asupan kanker debu TSP seluruh responden populasi mengalami peningkatan yaitu 0,00068 mgkghari.
Besarnya nilai Intake berbanding lurus dengan nilai konsentrasi risk agent, laju asupan, pajanan harian, frekuensi pajanan dan durasi pajanan, yang artinya
semakin besar nilai tersebut maka akan semakin besar asupan seseorang. Asupan berbanding terbalik dengan berat badan dan periode waktu rata-rata, yaitu
semakin besar berat badan maka akan semakin kecil risiko kesehatan yang diterima. Dari perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa durasi pajanan sangat berpengaruh terhadap jumlah asupan seseorang. Semakin lama seseorang tersebut berada dan terpajan risk agent di lingkungannya
maka nilai Intake akan semakin besar dan risiko untuk mendapatkan efek yang merugikan kesehatan pun semakin tinggi pula.
4.5 Karakteristik Risiko
Salah satu tujuan khusus dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui risiko non karsinogenik yang diakibatkan oleh sulfur dioksida SO
2
, nitrogen dioksida NO
2
, amonia NH
3
, dan debu TSP serta risiko karsinogenik yang diakibatkan oleh debu TSP di udara lingkungan kerja Plant nitrous oxide N
2
O. Karakteristik risiko adalah upaya untuk mengetahui apakah populasi yang
terpajan berisiko terhadap risk agent yang masuk ke dalam tubuhnya yang dinyatakan dengan RQ dengan cara meggabungkan nilai-nilai yang didapat pada
analisis pemajan dan dosis respon. Tingkat risiko non karsinogenik didapat melalui hasil pembagian asupan harian dengan nilai dosis-respon yang dikenal
dengan istilah reference Concentration RfC. =
�
Asupan harian menggambarkan jumlah SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP yang masuk ke dalam tubuh manusia dengan satuan mgkghari, sedangkan RfC
merupakan dosis referensi yang berupa bilangan default. Setelah diperoleh nilai RQ, maka asumsi yang digunakan yaitu, jika RQ 1, maka konsentrasi Risk
Agent dapat menimbulkan efek kesehatan non karsinogenik, dan j ika RQ ≤ 1,
maka konsentrasi Risk Agent belum dapat menimbulkan efek kesehatan non karsinogenik
Dari keempat parameter yaitu SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP, hanya debu yang berisiko menimbulkan kanker. Dalam efek karsinogenik risiko
dinyatakan sebagai risiko kanker yang diestimasi dari perkalian antara dosis harian yang diterima actual human dose dengan slope factor yang diperoleh dari
pemodelan dosis-respons. Kanker adalah proses toksifikasi dengan periode laten yang panjang. Dalam analisis risiko kesehatan, risiko kanker dinyatakan dengan
Excess Cancer Risk ECR. Dalam menghitung risiko kanker ECR, data yang dibutuhkan adalah nilai Cancer Slope Factor CSF dan Intake. Nilai tersebut
sudah tersedia dan ditetapkan oleh IRIS US-EPA yaitu sebesar CSF = 1,1 mgkghari.
