layout , model overlay, serta pemanggilan data eksternal tertentu dengan
penambahan ekstention pendukungnya.
2.10 TELAAH PENELITIAN SEBELUMNYA
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan berkaitan dengan titik panas ataupun kebakaran hutan dan lahan, yaitu:
1. UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Samarinda, September 2004 dalam penelitiannya mengenai pengelolaan
kebakaran hutan dan lahan terpadu di Kalimantan Timur. Penggunaan sarana penginderaan jauh adalah cara yang efisien
dalam memantau dan mendeteksi kebakaran hutan dan lahan untuk skala wilayah yang luas. Di Kalimantan Timur
sudah dibangun sebuah stasiun penerima satelit NOAA
National Oceanic and Atmospheric Administration
dengan bantuan Jerman, tepatnya berada di UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Samarinda. Data kiriman dari satelit NOAA-AVHRR National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High
Resolution Radiometer merupakan deteksi pada waktu sebenarnya.
Sebuah titik panas hotspot adalah sebuah pixel kebakaran yang mewakili areal 1,1 Km
2
, ini menunjukkan bahwa ada satu kebakaran atau beberapa kebakaran dalam areal itu, namun itu tidak
menjelaskan jumlah, ukuran dan intensitas kebakaran dan areal terbakar. Informasi dari satelit berupa lokasi panas lokasi hotspot
42
yang diperoleh setiap hari dari satelit NOAA 12 dan 16. Data ini harus dianalisis untuk memperoleh koordinat hotspot dan di-update
secara teratur. Sistem peringatan dini yang dipergunakan adalah Fire Danger Rating Tingkat Bahaya Kebakaran. Satu indeks bahaya
kebakaran sederhana telah diadopsi dan dimodifikasi untuk Kalimantan Timur. Sistem ini disebut Keetch-Byram Drought Index
KBDI atau Indeks Kekeringan Keetch-Byram. Indeks ini hanya memperhitungkan tiga variabel cuaca yaitu temperatur maksimum
harian, curah hujan harian dan rata-rata curah hujan tahunan. KBDI mempunyai kisaran nilai 0 sampai dengan 2.000. Untuk kemudahan
interpretasi bagi para manager kebakaran, KBDI dibagi dalam empat kelas yang terkait dengan skala sifat bahaya kebakaran yaitu;
- Rendah :
0 sampai dengan 900 - Sedang
: 1000 sampai dengan 1499
- Tinggi :
1500 sampai dengan 1749 - Sangat tinggi
: 1750 sampai dengan 2000
2. Muslikh Musawijaya, Agus Hidayat, M. Rokhis Khomarudin, Kustiyo, Maswardi, 2001 dalam penelitiannya mengenai deteksi dan
pemantauan kebakaran hutan atau lahan menggunakan data penginderaan jauh data satelit NOAA National Oceanic and
Atmospheric Administration untuk memantau kebakaran hutan atau
lahan pada lokasi yang rawan kebakaran yaitu Sumatera dan Kalimantan, dimana intensitas pembakaran dan frekuensi kebakaran
43
cukup tinggi berpotensi menimbulkan gangguan asap lintas batas yang rutin terjadi setiap musim kemarau. Berdasarkan hasil
pemantauan yang dilakukan oleh LAPAN-Pekayon dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001, terlihat peristiwa kebakaran hutan atau
lahan menunjukkan hal-hal yang signifikan yaitu terjadi secara periodik setiap tahun dan intensitas kebakaran hutan atau lahan
paling tinggi terjadi pada puncak musim kemarau antara bulan Juli sampai dengan bulan September. Metode pemantauan titik panas di
permukaan bumi ditentukan berdasarkan pada metode dari MATSON dan DOZIER, 1981 dengan menghitung temperatur
pada band 3 =3.8 dan band 4 =10.8 . Untuk meningkatkan kualitas kenampakan titik panas hotspot, Lee and Tag, 1990
menyarankan untuk menggunakan kombinasi dari tiga band inframerah AVHRR Advanced Very High Resolution radiometer
yaitu band 3 3.8 m, band 4 10.8 m, dan band 5 11.8 m. Untuk obyek-obyek seperti awan, lahan, dan laut, radiasi yang
diterima oleh band 4 dan band 5 jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan radiasi yang diterima oleh band 3. Akan tetapi untuk obyek-
obyek yang memiliki suhu tinggi keadaannya menjadi sebaliknya, dimana respon tertinggi justru pada band 3. Fenomena ini
memungkinkan bagi terdeteksinya titik panas hotspot yang lebih kecil dari satu piksel, karena energi yang dikeluarkan oleh titik panas
hotspot tersebut meningkatkan suhu kecerahan brightness
44
temperature jauh lebih tinggi pada band 3 dibanding pada band 4
dan band 5 Dozeer, 1981; Matson et.al., 1987 dalam Lee and Tag, 1990. Sedangkan dengan menggunakan band 3 dan 4 mampu
mendeteksi kebakaran kecil seluas 1 hektar Flannigan and Haar, 1986.
