ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

(1)

commit to user

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI

MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana SI dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Mahendra Surya Perdana E 0006167

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta 2011


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI

MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

Oleh

Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 17 Januari 2011 Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Rehnalemken Ginting S.H.,M.H Sunny Ummul Firdaus S.H.,M.H NIP 195801051984031001 NIP 197006212006042001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI

MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA) Oleh

Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167

Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada:

Hari :Senin

Tanggal :17 Januari 2011 DEWAN PENGUJI

1. Prof. Dr. Supanto S.H., M.Hum :……… Ketua

2. Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H :……… Sekretaris

3. Rehnalemken Ginting S.H., M.H :……… Anggota

Mengetahui Dekan,

Mohammad Jamin S.H, M.Hum NIP. 19610930 198601 001


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Mahendra Surya Perdana

NIM : E.0006167

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 2011

Yang membuat pernyataan

Mahendra Surya Perdana


(5)

commit to user

v ABSTRAK

Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemberian hak

euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) terhadap pasien menurut Undang

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama mengkaji tentang hak hidup yang terdapat dalam Pasal 9 dihubungkan dengan hak-hak lainnya yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self

determination), Hak atas kesehatan (the right of health care) serta hak atas

informasi (the right of information) dan perbandingan penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia dan Amerika

Penelitian ini merupakan penelitian normatif besifat preskriptif, menemukan hukum mengenai penerapan pemberian hak euthanasia, tujuan pemberian hak tersebut serta perbandingannya penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik Pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Analisis data yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis data deduktif yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar pemberian hak euthanasia terhadap pasien, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, pertama, terdapat Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 hanya mengatur mengenai hak hidup yang diatur didalam Pasal 9 ayat (1). Hak untuk hidup oleh sebagian besar masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri. Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya suatu hak atas informasi dan atas kesehatan Kedua, Peraturan perundang undangan Indonesia belum ada satupun yang mengatur tentang euthanasia. Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum dapat bekerja secara maksimal karena belum pernah menjerat pelaku euthanasia. Peraturan perundang undangan Indonesia sudah jauh tertinggal dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Di Belanda meskipun dalam code penal Pasal 293 disebutkan larangan membunuh dengan permintaannya sendiri secara eksplisit


(6)

commit to user

vi

dilarang, namun kemudian Belanda memunculkan peraturan perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij

zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and

assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review

Procedures) Act) tentang legalitas euthanasia, sehingga secara otomatis rumusan

Pasal tersebut didekriminalisasikan. Di Belgia, Parlemen Belgia melegalkan praktek euthanasia melalui The Belgian Act on Euthanasia dimana peraturan perundang undangannya diadopsi dari diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the

human rights and dignity of the terminally ill and the dying, dimana dalam Pasal 2

disebutkan mengakui orang yang sakit parah untuk mati bukan merupakan suatu tuntutan hukum dengan demikian praktek euthanasia di Belgia adalah hal yang legal. Di Amerika meskipun secara agresif di semua negara bagian euthanasia

adalah tindakan yang melanggar hukum, akan tetapidi negara bagian Oregon praktek euthanasia merupakan hal tidak melanggar hukum yang diatur dalam

Oregon Death with Dignity Act.


(7)

commit to user

vii ABSTRACT

Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALYSIS OF USE THE RIGHTS OF EUTHANASIA (RIGHT TO TERMINATE LIFE) BY PATIENTS BY THE ACT NUMBER 39 OF 1999 ABOUT HUMAN RIGHTS AND APPLICATION OF LAW IN INDONESIA AND OTHER COUNTRIES (NETHERLANDS, BELGIUM, AMERICAN). Law Faculty of Sebelas Maret University.

This study aims to determine the application of euthanasia rights (the right to terminate life) of patients according The Act No. 39 of 1999 about Human Rights concerning the right to life especially the review contained in Article 9 is connected with other rights such as the right of self determination, the right of health care and the right of information and comparison of the application of euthanasia in Indonesia with other countries especially Netherlands, Belgium and America.

