penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Kebebasan beragama sebagai salah satu fondasi bernegara juga diakui oleh
UUD 1945, yaitu Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2. “Negara berdasar atas Ketuhanan
yang Maha Esa; Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan
itu.” Legalisasi dalam konstitusi itu kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agama menduduki porsi yang penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
C. Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD
1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.
Semula, rancangan awal Pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk- pemeluknya”. Lalu diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945
menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-
Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999,
2000, 2001, dan 2002. Hal itu bukan berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di
sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha tersebut.
Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi- fraksi MPR berkaitan dengan Pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan
Pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; Kedua, mengubah Pasal 29 ayat 1 dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti
rumusan hasil sidang BPUPKI 1945; dan Ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari Pasal 29
tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-no
rma, dan hukum agama” diusulkan oleh Partai Golkar; “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” diusulkan oleh PPP; dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-
masing” diusulkan oleh Partai Reformasi.
Hal menarik dari perdebatan di MPR tentang Pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi
Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil
perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, Pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan
dalam siding PPKI. Maka tidak berlebihan kalau Musdah Mulia mengatakan bahwa,
“Di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak
hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan.” Ia menambahkan,
“Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun
masyarakat sipil ”.
12
Sebelum Amandemen
UUD 1945
dilakukan pemerintah
sempat mengeluarkan beberapa kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui
TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagaimana tertera pada Pasal 13: “Setiap orang bebas
memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun non-derogable sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan
dan Pemajuan HAM, Pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
12
Rocky Gerung ed Hak Asasi Manusia Terori, Hukum, Kasus. Jakarta: UI Press, h. 48
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun non-derogable
.” Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka kebebasan
beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut semakin dikukuhkan dengan tambahan salah satu pasal yakni Pasal 28E selain yang diatur dalam Pasal 29.
Pasal 28E ayat 1 menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya …..”. Ayat 2, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan…”.
Ini artinya, kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut adalah hak asasi manusia human rights sekaligus hak warga negara the
citizen’s rights yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun non-derogable yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945. Ketentuan ini senafas dengan isi
Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya,
beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri
.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan
kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM.
13
Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.
Jika ingin dilihat lebih jauh, pemajuan HAM beragama dan kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan tidak hanya sebatas hak
13
Ibid. hlm 75
konstitusional yang non-derogable melainkan juga menjadi hak hukum legal rights
14
. Ini terlihat dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 4: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Kemudian secara khusus hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat 1: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu. Dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention
On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 secara
implisit ditegaskan dalam konsideran huruf d bahwa “Konvensi tersebut pada huruf c
mengatur penghapusan segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan
atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama tentang hak asasi
14
Al Khanif,SH.H., M.A., LL.M. Hukum dan kebebasan beragama di Indonesia Yoyakarta. LaksBang Mediatama 2010. h. 72
manusia dan kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan umum lainnya.
” Secara redaksi, memang tidak ditemukan bidang agama di dalamnya akan
tetapi dengan kata “atau bidang kehidupan umum lainnya” dapat ditafsirkan bahwa bidang agama dan segala ruang lingkupnya termasuk materi yang tidak
diperkenankan mendapat perlakuan diskriminasi oleh institusi negara atau kelompok komunitas yang lain. Atau dengan kata lain pada prinsipnya negara harus menjamin
semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk diskriminasi rasial harus dicegah dan dilarang.
Dalam UU NO. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial Dan Budaya atau dikenal dengan Undang-undang Hak Sipil, secara umum dijelaskan bahwa
“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan
, kelahiran atau status lain.” Ketentuan ini merupakan konsekwensi yuridis bergabungnya Indonesia ke
dalam ke anggotaan PBB sehingga mau tidak mau harus meratifikasi kovenan- kovenan yang disahkan ke dalam undang-undang. Dengan turutnya Pemerintah
Indonesia menandatangani sekaligus mengundangkannya ke dalam undang-undang maka hak-hak sipil khususnya terkait dengan agama semakin kuat legitimasinya
menjadi legal rights.
Dalam rangka demam promosi HAM yang tidak lain sebagai tuntutan konstitusional, demokrasi, dan kemanusiaan universal, Indonesia mencanangkan
Rencana Aksi Nasional RAN HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian
dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi
atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984 pada 28 September 1998 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783.
Secara terperinci jaminan kebebasan beragama danatau berkeyakinan dapat ditemukan pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini:
1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat 1: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat
2: Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
” 2. UUD 1945 Pasal 29, ayat 2:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu ”
3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat 1:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum
atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
” Pasal 18 ayat 2
“Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai
dengan pilihannya. ”
4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat 1: “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
” 6.
UU No. 1PNPS1965, UU No. 51969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1
berbunyi:
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu Confucius. Hal ini dapat dibuktikan
dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia,
maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan
seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat
pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hukum tentang agama yang diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di
Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto,
Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya…”.
Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat 3
Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengaturmembatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaan melalui Undang-Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:
1. Restriction For the Protection of Public Safety Pembatasan untuk Melindungi Masyarakat. Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di
public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan
individu-individu hidup, integritas, atau kesehatan atau kepemilikan. 2. Restriction For the Protection of Public Order Pembatasan untuk
Melindungi Ketertiban
Masyarakat. Pembatasan
kebebasan memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara
lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah
yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.
3. Restriction For the Protection of Public Health Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat. Pembatasan yang diijikan berkaitan
dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit
lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna
mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah
atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat
tertentu di Afrika. 4. Restriction For the Protection of Morals Pembatasan untuk Melindungi
Moral Masyarakat. Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi.
Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social. Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip
moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna
kelengkapan ritual aliran agama tertentu. 5. Restriction For the Protection of The Fundamental Rights and Freedom
of Others. Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain
5.1. Proselytism Penyebaran Agama. Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam
memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain,
khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan,
melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas. Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan
beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen
15
, yaitu: 1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk
untuk berpindah agama atau kepercayaannya. 2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu
atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan
peribadahannya. 3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan
yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
15
Ibid h. 87
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam
wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang,
asal-usul. 5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati
kebebasan orang tua, dan wali yang sah jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya
sendiri. 6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan
beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan
mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi
oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
56
BAB IV ANALISIS PRAKTEK KEBEBASAN BERAGAMA
DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI
A. Perspektif Hukum