Review Studi Terdahulu Pengertian Kebebasan Beragama

5. Teknik Penulisan Penulisan mengacu buku pedoman skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007

E. Review Studi Terdahulu

Penelitian kebebasan beragama menurut syariat Islam telah banyak dipublikasikan, Tri wahyu hidayati dalam disertasinya yang kemudian dipublikasikan menjadi buku menjelaskan kebebasan beragama dan riddah sebagai implikasi dari pindah beragama, serta kontekstualisasi antara HAM dan konsep riddah di zaman sekarang. 9 Yudi Haryono dalam bukunya bahas politik al-Qur an pada, bab al-Qur an dan wacana HAM, membahas sejarah HAM barat dan nilai-nilai HAM dalam al- Quran dan membahas kebebasan beragama sepintas yang sesuai dengan di nash. 10 Miftahusurur dan sumamiharja dalam bukunya delik-delik keagamaan di dalam RUU KUHP Indonesia, yang membahas pemidanaan seorang yang terjerat pasal penodaan agama sesuai KUHP, kemudian rentannya tindakan anarkis yang mengatas namakan agama dan diskriminasi, dapat di nilai mengganggu kebebasan beragama di Indonesia. 11 Buku-buku tersebut dan juga buku lain membahas kebebasan beragama sesuai dengan sudut pandangnya tidak mendudukan persoalan kebebasan beragama menurut syariah, HAM dan kontekstualisasinya Indonesia 9 Tri wahyu hidayati, Apakah Kebebasan beragama Sama Dengan Pindah Agama. Sala Tiga. JP Books 2008, h. 7 10 M. Yudi R Haryono, Bahasa Politik Alquran: Mencurigai Makna Tersembunyi Dibalik Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002. 11 Miftahusurur dan Sumihrja. Delik-Delik Keagamaan Didalam RUU KUHP Indonesia, Jakarta; Desantara Aliansi Reformasi KUHP dan DRSP-USAID, 2007.

F. Sitematika Penulisan

Dalam penyususnan skripsi ini penulis membagi kedalam 5 lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud tulisan ini pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:

BAB I Merupakan penjabaran pendahuluan. dimulai dengan latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penulisan, metode penelitian, pengumpulan data, dan metode pembahasan, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan Bab II Membahas gambaran prinsip umum pengertian Kebebasan beragama menurut Islam dilihat dari sumber utamanya yakni al- Qur’an. Al-Sunnah tinjauan atas Piagam Madinah. Deklarasi Kairo mengenai HAM. Dan Kebebasan beragama dalam DUHAM BAB III Membahas Demografi agama di Indonesia. Agama dan Negara di Indonesia era Reformasi., Jaminan kebebasan beragama di Indonesia era Reformasi BAB IV Menganalisa praktek kebebasan beragama dari sudut pandang hukum, Perspektif sosio-kultural, dan perspektif politik; suara partai politik era Reformasi BAB V Yang berisi Kesimpulan dan Saran. BAB II DESKRIPSI KEBEBASAN BERAGAMA

A. Pengertian Kebebasan Beragama

1. Pengertian Kebebasan

Dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, yaitu, 1 Lepas sama sekali. 2 Lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut. 3 Tidak dikenakan hukuman dsb. 4 Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan. 5 Merdeka. 1 Pengertian kata bebas secara lughah ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, maupun budaya. Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu. 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka, 1990, h. 90. Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan hurriyah.Dalam kitab al- Mausu’ah al-Islamiyah al-„Ammah 2 , kebebasan didefenisikan sebagai “kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. ” Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan internal hurriyah dakhiliyah yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan berkehendak hurriyat al-iradah, kebebasan nurani hurriyat al-dhomir, kebebasan jiwa hurriyat al-nafs dan kebebasan moral hurriyat al- adabiyah. Kedua, kebebasan eksternal hurriyat kharijiyah. Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga yakni: a al- Tabi’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat. b al-Siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di berikan oleh peraturan perundang-undangan. c al-Diniyah, kemampuan atas keyakinan terhadap pelbagai mazhab keagamaan. Dari beberapa argumentasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak satupun perilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifat 2 Hernanto Harun Diskusi Nasional ”Islam dan Kebebasan Beragama di Indoensia, Problem dan solusinya” Kamis 8 Mei 2008 di Auditorium IAIN STS Jambi, Kampus Telanai Pura. ilahiyah maupun insaniyah. Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan pengikat yang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq lepas tapi muqayyad terbatas.