This research is a normative prescriptive characteristic, discovered the law regarding euthanasia grant application, the purpose of granting such rights and the application of euthanasia in Indonesia in comparison with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials. The data collection technique used is bibliography study. Data analysis was performed using deductive data analysis technique that originate on the basic principles of granting the right of euthanasia on patients, and researchers presenting the object to be studied. Deductive logic using terms based on general knowledge such as theories, theorems, or principles in the form of propositions to draw conclusions on the facts that are special.

Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions, first, there are legal norms regarding euthanasia are not clearly regulated in The Act no 39 of 1999 about Human Rights. The Act no 39 of 1999 only governs the right to life as regulated in Article 9 paragraph (1). The right to life by most of society can be interpreted as the right to determine his own life, thus determining his own life can also mean the right of freedom against itself as well as the right to end his own life. But the right to determine his own life can not stand alone without the presence of a right to information and to health Secondly, the laws and regulations of Indonesia has not got nothing to regulate euthanasia. Article 344 of the Criminal Code that the formula approach euthanasia can not work optimally because the perpetrators have never ensnare euthanasia. Indonesian laws and regulations are far behind with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. In the Netherlands, although the penal code Article 293 mentioned the prohibition to kill with its own demand is explicitly prohibited, but later the Netherlands led to the laws and regulations concerning the legality of euthanasia Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij


(8)

commit to user

viii

assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review

Procedures) Act), so that the formulation of Article these automatically

decriminalization. In Belgium, the Belgian parliament legalized euthanasia practices by The Belgian Act on Euthanasia where laws and regulations adopted by the invitation of the adoption of the European Convention on Human Rights which is a recommendation in 1418, entitled "Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, which is mentioned in Article 2 recognizes the terminally ill to die, not a lawsuit so that the practice of euthanasia in Belgium is a legal matter. In America though aggressively in all states euthanasia is an act that is unlawful, the state of Oregon will but practice of euthanasia is not against the law set forth in the Oregon Death with Dignity Act Keyword : euthanasia, patients, The Act no 39 of 1999 about Human Rights


(9)

commit to user

ix

MOTTO

Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa nafsu yang

diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. (Nabi Muhammad

SAW)

Jika kau ingin naik lebih tinggi gunakan kainmu sendiri! jangan buat dirimu dibawa keatas. Jangan pula dengan menginjak bahu atau kepala orang lain! (Frederich Nietzsche).

Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki tetapi kita selalu menyesali apa yang belum kita capai (Schopenhauer).

Anda memperoleh kekuatan, keberanian, dan keyakinan oleh setiap pengalaman di mana Anda benar-benar berhenti untuk melihat di wajah, Anda harus

melakukan hal yang Anda pikir Anda tidak bisa melakukan. (Eleanor Roosevelt)

Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri. (Franklin D. Roosevelt)

Jangan buang hari ini dengan mengkuatirkan hari esok. Gunung pun terasa datar ketika kita sampai ke puncaknya. (Phi Delta Kappan)


(10)

commit to user

x

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan kepada: - Allah SWT yang telah memberikan

kenikmatan tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

- Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa mendukung kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang serta kerja keras yang tak ternilai harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi seorang Sarjana Hukum.

- Adik-adikku yang selalu ada untuk membantu proses belajarku selama menempuh dunia pendidikan.

- Teman-temanku dari TK hingga kuliah yang telah memberi warna kehidupan selama penulis menyelesaikan studi di institusi pendidikan.


(11)

commit to user

xi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah yang Maha pengasihy dan Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayahn-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunanpenulisan hukum (skripsi) yang berjudul

ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN

(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)“.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu kepada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan hukum.

2. Bapak Ismunarno S.H, M.Hum selaku ketua bagian Hukum Pidana yang telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi.

