Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini menyajikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan hipotesis penelitian.

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membantu, bekerjasama, dan mempunyai perilaku altruisme terhadap orang lain Fehr Fischbacher dalam K n a f o P l o m i n , 2006: 771. Pada dasarnya perilaku altruisme itu sudah ada dalam diri setiap orang Hoffman dalam Taufik, 2012: 185 dan berkembang sesuai dengan usia dan dukungan lingkungan. Namun, penelitian longitudinal yang dilakukan pada komunitas di perkotaan Inggris menunjukkan terjadi fenomena masalah prososial dan psikologis, yaitu berkurangnya perilaku menolong dan berbagi kepada teman sebaya, pada anak-anak usia 4-11 tahun Hay Pawlby, 2003: 1323. Studi lainnya di Negara Estonia juga menunjukkan fenomena rendahnya keterampilan sosial pada anak-anak tingkat pra-sekolah sampai tingkat sekolah dasar, seperti kurang menghargai sikap yang berbeda, tidak menunjukkan perilaku yang altruisme dan tidak dapat menerima keragaman. Rendahnya keterampilan sosial dalam perilaku altruisme akan menyebabkan anak mencari perhatian dengan mengganggu, menantang atau perilaku bermusuhan Kukk et al., 2003: 124. Perilaku altruisme ditemukan memiliki dampak positif, yaitu mengurangi perilaku bermasalah seperti perilaku agresi Schondel et al; Uggen Janikula dalam Haski-Leventhal, 2009: 277, sehingga anak-anak yang dapat menunjukkan perilaku altruisme kepada temannya cenderung memiliki hubungan dan interaksi sosial yang positif terhadap rekan-rekan mereka Ulutus Aksoy, 2009: 39; Eisenberg Fabes dalam Smith Hart, 2002: 457; Clark Ladd dalam Knafo Polmin, 2006: 771. Altruisme merupakan sifat dan akar-akar perilaku prososial yang direprensentasikan dalam tindakan berbagi, membantu, dan bekerjasama Crain, 2007: 312, yang berguna untuk melakukan hubungan sosial. Perilaku altruisme Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu merupakan tindakan yang berbentuk kemurahan hati, ungkapan simpati, berbagi harta, menyumbang untuk amal, dan kegiatan yang dirancang untuk memperbaiki kesejahteraan orang lain dengan mengurangi kesenjangan sosial dan ketidakadilan Eisenberg Mussen, 1989: 4. Altruisme atau perilaku murah hati sudah terlihat pada usia anak-anak yang ditunjukkan pada kesediaannya untuk membagi miliknya terutama mainan untuk anak-anak lain Hurlock, 1978: 262, dan ditujukan sebagai bentuk tindakan membantu yang ditujukan untuk mengurangi kesulitan yang dialami teman-temannya. Perilaku altruisme berkembang sesuai usia dan sudah dapat ditemui pada bayi berusia 14 sampai 18 bulan, contoh membantu orang lain dengan mengambil benda-benda dan membuka lemari Warneken Tomasello, 2009: 455. Berkembangnya perilaku altruisme sejalan pula dengan pemahaman anak terhadap norma-norma perilaku altruisme, yaitu norma tentang timbal balik langsung dan tidak langsung Gummerum, Takezawa Keller, 2009: 312. Perilaku altruisme pada anak-anak secara konsisten meningkat selama tahun kanak-kanak awal Eisenberg Mussen, 1989: 17; Rusthon et.al. dalam Osear, Freedman Peplau, 1985: 48; Hastings, Utendale, Sullivan, 2007: 639. Anak- anak yang dapat berperilaku altruisme sejak usia dini secara konsisten akan mempertahankan situasi ini sampai ke masa dewasa, bahkan kemampuan anak untuk menolong temannya cenderung meningkat dalam kehidupannya karena ketika anak tumbuh dewasa mereka mengembangkan empati dan tanggung jawab sosial Piliavin Charng dalam Haski-Leventhal, 2009: 276. Anak memperoleh pengalaman sosial ketika berinteraksi dengan teman-temannya dengan memahami bahwa untuk mendapat persetujuan sosial dapat dilakukan dengan cara membagi mainan atau sesuatu yang dimilikinya untuk anak lain. Anak juga belajar memahami apa yang dapat diterima, apa yang tidak diterima, apa yang disukai dan tidak disukai temannya. Melihat dampak positif yang ditimbulkan, sangat penting melakukan upaya untuk meningkatkan perilaku altruisme sejak dini terutama bagi anak-anak yang memiliki perilaku altruisme rendah. Strategi yang ditawarkan untuk upaya peningkatan perilaku altruisme anak usia awal sekolah dasar seperti 1 learning Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu dan modelling sesuai teori pembelajaran sosial yang melibatkan anak-anak pada kegiatan sukarela orang tuanya, tindakan sukarela di sekolah Pilliavin dalam Haski-Leventhal, 2004: 276; Crain, 2007: 231; 2 group counseling for children, yang melibatkan interaksi anak dalam kelompok memungkinkan anak belajar perilaku berbagi, menolong, dan bekerjasama dengan orang lain Yalom dalam Brown, 1994: 34, 3 program play activities, yang melibatkan anak pada tindakan berbagi, empati, kerjasama, dan membantu Ulutus Aksoy, 2009: 39; 4 social stories Sansoti Powel-Smith dalam Ulutus Aksoy, 2009: 43; 5 video games Gentile et al. dalam Ulutus Aksoy, 2009: 43 dan public good experiments