commit to user
tidak memerlukan pembuktian dari pnggugat akan tetapi tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tindakannya tidak termasuk lalai atau keliru.
Pada Medical error sangatlah berbeda dengan medical violence karena pada medical error dokter sudah bertindak benar menurut prosedur yang
sudah diakui didalam rumah sakit, namun efek tidak diharapkan tetap bisa terjadi. Bisa saja penetapan prosedur medik tersebut salah, akan tetapi
dokter tidak dapat diperalahkan karena dokter tersebut telah mengerjakan sesuai dengan prosedur rumah sakit. Sedangkan medical violence, dokter
telah bertindak salah karena tidak sesuai dengan prosedur yang ada dirumah sakit, maka dokter tersebut jelas melakukan kelalaian. Medical error sangat
terkait dengan sistem yang ada, karena secara teoritis medical error akan timbul apabila faktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi error masih
ada Faktor tersebut adalah perfomance kinerja dan knowledge pengetahuan dokter. Faktor yang paling dominan dalam terjadinya error
adalah kinerja dokter atau dokter gigi. Sementara dirumah sakit kinerja doktersangat dipengaruhi oleh sistem yang mengatur dokter dalam
menjalankan praktek profesinya. Pada medical error masalah utama yang perlu diukur adalah keabsahan atau kebiasaan yang ada. Dapat saja prosedur
tersedut salah artinyam dokter telah mengerjakan sesuatu yang benar , akan tetapi cara tersebut tidak adekuat. Walaupun kejadian tersebut disebut error
namun demikian terjadi karena hospital error atau system error . Dalam hospital error
sangat terkait dengan sistem yang ada pada rumah sakit. Kondisi hospital error juga tidak terlepas dari sistem yang besar yang
menaunginya antara lain kebijakan pemerintah tentang perumah sakitan, pembiayaan kesehatan serta pendapatan masyarakat. Sistem error
merupakan salah satu masalah utama dan sumber kecacatan atau kematian pasien yang tidak diharapkan Syahrul Macmud, 174 : 2008
b. Penegakan hukum euthanasia
Pelaksanaan dan
penegakan hukum
harus memperhatikan
kemanfaatannya atau kegunaannya bagi masyarakat. Sebab hukum jistru
commit to user
dibuat untuk kepentingan masyarakat. Karenanya pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Jangan sampai
terjadi pelaksanaan dan penegakan hukum merugikan masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan keresahan. Pelaksanaan dan penegakan hukum
juga harus mencapai keadilan. Oleh karena itu peraturan hukum yang bersifat umum dan mengikat setiap orang, penerapannya harus
mempertimbangkan fakta-fakta dan keadaan dalam setiap kasus. Sejalan dengan itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum . Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk atau menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu. Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan erat, oleh karena itu merupakan esensi dari
penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektifitas penegak hukum Riduan Syahrani, 204 : 1999.
Secara khusus masalah euthanasia belum diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, akan tetapi terdapat Pasal yang rumusannya mirip
dengan perbuatan euthanasia. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang mengatur dan mengancam dengan perbuatan euthanasia, akan tetapi dalam
kenyataannya Pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindakan pidana. Padahal Pasal ini sangat diperlukan sebagai satu-
satunya Pasal yang mengatur dan mengancam dengan pidana perbuatan euthanasia
Rehnalemken Ginting, 73 : 2009.
commit to user
Akan tetapi menurut Ikatan Dokter Indonesia IDI euthanasia adalah halyang dilarang. Teapi mengenai bentuk bentuk euthanasia hanya sebatas
euthanasia aktif, euthnasia lainnya belum ada pengaturannya. Dalam Surat
Edaran IDI No.702PBH2092004 yang diyatakan sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila
yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”
Menurut Ahmad Ube yang dikutip oleh Haryadi S.H, M.H dalam majalah forum akademika yang berjudul “Euthanasia Dalam Perspektif
Pidana” ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap euthanasia. Faktor-Faktor tersebut antara lain :
1. Faktor dari luar hukum Pidana : a Didalam euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku dengan korban
misal dokter dengan pasien atau pihak keluarga yang mewakilinya, sehingga perbuatan tersebut tidak pernah dilaporkan ke aparat penegak
hukum untuk diproses sebagai kasus pidana b Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah
terjadi kematian yang disebut oleh euthanasia, dengan perkataan lain masyarakat masih kurang paham terhadap hukum, apalagi menyangkut
masalah euthanasia. c Alat-alat kedokteran di Indonesia belum maju seperti peralatan kedokteran
negara maju seperti respirator yang dapat mencegah kematian manusia secara teknis dalam jangka waktu tertentu
d Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia kebanyakan berada dibawah standar kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk perawatan kesehatan
maupun untuk pengobatan cukup memprihatinkan. Keadaan ini membawa pengaruh yang cukup besar untuk dilakukan euthanasia, terutama
euthanasia pasif.