3. Ety Parwati, Muslikh Musawijaya, Kustiyo, 2001 dalam penelitiannya mengenai analisis kebakaran hutan atau lahan
menggunakan citra Landsat-TM dengan kombinasi band yang digunakan adalah 542 untuk membantu dalam analisis visual. Citra
yang digunakan adalah citra Landsat-TM Pulau Sumatera dengan PathRow PR 13156 sampai dengan PR 12364 dan Pulau
Kalimantan dengan PR 12259 sampai dengan 11559 dikumpulkan, kemudian dipilih daerah yang memiliki titik-titik panas berdasarkan
hasil pemantauan menggunakan data NOAA-AVHRR National Oceanic and Atmospheric Administration
- Advanced Very High Resolution radiometer
. Pada kajian ini acuan titik-titik panas yang digunakan adalah hasil pemantauan selama bulan Juli, Agustus, dan
September 2001. Citra yang digunakan perlu dilakukan koreksi untuk mengkonversi posisi baris, kolom menjadi posisi lintang,
bujur. Sebagai acuan, titik-titik kontrol yang digunakan adalah empat titik pada posisi kiri atas, kanan atas, kiri bawah, dan kanan
bawah citra, yang tersedia pada setiap data header. Untuk memudahkan analisis, citra titik panas hotspot yang diperoleh
45
dikelompokkan menjadi 3 kelas menurut banyaknya titik panas yang ditemukan. Penentuan kelas tiap kelompok bervariasi setiap
waktunya, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Contohnya kelas titik panas hotspot di Pulau Kalimantan pada bulan Juli adalah
kelas 1 untuk jumlah titik panas = 1, kelas 2 banyaknya titik panas antara 2 sampai 3, dan kelas 3 untuk titik panas yang berjumlah
antara 4 sampai dengan 5. Sementara itu pengelompokan untuk citra bulan Agustus adalah kelas 1 untuk citra titik panas yang berjumlah
1 sampai dengan 7, kelas 2 jumlah titik panas 8 sampai dengan 15, dan kelas 3 jumlah titik panas berjumlah lebih dari 15 Musawijaya,
2001. 4. M. Rokhis Khomarudin, Nur Satriani, Heny Suharsono, dan Muslikh
Musawijaya, 2000 dalam penelitiannya mengenai tingkat kerawanan kebakaran hutan di Kalimantan dengan menggunakan data
penginderaan dan Sistem Informasi Geografis. Faktor-faktor yang mendorong timbulnya kebakaran hutan adalah bahan bakar, tanah
yang meliputi kadar air tanah dan jenis tanah, cuaca angin, kelembaban nisbi, hujan, intensitas radiasi matahari, suhu, dan
tekanan udara, dan topografi Hamzah, 1985. Unsur cuaca merupakan unsur yang sangat penting kaitannya dengan kebakaran
hutan. Unsur ini merupakan pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan yaitu suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, dan angin
JICA, 2000. Salah satu cara untuk menduga tingkat kebakaran
46
47 dengan memetakan kerawanan kebakaran hutan. Ada beberapa
pendekatan atau metode yang harus dipadukan sehingga hasilnya menjadi suatu sistem informasi kebakaran hutan. Metode yang
digunakan adalah pemanfaatan SIG Sistem Informasi Geografis dengan menggabungkan parameter jumlah hotspot, iklim, IKKB
Indeks Kekeringan Keetch Byram, GVI Indeks Vegetasi Global, dan TGHK peta tata guna hutan kesepakatan pada tahun 1997
sampai dengan 2000. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa tingkat kerawanan kebakaran hutan di Pulau
Kalimantan terjadi pada bulan Agustus, sedangkan bulan-bulan yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dapat terjadi pada bulan Juli
sampai bulan September. Pada kejadian El Nino tahun 1997 sampai dengan 1998 membawa pengaruh terhadap tingkat kerawanan
kebakaran hutan dengan luasan kerawanan yang meningkat. Secara umum data yang dipergunakan dalam penelitian ini sudah dapat
menggambarkan tingkat kerawanan kebakaran hutan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian merupakan salah satu ciri utama bagi ilmu pengetahuan. Bagi penginderaan jauh sebagai ilmu baru, metode penelitiannya belum banyak
diungkap pada pustaka yang ada Sutanto, 1994; hal 81. Metode penginderaan jauh secara lengkap, yaitu yang dimulai dari perumusan masalah dan tujuan
hingga penyelesaiannya. Pada gambar 3.1 adalah gambaran pola pikir penelitian mengenai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan dan Analisis
Sebaran Titik Panas Studi Kasus: Provinsi Kalimantan Tengah dijelaskan bahwa data bersumber dari data mentah satelit Terra dengan sensornya yaitu MODIS
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer yanng memiliki resolusi spasial 250 meter, 500 meter, 1000 meter, serta dilengkapi dengan geolocation.
Level 1B merupakan data L 1A dengan Geolocation dikalibrasi, sehingga diperoleh data terkalibrasi baik radiometrik maupun geometriknya Mulyadi,
2003. Jadi data level 1B diproses menghasilkan Tb
k
brightness temprorary yang berarti suhu kecerahan untuk menentukan titik panas dan menampilan citra
dengan menentukan kombinasi band yang digunakan kemudian dilakukan pemotongan citra cropping yang kemudian hasilnya dipadukan dengan peta
tutupan lahan serta untuk menambah kelengkapan informasi lokasinya ditambahkan data peta batas administrasi sehingga menghasilkan gambaran visual
berupa peta lokasi dan keberadaan sebaran titik panas.
48