanja pemeliharaan dan pengaruh sumber pendapatan terhadap hubungan belanja modal dengan belanja pemeliharaan.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Dari uraian diatas maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : Apakah Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Belanja Pemeliharaan dalam realisasi anggaran pemerintahan Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara?


(26)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh secara parsial dan simultan dari Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pemeliharaan dalam realisasi anggaran pemerintahan Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Bagi Peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai pengaruh dari Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pemeliharaan.

2. Bagi Praktisi, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara dan dapat menjadi acuan dalam pembuat kebijakan di masa yang akan datang sehingga dapat lebih meningkatkan kesejateraan rakyat.

3. Bagi Akademisi, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi akademisi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang Akuntansi Pemerintahan khususnya mengenai pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pemeliharaan.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyempurnakan penelitian-penelitian sejenis berikutnya.


(27)

1.5. Originalitas Penelitian

Penelitian ini merupakan replikasi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Halim (2004), yang berjudul “Pengalokasian Belanja Fisik dalam Anggaran Pemerintah Daerah: Studi Empiris atas Determinan dan Konsekuensinya Terhadap Belanja Pemeliharaan”. Lokasi penelitiannya di Kabupaten dan kota di Sumatera dan Bangka-Belitung. Perbedaan penelitian ini terletak daerah penelitian, periode penelitian dan variabelnya. Dalam penelitian ini, peneliti menambahkan variabel PAD sebagai salah satu variabel independen.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Belanja Daerah

Pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran belanja perlu diperhatikan (1) Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional. Belanja daerah adalah semua kewajiban pemda (pemerintah daerah) yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (ekuitas dana) dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Makna pengeluaran belanja berbeda dengan pengeluaran pembiayaan. Pemda tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas pengeluaran belanja yang telah terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun pada tahun anggaran berikutnya. Sedangkan pengeluaran pembiayaan merupakan pengeluaran yang akan diterima kembali pembayarannya pada tahun anggaran berjalan atau pada tahun anggaran berikutnya.


(29)

Istilah belanja (expenditure) sebagaimana yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran pemerintah, juga mempunyai pengertian yang berbeda dengan istilah beban (expense) yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis (perusahaan). Belanja yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran pemerintah merupakan pengeluaran kas yang sudah terjadi selama tahun berjalan (cash basis). Sedangkan beban yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis (laporan rugi laba) adalah nilai perolehan (cost) sumber daya yang telah digunakan. Sebagai contoh, belanja perlengkapan kantor yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran pemerintah adalah jumlah pembelian tunai perlengkapan kantor dalam tahun berjalan (meskipun pada akhir tahun masih ada saldo perlengkapan kantor); sedangkan beban perlengkapan kantor yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis adalah nilai perolehan perlengkapan kantor yang telah digunakan dalam tahun tersebut, yaitu nilai perolehan (pembelian) dikurangi saldo akhir perlengkapan kantor.

Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, anggaran belanja daerah, dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, baik dari segi cakupan jenis dana yang didaerahkan, maupun dari besaran alokasi dana yang didaerahkan.


(30)

Dalam tahun 2001, alokasi anggaran belanja daerah baru mencakup dana perimbangan, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dilihat dari daya serap anggarannya, realisasi anggaran belanja daerah setiap tahunnya mengalami peningkatan. Dalam tahun 2003, realisasi belanja daerah mencapai Rp120,3 triliun (5,9 persen terhadap PDB), sedangkan dalam tahun 2004 realisasi belanja daerah menjadi Rp129,7 triliun (5,6 persen terhadap PDB), atau mengalami peningkatan 7,8 persen. Selanjutnya, dalam tahun 2005, realisasi belanja daerah diperkirakan mencapai Rp149,6 triliun (5,7 persen terhadap PDB) atau meningkat sebesar 15,3 persen dari realisasinya dalam tahun sebelumnya. Peningkatan anggaran belanja daerah ini antara lain berkenaan dengan lebih tingginya penerimaan dalam negeri, yang membawa konsekuensi pada lebih tingginya DBH, DAU, dan DAK DR. Selain itu, peningkatan anggaran belanja ke daerah tersebut juga berkaitan dengan adanya penyesuaian persentase DAU, yaitu semula 25 persen dari penerimaan dalam negeri (PDN) neto hingga tahun 2003, menjadi 25,5 persen dari PDN neto dalam tahun 2004 dan tahun 2005.

2.1.1.1. Klasifikasi belanja daerah menurut Kepmendagri 29/2002 vs PP 24/2005 Struktur belanja yang digunakan dalam penyusunan APBD sampai dengan APBD T.A. 2006 masih mengacu kepada Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Sementara itu, laporan realisasi APBD T.A. 2006 tersebut harus mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (PP No. 24 Tahun 2005). Oleh karena itu, perlu


(31)

dipahami bagaimana teknik mengonversi dari struktur belanja versi Kepmendagri 29/2002 ke versi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Berdasarkan Kepmendagri 29/2002, belanja daerah mula-mula dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Masing-masing bagian belanja tersebut dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Setiap kelompok belanja dirinci menurut jenis belanja. Jenis belanja dirinci menurut objek belanja. Selanjutnya setiap objek belanja dirinci menurut rincian objek belanja.

Sedangkan di dalam SAP, tidak mengenal adanya pembagian ke dalam bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Di samping itu, tidak ada pengelompokkan ke dalam belanja administrasi umum maupun belanja operasi dan pemeliharaan. Pengklasifikasian belanja daerah berdasarkan SAP pada dasarnya lebih sederhana, namun setelah keluar nya Permendagri No. 13/2006 sebagai pengganti Kepmendagri No. 29/2002 maka banyak terjadi perubahan yang mendasar dalam peraturan tersebut diantaranya diperkenakan kembali adanya bendahara penerima dan bendahara pengeluaran. Selain itu, pengelompokan jenis belanja lebih menekankan pada belanja langsung dan belanja tidak langsung.


