Konsep kebebasan beragama menurut islam dan prakteknya Indonesia era reformasi
i
Pengasih dan Maha Penyayang. yang dengan kasih sayangNya yang ”menyapa” penulis lewat bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah sehingga membuka jalan terselesaikannya skripsi ini .Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad saw.
Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih:
Kepada Bapak Rektor Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor dan bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM. Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku Sekjur, yang tulus, sabar dan penuh kasih sayang membimbing dan mendukung.
Kepada Dr. A. Sudirman Abbas, M.A. selaku pembimbing I dan Dr Syahrul A’dam, MA, selaku pembimbin II saya sampaikan terimakasih atas bimbingan dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Dan segenap Dosen Syariah dan Civitas Akademika yang memupuk dan membantu penulis dalam kuliyah.
Kepada Almaghfurlah KH. Yahya Masduqi „Ali dan KH. Syarif Hud Yahya. Selaku Guru yang selalu mendidik dan membimbing penulis.
(2)
ii
Kepada kakak Taufik Romdoni ST. terima kasih atas dukungan dan bantuannya. Dan juga kelurga besarku terkasih.
Kepada kawan-kawan di BEM Siyasah 2004-2005; Akhmad Muttaqin selaku presiden. Febry Manende, Zaenal, Kholiq, Topan, dan kawan-kawan SS angkatan 2002, Lukman, yusuf ,kiki, amel, Simon, dll, Terutama “penghuni terakhir” SS ’02 yang “gelisah”, Takin, Eky, Manzoy, Fathur, Hisnuddin. akhirnya kawan! Semoga ini jadi pelajaran. Dan juga kawan-kawan KKN Sukaresmi Cianjur 2005, Salam, Irwa, Iie, Ida, Iik, Juned, Kompor, Yayah, Yanti, Darmin, Sifyan dll.
Kepada kawan-kawan pergerakan baik di LKBHMI, HMI, PMII, IMM, GMNI, KM maupun KAMMI.
Akhir kata, penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, khalayak umum dan kalangan civitas akademika dalam pengkayaan intelektual. Amin.
(3)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 9
D. Metode Penelitian,…… ………. 10
E. Review Studi Terdahulu ………. 12
F. Sistematika Penulisan………. 13
BAB II DESKRIPSI KEBEBASAN BERAGAMA A. Pengertian………. 14
1. Pengertian Kebebasan……… 15
2. Pengertian Agama ………. 17
B. Kebebasan beragama dalam Islam ………...………. 20
1. Kebebasan Beragama Dalam al-Qur an ……….20
2. Kebebasan Beragama Dalam as-Sunnah (Piagam Madinah)..26
3. Kebebasan Beragama Deklarasi Kairo………30
C. Kebebasan Beragama Perspektif DUHAM....………33
BAB III JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA A. Demografi Agama di Indonesia ...………36
B. Agama dan Negara di Indonesia………...40
C. Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Era Reformasi………... 45
(4)
iv
A. Perspektif Hukum... 56 B. Perspektif Sosio-Kultural... 63 C. Perspektif Politik………... 72
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ………....………... 77
Saran……… 79
(5)
1 A. LATAR BELAKANG MASALAH
Diskursus hak asasi manusia (HAM) selalu menarik dan mengundang kontroversi dalam perjalanan dinamika kenegaraan. Di mulai sejak zaman Yunani kuno, perbincangan HAM melekat erat dalam makna filosofi dan universal hakekat pendirian sebuah negara yang tidak lain menjamin keutuhan sosial (kolektivisme HAM) demi kebahagiaan dan kesejahteraan warganegaranya.1
Menyusul zaman Romawi, HAM mengalami dinamika pasang surut diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan di satu sisi dan imperium kekuasaan di sisi yang lain yang tak dapat menghindari peperangan dan sistem perbudakan. Namun di era ini, Cicero mulai memperkuat benih-benih rationalisme dalam negara yang diperolehnya dalam postulat Hukum Alam Kodrati melalui ajaran kaum Stoa. Menurutnya, pendirian sebuah negara harus bersesuaian dengan dalil-dalil atau asas-asas Hukum Alam Kodrati yang bersumber dari Budi Illahi yang berisi kesusilaan yang universal termasuk di dalamnya adalah HAM.2 Aliran ini belakangan banyak mempengaruhi pemikir-pemikir Eropa di era selanjutnya utama terkait dengan hakekat Hukum Antar Bangsa seperti Hugo de Groot (Abad XVIII).
1
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005) cet.ke-7 , h. 25.
2
(6)
Baru kemudian di era Enlightment atau Renaissance (Abad XIV-XVI) proses pembebasan individu dari kegelapan atau keterikatan agama (gereja), alam, dan tradisinya terjadi sangat radikal. Eksistensi kebebasan manusia secara universal dikukuhkan lewat potensi akalnya sebagai karunia Illahi yang tak lagi dapat dibelenggu oleh sistem ortodoksi agama atas nama Tuhan. Ada dikotomi yang jelas antara posisi dan peran manusia dalam urusan kenegaraan melalui pelembagaan3 hukum dalam mengatur tatanannya dan agama dalam urusan akhirat melalui agamawan untuk menegakkan moral etik manusia. Basis sosio-kultural yang sekuleristik ini menjadi mercusuar HAM dan trayek yang dilalui dunia Eropa sebagaimana dikatakan Baehr sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, de Bescherming van de individu tegen de eisen van de samenleving.4
Meninggalkan tiga abad sebelumnya yakni abad yang dikenal dengan Dark ages (Abad V-X), Middle Ages (Abad XII-XV), dan Enlightment (Abad XIV-XVIII) di atas, perubahan dan transformasi HAM masih terus berlangsung memasuki abad modern (Abad XIX). Namun Di era ini, HAM lahir bukan dari rahim pergerakan akar rumput dan kelompok cendekia melainkan dari kaum Borjuis yang mulai banyak berperan dalam konstelasi ekonomi politik di tengah melemahnya negara akibat perpecahan. Besarnya pengaruh kaum Borjuis dalam menjamin survive-nya negara, sementara dalam ranah hukum mereka sama sekali tidak memperoleh tempat
3
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya. (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 21-23.
4
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat) (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 218.
(7)
(jaminan hak milik, kebebasan, persamaan di depan hukum dan kepastian) yang layak sehingga momen ini mereka paksakan untuk mencuri satu ruang dalam tatanan hukum negara. Perjuangan itu berhasil menempatkan kaum borjuis sebagai salah satu konstituen negara dan merubah orde hukum menjadi jaminan HAM bagi “setiap orang.”
Arti sejarah ini adalah bahwa HAM memiliki korelasi dengan habitat sosio-kulturalnya. Akar teoritisnya berawal di Eropa yang mengalami kristalisasi mulai era Enlightment di bawah bidan kelompok kapitalis yang selanjutnya membawa perubahan penting dalam tatanan hukum dan politik negara sebagaimana disebut dengan laissez fairer/ laissez aller yang mencerminkan tuntutan kebebasan untuk bertindak dan menolak campur tangan negara (individualistik dan sekuler). Karena itu, bagi negara-negara Eropa, HAM adalah prinsip universal dan konstitusional sebab sesuai dengan nilai sosio-kultural ideologi masyarakatnya. Maka di era Pascamodern ini terlihat adanya upaya negara-negara Eropa yang dimotori oleh negara-negara maju untuk meregulasikan HAM sebagai instrumen hukum Internasional bersamaan dengan penetrasi kekuasaannya ke wilayah negara-negara Asia dan Afrika.5
Keinginan untuk menstandarisasikan HAM sebagai prinsip universal dan berlaku bagi semua negara di dunia tentu menimbulkan masalah. Sebab,
5
Beberapa Konvensi Internasional yang terkait dengan HAM di antaranya: Magna Charta 1215, Bill of Right 1689, The Universal Declaration of Human Right PBB 1948, International Convention Against Apartheid in Sports, Convention on Right of the Child, Convention on the Elimination of All Froms of Discrimination Against Women, Convention of the Political Rights of Women, dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman of DegradingTreatment of Punishment.
(8)
masing negara memiliki latar sosio-kultural yang berbeda khususnya bagi negara-negara berkembang, komunal, dan religius seperti Indonesia.