3. Ibu Aminah, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi.

4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum, selaku ketua PPH yang telah menyetujui usulan judul skripsi penulis, menunjuk dosen pembimbing. 5. Bapak Rehnalemken Ginting S.H, M.H, selaku pembimbing Skripsi yang

telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan pengetahuan dan pengalamannya dalam menjadi saksi ahli sehingga memberikan semangat tersendiri bagi penulis dan mempermudah penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini


(12)

commit to user

xii

6. Ibu Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H, selaku pembimbing skripsi yang juga telah banyak memberi saran untuk pengembangan skripsi penulis, berbagi berbagai pengalaman selama menjadi dosen maupun pengalaman saat menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam hal Hukum Kesehatan.

7. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS.

8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas.

9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai pendaftaran ujian skripsi.

10.My best friends Loggar, Bagus, Tofan yang selalu bersama dalam suka dan duka.

11.Septian Fatur yang selalu menemani untuk sekedar sharing tentang musik. 12.My best partner Awe, Andri. yang selalu bersama-sama dalam mencari

sesuatu yang sangat berharga walaupun hasilnya tak seberapa 13.Mahendro Adi Utomo yang selalu mencari proyek bersama-sama.

14.Temen-temenku di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2006 Lukman, Amel, Ita‘, Farid. Terima kasih untuk semua, semoga kita memetik hasil kerja keras kita selama ini, amin.

15.Para pendahulu BEM Universitas Sebelas Maret, Mas Bambang, terima kasih atas motivasinya dan masukannya.

16.Adik-adik BEM FH Wisnu, Chandra, Johan (Pak Presiden), Titis, Uki, Radit, Mifta, Koh Seto, Hage, Beta, Adel, Adi Hostki (bikin dunia berbeda), Havid, Dwi dan lain-lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-satu. Terima kasih atas motivasi dan semangatnya.


(13)

commit to user

xiii

17.Temen-temanku seperjuangan Haris (makasih sudah jadi moderator Seminar proposalku), Setyawan, Makrus, Budi, G-Mon, Terry, Adi Cahya Nugraha, Erick, Didot, Juni, Agus Salim, Resa, Wasiat Eko, yang telah melengkapi perjalanan pendidikanku, mewarnai hari-hariku selama kuliah di FH.

18.Teman-temanku KMM di Bank Indonesia cabang Surakarta Yurista, Ade, Erlinda, Ahimsa yang sudah mau berkerja sama selama KMM.

19.Untuk semua temen-temenku di FH UNS yang tidak bisa disebutkan satu per satu, you’re my inspiration, tanpa kalian kuliahku selama di FH tidak akan berwarna.

20.Untuk semua guru-guruku TK Bakti XI, SDN Cengklik I, SMP N 7 Surakarta, SMA N 5 Surakarta yang telah mengajar dan membagi ilmunya dan mengantar penulis hingga memperoleh gelar sarjana, tanpa mereka mungkin penulis tidak bisa meraih cita-cita.

Karya kecil ini tidak hanya penulis dedikasikan kepada setiap orang yang telah memberi inspirasi bagi penulis tetapi juga untuk seseorang yang akan mengisi hidup penulis kelak dikemudian hari.


(14)

commit to user

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

ABSTRAK... v

HALAMAN MOTTO... ix

HALAMAN PERSEMBAHAN... x

KATA PENGANTAR... xi

DAFTAR ISI... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Metode Penelitian... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13

A. Kerangka Teori... 13

1. Tinjauan Tentang euthanasia...... 13

a) Pengertian euthanasia... 13

b) Kategori euthanasia...... 13

c) Macam euthanasia...... 14

2. Tinjauan tentang pasien a) Pengertian pasien... 18

b) Kewajiban pasien... 18


(15)

commit to user

xv

3. Tinjauan Tentang Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia... 20

a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Undang Undang Indonesia... 20

b. Pengertian Hak Asasi Manusia... 22

c. Instrumen HAM nasional... 23

d. Penerapan HAM di Indonesia... 24

4. Tinjauan Tentang pelaksanaan pidana... 25

a) Pengertian pidana... 25

b) Jenis-Jenis Sanksi Pidana... 29

B. Kerangka Pemikiran... 32

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 33

A. Norma pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia terhadap euthanasia... 34

B. Penerapan hukum euthanasia di Indonesia dengan negara Lain ( Belanda, Belgia, Amerika)... 48

BAB IV PENUTUP... 75

A. Simpulan... 75

B. Saran... 77

Daftar Pustaka... 79 LAMPIRAN


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR


(17)

