Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Positif
dan mengizinkan mereka untuk tinggal sementara sambil mencari solusi permanen.
Pasca kejatuhan rezim Suharto di tahun 1998, banyak sekali terjadi kerusuhan di dalam negeri dan tingginya tuntutan daerah untuk melepaskan diri
dengan pemerintah pusat, telah menimbulkan kekhawatiran para penduduk dan menimbulkan gelombang perpindahan penduduk secara besar-besaran dari satu
propinsi ke propinsi lainnya. Arus perpindahan penduduk antar daerah yang terjadi karena kerusuhan dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah
pengungsi. Menurut hukum Internasional suaka dan pengungsi sebenarnya mempunyai perbedaan. Pengungsi adalah satu status yang diakui oleh hukum
Internasional atau nasional. Seseorang yang telah diakui statusnya sebagai pengungsi akan menerima kewajiban-kewajiban yang ditetapkan serta hak-hak
dan perlindungan atas hak-haknya itu yang diakui oleh hukum Internasional atau nasional. Seorang pengungsi adalah sekaligus seorang pencari suaka.
Sebelum seseorang diakui statusnya sebagai pengungsi, pertama-tama ia adalah sorang pencari suaka. Status sebagai pengungsi merupakan tahap berikut
dari proses kepergian atau beradanya seseorang di luar negeri kewarganegaraan atau tempat tinggal biasanya yang terdahulu. Sebaliknya, seorang pesuaka belum
tentu merupakan seorang pengungsi. Ia baru menjadi pengungsi setelah diakui
statusnya demikian oleh instrumen internasional atau nasional.
35
Pengungsi adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena
rasa takut yang berdasar mengalami persekusi persecution. Rasa takut yang berdasar inilah yang membedakan pengungsi dari jenis migran lainnya, seberat
apa pun situasinya, dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Karena pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari
negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada mereka, maka untuk menanggapi situasi menyedihkan yang dihadapi pengungsi, persiapan-persiapan
khusus harus dibuat oleh masyarakat internasional. Hak mencari suaka politik adalah hak individual. Sepenuhnya terserah
kepada si individu untuk memutuskan kapan dan mengapa hak itu digunakan. Pikiran dan tubuh manusia bukanlah yuridiksi negara. Pemerintah tidak boleh
merasa memiliki pikiran dan tubuh warganya meski atas nama kedaulatan negara. Perlindungan terhadap hak ini, termasuk kewajiban menghormati prinsip non-
refoulement prinsip berstatus jus congens yang isinya melarang pengembalian pencari suaka politik ke negara asal juga telah jadi bagian hukum nasional.
Pertama oleh ratifikasi Republik Indonesia terhadap Internasional Convenant on Civil and Political Rights 2006 dan sebelumnya terhadap
Convention Againts Torture 1998 di mana non-refoulement adalah prinsip fondasionalnya. Jauh sebelumnya, preseden perlindungan yang sama dapat
35
Sulaiman hamid, lembaga suaka dalam hukum internasional,.h. 39-40
ditemukan dalam surat Edaran perdana Menteri Nomor 11RI1956 tanggal 7 september 1956 tentang perlindungan pelarian politik. Surat edaran yang ditanda
tangani Mr. Ali sostromidjojo itu menyatakan, “Indonesia melindungi pelarian politik yang masuk dan yang sudah berada di wilayah Indonesia, berdasarkan hak
dan kebebasan asasi manusia, serta sesuai dengan hukum kebiasaan Internasional.”
Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan presiden dengan pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif berdasarkan atas
hukum dasar, diplomasi yang mencari keharmonisan, keadilan dan keserasian dalam hubungan salah satu fungsi perwakilan Republik Indonesia adalah
melindungi, setiap orang berhak memperoleh suaka politik. Indonesia akhirnya secara formal yuridik mengakui bahwa mencari suaka
untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain merupakan salah satu hak asasi setiap orang lihat ketetapan MPR No.XVIIMPR1998 tanggal 13
november 1998, piagam HAM, pasal 24. Sehubungan dengan itu kewenangan pemberian suaka berada pada presiden pasal 25 ayat1. Dan pelaksanaanya diatur
lebih lanjut dalam kepres pasal 25 ayat2. Di samping itu presiden menetapkan kebijaksanaan masalah pengungsi dengan memperhatikan pertimbangan menteri
pasal 27.
36
36
Boer Mauna, Hukum internasional pengertian peranan dan fungsi dalam era dinamika global, Jakarta: Penerbit Alumni,2000.h.470
Indonesia menganut prinsip yang mengatur bahwa pemberian suaka adalah hak prerogatif dari negara sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatannya.
Prinsip ini antara lain secara jelas nampak dalam paragraf kesembilan dari penjelasan umum surat Edaran Perdana Menteri tanggal 7 september 1965 No.
11R.I1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik, yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Demikian pula, sebaliknya, pemberian suaka kepada pelaku
kejahatan politik bukanlah merupakan kewajiban Internasional dari negara, melainkan merupakan hak dari negara untuk menentukan apakah akan
memberikan atau tidak memberikan suaka kepada seseorang...”.
60