Sejarah mencatat, bahwa sejak awal perumusan UUD 1945 dalam Majelis Sidang BPUPKI (Badan Penyidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) telah terjadi perdebatan hangat antara kubu yang memperjuangkan HAM sebagai bagian intrumen UUD yakni kubu M.Yamin dan Moh. Hatta di satu pihak dan kubu yang menolak HAM karena menganggap itu sangat individualistik dan kolonialistik, dan tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia yakni kubu Soepomo dan Soekarno di pihak lain. Namun perdebatan itu berakhir dengan kompromis, dengan memodifikasikan HAM sesuai dengan latar sosio-kultural dan ideologi masyarakat Indonesia yang komunalistik.6 Jadilah pemuatan HAM dalam Batang Tubuh UUD 1945 bersifat partikularistik ketimbang universalistik.
Di sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa tolak tarik dan pasang surut penerimaan HAM oleh negara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang mengitarinya. Di negara-negara totaliter HAM direduksi dan sengaja dibuat absurd. Sementara, dalam iklim negara yang mengalami transisi dari totaliter menuju demokrasi, HAM diresepsi secara luas dan seringkali euforia kebebasan melupakan alas sosio-kultural dan ideologi masyarakatnya. Alhasil dalam implementasi HAM seringkali terjadi anomali sistem dan caos di tingkat akar rumput.
6
Safroedin Bahar (et.al) (edit), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), h. 153
(9)
Sama halnya yang terjadi di Indonesia, pertama-tama bahwa tolak tarik HAM lebih dilatarbelakangi oleh nilai sosio-kultural masyarakat. Namun seiring dengan perubahan konfigurasi politik yang ada HAMpun mengalami perubahan. Seperti yang terlihat dalam konstelasi politik transisi dari 1949 (KRIS) ke 1950 (UUDS), perubahan sistem pemerintahan dari Quasi Presidensial ke Quasi Parlementer cukup memberi arti bagi pemuatan HAM dalam konstitusi. Di era ini, M. Yamin bahkan menegaskan dengan penuh suka cita bahwa KRIS dan UUDS adalah konstitusi-konstitusi yang paling berhasil memuat HAM sesuai deklarasi PBB 1948.7 Kemudian HAM mengalami surut pada pasca Demokrasi Terpimpin 1959 sampai Orde Baru (1966-1998). Dan mengalami pasang kembali pada Orde Reformasi yang ditandai dengan Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.
Reformasi merupakan era gelombang pasang HAM di Indonesia. Amandemen UUD 1945 telah mengacu pada sekian prinsip kebebasan beragama hasil ratifikasi kovenan internasional mengenai HAM. Landasan konstitusional ini lebih lanjut diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di antaranya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan
7
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Kelompok Gramedia, 2007), h. 635.
(10)
Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29). Dan dipertegas lagi dengan Pasal 28E dan 29 ayat (2) yang intinya menyatakan, “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan; dan negara menjamin kemerdekaan bagi penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.” Pasal-pasal ini mengisyaratkan kewajiban negara untuk menjamin hak beragama dan hak setiap orang termasuk jama’ah dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
Di dalam Islam, sebenarnya telah ditegaskan adanya hak kebebasan beragama dan larangan sikap tindak pemaksaan yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Kafirun, bagaimana membangun hak dalam keberagamaan dan menjalin relasi sosial agama yang toleran. Kemudian dalam surat al-Baqarah ayat (256) menjelaskan adanya larangan pemaksaan dalam agama karena Allah sendiri secara sunnatullah telah menciptakan perbedaan dan keragaman itu. Allah telah mencukupkan penjelasanannya dalam Al-Quran mana yang benar dan yang bathil. Karena itu, Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilihnya dengan segala konsekuensi yang ada. Indikator kemuliaan hanya ditentukan oleh kadar ketaqwaan seseorang di sisi-Nya.
(11)
Namun ironisnya dari sekian lengkap landasan konstitusional perundang-undangan yang ada, konflik keberagamaan terkait dengan pelaksanaan ibadah sesuai keyakinan dan kepercayaan di Indonesia masih mengalami persekusi dari kelompok Islam yang lain. Catat saja kasus yang terjadi pada sejumlah pengikut Ahmadiyah JAI di Lombok, Kuningan, Parung Bogor berikut juga tempat-tempat peribadatan, pendidikan, dan rumah-rumah penduduk; Darul Arqom; NII Ma’had Az-Zaytun; Baha’i; Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII); Gerakan Syi’ah di Indonesia; Salamullah;8 Alqiyadah; dan Laila Eden.
Disayangkan di tengah kecamuk konflik itu negara tidak berperan optimal dan bersikap tegas sehingga menimbulkan konflik yang berlarut-larut tanpa kepastian. Persoalan ini membuktikan bahwa mengatur persoalan keberagamaan secara internal khususnya terkait dengan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan lebih sulit ketimbang mengatur pola keberagamaan secara eksternal. Apakah kesulitan ini terkait dengan garis persinggungan tafsir atas teks-teks Nash yang kebenarannya seringkali dimonopoli secara politik oleh ortodoksi Islam yang mapan dalam ranah negara. Apakah kesulitan ini semakin diperkeruh oleh penetrasi Islam politik yang mencoba merehistorisasi Islam secara institusional. Karena bagaimanapun juga Islam politik yang terinstitusional ke dalam ranah negara akan membentuk elit atau hegemoni ortodoksi yang membawa dampak terhadap unitaris keyakinan. Atau dengan kata
8 Iskandar Zulkarnai, “Pengantar”, dalam Aris Mustofa dkk,
Ahmadiyah Keyakinan Yang Digugat. (Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005), h. xi
(12)
lain institusionalisasi Islam politik seringkali menafikan pluralisme dalam konteks pelaksanaan keyakinan.
Dari, penelusuran di atas Penulis memandang urgen untuk mengkaji pelaksanaan hak kebebasan beragama seseorang dalam melaksanakan keyakinannya di Indonesia baik menurut konstitusi Amandemen UUD 1945 dan Hukum Islam. Pendekatan integrasi ini sangat penting dilakukan mengingat di lapangan seringkali antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain saling klem kebenaran (truth claim) dan tuding-menuding sesat dan kafir. Konflik keberagamaan yang sarat politik dan transendental keyakinan ini harus dicari solusinya agar korban pengkafiran dan kekerasan fisik tidak berkepanjangan dan menelan korban, dan khittoh konstitusi yang menjamin pluralisme dan integrasi sosial bisa dibangun. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkat penelitian ini dengan judul ”KONSEP KEBEBASAN BERAGAMA DALAM ISLAM, DAN PRAKTEKNYA DI INDONESIA ERA REFORMASI”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Permbahasan masalah kebebasan beragama sangat lah luas, oleh karena itu penelitian ini tidak akan membahas semua masalah tersebut dari semua waktu dan tempat melainkan membatasinya dengan membahas kebebasan beragama menurut hukum Islam,dan prakteknya pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru, yaitu pada era reformasi 2000-2008
(13)
Pembatasan permasalahan tersebut agar lebih mengarah penelitian ini dengan merumuskan permasalahan tersebut dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimana prisip kebebasan beragama dalam syariat Islam
2) Bagaimana jaminan kebebasan beragama menurut UUD 1945 dan UU HAM no 39/1999
3) Bagaimana Praktek kebebasan beragama di Indonesia pada era reformasi? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Adapun tujuan umum dari penulisan penulisan ini adalah untuk
1) Mengetahui prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam baik dari sumber utamanya yakni al-Qur an dan al-Sunnah maupun ijma’ mupun ijtihad.
2) Mengetahui jaminan kebebasan beragama dalam Konstitusi dan Undang-undang HAM dan prakteknya di Indonesia pada era reformasi
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1) Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi penulis sebagai manusia yang dapat dan siap bersosialisasi dengan masyarakat luas yang berkenaan dengan hak asasi manusia terutama kebebasan beragama.
2) Hasil penelitian ini daiharapkan dapat menjadi sumbangan kepustakaan bagi penulis-penulis selanjutnya khususnya dalam bidang ilmu-ilmu Syariah dan hukum dan umumnya untuk bidang-bidang lain.
(14)
D. Metode Penelitian 1). Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (librery research) dengan pendekatan kualitatif dengan mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang diangkat. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, motivasi tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi tujuan, penelitian ini menggunakan pendekatan analitis, yang bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-data.