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum. Penegasan ini sangatlah penting untuk dipahami bahwa Indonesia mengakui kedaulatan hukum. Dengan penegasan ini pengakuan terhadap esensial pembangunan negara Indonesia yakni kecuali pembatasan kekuasaan dan penegakan hukum yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan elemen esensial konstruk pembangunan Indonesia modern.

Sebagai salah satu hasil pembangunan, yang dilaksanakan kesadaran masyarakat tentang hak-haknya telah semakin membaik dan cara berpikirpun menjadi semakin kritis terhadap berbagai segi kehidupan. Banyak hal yang tadinya tidak diketahui masyarakat, kini muncul dan menjadi bahan sorotan masyarakat. Perkembangan yang terjadi seyogyanya disambut baik oleh semua pihak, sejauh perkembangan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan proporsional terhadap etika , moral dan religius (Crisdiono M. Achadiat, 2006:19).

Salah satu perkembangan yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan adalah masalah Euthanasia. Berbagai ulasan dan tanggapan muncul, baik yang sifatnya pro maupun yang kontra, dimana semuanya lengkap dengan argumentasinya masing-masing. Mereka yang setuju dengan euthanasia

menekankan pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim adanya perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.


(18)

commit to user

Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit. Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati. Perdebatan mengenai Euthanasia memang telah diperkirakan oleh beberapa ahli. Perdebatan atau kontroversi mengenai Euthanasia lebih terfokus pada soal moralitas, etika, maupun hukumnya. Perkembangan mengenai teknologi ternyata tidak diikuti dengan kemajuan hukum dan etika (Crisdiono M. Achadiat, 2006:180).

Masalah Euthanasia merupakan masalah yang dapat menyangkut semua lapisan, akan tetapi selama ini euthanasia lebih dekat dengan dunia medis


(19)

commit to user

menjadikan dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Disatu pihak teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sedangkan disisi lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga berkembang tidak kalah pesatnya. Dengan demikian dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum disatu pihak dengan kemampuan ilmu pengetahuam dan teknologi kedokteran yang demikian maju dipihak lain sehingga memungkinkan untuk mempertahankan hidup.

Sebenarnya praktek Euthanasia telah ada disekitar kita sejak lama. Tindakan tersebut berupa penguarngan kualitas kesehatan dari rumah sakit ke rumah tangga. Ini dikarenakan pasien tidak mampu untuk membayar biaya rumah sakit yang tergolong mahal dan adanya anggapan bahwa pasien tidak dapat disembuhkan kembali, sehingga keberadaannya di rumah sakit hanya akan menambah biaya.

Jika dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang penting untuk dikaji lebih mendalam untuk masalah euthanasia terhadap pasien yaitu mengenai Hak kesehatan, hak hidup dan hak untuk menentukan hidupnya sendiri.

Jika dilihat dari Hak kesehatan, mahalnya ongkos kesehatan semakin menambah jauhnya aspek perlindungan dan pemenuhan HAM atas kesehatan. HAM mensyaratkan individu untuk diakui memperoleh akses kesehatan dengan cepat dan biaya terjangkau. Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan hal itu dengan maksimal (Majda El Muhtaj, 2008:161).

Hak hidup merupakan hak yang mendasar. Dalam UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 Ayat (1) disebutkan:

“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.