= �
Setelah diperoleh nilai ECR, maka asumsi yang digunakan yaitu, jika ECR 10
-4
, maka konsentrasi Risk Agent sudah dapat menimbulkan efek kesehatan karsinogenik, dan jika ECR
≤ 10
-4
, maka konsentrasi Risk Agent belum dapat menimbulkan efek kesehatan karsinogenik
4.5.1 Penilaian Tingkat Risiko Pada Individu a. Tingkat Risiko Non Karsinogenik RQ
Tingkat risiko non karsinogenik individu dihitung berdasarkan kondisi pajanan realtime dan lifetime. Tingkat risiko RQ 1 mengindikasikan adanya
risiko akibat pajanan SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP, sedangkan RQ ≤ 1
menunjukkan responden tidak mempunyai risiko akibat terpajan SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP. Berikut ini merupakan perhitungan nilai RQ untuk pajanan SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP pada responden pertama. Data yang dibutuhkan untuk menghitung tingkat risiko non karsinogenik pada individu yaitu :
Intake SO
2
realtime = 0,00114 mgkghari
Intake SO
2
lifetime = 0,00428 mgkghari
Intake NO
2
realtime = 0,00061 mgkghari
Intake NO
2
lifetime = 0,00227 mgkghari
Intake NH
3
realtime = 0,00094 mgkghari
Intake NH
3
lifetime = 0,00354 mgkghari
Intake Debu realtime = 0,00049 mgkghari
Intake Debu lifetime = 0,00186 mgkghari
RfC SO
2
= 0,00857 mgkghari RfC NO
2
= 0,01714 mgkghari RfC NH
3
= 0,02857 mgkghari RfC Debu
= 0,02 mgkghari Maka, perhitungan tingkat risiko responden pertama akibat pajanan SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP adalah sebagai berikut: 1 Sulfur Dioksida SO
2
= 0,00114
0,00857 = 0,13
= 0,00428
0,00857 = 0,49
2 Nitrogen Dioksida NO
2
= 0,00061
0,01714 = 0,04
= 0,00227
0,01714 = 0,13
3 Amonia NH
3
= 0,00094
0,02857
= 0,03 =
0,00354 0,02857
= 0,12 4 Debu TSP
= 0,00049
0,02 = 0,02
= 0,00186
0,02 = 0,09
Hasil perhitungan RQ realtime dan lifetime akibat pajanan SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP menunjukkan nilai
RQ ≤ 1 yang berarti menunjukkan bahwa responden pertama belum berisiko terhadap efek non karsinogenik. Distribusi
nilai RQ untuk seluruh responden disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.10 Distribusi Nilai RQ Non Karsinogenik Akibat SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan Debu TSP Pajanan Realtime dan Lifetime
No Responden
RQ realtime RQ lifetime
SO
2
NO
2
NH
3
Debu SO
2
NO
2
NH
3
Debu
1 0,13
0,04 0,03
0,02 0,49
0,13 0,12
0,09 2
0,14 0,04
0,03 0,03
0,41 0,11
0,1 0,08
3 0,13
0,03 0,03
0,02 0,39
0,1 0,09
0,07 4
0,22 0,05
0,06 0,04
0,37 0,09
0,09 0,07
5 0,32
0,08 0,08
0,06 0,35
0,09 0,09
0,07 6
0,31 0,08
0,08 0,06
0,41 0,11
0,1 0,08
7 0,21
0,05 0,05
0,04 0,56
0,15 0,14
0,1 8
0,35 0,09
0,09 0,07
0,51 0,13
0,13 0,09
Hasil perhitungan tingkat risiko non karsinogenik tiap individu baik untuk pajanan realtime maupun lifetime, seluruhnya menunjukka
n nilai RQ ≤ 1 100 . Artinya, dapat dikatakan secara umum bahwa seluruh responden aman dari risiko
gangguan kesehatan non kanker akibat pajanan pajanan SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP di udara lingkungan kerja.
b. Tingkat Risiko Karsinogenik ECR Perhitungan tingkat risiko karsinogenik hanya dilakukan pada pajanan
debu TSP karena dari dari keempat parameter yaitu SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP, hanya debu TSP yang dapat menimbulkan efek karsinogenik. Risiko
kanker akibat terpajan debu TSP dinyatakan dengan Excess Cancer Risk ECR. ECR dapat dihitung dengan menggunakan data CSF yang telah tersedia yaitu 1,1
mgkghari dan intake kanker secara realtime dan lifetime. Penilaian tingkat risiko kanker pada individu dibutuhkan data intake karsinogenik realtime tiap