2. Pengertian Agama

Dalam wacana pemikiran Barat, polemik dan perdebatan tentang defenisi agama hampir tidak menemui finishnya, baik dalam bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi maupun dalam bidang ilmu perbandingan agama muqaranat al-adyan . Sehingga “sengketa” untuk mendapat defenisi yang maqbul dan disepakati oleh semua pihak, agaknya sangat sulit, bahkan mustahil. Karena semua ahli bidang keilmuan bersikukuh dengan argumentasi dan persepsi mereka masing-masing. Maka tidak aneh jika Wilfred Cantwel Smith, seorang pakar ilmu perbandingan agama, harus mengakui betapa sulitnya mendefenisikan agama. Smith mengungkapkan, terminologi agama luar biasa sulitnya didefenisikan The term is notoriously indefinable. Paling tidak dalam dasawarsa terakhir ini terdapat beragam defenisi yang membingungkan yang tidak satupun diterima secara luas. Oleh karenanya, istilah ini harus dibuang dan ditinggalkan untuk selamanya. 3 Muhammad Abdullah Darraz, dari kalangan pemikir muslim, berpendapat, bahwa agama dapat didefenisikan dari dua aspek. Pertama, sebagai aspek psikologis, yakni religiusitas; dengan demikian agama adalah kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut ditaati 3 Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion. London: SPK, 1978, h.17. dan disembah. Kedua, sebagai hakikat eksternal, bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritik yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya. 4 Dalam pengertian literalnya, agama sering diterjemahkan dengan din atau religion. Menurut al-Jurjani, din disepadankan dengan millah yang berarti sebuah aturan syariah yang ditaati, yang dinisbatkan kepada Allah SWT. 5 Defenisi ini tentu dapat diasumsikan sepihak, mengingat unsur subyektifitas keislamannya sangat kental. Akan tetapi, penerjemahan agama menjadi din atau religion, juga menimbulkan pelbagai macam kebingungan, karena istilah din bermakna lebih dari sekedar “agama” atau religion. Menurut para mufassir, ada elemen dasar yang sesuai dengan konsep din, yaitu makna agama, makna perhitungan, makna pembalasan dan makna kebiasaan tradisi, pandangan hidup atau aturan hukum. 6 Ragam pendapat tentang pengertian agama, agaknya bias dari ilmu pengetahuan dan keagamaan yang bersemayam dalam penggagas defenisi tersebut. Akan tetapi, dari keragaman defenisi tadi, bukan tidak ditemukan “kesepakatan” dan titik temu. Menurut Anas Malik Thoha, untuk 4 Muhammad Abdullah Darraz, al-Din; Buhuts Mumahhidah li al-Dirasat al-Adyan. Kairo: tp, 1952, h. 49-50. 5 Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Kitab al- Ta’rifat. Dar al-Diyah li al-Turats, tt, h.141. 6 Fatimah Abdullah Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas, Islamia, September-November 2004,h. 51. mendefenisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial social history cenderung mendefenisikan agama sebagai suatu institusi historis suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan antara agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatar belakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya. Sementara para sosiolog dan antropolog cenderung mendefenisikan agama dari sudut fungsi sosialnya yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satun-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang asasi yaitu yang sakral. 7 Apapun defenisi agama, yang jelas, terminologi agama masih menghiasi ungkapan sehari-sehari, baik oleh kalangan intelektual maun awam. Hal ini berangkat dari kenyataan--meminjam istilah Plato--bahwa seluruh manusia, baik dari Yunani maupun bukan, meyakini eksistensi Tuhan. Ini artinya, seluruh manusia memiliki agama, sebagai “jalan” berkomunikasi dengan Tuhannya. Dengan demikian, pilihan terhadap suatu agama merupakan hak prerogatif seorang manusia. 7 Anas Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Depok; Perspektif Gema Insani, 2005, h. 13-14.

B. Kebebasan Beragama Menurut Islam