Pada HAM melekat Hak setiap manusia untuk menentukan hidupnya sendiri tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun (The right of self

determination). Demikian pula dalam tindakan medik , pasien mempunyai hak


(20)

commit to user

diberikan hak untuk memberikan persetujuannya terhadap tindakan medis yang dilakukan terhadap dirinya (informed consent). Dalam hal pasien menolak tindakan medik yang ditawarkan dokter, dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya, walaupun penolakan tersebut akan memberikan dampak negatif pada kelangsungan hidup pasien.

Masalah Euthanasia di Indonesia memang belum ada satupun peraturan perundang undangan yang mengatur secara tegas tentang euthanasia. Akan tetapi ada Pasal dalam KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP. Akan tetapi pasal ini belum pernah menjaring satupun pelaku

euthanasia di negara ini. (Rehnalemken Ginting, 2009:2)

Dalam Pasal 344 KUHP disebutkan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dan dinyatakan dalam kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

Ada tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana mengenai euthanasia

jika dilihat menurut Pasal 344 KUHP yaitu tentang perbuatan yang dilarang (menghilangkan nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang (Barang siapa sehingga dapat berarti juga dokter) serta pidananya yaitu pidana paling lama 12 tahun penjara. Akan tetapi meskipun telah memenuhi tiga pokok permasalahan tersebut, namun kenyataanya di Indonesia sulit diterapkan untuk menyaring Euthanasia sebagai suatu tindak pidana, karena euthanasia

yang terjadi selama ini adalah Euthanasia pasif yang dianggap sebagai suatu resiko medik terhadap pasien (Rehnalemken Ginting, 2009:3-4).

Perkembagan euthanasia sangatlah cepat, akan tetapi permasalahannya di Indonesia sangatlah belum ada peraturan yang secara tegas mengaturnya. Ini menandakkan Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain seperti Belanda, Belgia, dan Amerika yang mengatur secara tegas dalam peraturan perundang undangannya tentang euthanasia.

Kasus tragis terjadi di negara kita, yang menimpa Sri Endah Budi Santoso, berumur 28 tahun, ibu dari empat orang anak dari kampung gayam Surakarta. Nyonya Endah tidak pernah sadar lagi setelah menjalani operasi steril 10 Oktober 1986. Nyonya Endah melahirkan anaknya yang ke Empat di rumah


(21)

commit to user

sakit Panti Waluyo Surakarta. Empat jam setelah melahirkan, ia sepakat menjalani operasi steril. Keganjilan muncul setelah operasi selesai ia belum sadarkan diri. Ternyata selama pembiusan, nyonya Endah menderita

Ensofalopatia Anakosik atau gangguan otak karena kekurangan oksigen.

Keadaan demikian terjadi karena terhentinya detak jantung secara mendadak, dan sejak itu kesadarannya menghilang. Setelah kejadian tersebut perawatan secara medik dihentikan dan yang dilakukan terhadap Nyonya Endah hanya perawatan biasa saja. Setelah perawatan medik tersebut di hentikan akhirnya nyonya Endah meninggal dunia (Rehnalemken Ginting, 2009:19).

Atas pertimbangan yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai permasalahan terhadap pemberian Euthanasia terhadap pasien, maka dari itu penulis mengangkatnya dalam penelitian hukum yang berjudul :

“ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK

MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PERBANDINGANNYA PENERAPANNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana norma hukum ketentuan euthanasia berdasarkan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)? 2. Bagaimana penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di berbagai


(22)

commit to user

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian merupakan pernyataan operasional yang merincikan apa yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini. Tujuan itu dirumuskan sebagai upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah tujuan subyektif dan obyektif yaitu :

1. Tujuan Subyektif

A. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan penulis mengenai penggunaan hak euthanasia oleh pasien menurut UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan perbandingan penerapan

euthanasia di Indonesia dan di berbagai negara (Belanda, Belgia,

Amerika).

B. Untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.Tujuan Obyektif

A. Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai norma pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

B. Untuk mengetahui penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini penulis berharap, agar dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil peneielitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum.

b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam pembangunan hukum nasional dibidang Pidana dan Hak Asasi Manusia.