(32)

Tabel 2.1. Pemetaan Struktur Belanja Daerah

Kepmendagri No. 29 Thn 2002 (X) (X) Ke (Y) PP No. 24 Thn 2005 (Y) A. Belanja Administrasi Umum

1 Belanja Pegawai

2 Belanja Barang dan Jasa 3 Bunga

4 Belanja Perjalanan Dinas 5 Belanja Pemeliharaan B. Belanja Operasi dan Pemeliharaan

1 Belanja Pegawai

2 Belanja Barang dan Jasa 3 Belanja Perjalanan

Dinas

4 Belanja Pemeliharaan C. Belanja Modal

1 Belanja Aset Tetap 2 Belanja Aset Lainnya D. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Kekurangan

1 Bagi hasil 2 Subsidi 3 Bantuan

Keuangan/Sosial 4 Hibah

E. Belanja Tidak Tersangka

a.1 a.2.1 a.3 a.2.3 a.2.2 a.1 a.2.1 a.2.3 a.2.2 b.1 b.2 a.7 a.4 a.6 a.5 C

A. Belanja Operasi a.1. Belanja Pegawai

a.2. Belanja Barang dan Jasa a.2.1. Belanja Barang Pakai Habis

a.2.2. Belanja Pemeliharaan a.2.3.Belanja/Perjalanan Dinas

a.3. Bunga a.4. Subsidi a.5. Hibah

a.6. Bantuan Keuangan/Social a.7. Bagi Hasil

B. Belanja Modal b.1. Belanja Aset Tetap

b.2. Belanja Aset Tetap Lainnya

C. Belanja Lain-lain/Tak Terduga


(33)

2.1.1.2. Klasifikasi Belanja menurut PP No. 24/2005

Berdasarkan SAP (PP No. 24/2005), belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi, dan fungsi. Penjelasan lebih lanjut untuk setiap klasifikasi dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Klasifikasi Ekonomi

Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ekonomi meliputi kelompok belanja operasi, belanja modal, dan belanja tak terduga. Masing-masing kelompok belanja tersebut dirinci menurut jenisnya. Belanja daerah menurut jenisnya disusun sesuai dengan kebutuhan satuan kerja perangkat daerah.

Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Berdasarkan rincian jenisnya, belanja operasi terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan bagi hasil.

Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.

Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.


(34)

Dengan demikian, jenis-jenis belanja daerah berdasarkan klasifikasi ekonomi (jenisnya) teridiri atas:

a. Belanja pegawai;

b. Belanja barang dan jasa; c. Belanja bunga;

d. Belanja subsidi; e. Belanja hibah;

f. Belanja bantuan keuangan/sosial; g. Belanja bagi hasil;

h. Belanja modal; dan

i. Belanja lain-lain / tidak tersangka

Penjelasan dari masing-masing jenis belanja adalah sebagai berikut:

a. Belanja pegawai, digunakan untuk menganggarkan belanja penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, gaji pokok dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta gaji pokok dan tunjangan pegawai negeri sipil.

b. Belanja barang dan jasa, digunakan untuk menganggarkan belanja barang, jasa, ongkos kantor, perjalanan dinas dan pemeliharaan.

c. Belanja bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga hutang / pinjaman daerah baik yang bersifat pinjaman jangka pendek maupun pinjaman jangka panjang.


(35)

d. Belanja subsidi, digunakan untuk menganggarkan subsidi kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga yang sah untuk mendukung kemampuan daya beli masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

e. Belanja hibah, digunakan untuk menganggarkan bantuan dalam bentuk uang kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat yang terlebih dahulu dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dengan penerima hibah. Pihak-pihak tertentu seperti kepada: pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, pemerintah daerah di luar wilayah provinsi, atau hibah dari kabupaten/kota kepada provinsi, kabupaten/kota dalam wilayah provinsi atau dari provinsi, kabupaten/kota kepada perusahaan daerah/BUMD, perusahaan negara/BUMN dan masyarakat.

f. Belanja bagi hasil, digunakan untuk menganggarkan dana yang bersumber dari pendapatan provinsi yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota yang dibagihasilkan kepada pemerintah desa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

g. Belanja bantuan keuangan / sosial, digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan berupa uang kepada pemerintah, pemerintah daerah lainnya, pemerintah desa, badan/lembaga/organisasi sosial kemasyarakatan, partai politik dan organisasi profesi. Belanja bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau kepada pemerintah desa atau bantuan keuangan kabupaten/kota kepada pemerintahan desa atau bantuan keuangan kabupaten/kota kepada pemerintah


(36)

desa dapat dikelompokkan ke dalam bantuan bersifat umum (block grant) atau bantuan bersifat khusus (specific grant). Bantuan keuangan bersifat umum merupakan bantuan yang penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada penerima bantuan.Bantuan keuangan bersifat khusus merupakan bantuan yang diberikan kepada kabupaten/kota/pemerintahan desa tertentu yang pedoman penggunaannya dapa ditetapkan dalam peraturan kepala daerah sesuai dengan prioritas provinsi/kabupaten/kota atau sesuai dengan usulan kabupaten/kota/ pemerintahan desa yang membutuhkan.

h. Belanja tidak tersangka, digunakan untuk menganggarkan pengeluaran guna penanganan bencana alam, bencana sosial atau penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang sangat mendesak diperlukan dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat yang dananya belum tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.

2. Klasifikasi Organsiasi

Klasifikasi menurut organisasi yaitu klasifikasi berdasarkan unit organisasi pengguna anggaran. Hal ini berarti bahwa belanja daerah disusun berdasarkan satuan kerja perangkat daerah yang bertindak sebagai pusat-pusat pertanggungjawaban uang/barang. Klasifikasi belanja menurut organisasi di pemerintah daerah antara lain belanja Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Sekretariat Daerah (Sekda) pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dinas pemerintah tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan lembaga teknis daerah provinsi/kabupaten/kota.


(37)

3. Klasifikasi Fungsi

Belanja daerah menurut fungsi disusun berdasarkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, klasifikasi menurut fungsi adalah klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi utama pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belanja daerah menurut program dan kegiatan disusun sesuai dengan kebutuhan dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah. Contoh klasifikasi belanja menurut fungsi adalah sebagai berikut:

Belanja :

1 Pelayanan Umum

2 Ketertiban dan Keamanan 3 Ekonomi

4 Pertanian 5 Kesehatan

6 Pariwisata , Budaya dan Pendidikan

2.1.1.3. Klasifikasi Belanja Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005

Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja.

1. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.


(38)

2. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari:

1 Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan 2 Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara.

Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:

a. Pelayanan umum

b. Ketertiban dan keamanan c. Ekonomi

d. Lingkungan hidup

e. Perumahan dan fasilitas umum f. Kesehatan

g. Pariwisata dan budaya h. Pendidikan

i. Perlindungan sosial.

3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

4. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari: a. Belanja pegawai

b. Belanja barang dibagi atas


(39)

2 Belanja Pemeliharaan 3 Belanja Perjalanan c. Belanja modal

d. Bunga e. Subsidi f. Hibah

g. Bantuan sosial

h. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan i. Belanja tidak terduga.

2.1.2. Belanja Modal

Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal dapat diktegorikan dalam 5 (lima) kategori utama yaitu tanah, peralatan, mesin gedung dan bangunan, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.1.2.1. Belanja Modal Tanah

Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertipikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.


(40)

2.1.2.2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2.1.2.3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2.1.2.4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan pembangunan / pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan, irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan, irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2.1.2.5. Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan pembangunan / pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikatagorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan


(41)

irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

2.1.3. Belanja Pemeliharaan

Belanja pemeliharaan adalah kewajiban yang timbul akibat hak atas pengeluaran anggaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi yang normal tanpa memperhatikan besar atau kecil. Belanja pemeliharaan adalah belanja yang bersifat rutin yang terdapat pada semua satuan kerja atau pemerintah daerah yang memiliki aset, sehingga penentuan besarnya anggaran belanja pemeliharaan setiap tahunnya tergantung pada banyaknya aset yang dimiliki oleh masing-masing satuan kerja atau pemerintah daerah yang bersangkutan.

2.1.4. Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan dalam Anggaran Daerah

Aset tetap merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah memberikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Anggaran belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatakan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya.


(42)

Secara teoretis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, untuk kasus dipemerintahan, biasanya cara yang dilakukan adalah membangun sendiri atau membeli.

Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Bahwa belanja modal memiliki karakteristik spesifik menunjukkan adanya berbagai pertimbangan dalam pengalokasiannya. Pemerolehan aset tetap juga memiliki konsekuensi pada beban operasional dan pemeliharaan pada masa yang akan datang (Bland & Nunn, 2002).

Sementara belanja pemeliharaan adalah belanja yang digunakan untuk menjaga agar aset tetap senantiasa dalam kondisi siap digunakan sesuai dengan estimasi umur ekonomisnya. Dalam perspektif akuntansi, anggaran untuk pemeliharaan dihitung berdasarkan lamanya waktu atau periode pemakaian aset tetap. Belanja modal yang didasarkan pada kebutuhan memiliki arti bahwa tidak semua satuan kerja atau unit organisasi dipemerintahan daerah melaksanakan kegiatan atau proyek pengadaan aset tetap. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing satuan kerja, ada satuan kerja yang memberikan pelayanan publik berupa penyediaan sarana dan perasarana fisik, seperti fasilitas pendidikan (gedung sekolah, peralatan laboratorium, mobiler), kesehatan (rumah sakit, peralatan kedokteran, mobil ambulans), jalan raya, dan jembatan, sementara satuan kerja lain


(43)

hanya memberikan pelayanan jasa langsung berupa pelayanan administrasi (catatan sipil, pembuatan kartu identitas kependudukan), pengamanan, pemberdayaan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan.

Berbeda dengan belanja modal, belanja pemeliharaan terjadi pada semua satuan kerja atau unit organisasi pemerintah daerah karena semua memiliki aset tetap. Karena sifatnya yang rutin, belanja pemeliharaan tidak tergantung pada Tupoksi satuan kerja, tetapi tergantung pada jumlah aset yang dimiliki. Dengan demikian, biaya pemeliharaan bukan merupakan biaya aktivitas yang bersifat variabel. Secara teoritis apabila suatu organisasi melakukan suatu kebijakan untuk membelanjakan dana dari anggaran yang sudah ditetapkan untuk belanja modal, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap belanja pemeliharaan organisasi tersebut. Bland dan Nunn (2002) juga menemukan bahwa capital outlays memiliki implikasi positif yang tidak ambigu terhadap operasi di masa yang akan datang dan tentu juga berimplikasi pada belanja pemeliharaan.

2.1.5. Perbandingan Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan

Pada pemerintahan daerah, proses penyusunan anggaran mencakup dua komponen belanja yang memiliki siklus berbeda, yakni siklus belanja pemeliharaan yang menghasilkan rencana keuangan bagi aktivitas pemerintahan yang berjalan terus menerus dan siklus belanja modal, yang merupakan perencanaan untuk mendapatkan peralatan, bangunan, infrastruktur, dan aset tetap lainnya (Bland & Nunn, 2002). Meskipun kedua belanja memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan pelayanan kepada publik, namun terdapat beberapa perbedaan mendasar diantara keduanya.


(44)

Keduanya relatif independen satu sama lain, termasuk dalam format dokumen anggarannya. Bland & Nunn (1992) menyatakan :

”Capital budgets are project specific, usually providing details on project

location and design, funding sources, the time frame for completion, and the percentage of the project completed to date” (Belanja modal adalah proyek

proyek khusus, biasanya menyediakan perincian mengenai lokasi, disain, sumber pendanaan, waktu penyelesaian, dan persentase penyelesaian dari proyek tersebut).

Sebaliknya, belanja pemeliharaan mencerminkan bagaimana struktur organisasi pemerintahan dan membandingkan pengeluaran setiap departemen antara tahun berjalan dengan tahun lalu untuk mendapatkan estimasi pengeluaran untuk tahun yang akan datang. Perbedaan lainnya adalah banyaknya pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Meskipun keduanya melibatkan negosiasi di antara eksekutif, untuk pengeluaran modal (khususnya untuk infrastruktur), mendapat masukan sangat besar dari insinyur, arsitek, dan perencana. Sumber pendanaan (funding) untuk kedua belanja juga berbeda. Belanja modal biasanya didasarkan pada

one-time sources, seperti obligasi dan grants, sementara belanja pemeliharaan

umumnya berasal dari sumber pendapatan yang bersifat rutin, seperti pajak (taxes) dan retribusi (service charges). Perbedaan berikutnya adalah time-frame yang dimasukkan dalam setiap belanja. Belanja pemeliharaan biasanya hanya dianggarkan untuk satu tahun anggaran, sementara hampir semua belanja modal mengandung komitmen adanya pengeluaran dalam waktu melebihi satu tahun.


