56
BAB IV ANALISIS PRAKTEK KEBEBASAN BERAGAMA
DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI
A. Perspektif Hukum
UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia
setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam
sistim hukum global Indonesia banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU
122005. Dalam masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali amandemen,
1
sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di Indonesia.
Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik
ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur
dengan situasi politik dan ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai dengan
1
Amandemen pertama 19 Oktober 1999, amandemen kedua 18 Agustus 2000, amandemen ketiga 9 Nopember 2001, amandemen keeempat 10 Agustus 2002.
Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga
yang melihat sebagai produk-produk multitafsir. Sebut saja Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003, Undang-undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden No. 112003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah Perda
tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 89 Tahun 2006 dll. Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak
berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;
1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia, para
pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat . Misalnya, di kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun kotamadya Sumatera Barat,
Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim.
Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat
memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah. Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda Raperda Kota Injil di
Monokwari Papua. 2.
Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan
aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada
sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum perempuan untuk bekerja mencari nafkah.
3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang
perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005 dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen. Para
perempuan tersebut ditangkap setelah anggota komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya program sekolah Minggu di rumah mereka, mereka
memberikan kotak pensil dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak- anak Muslim.
4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen
Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun baik dalam bentuk bantuan itu sendiri, personil, maupun keuangan kepada kelompok-kelompok
keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa
pemerintah menerapkannya lebih sering kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas Muslim.
2
5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan
8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak
2
Laporan kebebasan beragama Internasional 2005 pemerintah Indonesia yang diterbitkan pemerintah Amerika
dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di depan aparat keamanan pemerintah dan ada kesan pembiaran terhadap aksi
kekerasan, terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi sampai tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi,
pembongkaran rumah ibadah oleh pemerintah kabupaten Bekasi. 6.
Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang
menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun
terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin. 7.
Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008 di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan
terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila.
Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan apa yang terjadi dan bila
mencermati Undang-Undang Dasar UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1.
Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan Pasal 18 maupun Pasal 22 UU No 391999 tentang HAM. Setiap
orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau
keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya. Dalam era reformasi terhadap situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan
seharusnya politik hukum Indonesia menjadi jawaban atas negara kesatuan Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bersama. Bagaimana arah politk hukum
kembali kepada situasi pembangunan negara oleh bapak bangsa, bahwa kesatuan bangsa menjadi dasar pertama dalam mengisi kemerdekaan.
Memang dalam beberapa kejadian aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok masyarakat pemerintah melalui aparat kepolisian telah melakukan tindakan yang
tepat dengan menangkap dan memproses secara hokum para pelaku. Namun tindakan tersebut tidak secara konsisten dilakukan di berbagai tempat. Artinya kebijakan
keamanan sangat bergantung dengan situasi politik si suatu daerah. Tentu hal ini akan sangat memprihatinkan bila terus terjadi.
Bagimana umat beragama di Indonesia hidup berdampingan? Pertama, harapan tentunya pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda pemerintahan dapat
secara konsisten menjabarkan UUD 1945 melalui berbagi peraturan yang berada di bawah UUD 45 sehingga berbagai produk hukum yang dihasilakan dan bertentangan
dengan UUD 45 dapat dibatalkan keberadaannya. Kedua, negara dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan kebebasan beragama dan
berkeyakinan sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi seluruh warga Indonesia. Ketiga, mendorong para pemuka agama mulai dari tingkat pusat sampai
daerah membuka ruang dialog dalam merespon berbagai fenomena kehidupan reformasi yang terus berjalan.
Menurut W Cole Durham, Jr. penghapusan diskriminasi menuju kemerdekaan beragama dan berkeyakinan membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain 1
Pengakuan dan penghormatan atas pluralisme; 2 Stabilitas ekonomi; 3 Pemerintahan dengan legitimasi yang kuat; 4 Kelompok-kelompok masyarakat
mempunyai cara pandang yang positif atas perbedaan satu sama lain.
3
Mengutip MM Bilah, “Mengapa iklim kebebasan beragama sulit untuk diwujudkan di Indonesia?” Bilah memberikan gambaran paling tidak ada dua faktor
yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-
undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya
undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Krisis peranan pada
gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting
3
Rumadi, Kompas, Jumat, 15 Oktober 2004.
untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga
harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang
lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
4
Reformasi di Indonesia masih terus berjalan termasuk reformasi di bidang hukum. Dalam proses yang sedang berjalan dapat juga masyarakat hukum Indonesia
melakukan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan yang potensial bertentangan dengan UUD 45 demi tercapainya sebuah sistim hukum
yang sesuai dengan semangat UUD 45, artinya politik hukum Indonesia yang baik dan tepat akan mendukung terciptanya negara Indonesia yang sejahtera, karena
hukum merupakan salah satu pilar pembangunan dalam perjalanan reformasi saat ini.
B. Perspektif Sosio-Kultural