2). Jenis Data
Sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data yang bersifat primer, skunder, sumber data primer adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945, (2) Undang-undang Hak Asasi Manusia No 39/1999, (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (4) Kovenan Hak Sipil dan Politik, (5) Dekralasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia menurut Islam.
Sumber data skunder yang penulis gunakan adalah (1) Literatur-literatur yang berhubungan dengan HAM, (2) Literatur-literatur yang berhubungan
(15)
dengan kebebasan beragama di Indonesia, (3) Disiplin ilmu syari’ah, hukum, perundang-undangan, tata negara, politik dan pemerintahan.
Dan sumber data tertier yang penulis pergunakan adalah berasal dari artikel, makalah, kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
3). Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan gambaran yang cermat tentang kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing, maka penulis melakukan riset pustaka (librery reaserch) mencari berbagai informasi dan data melalui analisis dan konsep-konsep yang dimuat dalam buku, karya ilmiyah, jurnal, artikel, CD baik dari dalam maupun luar negeri
4). Analis Data
Yang dimaksud dengan teknik analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Setelah terkumpul data-data yang diperlukan maka penelitia mencoba untuk menganalisa data, teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teknik analisis kualitatif atau biasa disebut analisis isi (content analysis) yaitu penguraian data melalui kategorisasi perbandingan dan pencarian sebab akibat, baik menggunakan anlisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan). Maupun analisa deduktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian dihubungkan dengan pertanyaan yang lebih sempit) kemudian analisis data tersebut dikomparasikan untuk mengambil kesimpulan
(16)
5). Teknik Penulisan
Penulisan mengacu buku pedoman skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007
E. Review Studi Terdahulu
Penelitian kebebasan beragama menurut syariat Islam telah banyak dipublikasikan, Tri wahyu hidayati dalam disertasinya yang kemudian dipublikasikan menjadi buku menjelaskan kebebasan beragama dan riddah sebagai implikasi dari pindah beragama, serta kontekstualisasi antara HAM dan konsep riddah di zaman sekarang.9 Yudi Haryono dalam bukunya bahas politik al-Qur an pada, bab al-Qur an dan wacana HAM, membahas sejarah HAM barat dan nilai-nilai HAM dalam al-Quran dan membahas kebebasan beragama sepintas yang sesuai dengan di nash.10
Miftahusurur dan sumamiharja dalam bukunya delik-delik keagamaan di dalam RUU KUHP Indonesia, yang membahas pemidanaan seorang yang terjerat pasal penodaan agama sesuai KUHP, kemudian rentannya tindakan anarkis yang mengatas namakan agama dan diskriminasi, dapat di nilai mengganggu kebebasan beragama di Indonesia.11 Buku-buku tersebut dan juga buku lain membahas kebebasan beragama sesuai dengan sudut pandangnya tidak mendudukan persoalan kebebasan beragama menurut syariah, HAM dan kontekstualisasinya Indonesia
9
Tri wahyu hidayati, Apakah Kebebasan beragama Sama Dengan Pindah Agama. (Sala Tiga. JP Books 2008),h. 7
10
M. Yudi R Haryono, Bahasa Politik Alquran: Mencurigai Makna Tersembunyi Dibalik Teks, (Bekasi: Gugus Press), 2002.
11
Miftahusurur dan Sumihrja. Delik-Delik Keagamaan Didalam RUU KUHP Indonesia, (Jakarta; Desantara Aliansi Reformasi KUHP dan DRSP-USAID, 2007).
(17)
F. Sitematika Penulisan
Dalam penyususnan skripsi ini penulis membagi kedalam 5 (lima) bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud tulisan ini pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
BAB I Merupakan penjabaran pendahuluan. dimulai dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penulisan, metode penelitian, pengumpulan data, dan metode pembahasan, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan
Bab II Membahas gambaran prinsip umum pengertian Kebebasan beragama menurut Islam dilihat dari sumber utamanya yakni al-Qur’an. Al-Sunnah tinjauan atas Piagam Madinah. Deklarasi Kairo mengenai HAM. Dan Kebebasan beragama dalam DUHAM
BAB III Membahas Demografi agama di Indonesia. Agama dan Negara di Indonesia era Reformasi., Jaminan kebebasan beragama di Indonesia era Reformasi
BAB IV Menganalisa praktek kebebasan beragama dari sudut pandang hukum, Perspektif sosio-kultural, dan perspektif politik; suara partai politik era Reformasi
(18)
BAB II
DESKRIPSI KEBEBASAN BERAGAMA
A. Pengertian Kebebasan Beragama 1. Pengertian Kebebasan
Dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, yaitu, 1) Lepas sama sekali. 2) Lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut. 3) Tidak dikenakan hukuman dsb. 4) Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan. 5) Merdeka.1
Pengertian kata bebas secara lughah ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, maupun budaya.
Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu.
1Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KamusBesarBahasaIndonesia. (Jakarta; Balai Pustaka, 1990), h. 90.
(19)
Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan (hurriyah).Dalam kitab al-Mausu’ah al-Islamiyah al-„Ammah2, kebebasan didefenisikan sebagai “kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral.”
Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat al-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga yakni: a) al-Tabi’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat. b) al-Siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di berikan oleh peraturan perundang-undangan. c) al-Diniyah, kemampuan atas keyakinan terhadap pelbagai mazhab keagamaan.
Dari beberapa argumentasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak satupun perilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifat
2
Hernanto Harun Diskusi Nasional ”Islam dan Kebebasan Beragama di Indoensia, Problem
(20)
ilahiyah maupun insaniyah. Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan pengikat yang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq (lepas) tapi muqayyad (terbatas).
2. Pengertian Agama
Dalam wacana pemikiran Barat, polemik dan perdebatan tentang defenisi agama hampir tidak menemui finishnya, baik dalam bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi maupun dalam bidang ilmu perbandingan agama (muqaranat al-adyan). Sehingga “sengketa” untuk mendapat defenisi yang maqbul dan disepakati oleh semua pihak, agaknya sangat sulit, bahkan mustahil. Karena semua ahli bidang keilmuan bersikukuh dengan argumentasi dan persepsi mereka masing-masing. Maka tidak aneh jika Wilfred Cantwel Smith, seorang pakar ilmu perbandingan agama, harus mengakui betapa sulitnya mendefenisikan agama. Smith mengungkapkan, terminologi agama luar biasa sulitnya didefenisikan (The term is notoriously indefinable). Paling tidak dalam dasawarsa terakhir ini terdapat beragam defenisi yang membingungkan yang tidak satupun diterima secara luas. Oleh karenanya, istilah ini harus dibuang dan ditinggalkan untuk selamanya.3
Muhammad Abdullah Darraz, dari kalangan pemikir muslim, berpendapat, bahwa agama dapat didefenisikan dari dua aspek. Pertama, sebagai aspek psikologis, yakni religiusitas; dengan demikian agama adalah kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut ditaati
3
(21)
dan disembah. Kedua, sebagai hakikat eksternal, bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritik yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.4
Dalam pengertian literalnya, agama sering diterjemahkan dengan din atau religion. Menurut al-Jurjani, din disepadankan dengan millah yang berarti sebuah aturan (syariah) yang ditaati, yang dinisbatkan kepada Allah SWT.5 Defenisi ini tentu dapat diasumsikan sepihak, mengingat unsur subyektifitas keislamannya sangat kental. Akan tetapi, penerjemahan agama menjadi din atau religion, juga menimbulkan pelbagai macam kebingungan, karena istilah din bermakna lebih dari sekedar “agama” atau religion. Menurut para mufassir, ada elemen dasar yang sesuai dengan konsep din, yaitu makna agama, makna perhitungan, makna pembalasan dan makna kebiasaan tradisi, pandangan hidup atau aturan hukum.6
Ragam pendapat tentang pengertian agama, agaknya bias dari ilmu pengetahuan dan keagamaan yang bersemayam dalam penggagas defenisi tersebut. Akan tetapi, dari keragaman defenisi tadi, bukan tidak ditemukan “kesepakatan” dan titik temu. Menurut Anas Malik Thoha, untuk
4
Muhammad Abdullah Darraz, al-Din; Buhuts Mumahhidah li al-Dirasat al-Adyan. (Kairo: tp, 1952), h. 49-50.