yang menggunakan tokens untuk diberikan kepada anak yang dapat menunjukkan perilaku altruisme. Anak-anak pada usia 6-7 tahun dicirikan sebagai usia awal sekolah dasar dan usia berkelompok Harlock dalam Soetjiningsih, 2012: 248. Masa usia berkelompok ini anak ingin diterima oleh teman-teman sebayanya. Salah satu cara anak bergabung dengan kelompok melalui bermain. Bermain memberi kesempatan anak belajar memahami sudut pandang orang lain, menjadi bagian dari kelompok, menunggu bagian untuk beraksi, tidak selalu menang sendiri, dan belajar untuk berbagi Soetjiningsih, 2012: 269. Mengacu pada tahap perkembangan sosial anak maka penelitian ini difokuskan pada penggunaan teknik konseling kelompok. Konseling kelompok diyakini efektif untuk menangani masalah perilaku anak, karena kehidupan anak lebih banyak berada dalam kelompok teman sebayanya Shechtman dalam Jacob’s, 2012: 415; Sonstegard et al., 2004: 138 dan lebih dari 70 konseling kelompok untuk anak ditemukan di sekolah Hoag Burlingame dalam Corey Corey, 2006: 297. Keterlibatan anak dalam suasana kelompok membantu anak untuk memiliki kesadaran bahwa dirinya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Konseling kelompok melatih anggotanya untuk saling memberi dan menerima sehingga terjadi peningkatan perilaku altruisme anak. Anak dapat berperan penting bagi orang lain dengan cara menolong, memberikan dukungan, keyakinan, saran-saran pada anak lain, sehingga dapat meningkatkan harga dirinya dan merasa berharga di mata orang lain Yalom dalam Astuti, 2012: 7. Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Konseling kelompok anak terdiri dari berbagai metode seperti play, modeling, assertive training, reinforcement, dan psychodrama. Salah satu metode yang akan digunakan dalam konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruisme anak adalah bermain. Penelitian Patricia 2004: 4 menemukan bahwa bermain menjadi hal yang penting dalam proses konseling anak, karena bermain merupakan aktivitas yang disukai anak-anak. Melalui bermain anak mengungkapkan pikiran, keinginan dan perasaan yang tidak dapat anak ungkapkan lewat bahasa Peterson Aguilera, 2007: 1. Senada dengan hasil penelitian Anderson-McNamee 2010: 2 yang menemukan bahwa bermain dengan anak-anak lain membantu anak belajar bagaimana menjadi bagian dari kelompok yang memungkinkan anak untuk belajar keterampilan negosiasi, pemecahan masalah, berbagi, dan bekerja dalam kelompok. Aktivitas bermain yang dilakukan anak dapat membantu anak untuk tetap fokus pada kegiatannya sehingga proses konseling dapat lakukan oleh konselor. Selain mengacu pada tahap perkembangan sosial anak, penelitian ini mengacu pada teori perkembangan kognitif dari Peaget. Tahap perkembangan kognitif pada anak-anak usia awal sekolah dasar 6-7tahun berada pada tahap berpikir operasional konkret Soetjiningsih, 2012: 258, Santrock, 2011: 187, Crain, 2007: 186. Tahap berpikir operasional konkret memungkinkan anak melakukan tindakan konkret dan mampu berpikir secara logis namun hanya selama mereka menerapkan penalaran pada obyek yang konkret. Anak-anak pada tahap ini mampu memahami dua perspektif suatu persoalan sosial sehingga kemampuan untuk mengkoordinasi ini dapat membentuk landasan pemikiran sosial. Berdasarkan tahap perkembangan kognitif anak maka penelitian ini perlu melibatkan anak pada suatu aktivitas bermain menggunakan media konkret seperti gambar, mainan, dan baki pasir Jacob’s et al., 2009: 415. Media dalam konseling kelompok berfungsi sebagai obyek konkret dan nyata yang membantu anak memahami peristiwa-peristiwa yang diilustrasikan. Selain berfungsi untuk mengkonkritkan suatu peristiwa, media dapat menghantarkan komunikasi antara konselor dan konseli. Konselor awalnya mengundang anak untuk berbicara tentang apa yang ia rasakan sewaktu bermain media dan apa yang anak lakukan Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu dengan media, namun nantinya dalam proses konseling, pembahasan bergeser pada situasi kehidupan anak Geldard Geldard, 2012: 152. Setelah anak merasa nyaman dengan media permainan, konselor dapat mengajukan pertanyaan- pertanyaan untuk mengundang anak berbicara bebas, melepaskan emosinya, dan menaikkan kesadarannya. Pemakaian media dalam aktivitas bermain dapat membantu untuk menarik minat anak, meningkatkan rasa kompeten, rasa menjadi bagian dari kelompok, penemuan diri, inventori dan kreativitas Geldard Geldard, 2012: 123. Pemilihan media yang tepat akan sangat membantu proses konseling. Sebaiknya memilih media yang menarik minat anak, kreatif, dan membuat anak terus bekerja. Media konseling anak yang melibatkan proses kreatif dan partisipasi aktif salah satunya adalah media seni. Melalui seni, konseli menciptakan produk nyata yang merefleksikan perkembangan kemampuan, kepribadian, minat, perhatian, perasaan, pikiran dan konflik Thompson, 2003: 119. Konseling