(45)

Perbedaan tersebut memiliki konsekuensi terhadap penganggaran dipemerintahan daerah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa anggaran belanja modal tidak selalu terpisah dengan anggaran belanja pemeliharaan. Pagano (2004) berpandangan perlunya menghubungkan diantara keduanya. yang menyatakan:

Over time, crosswalking of capital budget expenses to operating expenses has eroded, in part due to the separateness of the deliberations of those budget. State and local governments usually schedule separate budget hearings for the operating budget and for the capital budget… decisions for each set of outlays, then, are made separately. (Setelah beberapa waktu perbedaan

belanja modal dengan belanja pemeliharaan semakin tipis, disebabkan oleh adanya pemisahan dari anggaran tersebut. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah biasanya menjadwalkan pemisahan dalam memperoleh persetujuan dari DPR / DPRD atas Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan, sehingga hasil persetujuan dari DPR / DPRD juga dibuat secara terpisah)

Keputusan untuk meningkatkan belanja modal merupakan bagian dari keinginan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, yang diikuti dengan peningkatan belanja-belanja lain, yakni belanja pemeliharaan. Namun, tidak berarti belanja modal sebagai penyebab atau prediktor bagi kenaikan belanja pemeliharaan. Beberapa argumen yang menyatakan perlunya kehati-hatian dalam melihat hubungan belanja modal dan belanja pemeliharaan.

Pertama, pengaruh belanja modal terhadap belanja pemeliharaan tidak seragam karena tergantung pada apakah belanja modal tersebut kebijakan menggantikan tenaga manusia (labor) dengan mesin (capital) atau semata-mata untuk meningkatkan kapasitas pelayanan pemerintah melalui pembangunan fasilitas yang baru. Kedua, pengaruhnya bervariasi di antara berbagai pelayanan yang diberikan pemerintah daerah, tergantung pada sifat pelayanan tersebut: apakah padat modal atau


(46)

padat karya. Ketiga, adanya kesenjangan waktu (lag of time) antara realisasi belanja modal dan pengaruhnya yang terasa dalam kenaikan atau perubahan dalam belanja pemeliharaan yang berbeda diantara berbagai bentuk pelayanan. Keempat, hubungan investasi modal kemungkinan ditutupi oleh kehadiran budget slack (excess resources) dalam suatu pelayanan publik, khususnya jika slack tersebut digunakan untuk meningkatkan biaya yang muncul dari peningkatan belanja modal. Terakhir, mengukur magnitude dan timing belanja modal merupakan pekerjaan yang rumit karena tidak lengkapnya data dan tidak terhitungnya kontribusi pihak swasta dalam pengadaan infrastruktur pemerintah daerah (Bland & Nunn, 2002).

Belanja modal memiliki konsekuensi diperolehnya aset tetap (fixed asset) pada saat belanja tersebut direalisasi sepenuhnya atau output-nya sudah diperoleh. Hal ini bermakna adanya penambahan aset tetap yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dalam perspektif manajemen keuangan dan akuntansi, selain diperhitungkan cost untuk penggunaan aset tersebut dalam operasional organisasi dalam bentuk depresiasi, juga harus diperhitungkan cost untuk pemeliharaan aset tersebut sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan kegunaannya. Biaya pemeliharaan dikeluarkan secara rutin atau terjadi berulang-ulang setiap tahun (recurrent) atas aset tetap yang dimiliki oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan regulasi yang berlaku dipemerintahan daerah di Indonesia, yang mengatur tentang pengelolaan keuangan dan anggaran daerah, setiap realisasi atas kebijakan yang berhubungan dengan biaya (cost) atau belanja (expenditure) harus didasarkan pada peraturan resmi yang disebut peraturan daerah (Perda). Perda tentang


(47)

anggaran daerah (Perda APBD) merupakan penentu boleh tidaknya dilakukan pengeluaran dana atau kas untuk membayar biaya-biaya, termasuk biaya untuk memperoleh aset tetap (belanja modal) maupun biaya untuk memelihara aset tetap tersebut (belanja pemeliharaan). APBD merupakan rencana keuangan untuk mendapatkan aset tetap dan pendanaan untuk pemeliharaan aset tersebut.

Kepmendagri 29/2002 tidak secara eksplisit menyatakan bahwa belanja pemeliharaan harus dianggarkan berdasarkan estimasi atas kondisi keseluruhan aset tetap yang dimiiki oleh pemerintah daerah. Bahkan dalam peraturan yang harus dipatuhi oleh pemerintah daerah ini belanja pemeliharaan terdapat dalam dua jenis belanja, yakni dalam belanja administrasi umum (BAU) dan belanja operasional dan pemeliharaan (BOP). Pemeliharaan dalam BAU bersifat rutin atau terjadi terus menerus, sementara dalam BOP merupakan kegiatan (insidentil). Namun, tidak ada penjelasan lebih jauh batas di antara kedua objek belanja pemeliharaan ini.

Beberapa studi di luar Indonesia telah menganalisis hubungan belanja modal dengan belanja pemeliharaan. Bland dan Nunn (2002) menyatakan bahwa terdapat perbedaan dalam proses pembuatan keputusan antara anggaran belanja modal dengan anggaran belanja pemeliharan. Perbedaan tersebut terjadi karena sifat kedua belanja yang berbeda. Belanja modal adalah belanja variabel, yakni belanja yang terjadi karena adanya kebutuhan atau aktivitas untuk menghasilkan aset tetap, sementara belanja pemeliharaan bersifat rutin dari tahun ke tahun, sesuai dengan keadaan aset tetap yang dimiliki oleh pemerintah.