5
Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. (Dar al-Diyah li al-Turats, (tt), h.141.
6
Fatimah Abdullah Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas, Islamia, September-November 2004,h. 51.
(22)
mendefenisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial (social history) cenderung mendefenisikan agama sebagai suatu institusi historis suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan antara agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatar belakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya. Sementara para sosiolog dan antropolog cenderung mendefenisikan agama dari sudut fungsi sosialnya yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satun-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang asasi yaitu yang sakral.7
Apapun defenisi agama, yang jelas, terminologi agama masih menghiasi ungkapan sehari-sehari, baik oleh kalangan intelektual maun awam. Hal ini berangkat dari kenyataan--meminjam istilah Plato--bahwa seluruh manusia, baik dari Yunani maupun bukan, meyakini eksistensi Tuhan. Ini artinya, seluruh manusia memiliki agama, sebagai “jalan” berkomunikasi dengan Tuhannya. Dengan demikian, pilihan terhadap suatu agama merupakan hak prerogatif seorang manusia.
7
Anas Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. (Depok; Perspektif Gema Insani, 2005), h. 13-14.
(23)
B. Kebebasan Beragama Menurut Islam
Dalam ajaran Islam, pengakuan terhadap kebebasan seseorang untuk memilih suatu agama sudah sudah sejak awal dijelaskan. Bahkan, kebebasan merupakan “slogan” yang menjadi hak setiap individu, karena salah satu pilar dasar dalam yang mewujudkan keselamatan individu dan masyarakat.
1. Kebebasan Beragama Dalam al Qur an
Kebebasan beragama, berpolitik dan berfikir merupakan bentuk penghargaan al-Qur’an yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.8 Dengan demikian, persoalan kebebasan beragama dalam Islam bukan barang impor, akan tetapi sudah berafiliasi dengan pemikiran Islam seiring dinamika zaman. Pengistilahan kebebasan dalam pemikiran Islam, walau tidak melulu menggunakan term al-hurriyah, namun istilah al-ihkitiyar juga merupakan terma yang sangat identik dengan kebebasan. Karena terma al-ikhtiyar sering diposisikan kontras dengan terma al-jabr, yang berarti penafian terhadap kebebasan dalam diri manusia dan masyarakat.
Al-ikhtiyar didefenisikan sebagai sikap seseorang, jika berkeinginan maka ia kerjakan, jika tidak, maka ia tidak lakukan. Tidak hanya itu, persoalan kebebasan beragama bahkan telah dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai rujukan final umat Islam. Dalam al-Qur’an tertulis banyak
8
Muhammad Sayyid Yusuf, Manhaj al-Qur an al-Karim fi Islah al-Mujtama. (Kairo : Dar al-Salam, 2002), h.182.
(24)
sekali ayat yang secara jelas mengungkapkan tentang kebebasan bergama. Juga, tugas dan fungsi seorang Rasul bukan memaksakan seluruh manusia untuk memeluk Islam, akan tetapi hanya sebatas penyampai risalah Tuhan.9
Penegasan al-Qur’an terhadap kebebasan beragama merupakan bukti bahwa pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk Islam tidak dibenarkan. Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Q.S al Baqoroh:(2):256: ) رق لا / 2 / 256 )
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Ketika mengomentari ayat ini, Mohemed Talbi mengungkapkan, bahwa sepengetahuan dia, diantara teks-teks wahyu, hanya al-Qur’aan yang menekankan dengan tegas kebebasan beragama. Alasannya adalah bahwa iman, agar berarti dan dipercayai harus merupakan tindakan ikhlas.10 Keimanan yang ikhlas adalah yang berasal dari kepuasan (iqtina) dan keyakinan, bukan hanya sebatas meniru atau keterpaksaan. Faktor keikhlasan
9
Kamil Salamah al-Daqs, Ayat al-Jihad fi al-Qur an al-Karim. (Kuwait; Dar al-Bayan, 1972), h. 94.
10
Mohemed Talbi, Kebebasan Beragama, dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Jakarta; Paramadina, 2003, h. 254.
(25)
dalam menganut agama, justru menjadi sebab kronologis turunnya ayat di atas. Kisahnya berawal dari seorang pria muslim kaum Anshar dari Bani Salim bin Auf yang memiliki dua orang anak yang beragama Nasrani. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW untuk memaksa anaknya memeluk Islam, akan tetapi kedua anaknya enggan menerima Islam dan tetap beragama Nasrani.11
Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tegas menegasikan tindakan pemaksaan untuk memeluk Islam adalah firman Allah SWT, dalam QS: Yunus [10]. 99.
( سنوي / 10 / 99 )
Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?”
Persolan kebebasan beragama dalam Islam bahkan tidak sebatas membiarkan seorang manusia memilih terhadap suatu agama, namun lebih dari itu, memberi kebebasan kepada pemeluk setiap agama untuk melaksanakan ritual ajaran agamanya. Hal ini karena tema keyakinan merupakan urusan ukhrawi yang nanti akan diperhitungkan oleh Allah SWT di hari kiamat kelak.
11
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir al-Manar. (Beirut; Dar al-Fikr, (tt), h. 36.
(26)
Dari itu, tidak seorangpun yang berhak menghukumi tentang pilihan keyakinan, kecuali jika seseorang tersebut dengan sengaja mengproklamirkan kekufurannya. Jika kebebasan memilih agama diberikan kepada setiap orang, maka ada bebarapa konsekuensi logis dari pemberian kebebasan tersebut. Diantaranya: 1). kebebasan melaksanakan ibadah, baik secara terang-terangan atau tersembunyi, individual maupun berkelompok. 2).kebebasan memilih mode yang selaras dengan kecenderungan agamanya, atau kebebasan melakukan praktek keagamaan. 3). Kebebasan memakai istilah, tanda dan syi’ar yang berbeda. 4). Kebebasan membangun kebutuhan rumah ibadah. 5). Kebebasan melaksanakan acara ritual keagamaan. 6). Menghargai temapt yang mereka anggap suci. 7). Kebebasan bagi seseorang untuk merubah dan berpindah keyakinan. 8). Kebebasan berdakwah untuk memeluk agamanya.12 Dalam al-Qur„an secara gamblang diungkapkan tentang kebebasan tersebut. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Kafirun [109], 1-6:
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ورفكلا / 109 / 6 -1 )
Artinya: “Katakanlah hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyambah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”
12
Maluddin Athiah Muhammad, Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat. (Kairo; Dar al-Salam, 2003), h.103.
(27)
Ayat ini dengan sangat tegas mengungkapkan akan adanya perbedaan antara Islam dengan agama yang lainya, bahkan secara global mengungkapkan perbedaan yang tidak akan pernah bertemu, keragaman yang tidak akan pernah serupa, pisah yang tidak akan bersambung dan corak yang tidak akan pernah bercampur.13 Meskipun demikian, realitas keragaman agama merupakan fakta yang ada dan tidak mungkin untuk dinafikan. Karena, justru keragaman agama merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan Allah SWT sebagai ujian untuk manusia. Keragaman manusia dalam memilih jalur “komunikasi” menuju tuhannya, juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an. Firman Allah SWT dalam QS: al-Maidah [5], 48:
( دءا لا / 5 / 48 )
Artinya: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya. Kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu.”
Dalam ayat ini, al-Tabary menginterpretasikan, jika Allah SWT menghendaki, maka Dia akan menjadikan aturan (syari’ah) itu satu aja, akan tetapi Allah SWT mengetahui perbedaan aturan itu untuk menguji (ikhtibar)
13
Tri Wahyuni Hidayati Apakah Kebebasan Beragama Sama Dengan Bebas Pindah Agamaperspektif Hukum Islam Dan HAM. (Stain salatiga pers dan JP books. Februari 2008). h 7
(28)
manusia dan untuk mengetahui siapa taat dan merealisasikan ajaran yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan juga untuk mengetahui siapa yang mengingkarinya.14
Dalam konsepsi Islam, perbedaan syari’ah setiap umat, merupakan suatu dimensi yang menyimpan karakteristik dakwah setiap nabi, yang boleh jadi lebih akulturatif dengan kondisi zamannya. Namun, semua perbedaan syariah itu berhulu dari satu kesepakatan yang meng-esa (tauhid)-kan Tuhan. Imam al-Syaukani mengungkapkan bahwa semua syariat yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi, sepakat menetapkan tauhid.