individu, periode waktu rata-rata yang digunakan adalah sepanjang hayat 70 tahun dan nilai CSF debu TSP. Berikut adalah penilaian tingkat risiko kanker
pada responden pertama: Intake Debu realtime
= 0,00021 mgkghari Intake Debu lifetime
= 0,00079 mgkghari Cancer Slope Factor
= 1,1 mgkghari Maka tingkat risiko pada responden tersebut adalah sebagai berikut:
= 0,00021 1,1
= 0,00023 = 2,3 10
-4
= 0,00079 1,1
= 0,00087 = 8,7 10
-4
Berdasarkan estimasi risiko kanker diatas, ditemukan bahwa risk agent debu TSP yang terdapat di udara berisiko bagi responden tersebut baik untuk
pajanan realtime maupun lifetime karena nilai ECR telah melebihi ambang batas ECR
≤ 1 x 10
-4
yaitu untuk pajanan r ̅̅ealtime sebesar 2,3 x 10
-4
dan untuk
pajanan lifetime sebesar 8,7 x 10
-4
. Distribusi nilai ECR untuk seluruh responden disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.11 Distribusi Nilai ECR Pajanan Debu TSP Untuk Seluruh Responden
No Responden ECR
realtime ECR
lifetime
1 2,3x10
-4
8,7x10
-4
2 2,4x10
-4
7,2x10
-4
3 2,3x10
-4
6,9x10
-4
4 3,9x10
-4
6,5x10
-4
5 5,6x10
-4
6,3x10
-4
6 5,3x10
-4
7x10
-4
7 3,6x10
-4
9,8x10
-4
8 6,3x10
-4
8,9x10
-4
Hasil perhitungan estimasi risiko kanker yang tersaji pada Tabel 4.11 diketahui bahwa tingkat risiko untuk seluruh responden menunjukkan nilai ECR
realtime dan lifetime melebihi ambang batas. Artinya, seluruh responden 100 yang berada di Plant nitrous oxide N
2
O berpotensi tenkena risiko kanker akibat terpajan debu TSP pada saat penelitian dilakukan.
4.5.2 Penilaian Tingkat Risiko Pada Populasi a. Tingkat Risiko Non Karsinogenik RQ
Perhitungan nilai tingkat risiko RQ non karsinogenik seluruh responden populasi untuk pajanan realtime dan lifetime akibat menghirup udara yang
mengandung SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP, digunakan data-data sebagai berikut:
Intake SO
2
realtime = 0,00195 mgkghari
Intake SO
2
lifetime = 0,00366 mgkghari
Intake NO
2
realtime = 0,00104 mgkghari
Intake NO
2
lifetime = 0,00194 mgkghari
Intake NH
3
realtime = 0,00161 mgkghari
Intake NH
3
lifetime = 0,00303 mgkghari
Intake Debu realtime = 0,00085 mgkghari
Intake Debu lifetime = 0,00159 mgkghari
RfC SO
2
= 0,00857 mgkghari
RfC NO
2
= 0,01714 mgkghari RfC NH
3
= 0,02857 mgkghari RfC Debu
= 0,02 mgkghari Maka, perhitungan tingkat risiko pajanan SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP pada populasi adalah sebagai berikut:
1 Sulfur Dioksida SO
2
= 0,00195
0,00857 = 0,23
= 0,00366
0,00857 = 0,43
2 Nitrogen Dioksida NO
2
= 0,00104
0,01714 = 0,06
= 0,00194
0,01714 = 0,11
3 Amonia NH
3
= 0,00161
0,02857 = 0,06
= 0,00303
0,02857 = 0,11
4 Debu TSP =
0,00085 0,02
= 0,04 =
0,00159 0,02
= 0,08 Hasil perhitungan RQ realtime dan lifetime untuk populasi akibat pajanan
SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP menunjukkan nilai RQ 1 yang berarti menunjukkan bahwa seluruh responden populasi belum berisiko terhadap efek
non karsinogenik.
b. Tingkat Risiko Karsinogenik ECR Perhitungan tingkat risiko karsinogenik hanya dilakukan pada pajanan
debu TSP karena dari dari keempat parameter yaitu SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP, hanya debu TSP yang dapat menimbulkan efek karsinogenik. Perkiraan
risiko kesehatan karsinogenik dilakukan dengan menghitung jumlah asupan kanker yang terjadi sepanjang hayat 70 tahun. Nilai CSF yang telah tersedia
yaitu 1,1 mgkghari dan intake kanker debu TSP untuk pajanan realtime sebesar 0,00036 mgkghari dan pajanan lifetime sebesar 0,00068 mgkghari.