kelompok yang menggunakan media seni dapat menyentuh emosi melalui karya seni untuk mengidentifikasi perasaan diri sendiri dan orang lain. Anak usia 6 tahun berkomunikasi melalui simbol-simbol yang dimunculkan dalam permainan bersama teman-temannya, pada tahap ini anak-anak belajar berpikir menggunakan simbol-simbol sebagai sebuah kata, citraanbayangan atau tindakan yang mempresentasikan suatu obyek, konsep atau peristiwa Werner Peaget dalam Crain, 2007: 150. Media yang dipilih dalam penelitian ini adalah clay. Bermain dengan media seni seperti cat, clay, pasir, dan air, membantu anak-anak mengekspresikan diri baik secara kiasan dan simbolis Mook dalam Petricia, 2004: 4. Clay sangat efektif digunakan untuk menangani anak-anak. Clay merupakan material tiga dimensi yang dapat digunakan untuk menciptakan sesuatu dan merepresentasikan perasaan serta ide Smidt, 2011: 78. Ada tiga dasar mengapa clay cocok untuk anak-anak Tratnik, 2007, yaitu 1 anak-anak dapat terlibat dan berpartisipasi aktif dalam proses konseling melalui permainan clay; 2 tema-tema yang dimunculkan melalui permainan clay dapat mengidentifikasi masalah anak dan 3 melalui clay dapat melibatkan anak dalam membingkai kognitif, mengalihkan Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu penyimpangan kognitif dan mengatribusi lingkungan sosial. Clay memiliki tekstur yang lembut dan mudah dibentuk sehingga mengundang anak untuk terus bekerja, bebas membuat bentuk yang realistis, khayalan atau simbolis Geldard Geldard, 2012: 248. Melalui kreasi clay yang dibuat memungkinkan konselor menangkap bahasa simbolis anak tentang perasaan dan pikirannya. Kondisi ini sangat kondusif bagi konselor untuk menangani konseli yang memiliki kecenderungan sulit berkomunikasi secara verbal seperti anak-anak. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada praktik pengalaman lapangan PPL tanggal 8-16 Oktober 2012 di SD Laboratorium- Percontohan UPI Bandung, peneliti melakukan pengukuran tes inteligensi dengan menggunakan alat tes WISC Wechsler Intelligence Scale For Children. Tes WISC ini digunakan untuk mengukur inteligensi umum anak yang terdiri dari 1 kemampuan verbal, yaitu kemampuan menggunakan kata-kata dan simbol; 2 kemampuan performance, yiatu kemampuan memanipulasi obyek dan melihat pola visual Gregory, 2011: 196. Pengukuran inteligensi umum anak terbagi menjadi beberapa subtest yang dapat mengukur kemampuan anak dalam berhubungan sosial, diantaranya subtes comprehension dan picture arrangement. Subtes comprehension merupakan bagian dari pengukuran inteligensi sosial yang mengukur pemahaman sosial individu dan adat budaya, sedangkan picture arrangement merupakan subtes yang mengukur penalaran dan kemampuan untuk melihat hubungan dalam situasi sosial Gregory, 2011: 200. Hasil tes menunjukkan beberapa anak yang memiliki skor rendah pada subtes comprehension dan picture arrangement sehingga kecenderungannya adalah siswa memiliki inteligensi sosial rendah. Siswa yang memiliki inteligensi sosial rendah berpotensi untuk mengalami kesulitan dalam memahami situasi sosial yang direpresentasikan dalam perilaku kontra sosial seperti tidak menunjukkan perilaku menolong atau membantu temannya altruisme, acuh terhadap orang lain, tidak kooperatif, membatasi kontak sosial dan sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Siswa-siswa yang memiliki inteligensi sosial rendah perlu mendapatkan bantuan konseling kelompok dengan menggunakan media clay dalam upaya meningkatkan perilaku altruisme siswa. Hal ini dilakukan Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu agar tidak menimbulkan perilaku maladaptive pada siswa seperti ingin menang sendiri dengan menggunakan mainan tanpa mau bergiliran, menyalahkan orang lain, suka memerintah orang lain untuk melakukan sesuatu padanya, acuh terhadap orang lain dan sulit berbagi mainan atau barang miliknya. Pengukuran dilakukan kembali dengan menggunakan angket perilaku altruisme anak untuk mendapatkan subyek penelitian yang tepat, yaitu anak-anak memiliki perilaku altruisme yang rendah. Hasil yang diperoleh memberikan gambaran umum terhadap profil perilaku altruisme siswa kelas 1 SD Laboratorium Percontohan UPI Bandung yang terdiri dari kelas 1a dan 1b yang berjumlah 39 siswa. Gambaran umum profil perilaku altruisme siswa menunjukkan sejumlah 19 siswa berada pada kategori tinggi, sejumlah 14 siswa berada pada kategori sedang dan sisanya sebesar 6 siswa berada pada kategori rendah dengan demikian rata-rata perilaku altruisme siswa kelas 1 SD dalam penelitian sebagaian besar berada pada kategori sedang. Secara rinci profil perilaku altruisme siswa kelas 1 SD Laboratorium Percontohan UPI Bandung dapat dilihat pada tabel 1.1 sebagai berikut: Tabel 1.1 Profil Perilaku Altruisme Siswa Kelas 1 SD Berdasarkan Skor Rata-Rata dan Kategori Setiap Aspek Aspek Skor Rata-rata Kategori