Namun yang terjadi dalam realitas sejarah, terjadinya penyimpangan, atau kreasi baru terhadap pemahaman keagamaan, merupakan fakta yang perlu untuk dinegosiasikan. Paling tidak, mencari kesepahaman dalam menerjemahkan nilai-nilai universalitas agama, tanpa harus menganggap atau meyakini bahwa semua agama adalah sama. Karena mencari titik temu kesamaan ajaran pokoknya, tidaklah mungkin, mengingat setiap agama memiliki sebuah konsep yang terekam dalam setiap kitab suci, dan dalam kitab suci itulah tersimpan kepribadian agama, karena agama adalah suatu sistem keyakinan yang dilandaskan pada sejumlah ajaran-ajaran yang mutlak
14
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabary, Tafsir al-Tabary, jilid 4. (Beirut; Dar al-Fikr, 1987), H. 176.
(29)
yang tidak bisa diubah, atau pada kekuatan konvensi atau otorita-otorita tradisionoal.15
Dari sini titik supremasi ajaran agama memasuki wilayah truth claim, sehingga tak jarang menjadi ruang persinggungan konprontatif antara satu agama dengan yang lainnya, dan dari sinilah muncul semboyan perang atas nama Tuhan.16
2. Kebebasan Beragama dalam al-Sunnah (Piagam Madinah)
Dalam relaitas sejarah, kebebasan dan toleransi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku keislaman nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Dinamika kebebasan yang memberi buah toleransi beragama dalam sejarah Islam, tidak hanya dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. yang bisa kita lihat dari apa yang selama ini dinamakan Piagam Madinah disini penulis melihat “benih-benih” kebebasan dan toleransi.
Piagam Madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4 tahapan yang berbeda. Pada penulisan pertama terdapat 28 pasal, yang didalamnya mengatur hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada penulisan yang kedua ada 25 pasal yang mengatur hubungan antara umat Islam dan Yahudi. Dan penulisan yang ketiga terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2 Hijrah, yang merupakan penekanan
15
Riza Sihbudi, Islam, Radikalisme dan Demokrasia. (Republika, 23 September, 2004). 16
Hermanto Harun, Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku
“Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam.” (Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), h 2.
(30)
atau pengulangan dari pasal pertama dan kedua. Sedangkan pada tahap yang keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan mengatur hubungan antara kabilah yang memeluk Islam.17
Inilah sekilas tentang periwayatan Piagam Madinah yang diriwayatkan oleh beberapa perawi dan ahli hadist terkemuka, yang merupakan undang-undang negara pertama di dunia, yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. Berikut ini adalah teks Piagam Madinah yang ditulis pada tahap pertama yang terdiri dari 18 pasal;18
1. Umat Islam adalah umat yang satu, berdiri sendiri dalam bidang akidah, politik, sosial, dan ekonomi, tidak tergantung pada masyarakat lain.
2. Warga umat ini terdiri atas beberapa komunitas kabilah yang saling tolong-menolong.
3. Semua warga sederajat dalam hak dan kewajiban. Hubungan mereka didasarkan pada persamaan dan keadilan.
4. Untuk kepentingan administratif, umat dibagi menjadi sembilan komunitas; satu komunitas muhajirin, dan delapan komunitas penduduk Madinah lama. Setiap komunitas memiliki system kerja sendiri berdasarkan kebiasan, keadilan, dan persamaan.
5. Setiap komunitas berkewajiban menegakkan keamanan internal.
17
Ansyari Thayeb, ed., HAM dan Pluralisme Agama, (Surabaya, PPSK, 1999). h. 6
18
(31)
6. Setiap kominitas diikat dalam kesamaan iman. Antara warga satu komunitas dan komunitas lain tidak diperkenankan saling berperang; tidak boleh membunuh dalam rangka membela orang kafir, atau membela orang kafir dalam memusuhi warga jomunitas muslim.
7. Umat Islam adalah umat Allah yang tidak terpecah belah.
8. Untuk memperkuat persaudaraan dan hubungan kemanusiaan diantara umat Islam, warga muslim menjadi pelindung bagi warga muslim lainnya.
9. Orang Yahudi yang menyatakan setia terhadap masyarakat Islam harus dilindungi. Mereka tidak boleh dianiaya dan diperangi.
10. Stabilitas umat adalah satu. Satu komunitas berparang, semuanya berperang.
11. Apabila satu komunitas berperang maka komunitas lain wajib membantu.
12. Semua warga wajib menegakkan akhlak yang mulia.
13. Apabila ada golongan lain yang bersekutu dengan Islam dalam berperang, maka umat Islam harus saling tolong-menolong dengan mereka.
14. Oleh karena orang Quraisy telah mengusir Muhajirin dari Mekah, maka penduduk Madinah, muasrik sekalipun, tidak boleh bersekutu dengan mereka dalam hal-hal yang dapat membahayakan penduduk muslim Madinah.
(32)
15. Jika ada seorang muslim membunuh muslim lain secara sengaja, maka yang membunuh itu harus diqisas (dihukum setimpal), kecuali ahli waris korban berkehendak lain. Dalam hal ini seluruh umat Islam harus bersatu.
16. Orang yang bersalah harus dihukum. Warga lain tidak boleh membelanya.
17. Jika terjadi konflik atau perselisihan yang tidak dapat dipecahkan dalam musyawarah, maka penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
18. Semua kesalahan ditanggung sendiri. Seorang tidak diperkenankan mempertanggungjawabkan kesalahan teman (sekutu)-nya.
Begitu juga zaman Khulafa ar-Rasyidin kebebasan dan toleransi beragama tetap menempati posisinya yang baik. Ini dibuktikan dalam sejarah bahkan pernah dicatat, ketika orang-orang Kristen Syam dijajah oleh kekuasaan Romawi, mereka meminta pertolongan tentara muslim. Fakta lain dari toleran Islam dalam sejarah adalah surat yang di tulis oleh Betrikc Isho Yabh kepada uskup Paris orang Arab yang diberikan Tuhan kekuasaan seperti yang kalian ketahui, mereka tidak menyerang akidah Kristen. Bahkan sebaliknya, berlaku lembut kepada pendeta kita, menghargai agama kita dan menghargai Gereja dan rumah-rumah kita.19
19
(33)
Argumentasi normatif dan fakta sejarah yang telah uraikan di atas, merupakan bukti bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW yang dinobatkan sebagai nabi terkahir (khatam al-nabiyin) merupakan agama yang selalu berorintasi kemanusiaan. Doktrin Islam secara universal, merupakan agama yang senantiasa mengedapankan maslahat bagi manusia, yang berpijak kepada keadilan, persamaan dan kebebasan. Hubungan Islam dengan pemeluk agama lain sejak awal telah dibangun dengan sebuah kaidah yang tidak perlu diperdebatkan, dan itu telah direalisasiakan sepanjang zaman.
3. Kebebasan Beragama dalam Deklarasi Kairo
Deklarasi Kairo (DK) 1990 merupakan istrumen pengaturan HAM yang berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang mengatur mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik serta hak dan kebebasan ekonomi, sosial dan budaya.
Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami pengertian mengenai hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo kita harus melihat bagian-bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak kebebasan beragama. Pembukaan Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:
“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan
(34)
dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat
Islam”.
Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.
Pembukaan Deklarasi Kairo menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya Deklarasi Kairo adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perlindungan HAM yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat dipahami sebab Deklarasi Kairo dikeluarkan oleh OKI, yang merupakan organisasi internasional antar-negara yang beranggotakan negara Islam atau penduduknya mayoritas beragama Islam.
HAM dalam Islam merupakan satu kesatuan dari agama, sehingga perlu kiranya umat Islam membuat aturan HAM yang berdasarkan hukum Islam. Salah satu hak yang dijamin dalam DK adalah hak kebebasan beragama, hak tersebut merupakan salah satu hak fundamental yang menjadi perhatian bagi umat Islam.20 Pasal 10 DK mengatur sebagai berikut:
20
Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama. (Yogyakarta: Interfidie, 2004), h. 121.