Maka perhitungan nilai ECR sebagai berikut: = 0,00036
1,1 = 0,00039
= 3,9 10
-4
= 0,00068 1,1
= 0,00075 = 7,5 10
-4
Berdasarkan estimasi risiko kanker terhadap populasi pekerja diatas, ditemukan bahwa risk agent debu TSP yang terdapat di udara berisiko bagi
seluruh responden populasi tersebut baik untuk pajanan realtime maupun lifetime, karena nilai ECR telah
melebihi ambang batas ECR ≤ 1 x 10
-4
yaitu untuk pajanan realtime sebesar 3,9 x 10
-4
dan untuk pajanan lifetime sebesar 7,5 x 10
-4
. Berdasarkan hasil analisis di atas, menunjukkan bahwa risk agent SO
2
, NO
2
, NH
3
, dan debu TSP belum menimbulkan risiko non karsinogenik, tetapi untuk debu TSP dapat menimbulkan risiko karsinogenik. Risiko kanker akibat
pajanan debu TSP yaitu kanker paru dan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru akan muncul setelah terpajan debu TSP selama minimal 10 tahun. Beberapa
orang yang mengalami pajanan dalam waktu dan konsentrasi yang sama akan menunjukkan akibat yang berbeda-beda, tergantung pada mekanisme pembersihan
partikel debu dan perbedaan pada cara bernafas masing-masing individu Faridawati, 1995.
Pada penelitian ini tidak bertujuan untuk mengetahui jenis dan ukuran dari debu TSP yang didapatkan dari pengambilan sampel, namun menurut Rahman
et al., 2008 menyatakan bahwa sebanyak 68 komposisi dari debu TSP di udara merupakan Particulate Matter 10 PM
10
. Hasil pengambilan sampel udara ambien oleh BPLHD Jakarta 2013 didapatkan bahwa sebesar 40 komposisi
debu TSP merupakan partikel yang berukuran 5- 9 μm. Berdasarkan literatur
tersebut maka dampak yang diakibatkan oleh paparan debu TSP juga merupakan dampak yang diakibatkan oleh PM
10
. Pujiastuti 2013 menyatakan bahwa komposisi anorganik dari PM
10
yang dapat menyebabkan ISPA adalah Na, K, Mg, Mn, Zn, Cd, Cr, Cu, Co dan As, sedangkan Pb dan Hg tidak dapat menyebabkan
ISPA namun dapat menyebabkan kerusakan otak dan kematian. Pada penelitian Nugroho 2012 menyatakan bahwa komposisi kimia pada
debu TSP yang tertangkap di dalam bag hause filter atau alat pengendali pencemaran udara banyak mengandung elemen logam berat terutama As, Cr,Pb,
Ni, Cd, Th dan Zn. Winder 2005 menyebutkan bahwa partikulat oksida besi
yang berasal dari proses produksi besi dan baja mempunyai efek toksik atau penyakit Siderosis, Fibrosis-difus yang menyerupai Pneumoconiosis.
Nugroho 2012 menyatakan bahwa debu yang dihasilkan dari aktivitas industri dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar yaitu organik dan
anorganik. Debu organik sintetik dapat menimbulkan iritasi dan reaksi alergik dan juga pengaruh-pengaruh lokal seperti dermatitis atau pengaruh toksik sistemik
seperti kerusakan lever. Debu anorganik dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu metalik dan non metalik. Debu non metalik mengandung silika yang lebih
lanjut diklasifikasikan sebagai crystalline atau amorphus. Debu metalik anorganik dapat mengakibatkan dermatitis lokal dan toksisitas sistemik, terutama ginjal,
darah dan sistem saraf pusat. Debu yang mengandung crystalline atau silika bebas dapat menyebabkan pneumoconiosis sebagai akibat pajanan kronik.
Mengkidi 2006 menyatakan bahwa debu TSP yang terdapat di udara yang tercemar dapat terinhalasi dan sebagian akan masuk ke dalam paru,
mengedap di alveoli, dan dapat menurunkan fungsi kerja paru-paru. Debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul di bagian awal
saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag seperti silika bebas merangsang terbentuknya makrofag
baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi autolisis, keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang
terus-menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim
paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan intertestial. Akibat fibrosis paru akan menjadi kaku, menimbulkan gangguan pengembangan paru, yaitu kelainan fungsi
yang restriktif Price dan Wilson, 1995. Yunus 1997 menyatakan bahwa gangguan restriksi paru ini menjadi prognosis terjadinya kelainan fibrosis,
atelektasis, tumor paru dan pneumonia.
4.6 Pengendalian Risiko