1. Empathy 0,69

Tinggi

2. Belief a just on world 0,55

Sedang

3. Social responsibility 0,54

Sedang 4. Locus of control 0,45 Sedang

5. Low Egocentrism 0,8

Tinggi Wiwin Ariyanti, 2014 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA CLAY UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISME SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Secara rinci gambaran profil perilaku altruisme siswa kelas 1 SD Laboratorium Percontohan UPI Bandung berdasarkan hasil pencapaian skor rata- rata setiap aspek yaitu aspek locus of control memperoleh pencapaian skor rata- rata sebesar 0,45 dengan kategori rendah; aspek social responsibility memperoleh pencapaian skor rata-rata sebesar 0,54 dengan kategori sedang; aspek belief a just on world memperoleh pencapaian skor rata-rata sebesar 0,55 dengan kategori sedang; aspek memperoleh pencapaian skor rata-rata sebesar 0,69 dengan kategori tinggi; dan aspek low egocentrism memperoleh pencapaian skor rata-rata sebesar 0,8 dengan kategori tinggi. Selanjutnya untuk mendapatkan target konseli yang menjadi kelompok sasaran intervensi ditentukan dengan mengelompokkan skor siswa dari yang terendah sampai yang tertinggi. Siswa yang memperoleh skor rendah adalah mereka yang menjadi kelompok eksperimen target intervensi, diperoleh 6 orang dan kelompok kontrol ditentukan dengan memilih siswa yang memperoleh skor terendah pada kategori sedang berjumlah 6 orang. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini difokuskan pada ”Efektifitas Konseling Kelompok dengan Menggunakan Media Clay untuk Meningkatkan Perilaku Altruisme Siswa ”.

B. Identifikasi Masalah