(48)

2.1.6. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut pasal 79 undang-undang no. 22 tahun tahun 1999, pendapatan daerah, yaitu semua penerimaan kas daerah dalam periode anggaran tertentu yang menjadi hak atas daerah yang menjelaskan tentang jumlah anggaran dan realisasi dari bagian sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, bagian pendapatan asli daerah, pendapatan dari pemerintah/instansi yang lebih tinggi, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan daerah ini dimaksud untuk membiayai belanja atau pengeluaran pembangunan daerah, karena pembangunan daerah tidak akan terlaksana dengan baik apabila tidak didukung dengan dana yang cukup.

Dari pasal 79 tersebut dapat diketahui bahwa sumber pendapatan asli daerah yang merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari:

1. Hasil pajak daerah 2. Hasil retribusi daerah

3. Hasil perusahaan milik daerah serta hasil pengelolaan kekayaan daerah yang bersangkutan

4. Lain-lain PAD yang sah

UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (UU-PKPD) merupakan UU yang mengatur perimbangan keuangan atau desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat-daerah berdasarkan pembagian fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan di antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam UU tentang pemerintahan daerah. Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan


(49)

berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari harinya secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat, dan dengan adanya infrastruktur yang lebih baik akan menarik investor untuk berinvestasi, sehingga dapat meningkatkan PAD.

Peningkatan investasi pemerintah daerah (belanja modal dan belanja pemeliharaan) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik yang pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari peningkatan PAD. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bersumber dari PAD dan penerimaan dana perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diberikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pendapatan asli daerah dan dana perimbangan untuk masing-masing daerah berbeda tergantung dari endowment faktor, meliputi sumber daya alam yang dimiliki.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan adalah :

Kamensky (1984) yang melakukan penelitian atas kota-kota yang menjadi anggota National League of Cities menemukan bahwa sebanyak 57% kota di Amerika Serikat tidak mempertimbangkan biaya pemeliharaan dan perbaikan terhadap expected life dari suatu project. Menurutnya manajer publik perlu


(50)

memahami lebih jauh biaya total dari belanja modal, bukan hanya pengeluaran untuk konstruksi dan pengadaan.

Thomassen (1990) juga memberikan catatan penting bagi penganggaran belanja modal ini. Ia menyatakan bahwa paling tidak setengah dari state yag melaporkan item belanja modal dan non belanja modal secara terpisah gagal menggabungkan anggarannya untuk melakukan evaluasi secara simultan dan komparatif untuk kedua item belanja tersebut.

Abdullah dan Halim (2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara belanja modal dengan belanja pemeliharaan. Pendapatan daerah yang berasal dari dana perimbangan, terutama dari hasil pajak/bukan pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap anggaran belanja modal, artinya apabila terjadi kenaikan dalam dana perimbangan akan mengakibatkan kenaikan juga dalam belanja modal.

Karo-Karo (2006) yang menemukan bahwa tidak terdapat korelasi di antara belanja modal dan belanja pemeliharaan. Dia menggunakan sampel kabupaten/kota di Pulau Jawa untuk anggaran 2003-2004 dan menemukan bahwa ketika pemerintah daerah membuat kebijakan untuk mengalokasikan anggaran belanja modal, tidak diiringi dengan pengalokasian untuk belanja operasional dan pemeliharaan yang seimbang. Diduga penyebabnya adalah tidak akuratnya pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran terhadap proyek/kegiatan.


(51)

Maimunah (2006) menyatakan fenomena flypaper effect dapat dijelaskan dengan ilusi fiskal. Bagi Oates, transfer akan menurunkan biaya rata-rata penyediaan barang publik (bukan biaya marginalnya). Namun, masyarakat tidak memahami penurunan biaya yang terjadi adalah pada biaya rata-rata atau biaya marginalnya. Masyarakat hanya percaya harga barang publik akan menurun. Bila permintaan barang publik tidak elastis, maka transfer berakibat pada kenaikan pajak bagi masyarakat. Ini berarti flypaper effect merupakan akibat dari ketidaktahuan masyarakat akan anggaran pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan flypaper effect adalah suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana perimbangan akan meningkatkan belanja publik yang lebih besar dibandingkan dengan pertambahan pendapatan yang diperoleh dari masyarakat. Secara ringkas hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.2. berikut.


(52)

Tabel 2.2. Review Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian

Hasil

1 Kamensky (1984)

Budgeting for state and local infrastructure: Developing a strategy. Belanja modal, penerimaan daerah, belanja pemeliharaan Anggaran dipengaruhi paling besar oleh belanja

2 Thomassen (1999)

Capital Budgeting for a State

Revenues and costs Capital consumption

Setengah dari negara bagian Amerika Serikat yang melaporkan item belanja modal dan non belanja modal secara terpisah gagal menggabungkan anggarannya untuk melakukan evaluasi secara simultan dan komperatif untuk kedua item belanja tersebut.

3 Abdullah dan Halim (2004)

Pengalokasian Belanja Fisik dalam Anggaran

Pemerintah Daerah: Studi Empiris atas Determinan dan Konsekuensinya Terhadap Belanja Pemeliharaan. Belanja modal, belanja pemeliharaan dan dana perimbangan

Belanja modal dan pendapatan asli daerah yang berasal

dari dana perimbangan

berpengaruh positif terhadap belanja pemeliharaan.

4 Karo-Karo (2006) Hubungan belanja modal dengan belanja operasional dan pemeliharaan pada pemerintah kabupaten/kota di pulau Jawa. Belanja modal, belanja operasional, belanja pemeliharaan Belanja operasional yang paling besar dipengaruhi oleh anggaran.


(53)

5 Maimunah (2006)

Flypaper Effect Pada

Dana Alokasi Umum (DAU) Dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera

DAU, PAD, Belanja

Daerah.

terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah Kab/kota di Sumatera,

pengaruh flypaper

dapat digunakan dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan, dan

tidak terdapat perbedaan terjadinya

flypaper effect baik

pada daerah yang PAD-nya tinggi maupun pada daerah yang PAD-nya rendah


(54)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka Konsep Penelitian ini adalah:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

Dalam Gambar 3.1. terdapat 1 (satu) variabel dependen, yaitu belanja pemeliharaan dan 2 (dua) variabel independen yaitu belanja modal dan pendapatan asli daerah. Kedua variabel independen ini diprediksi akan mempengaruhi variabel dependen dalam arti peningkatan/penurunan belanja modal dan pendapatan asli daerah akan meningkatkan/menurunkan belanja pemeliharaan.