(35)
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau
menjadi atheis.”
Pasal 10 DK merupakan pasal utama yang mengatur mengenai hak kebebasan beragama. Isi pasal tersebut diawali dengan pernyataan bahwa Islam adalah agama yang murni ciptaan Allah SWT. Dengan demikian Islam memiliki perangkat aturan tersendiri yang bersumber dari wahyu Tuhan (Al-Quran).
Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut menyatakan larangan untuk memaksakan suatu agama atau kepercayaan tertentu kepada orang lain. Hal ini didasari dari Al Quran, yaitu Surat al-Baqarah ayat 256 yang menyatakan tidak ada pemaksaan dalam beragama. Islam melarang seseorang untuk memaksakan agama atau kepercayaan terhadap orang lain, yang diperbolehkan dalam Islam adalah dakwah atau mengajak. Itu pun harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan berbohong atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun.Pasal tersebut menjelaskan larangan agar tidak mengeksploitasi kemiskinan dan kebodohan sebagai alat untuk mengajak seseorang menyakini suatu agama atau kepercayaan tertentu. Secara tersurat pasal di atas melarang seseorang untuk menjadi atheis, karena dalam Islam mensyaratkan bahwa rasa berketuhanan itu merupakan sifat alamiah manusia.
(36)
Sehingga apabila manusia sudah tidak mengakui keberadaan Tuhan maka eksistensi dirinya patut dipertanyakan.
C. Kebebasan Beragama Dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur dalam DUHAM yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak kebebasan beragama dalam DUHAM, berarti menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dalam istilah HAM kebebasan beragama masuk kategori non-derogable right artinya hak yang tidak dapat dikurangi dalam hal apapun. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental. Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam DUHAM diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan agama, dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”21
Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk
21
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat) (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 218.
(37)
mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi.
Pada awalnya ide dimasukkanya pasal mengenai hak kebebasan beragama adalah untuk melindungi hak agama minoritas, seperti Sikh. Sejarah menceritakan bahwa sering terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama seseorang dikarenakan agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas yang dianut oleh penduduk suatu negara.
Perbedaan politik, ekonomi, sosial, ideologi dan agama tiap-tiap negara merupakan faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan Pasal 18 UDHR. Pembentukan draft UDHR 1948 dibuat oleh The United Nation Human Rights Commission (UNHRC)22. Pada sesi kedua UNHRC telah membuat sebuah draft Pasal 18 mengenai hak kebebasan beragama. Namun pada tahap itu perwakilan dari Uni Soviet menolak draft tersebut dengan membuat draft amandemen yang menambahkan bahwa pelaksanaan hak kebebasan beragama merupakan subjek dari hukum nasional bukan hukum internasional.
Usulan draft dari perwakilan Uni Soviet tersebut akhirnya ditolak pada pertemuan sesi ketiga UNHRC. Setelah adanya draft usulan dari Uni Soviet, maka terjadi sebuah perdebatan yang seru, pada akhirnya UNHRC membentuk sebuah sub komite yang bertugas membuat rancangan pasal mengenai hak kebebasan beragama.
22
KGPH Haryomataram, Hak Asasi Manusia Internasional (Materi Perkuliahan), (Jakarta; FH Usakti, 1998).
(38)
Sub komite tersebut terdiri dari perwakilan negara Prancis, Libanon, Inggris dan Uruguay.
Sub komite tersebut akhirnya berhasil membuat rancangan mengenai pasal hak kebebasan beragama. Ketika dilakukan pemungutan suara di dalam komisi untuk pengesahan draft pasal tersebut, negara-negara sosialis melakukan abstain. Negara-negara sosialis yang abstain adalah Uni Soviet, Belarusia, Ukraina, dan Yugoslavia. Mereka lebih sepakat pada draft amandemen yang dibuat oleh Uni Soviet. Hal ini dapat dipahami sebab negara-negara sosialis tersebut tidak mengakui keberadaan Tuhan, apalagi agama. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang dapat merusak manusia.
Selain penolakan dari negara-negara sosialis, sikap yang sama juga dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam, khususnya Arab Saudi. Negara-negara Islam juga membuat suatu draft alternatif dengan menghapuskan kata-kata “freedom to change his religion or belief” pada Pasal 18. Alasan yang dikemukakan oleh perwakilan Arab Saudi adalah untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut oleh para misionaris dalam penyebaran agama di negara-negara Islam. Negara-negara Islam memang sangat memperhatikan mengenai hak kebebasan berpindah agama sebab keadaan negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam pada saat itu sebagian besar adalah negara miskin sehingga sangat rentan terjadi perpindahan agama.
Draft alternatif dari Arab Saudi juga ditolak oleh komisi. Pada pemungutan suara terakhir, akhirnya Uni Soviet menerima bunyi Pasal 18 tersebut dimasukkan dalam bagian DUHAM. Hak kebebasan beragama merupakan karakter utama dalam
(39)
prinsip kebebasan, selain itu pada saat membuat draft DUHAM, hak kebebasan beragama juga dikategorikan sebagai “an absolute and sacred right”. Walaupun hal tersebut tidak tertulis didalam pasal, namun harus tetap diingat bahwa dalam menafsirkan hak kebebasan beragama, nilai-nilai absolut dan hak yang suci harus tetap menjadi acuan utama
(40)
36 BAB III
JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
A. Demografi Agama di Indonesia
Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 kepulauan, Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 700.000 mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta. Menurut laporan sensus tahun 2000, 88 pesen penduduk menyatakan diri sebagai pemeluk Islam, 6 persen Kristen Protestan, 3 persen Katolik Roma, 2 persen Hindu, dan kurang dari 1 persen Budha, penganut agama pribumi, kelompok Kristen lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota kelompok agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam menghitung jumlah penganut non-Muslim.
Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Dua organisasi massa Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, masing-masing mengklaim mempunyai 40 juta dan 30 juta pengikut Suni. Diperkirakan terdapat sekitar 1 juta hingga 3 juta pengikut Syiah.
Ada banyak organisasi Islam dalam skala lebih kecil, termasuk sekitar 400.000 orang yang terdaftar sebagai anggota kelompok “sempalan” Islam Ahmadiyah Qadiyani. Terdapat juga kelompok yang lebih kecil lagi, yaitu Ahmadiyah Lahore. Kelompok minoritas Islam lain mencakup Qiyadah
(41)
al-Islamiya, Darul Arqam, Jamaah Salamulah, dan pengikut Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia.1
Departemen Agama memperkirakan ada sebanyak 19 juta penganut Protestan (yang disebut Kristen di negara ini) dan 8 juta penganut Katolik bermukim di Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik tertinggi dengan 55 persen. Provinsi Papua memiliki proposri penganut Protestan terbesar dengan 58 persen. Daerah lain, seperti Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara memiliki penganut Kristen yang cukup besar.
Departemen Agama memperkirakan ada 10 juta penganut Hindu yang hidup di negara ini. Agama Hindu dianut hampir 90 persen dari jumlah penduduk Bali. Penganut minoritas Hindu (yang disebut "Keharingan") bermukim di Kalimantan Tengah dan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan Tengah, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Kelompok-kelompok Hindu seperti Hare Krishna dan pengikut pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada, meskipun dalam jumlah kecil. Beberapa kelompok agama pribumi, termasuk "Naurus" di Pulau Seram di Provinsi Maluku, menggabungkan kepercayaan Hindu dan animisme kedalam kegiatan mereka. Banyak pula yang mengikuti prinsip-prinsip Kristen Protestan. Masyarakat Tamil di Medan juga mewakili konsentrasi penganut Hindu.
Di Indonesia terdapat penganut Sikh dalam jumlah yang relative kecil, yang diperkirakan antara 10.000 dan 15.000. Penganut Sikh terutama bermukim di Medan
1
Laporan kebebasan beragama Internasional 2005 (Pemerintah Indonesia) yang diterbitkan pemerintah Amerika
(42)
dan Jakarta. Delapan kuil Sikh (gurdwaras) berada di Sumatra Utara, sedangkan di Jakarta terdapat dua kuil Sikh dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah.
Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi Muda Budhis Indonesia, sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali, Lampung, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau. Etnis Tionghoa merupakan 60 persen dari penganut agama Budha.