(23)

commit to user

c. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan serta pengetahuan bagi pihak yang berkompeten dan terkait langsung dengan penelitian ini.

b. Memberikan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat pada hal yang sama.

c. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berhubungan dengan konsep dan isi ilmu, sedangkan metode berkaitan dengan aspek formal. Tepatnya, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu, sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara totalitas ilmu tersebut dicapai atau dibangun. Suatu bidang pengetahuan dikatakan metodis apabila cara mempelajarinya sesuai dengan rencana, bidang-bidangnya dikerjakan secara tertentu, menyusun berbagai temuan yang logis dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan ( Johny Ibrahim. 2005 : 27). Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Jenis Penelitian

Jenis penilitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitin hukum normatif tersebut mencakup :

a. Penelitian terhadap azas-azas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horisontal d. Perbandingan hukum


(24)

commit to user

e. Sejarah hukum (Soerjono soekanto dan Sri mamudji, 1990 : 15) Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Analisa penggunaan hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) oleh pasien menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan penerapan hukumnya di Indonesia dengan negara lain (Belanda, Belgia, Amerika).

2. Sifat penelitian

Penelitian bagi ilmu pengetahuan dilakukan untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah. Seorang yang melakukan penelitian dibidang ilmu pengetahuan harus berpangkal pada prinsip-pinsip dasar keilmuannya, kemudian ia menjumpai suatu gejala tertentu yang berupa fakta.

Didalam penelitian ini bersifat preskriptif. Sifat analisis ini dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatifakan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil temuan dari ilmu hukum atau ilmu lainnya untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan pendekatan sebagai berikut :

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) b. Pendekatan konsep (conceptual approach)

c. Pendekatan komparatif

d. Pendekatan historis (historical approach) e. Pendekatan kasus (case approach)

Cara pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua atau lebih


(25)

commit to user

pendekatan. Namun satu hal yang pasti dalam penelitian normatif, digunakannya pendekatan penggunaan pendekatan perundang-undangan. Ini dikarenakan penelitian hukum normatif didasarkan pada hukum yang ada (Johny Ibrahim, 2005 : 301).

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena dalam penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus dari penlitian. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu yang bersifat universal (Johny ibrahim, 2005 : 309).

4. Sumber Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data hukum sekunder. Data sekunder tersebut mencakup :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari :

1. Norma (dasar) atau kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, 2. Peraturan dasar yang terdiri dari :

I. Batang tubuh UUD Republik Indonesia 1945 II. Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan

Rakyat

3. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari : I. Undang-undang dan peraturan yang setaraf, II. Peraturan pemerintah dan peraturan yang

setaraf,

III. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, IV. Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf,


(26)

commit to user

V. Peraturan-peraturan Daerah.

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti misalnya hukum adat

5. Yurisprudensi 6. Traktat

7. Bahan hukum dari Zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti misalnya Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang merupakan terjemahan secara yuridis dari Wetboek van Strafrecht.

Lebih khususnya penelitian ini, penulis menggunakan sumber hukum primer antara lain :

1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti halnya rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum (Soerjono soekanto dan Sri Mamudj, 1990 : 15)

Bahan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah adalah buku-buku yang terkait materi mengenai penggunaan

hak euthanasia oleh pasien menurut UU Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak asasi Manusia dan penerapan hukum

euthanasia di Indonesia dengan berbagai negara (Belanda,

Belgia, Amerika)

c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petujuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder.


(27)

commit to user 5. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan, mengkaji dan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.

6. Teknik analisis data

Analisis data merupakan kegiatan dalm penelitian yang berupa melakukan kajian-kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri atau bantuan teori (Mukti Fajar dan Yulianto achmad, 2010 : 183).

Dalam hal demikian ini peneliti menggunakan metode deduktif yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010 : 109).