Anggaran belanja modal yang terealisasi setiap tahunnya akan menunjukkan adanya penambahan aset tetap suatu daerah, penambahan aset tersebut juga harus diikuti dengan penambahan belanja pemeliharaan sehingga aset pemerintah daerah yang dimiliki tersebut dapat dmanfaatkan secara efektif sesuai dengan kegunaannya. Untuk mendapatkan aset tetap, pemerintah daerah cukup merealisasikan anggaran belanja modal pada tahun berjalan sedangkan untuk belanja pemeliharaan pemerintah daerah harus mengeluarkan secara rutin dan terus-menerus selama aset tersebut

Belanja Modal (X1)

Pendapatan Asli Daerah (X2)


(55)

dimiliki oleh pemerintah daerah sehingga penambahan jumlah aset pemerintah daerah setiap tahunnya seharusnya juga meningkatkan jumlah anggaran belanja pemeliharaan.

Pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja pemeliharaan, sehingga apabila pendapatan asli daerah meningkat maka realisasi belanja pemeliharaan dalam satu tahun anggaran juga meningkat hal ini karena pendapatan asli daerah digunakan untuk membiayai belanja atau pengeluaran daerah dengan tujuan dapat meningkatkan kesejahteraan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Peningkatan pendapatan asli daerah merupakan indikasi kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya dalam satu tahun anggaran, jika pendapatan asli daerah suatu daerah dapat ditingkatkan, maka daerah tersebut dapat mencukupi belanjanya sendiri. Belanja pemeliharaan adalah salah satu belanja rutin pemerintah daerah yang sebagian daerah telah mampu dibiayai oleh pendapatan asli daerahnya sendiri. Perbandingan pendapatan asli daerah dengan besarnya belanja pemeliharaan menunjukkan kemampuan nyata suatu propinsi dalam membiayai belanja rutinnya. Hal ini dapat digambarkan sebagaimana ditunjukkan Gambar 3.1.


(56)

3.2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teori dan hasil penelitian terdahulu, telah diformulasi hipotesis sebagai berikut:

Belanja modal dan pendapatan asli daerah secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap belanja pemeliharaan dalam realisasi anggaran pemerintahan kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara.


(57)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode desain kausal, yaitu menganalisis hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lain. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Belanja Modal (BM), dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diposisikan sebagai variabel independen sedangkan variabel dependennya adalah Belanja Pemeliharaan (BP).

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh daerah kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Obyek yang diteliti adalah realisasi anggaran belanja pemeliharaan, realisasi anggaran belanja modal di kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Utara. Populasi penelitian ada sebanyak 33 Kabupaten/Kota.

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria : 1. Tersedianya data yang lengkap selama periode amatan.

2. Daerah pemekaran tidak diikutkan sebagai sampel penelitian karena selama periode amatan ada data yang tidak tersedia.


(58)

3. Berdasarkan kriteria di atas, maka jumlah kabupaten dan kota yang akan dijadikan sampel penelitian sebanyak 15 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara.

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 15 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan secara bertahap dalam bulan Januari 2009 sampai dengan Pebruari 2009.

4.4. Prosedur Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data sekunder eksternal yang disusun oleh suatu entitas selain peneliti dari organisasi yang bersangkutan (Indriantoro, 2002:149). Metode pengumpulan data sekunder secara manual berdasarkan lokasi eksternal. Data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dan merupakan data sekunder, yang diperoleh dari realisasi APBD daerah kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara dan Bappeda Propinsi Sumatera Utara. Data yang diambil adalah realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Modal (BM), dan Belanja Pemeliharaan (BP) dari tahun 2000 – 2007.

Data tersebut merupakan kombinasi dari data runtut waktu (time – series), yaitu data yang secara kronologis disusun menurut waktu pada suatu variabel tertentu dan secara silang tempat (cross-section) yang dikumpulkan pada suatu titik waktu (Kuncoro, 2003) yang disebut dengan pooling data dengan combined model. Penelitian ini menggunakan data yang diambil dari 15 daerah kabupaten dan kota (section) selama periode waktu 8 tahun (series) yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2007.

Nama ke 15 daerah kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Utara yang menjadi sampel dalam penelitian ini tercantum pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Daftar Sampel Penelitian No. Kabupaten / Kota 1 Kabupaten Nias

2 Kabupaten Tapanuli Selatan 3 Kabupaten Tapanuli Tengah


(59)

4 Kabupaten Karo 5 Kabupaten Dairi

6 Kabupaten Tapanuli Utara 7 Kabupaten Simalungun 8 Kabupaten Asahan

9 Kabupaten Labuhan Batu 10 Kabupaten Langkat 11 Kabupaten Deli Serdang 12 Kota Tebing Tinggi 13 Kota Tanjung Balai

14 Kota

15 Kota

4.5. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel independen dan satu variabel dependen yang diukur dengan menggunakan parameter realisasi anggaran belanja dan pendapatan asli daerah. Variabel independen dalam penelitian ini adalah belanja modal dan pendapatan asli daerah sedangkan sebagai variabel dependen adalah belanja pemeliharaan.

4.6. Defenisi Operasional 4.6.1. Variabel Independen

1. Belanja modal dalam penelitian ini diartikan sebagai pengeluaran yang dilakukan dalam rangka menambah aset atau kekayaan daerah kabupaten dan kota yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun anggaran, yang meliputi antara lain belanja untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud. Variabel ini diukur dari jumlah realisasi anggaran belanja modal tahun tertentu dengan skala pengukurannya ialah rasio

2. Pendapatan asli daerah yaitu pendapatan daerah kabupaten dan kota yang

bersumber dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah serta hasil pengolahan kekayaan daerah. Variabel ini diukur dari jumlah realisasi pendapatan asli daerah tahun tertentu dengan skala pengukurannya ialah rasio. 4.6.2. Variabel Dependen


(60)

Belanja pemeliharaan dalam penelitian ini diartikan sebagai pengeluaran daerah kabupaten dan kota yang digunakan untuk menjaga agar aset daerah senantiasa dalam kondisi siap digunakan. Variabel ini diukur dari jumlah realisasi anggaran belanja pemeliharaan tahun tertentu dengan skala pengukurannya ialah rasio.