Jumlah penganut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus nasional tahun 2000, para responden tidak diizinkan untuk menunjukkan identitas mereka. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen dari penganut Konghucu adalah etnis Tionghoa dan sisanya dari etnis Jawa pribumi. Banyak penganut Konghucu yang juga menjalankan ajaran agama Budha dan Kristen.
Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan daerah lain diperkirakan mempraktikkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional lainnya yang disebut sebagai ”Aliran Kepercayaan”. Beberapa penganut animisme menggabungkan kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang diakui Pemerintah dan selanjutnya terdaftar sebagi agama yang diakui. Terdapat sejumlah kecil komunitas Yahudi yang ada di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Baha’i memngakui memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan. Falun Dafa, yang menganggap keyakinan mereka sebagai organisasi spiritual
(43)
ketimbang agama, mengklaim penganutnya mencapai jumlah antara 2.000 and 3.000, hampir separuhnya tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan.
B. Agama dan Negara di Indonesia
Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke dunia untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia bermoral. Di dalam agama terdapat nilainilai transenden berupa iman, kepercayaan kepada Tuhan, dan serangkaian ibadah ritual sebagai manifetasi kepercayaan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta.
Menurut Abd A’la2
, transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan akhirat yang bersifat eksatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia. Karena transendensi itulah, maka muncul ungkapan kiranya manusia menjadi khalifah Allah di muka bumi sebagai konkretisasi imannya. Dengan pemahaman demikian maka nilainilai agama harus dirajut dalam kehidupan yang konkret, termasuk dalam kehidupan bernegara. Di sinilah akar tuntutan agar agama itu dilembagakan.3
Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara itu ternyata
2
Abd A’la.Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2003, h. 134.
3Masdar F. Mas’udi. Asal-usul dan pengertian pelembagaan agama, dalam “Agama dan pluralitasnya” Interfidei, 1995, Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Yogyakarta: Interfedei, h. 368.
(44)
melahirkan debat tiada berkesudahan mengenai kebebasan beragama dan gugus negara. Dalam studi ilmu negara lazim diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk pertamatama melindungi HAM warganegara dan memberikan kesejahteraan secara optimal.4 Bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan bernegara? Para pengamat sosial merumuskan beberapa teori untuk membaca hubungan agama dengan negara, yang antara lain dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.
Dalam gugus negara dengan paradigma integralistik, agama dan negara menyatu, jadi wilayah agama mencakup wilayah politik atau negara. Oleh karena itu, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini yang kemudian melahirkan paham negaraagama, di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsipprinsip kegamaan.5 Achmad Gunaryo menyebut paradigma ini sebagai cita negara teokratik.Paradigma ini menghendaki kepentingan agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi.6
Sementara itu, paradigma simbiotik menunjuk bahwa antara agama dan negara ada hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Karena sifatnya yang simbolik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hokum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup
4
Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil,
Jakarta: Grasindo, h. 2002.
5 Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum
Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, h. 2324.
6
(45)
kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.
Pada sisi yang ekstrem, paradigma sekularistik menolak kedua paradigma itu. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan dalil perlunya dipisahkan agama dengan negara. Seperti diuraiakan oleh Abdurrahman Wahid7 bahwa agama adalah ruh, spirit yang harus masuk ke negara. Sementara negara adalah badan, raga yang mesti membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini, keberadaan negara tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial dari masyarakat manusia yang bersifat sekuler, akan tetapi lebih dari itu, negara dipandang sebagai jasad atau badan yang niscaya dari idealisme ketuhanan, sementara agama adalah substansi untuk menegakkan keadilan semesta. Menurut Denny JA8, paradigma sekularisitik terwujud dalam konfigurasi negara di mana agama tidak dijadikan instrumen politik, tidak ada ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara, sehingga agama tidak perlu “meminjam negara” untuk memaksakan keberlakuan ketentuan agama.
Namun demikian, Mohammd „Abed alJabiri, seorang cendekiawan asal Maroko, mengkritik paradigma sekularistik yang dinilainya sebagai konstruksi yang keliru atas realitas.9 Sekularisasi tidak lebih sebagai kebutuhan lokal ketika di suatu tempat terdapat potensi adanya “politisasi agama” maupun “agamanisasi politik”.
7 Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam
Masdar. F. Mas’udi, 1993, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. xivxvi.
8 Denny JA, “
Islam, Negara Sekular, dan Demokrasi”, dalam Saripudin HA (Penyunting),
2000, Negara Sekular Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, h. 17-18.
9
Ahmad Baso, Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed
(46)
Bagaimana dengan agama dan negara Indonesia? Sementara kalangan, yang tampaknya merupakan pendapat dominan dan secara praksis paling mendekati kenyataan, sering menyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, meskipun bukan pula negara sekular. Di Indonesia, seperti uraian Achmad Gunaryo hukum agama diakomodir, meskipun akomodasi itu tetap dalam kerangka kebutuhan bersama. Bersamasama dengan unsurunsur lain, agama diperlakukan sebagai salah satu pembentuk cita negara (staasidee). Sebagai konsekuensi, hukum yang bersumber dari agama diadopsi sebagai salah satu unsur pembentuk hukum negara atau nasional. Menurut Moh. Mahfud MD, pemahaman seperti ini menggunakan konsep Pancasila, ideologi dan dasar negara, yang bersifat prismatik.10
Secara politis, konsep prismatik merupakan sandaran yang dirasakan masuk akal, diantara berbagai pilihan sektarian lainnya, sebagai buah perdebatan panjang mengenai hubungan agama dengan negara yang berlangsung bukan saja pada saat pembentukan UUD 1945, tetapi bahkan sejak dasawarsa 1940-an, dan ketika masa Reformasi 1999 juga, isu hubungan agama dan negara timbul tenggelam sebagai isu politik baik formal maupun tidak formal.
Tulisan ini menerima pandangan prismatik itu, dan tidak akan menguraikan landasan akademik yang menuju debat menerima atau menolak, tetapi yang paling penting dengan pandangan akan diterima bahwa masalah kepentingan agama di Indonesia merupakan hal yang harus dilindungi. Tafsiran tersebut diikuti dengan
10
Moh. Mahfud M.D. Membangun Politik Hukum Membangun Konstitusi, (Jakarta: LP3ES 2006), h. 276.
(47)
kebijakankebijakan politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama.11 Dalam aras konstitusi, dapat ditunjuk sejumlah pasal yang bukan saja menunjukkan pentingnya agama (dan aspek-aspek yang terkait dengannya), akan tetapi juga betapa agama dan kehidupan beragama merupakan HAM, seperti:
1. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A),
2. Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat (Pasal 28E);
3. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2));
4. Hak atas pelrindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G); dan
5. Hak atas bebas dari penyiksaan (Pasal 28G ayat (3)).
Puncak pengakuan atas hak asasi manusia dalam konstitusi ditutup dengan pigura yang berwibawa dan tegas dengan termuatnya Pasal 28 J, yang menyatakan: “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
(48)
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Kebebasan beragama sebagai salah satu fondasi bernegara juga diakui oleh UUD 1945, yaitu Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa; Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.” Legalisasi dalam konstitusi itu kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agama menduduki porsi yang penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
C. Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.
Semula, rancangan awal Pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan
(49)
nasionalis-Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002. Hal itu bukan berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha tersebut.
Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan Pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan Pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; Kedua, mengubah Pasal 29 ayat (1) dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti rumusan hasil sidang BPUPKI 1945; dan Ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari Pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai Reformasi).
Hal menarik dari perdebatan di MPR tentang Pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil
(50)
perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, Pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan dalam siding PPKI.
Maka tidak berlebihan kalau Musdah Mulia mengatakan bahwa, “Di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan.” Ia menambahkan, “Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil”.12
Sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan pemerintah sempat mengeluarkan beberapa kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagaimana tertera pada Pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, Pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
12
(51)
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).”
Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut semakin dikukuhkan dengan tambahan salah satu pasal yakni Pasal 28E selain yang diatur dalam Pasal 29. Pasal 28E ayat (1) menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya …..”. Ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan…”.
Ini artinya, kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut adalah hak asasi manusia (human rights) sekaligus hak warga negara (the
citizen’s rights) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945. Ketentuan ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18, yakni :
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM.13 Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.