commit to user
2. Faktor yang terdapat dalam hukum Pidana : a Rumusan atau formula pasal terlalu universal, sehingga sulit menentukan
perbuatan mana yang termasuk euthanasia pasif dan perbuatan mana yang termasuk euthanasia aktif. Kemudian tidak dapat diketahui mana
euthanasia yang orang lakukan pada umumnya, dan euthanasia mana yang
dilakukan dokter pada khusunya. Hal ini sangatlah penting, karena masalah euthanasia tidaklah sesederhana seperti rumusan dalam Pasal 344
KUHP b Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat “atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” yang merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang
yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan Pasal ini atau tidak. Dalam menghadapi kasus euthanasia pasif baik atas permintaan sendiri
ataupun tanpa permintaan, maupun tanpa sikap dari dokter, dokter dalam hal ini telah diberi beban pembuktian terhadap tindakan mediknya. Ini
dilakukan agar dokter tersebut terbebas dari sanksi pidana. Tindakan dokter yang dibenarkan dan harus dibuktikan antara lain :
1. Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati klinis dan kematian yang sebenarnya kini teah dibedakan. Teknologi kedokteran
telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan intelektual dan
psikis misalnya berpikir, merasakan, berkomunikasi sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi, meskipun jantung dan paru-
paru masih bekerja. Karenanya menghentikan perawatan medik pada pasien yang otaknya tidak berfungsi tidak digolongkan sebagai euthanasia.
2. Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa tidak terlawan force majure. Dalam dunia kedokteran dapat terjadi
keadaan keadaan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 48 KUHP. 3. Menghentikan perawatan medik yang tidak berguna. Ilmu kedokteran tetap
mempunyai batas-batas dan hal-hal diluar batas ilmu kedokteran, sehingga dokter tidak berkompeten dalam melakukan sesuatu diluar batas ilmu
commit to user
kedokteran. Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa seijin pasien, maka dokter tersebut dapat ditutut berdasarkan penganiayaan.
Seorang dokter seharusnya tidak memulai atau meneruskan suatu pengobatan, apabila secara medik tidak dapat diketahui hasilnya secara
jelas. Langkah tersebut bukan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, akan tetapi untuk mencegah terjadinya penganiayaan oleh
dokter kepada pasien. 4. Perawatan menolak perawatan medik, sehingga dokter tidak berhak
melakukan tindakan apapun. Ini dilakukan untuk menghormati hak-hak pasien yaitu hak untuk menolak perawatan atau pengobatan Chrisdiono
M. Achadiat, 192 : 2006. Euthanasia
dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama, euthanasia
harus dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil,
terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban
euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak
dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan jauh lebih menderita lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan analisis ilmiah
bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum
analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari alasan untuk kepentingan korban saja.
Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila
sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia
berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan
kepada hukum warisan kolonial belanda satu-satunya Pasal yang agak dekat kaitannya adalah Pasal 344 KUHP. Dalam Pasal 344 KUHP dikatakan
commit to user
barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun. Redaksi Pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya
kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat
ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan. Namun demikian
terbukti Pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran
pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada putusan mengenai euthanasia
. Dari yurisprudensi tahun 1952 sampai dengan 1981 disebutkan bahwa euthanasia dapat dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat
tertentu. Dalam konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia
dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan
ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden yang terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari
responden sarjana hukum menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia. Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab setuju, sedangkan dari
25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang menyetujui euthanasia
. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan euthanasia
sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban 50, permintaan oleh korban sendiri 36 dan oleh kedua-duanya 70. Juga yang
menarik adalah pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa euthanasia
adalah masalah kemanusiaa 8, masalah agama 8, masalah kedua-duanya 84. Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi
tadi membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan
para dokter yang terikat kode etik kedokteran dan sumpah dokter yang
commit to user
memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih permisif jika dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut
menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat masukan-masukan baru heuristik. Namun masukan-masukan hasil
persemaian ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari
ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia Gatot Sugiharto, http:wwwgats.blogspot.com..
Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta
bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum
Indonesia, teori hukum Indonesia. Demikian pula dengan aspek epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas,
dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber
pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal juga
akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai
sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika
dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak
bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai
pandangan Pancasila tentang moral perilaku yang baik dan yang buruk juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral. Gatot Sugiharto,
http:wwwgats.blogspot.com diakses 17 Desember 2010.
commit to user
2. Penerapan euthanasia di Belanda