Secara ringkas defenisi operasional variabel-variabel tersebut terlihat dalam tabel berikut .

Tabel 4.2. Defenisi Operasional Variabel

Jenis Variabel

Nama Variabel Definisi Parameter Skala

Independen Belanja Modal(X1)

Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka menambah aset atau kakayaan daerah yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun, belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud.

Realisasi anggaran belanja modal dari tahun 2000 - 2007

Rasio

Pendapatan Asli Daerah(X2)

Pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah serta hasil pengolahan kekayaan daerah. Realisasi pendapatan asli daerah yang bersangkutan dari tahun 2000 - 2007

Rasio

Dependen Belanja

Pemeliharaan(Y)

Pengeluaran yang dikeluarkan untuk menjaga agar aset tetap senantiasa dalam kondisi siap

Realisasi anggaran belanja pemeliharaan dari tahun Rasio


(61)

digunakan. 2000 - 2007

4.7. Model dan Teknik Analisis Data

Sebelum data diolah untuk menguji hipotesis, maka data tersebut perlu diuji terlebih dahulu yaitu dengan melakukan uji asumsi klasik (Nachrowi:2002), yaitu: a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, dimana apabila nilai Sig. atau signifikan atau probabilitas < 0,05, maka distribusi data adalah tidak normal. Selain itu, peneliti juga akan melihat grafik histogram, grafik PP Plots dan grafik uji kemencengan Skewness dari data yang dimaksud untuk menguji kenormalan data. Apabila data terdistribusi tidak normal, maka akan dilakukan treatment agar data normal

b. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Uji multikolinearitas dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation

factor (VIF). Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi

(karena VIF = 1/tolerance). Apabila bila tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10, maka dikatakan terjadi multikolinearitas.

c. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji glejser dan melihat grafik Plot antara nilai prediksi variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya heteroskedasitas dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara ZPRED dan SRESID.


(62)

a. Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen (nilai absolut dari residual yang tidak standar), maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas.

b. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur, maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

c. Jika tidak ada pola yang jelas, seperti titik - titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

d. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Uji autokorelasi dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Durbin-Watson (DW test), dimana apabila nilai Durbin-Watson (DW) terletak antara batas atas atau Upper Bound (DU) dan 4-DU, maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi.

4.8. Uji Hipotesis

Kemudian hipotesis diuji dengan menggunakan t-test dan F-test (ANOVA

test). Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen yaitu belanja

modal dan pendapatan asli daerah terhadap variabel dependen yaitu belanja pemeliharaan secara parsial.

Kriteria:

Ho diterima apabila t* < t tabel ( ) Ha diterima apabila t* > t tabel ( )

Uji F atau distribusi F digunakan untuk menguji pengaruh dari variabel independen yaitu variabel belanja modal, dan pendapatan asli daerah secara simultan terhadap variabel dependen yaitu belanja pemeliharaan.

Kriteria:

Ho diterima apabila F* < F tabel ( ) Ha diterima apabila F* > F tabel ( )


(63)

Y= 0+ 1 X1 + 2 X2 + e

Dimana: Y = Belanja Pemeliharaan

0 = Harga Y bila X = 0 (harga konstan) 1, 2, 3 = Koefisien Regresi

X1 = Belanja Modal

X2 = Pendapatan Asli Daerah


(64)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Statistik Deskriptif

Pembahasan tentang pengaruh belanja modal, dan pendapatan asli daerah terhadap belanja pemeliharaan harus terlebih dahulu memperhatikan data dari 15 kabupaten/kota. Data perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum melakukan pembahasan hubungan masing masing variabel independen terhadap variabel dependen tersebut. Berikut ini ditampilkan data statistik secara umum dari seluruh data yang digunakan.

Tabel 5.1. Statistik Deskriptif

N Minimum Maximum Mean Std. Deviaton Belanja Modal

Pad

Belanja Pemeliharaan Valid N (listwise)

120 120 120 120

186.08 1377.02 270.36

1426495 320062.95 72337.50

95864.71 27430.98 12062.65

167133.09291 45916.35509 13197.70701 Sumber: Hasil Penelitian 2009 (data diolah)

Dari tabel 5.1 di atas dapat dijelaskan bahwa dari sampel sebanyak 120, diperoleh data deskripsi sebagai berikut:

1. Belanja modal maksimum yang dimiliki oleh sampel adalah Rp. 1.426.495 Juta, minimum Rp. 186,08 juta dan rata rata adalah Rp. 95.864,7 juta dengan standar deviasi Rp.174.052,4 juta


(65)

2. Pendapatan asli daerah maksimum yang dimiliki oleh sampel adalah Rp. 320.062,95 Juta, minimum Rp. 1.377,02 juta dan rata rata adalah Rp. 274.30,98 juta dengan standar deviasi Rp. 45.916,35 juta

3. Belanja pemeliharaan maksimum yang dimiliki oleh sampel adalah Rp. 72.337,5 Juta, minimum Rp. 270,36 juta dan rata rata adalah Rp 12.062,64 juta dengan standar deviasi Rp. 13.197,7 juta

5.1.2. Uji Asumsi Klasik

5.1.2.1. Uji Normalitas

Menurut Ghozali (2005), tujuan uji data normalitas adalah untuk mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal, yaitu distribusi data berbentuk lonceng (bell shaped). Suatu data dapat dikatakan baik atau layak, apabila data tersebut mempunyai pola seperti distribusi normal. Uji normalitas pada multivariate sebenarnya sangatlah kompleks, karena harus diujikan pada seluruh variabel secara bersama-sama. Namun pengujian ini juga dapat dilakukan pada setiap variabel, dengan berdasarkan logika bahwa secara individu masing-masing variabel memiliki asumsi normalitas, maka secara bersama-sama atau multivariate, variabel-variabel tersebut juga bisa dianggap memenuhi asumsi normalitas. Uji normalitas dapat dilakukan dengan analisis statistik. Untuk mengetahui apakah data yang dimiliki normal atau tidak, dapat diuji dengan menggunakan:

1. Uji statistik Kolmogorov-Smirnov (K-S). 2. Dengan Grafik (Uji kemencengan / Skewness)


(66)

Santoso (2002) memberikan pedoman pengambilan keputusan tentang data data yang mendekati atau merupakan distribusi normal uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) yang dapat dilihat dari:

1. Nilai signifikansi atau probabilitas < 0,05, maka data terdistribusi secara tidak normal

2. Nilai sinifikansi atau probabilitas > 0,05, maka data terdistribusi secara normal

Hasil dari uji normalitas dengan menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov (K-S) adalah sebagai berikut:

Tabel 5.2. Uji Normalitas

Belanja Modal

Pad Belanja Pemeliharaan N

Normal Parameters ab Mean

Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

120 95864.71 167133.1 .284 222 -.284 3.106 .000 120 27430.98 45916.36 .302 .302 -.285 3.311 .000 120 12062.6481 13197.70701 .238 .238 -.186 2.604 .000 a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Sumber: Hasil Penelitian 2009 (data diolah)

Dari hasil uji di atas ditunjukkan bahwa semua data tidak terdistribusi secara normal karena nilai signifikansi < 0,05. Oleh karena itu, data yang tidak terdistribusi secara normal tersebut dilakukan transformasi agar menjadi normal. Untuk melakukan transformasi mana yang akan dipakai maka perlu dilihat jenis


(1)

Lampiran 5. Hasil Regresi

Descriptive Statistics

120 186.08 1426495 95864.71 167133.09291 120 1377.02 320062.95 27430.98 45916.35509 120 270.36 72337.50 12062.65 13197.70701 120

belanja modal pad

belanja pemeliharaan Valid N (lis twise)

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Correlations

1.000 .521 .491

.521 1.000 .597

.491 .597 1.000

. .000 .000

.000 . .000

.000 .000 .

120 120 120

120 120 120

120 120 120

belanja pemeliharaan belanja modal pad belanja pemeliharaan belanja modal pad belanja pemeliharaan belanja modal pad Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N belanja pemeliharaan belanja modal pad

Variables Entered/Removedb

pad, belanja modala . Enter Model 1 Variables Entered Variables Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: belanja pemeliharaan b.


(2)

Model Summaryb

.866a .750 .745 .66817 1.736

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson Predictors: (Constant), pad, belanja modal

a.

Dependent Variable: belanja pemeliharaan b.

ANOV Ab

136.492 2 68.246 152.864 .000a

45.538 102 .446

182.030 104

Regres sion Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean S quare F Sig.

Predic tors: (Constant), pad, belanja modal a.

Dependent Variable: belanja pemeliharaan b.

Coefficientsa

-.224 .628 -.358 .721

.506 .043 .672 11.669 .000 .740 1.351

.408 .078 .302 5.253 .000 .740 1.351

(Constant) belanja modal pad

Model 1

B Std. Error Unstandardized

Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig. Tolerance VIF Collinearity Statistics

Dependent Variable: belanja pemeliharaan a.


(3)

Regression Standardized Predicted Value

3 2

1 0

-1 -2

-3

R

egressi

on

S

tudent

iz

ed

R

esi

dual

3

2

1

0

-1

-2

-3

Scatterplot Dependent Variable: belanja pemeliharaan

Charts

Observed Cum Prob

1.0 0.8

0.6 0.4

0.2 0.0

Expect

ed

Cum

P

rob

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0 Normal P-P Plot of Regression Standardized ResidualDependent Variable: belanja pemeliharaan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukriy & Abdul Halim. 2004, "Pengalokasian Belanja Fisik dalam Anggaran Pemerintah Daerah: Studi Empiris atas Determinan dan Konsekuensinya Terhadap Belanja Pemeliharaan",

Ablo, Emmanuel & Ritva Reinikka. 1998. “Do budget really matter? Evidence from public spending on education and health care in Uganda”. World Bank, Policy Research Paper 1926.

Allen, Richard & Daniel Tommasi. 2001. “Managing Public Expenditure: A Reference Book for Transition Countries”. Paris: SIGMA-OECD.

Badan Pusat Statistik. (2000-2007). Sumatera Utara. Dalam Angka. Jakarta : BPS

Bland, Robert & Samuel Nunn. 2002. “The impact of capital spending on municipal operating budgets” Public Budgeting & Finance (Summer): 32-47.

Devas, Nick, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia, terjemahan Masri Maris, UI-Press, Jakarta.

Ghozali, Imam. (2005). Structural equation modeling: Teori, konsep, dan aplikasi

dengan program lisrel. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro.

Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta, Salemba Empat.

Indriantoro, N. 1999, Metodologi Penelitian Bisnis : Untuk Akuntansi dan

Manajemen, BPFE, Yogyakarta.

Irawan, Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, Bina Aksana, Jakarta, 1984.

Kamensky, John M. 2004. “Budgeting for state and local infrastructure: Developing a strategy”. Public Budgeting and Finance (Autumn): 3-17.


(5)

Karo-Karo, Syukur Selamat. 2006. “Hubungan belanja modal dengan belanja

operasional dan pemeliharaan pada pemerintah kabupaten/kota di pulau Jawa”. Program Magister Sains - Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah

Mada.

Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. “The political economy of public expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People”. The World Bank.

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta, Erlangga.

Maimunah, Mutiara, 2006 “Flypaper effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Pendapatan asli Daerah (PAD) terhadap belanja daerah pada Kabupaten/Kota di pulau Sumatera”, Simposium nasional Akuntansi IX, Padang.

Pagano, Michael. 2004. “Notes on capital budgeting”. Public Budgeting & Finance 4

(Autum): 31-40.

_______, (2005), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

_______, (2005), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Santoso, S. 2002. SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional. PT. ElexMedia Ghalia Indonesia, Jakarta.

Saragih, Panglima Juli, 2003 Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam

Otonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta,.

Sidik, Machfud, B. Raksaka Mahi, Robert Simanjutak, & Bambang Brodjonegoro, 2002,

Dana Alokasi Umum – Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Thomassen, Henry. 1999. “Capital budgeting for a state”. Public Budgeting &

Finance 10 (Winter):72-86.

_______, (2004), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan Perpu No. 3 Tahun 2005.


(6)

_______, (2004), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Jakarta.