Jika ingin dilihat lebih jauh, pemajuan HAM beragama dan kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan tidak hanya sebatas hak
13
(52)
konstitusional yang non-derogable melainkan juga menjadi hak hukum (legal rights)14. Ini terlihat dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 4: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Kemudian secara khusus hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) secara implisit ditegaskan dalam konsideran huruf d bahwa “Konvensi tersebut pada huruf c mengatur penghapusan segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama tentang hak asasi
14
Al Khanif,SH.H., M.A., LL.M. Hukum dan kebebasan beragama di Indonesia Yoyakarta. LaksBang Mediatama 2010. h. 72
(1)
80
khususnya dari kalangan kelompok-kelompok Islam garis keras. Jika tuntutan mereka diberi angin, kemungkinan besar wacana Islam politik di Indonesia akan sangat didominasi oleh “Islam-negara” yang akan menyebabkan peranan “Islam-sipil” menjadi terancam.
4. Perlu pembaruan tafsir yang terus menerus untuk menjalankan kembali misi profetiknya dalam situasi yang terus berubah. Kebebasan beragama dan berkeyakinan harus juga mencakup wilayah kebebasan jenis ini.menghadapi realitas empirik kehidupan masyarakat beragama yang pluralistik, seorang agamawan dituntut memiliki sikap yang lebih realistik. Pemecahan masalah realitas keagamaan tidak cukup menggunakan pendekatan doktriner-normatif untuk menghindari truth clime (benar secara subjektif yang dangkal). Akan tetapi penting juga pendekatan historis kritis dengan membuka tabir latarbelakang sosio-cultural, politik, ekonomi masyarakat yang mengitarinya. Integrasi pendekatan ini memungkinkan melahirkan kearifan atau membuka makna fenomena keberagamaan sehingga melahirkan keadaan yang lebih kondusif dan humanis sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman.
5. Umat Muslim dituntut bersedia mengembangkan dialog-dialog secara terbuka dengan penuh kesabaran dan taqwa dalam setiap langkah perjalanannya. Peran sejarah peradaban Islam masa lalu dapat menjadi modal dalam merealisasikan ajaran-ajaran etika keagamaan dalam memberikan sumbangan yang berharga bagi proses pencarian nilai-nilai keagamaan yang lebih esensial dan fundamental. Bahkan secara keras, umat muslim
(2)
81
diperingatkan oleh Al-Quran untuk tidak mencemoohkan golongan lain, karena boleh jadi mereka yang dicemoohkan jauh lebih baik dari yang mencemoohkan 6. Partai-partai politik hendaknya tidak mempolitisasi agama dan tidak memperkeruh hubungan intra, antar agama dan agama dan Negara.
7. Media Massa. Sebagai pilar penting demokrasi, harus berperan aktif menyuarakan isu-isu kebebasan beragama, dan meminimalisir berita-berita kekerasan agama dan kelompok-kelompok garis keras. Menghindari idiom-idiom yang berdampak negatif bagi toleransi masyarakat seperti kata “aliran sesat”; tindak tunduk pada tuntutan sekelompok orang untuk menghakimi kelompok yang lain dengan cara-cara kekerasan.
(3)
81
DAFTAR PUSTAKA
Adji,Oemar Seno 1981, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga. Al-Din, Muhammad Abdullah Darraz,; Buhuts Mumahhidah li al-Dirasat al-Adyan.
Kairo: tp, 1952
Al-Daqs, Kamil Salamah, Ayat al-Jihad fi al-Qur an al-Karim. Kuwait, Dar al-Bayan, 1972
Al khanif, S.H,. MA.,LLM. Hukum dan kebebasan beragama di Indonesia Yogyakarta. Laksbang 2010
Asshiddiqie,Jimly. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Kelompok Gramedia, 2007
al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab al-Ta’rifat. Dar al-Diyah li al-Turats
Abdullah, Amin, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Interfidie, 2004.
Abdullah, Fatimah. Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas, Islamia. September-November 2004
al Maududi, Abd A’la, 2003, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas. Bahar Safroedin (et.al) (editor), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995
Baso, Ahmad. Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed Abed alJabiri, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 4/1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 1990
Harun,Hermanto. Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku “Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam”. Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005
---, Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku “Nizam al -Silm wa al-Harb fi al-Islam”. (Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Iskandar Zulkarnai, “Pengantar”, dalam Aris Mustofa dkk, Ahmadiyah Keyakinan Yang Digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005
(4)
82
Haryomataram,KGPH Hak Asasi Manusia Internasional (Materi Perkuliahan), FH Usakti, Jakarta,1998
Haryono,M. Yudi R Bahasa Politik Alquran: Mencurigai Makna Tersembunyi Dibalik Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Hidayati Tri Wahyu, apakah kebebasan beragama sama dengan pindah agama. Sala tiga. JP Books 2008.
Kusumohamidjojo,Budiono. 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo.
Muhammad,Jamaluddin Athiah. Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat. Kairo, Dar al-Salam, 2003
Muhammad Abi Ja’far bin Jarir al-Tabary, Tafsir al-Tabary, jilid 4. Beirut, Dar al-Fikr, 1987
Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum Membangun Konstitusi, Jakarta: LP3ES
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat) Bandung: Refika Aditama, 2005
Munawir Sadzali, 1990, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press
Miftahusurur dan Sumihrja. Delik-delik keagamaan di dalam RUU KUHP Indonesia, Jakarta: Desantara Aliansi Reformasi KUHP dan DRSP-USAID, 2007.
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat) Bandung: Refika Aditama, 2005
Mas’udi, Masdar F., “Agama dan pluralitasnya” dalam Interfidei, 1995,
Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Yogyakarta: Interfedei
Naipospos Bonar Tigor (ed), “Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan”, SETARA Institute, Jakarta, 18 Desember 2007
Nashir, Haedar Dr., Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta; PSAP, 2007
(5)
83
Rahardjo,Satjipto Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya Yogyakarta: Genta Press, 2008
Ridha,Muhammad Rasyid Tafsir Qur an Karim, Tafsir Manar. Beirut, Dar al-Fikr
Rocky gerung (ed) hak asasi manusia terori, hokum. Kasus. Jakarta: UI Press. Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, cet.ke-7, 2005
Smith, Wilfred Cantwell The Meaning and End of Religion. London: SPK, 1978
Talbi,Mohemed. Kebebasan Beragama, dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Jakarta, Paramadina, 2003
Thoha, Anas Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Depok, Perspektif Gema Insani, 2005
Thayeb Ansyari, ed., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya, PPSK, 1999
Wahid Abdurrahman, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam Masdar F.Mas’udi, 1993, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus
Wahid, Marzuki dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS 2005
Yusuf, Muhammad Sayyid. Manhaj al-Qur an al-Karim fi Islah al-Mujtama. Kairo : Dar al-Salam, 2002
.LAPORAN:
Laporan kebebasan beragama Internasional 2008 (pemerintah Indonesia) yang diterbitkan pemerintah Amerika
MAJALAH DAN KORAN TEMPO, 11 September 2005
Eko Marhendy in HAM Desember 2007 INTERNET:
http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0711/03/nas11.htm. Diakses 2008 http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Juli 2008
(6)
84
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/utama/1937905.htm http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/06/sh05.html. Diakses Juni 2008 http://www.fpdiperjuangan.or.id/web/index.php. Diakses Juni 2008
www.okezone.com, 2 Juni 2008. Diakses pada Juni 2008
http://www.beritaglobal.com/index.php?. Diakses pada Juli 2008
http://fpks-dpr-ri.com/main.php?op=isi&id=5048. Diakses pada Juli 2008 www.kapanlagi.com, 27 Desember 2005. Diakses pada Juli 2008
MAKALAH:
Alamsyah M. Dja’far, “Mengembangkan Media Islam Pluralis” (Makalah disajikan pada Workshop “Pengembangan Islam, Pluralisme, dan Demokrasi”, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Hotel Jaya Raya Bogor 6-8 Juni 2007) tidak diterbitkan.
Transkripsi Diskusi “Kebebasan beragama dalam Bingkai Media bersama AE. Priyono (Peneliti Demos) Sujud Swastoko (Wapemred Suara Pembaruan) yang diselenggarakan PSIK-Paramadina, Kamis, 15 Mei 2008