F. Sistmatika penulisan hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk


(28)

commit to user

memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian Hukum dan Sistematika Penelitian Hukum

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang akan memberikan landasan/kerangka teori serta diuraikan mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan euthanasia, Tinjauan Umum tentang pasien, Tinjauan Umum tentang Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Tinjauan Umum tentang Pidana. Selain itu untuk memudahkan pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini juga disertai denganKerangka Pemikiran

BAB III : HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas tentang norma hukum euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mengenai

euthanasia serta penerapan hukumnya di Indonesia dengan

berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.

Daftar Pustaka Lampiran


(29)

commit to user

13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Euthanasia a. Pengertian Euthanasia

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu yang berarti baik, dan

Thantos yang berarti mati atau meninggal. Suetonius dalam bukunya

Vitaceaserum merumuskan bahwa Euthanasia adalah mati cepat tanpa

derita. Dalam perkembangannya Euthanasia diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena belas kasihan (Mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati (Mercy Death) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:181).

Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu :

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sakit dengan memberikan obat penenang.

3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter

Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri (Rehnalemken Ginting, 2009:9).

b. Kategori Euthanasia

1) Menurut Lamerton dan Thiroux

Ada empat kategori yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu : a) Membiarkan seseorang mati


(30)

commit to user c) Pembunuhan belas kasihan

d) Kematian otak atau batang otak

2) Menurut Profesor Separovic dalam Kongres Kedokteran Sedunia :

a) No Assistence in proces death without intention to shorten life (tidak

ada bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat hidup)

b) Assistence in the process of death without intention to shorten life

(bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat hidup)

c) No Assistence in the process of death with intention to shorten life.

(Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat hidup).

d) Assistence in the process of death with intention to shorten life

(bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat hidup) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).

c. Macam Euthanasia

1) Menurut J.E Sahetapy membedakan Euthanasia dalam tiga jenis yaitu :

a) Action to permit death to occur (aksi untuk mengijinkan kematian

terjadi)

Biasa disebut dengan Euthanasia dalam arti yang pasif

(permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien dengan

sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan mati. Kematian dalam arti ini seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dan dokter yang merawatnya. Karena pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya sudah tidak mungkin dapat disembuhkan walaupun dengan pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga. Oleh sebab itu, untuk mengurangi atau menghilangkan penderitaannya, pasien kemudian meminta dokter untuk :


(31)

commit to user

i. Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan terhadap penyakitnya,

ii. Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi dirawat dirumahnya sendiri.

b) Failure to take action toprevent death (Kegagalan untuk mengambil

tindakan untuk mencegah kematian)

Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Ini terjadi apabila dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena ia tahu bahwa tindakan yang diberikan kepada pasien akan sia-sia saja. Pengobatan atau tindakan dokter dipandang sebagai perbuatan yang tidak berarti sehingga tidak ada cara penyembuhan normal.

c) Positive action to cause death(tindakan positif untuk menyebabkan

kematian)

Biasanya disebut dengan Euthanasia dalam arti aktif

(Causation). Atas permintaan atau desakan dari pasien atau

keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara positif guna mempercepat kematian pasien tersebut. Dokter dalam hal ini bertindak secara aktif untuk mempercepat kematian pasiennya dengan tenang, misalnya memberikan obat-obatan penghilang kesadaran, morfin dalam dosis tinggi ataupun cara lainnya.

2) Secara umum ada 3 Jenis Euthanasia yaitu :

a) Euthanasia aktif yaitu secara sengaja melakukan

tindakan/langkah/perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup penderita.

b) Euthanasia pasif yaitu secara sengaja tidak (lagi) memberikan

perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup penderita.


(32)

commit to user

c) Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien untuk

memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).

3) Pseudo-Euthanasia

a) Menurut Van Wijmen

Dalam kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa keadaan yang mirip Euthanasia tetapi sebenarnya sama sekali bukan

Euthanasia. Sehingga jika dihubungkan dalam KUHP terutama pasal

344 KUHP tidak termasuk rumusan didalamnya. Van Wijmen menyebutkan :

a) Absistence, of which the essence is that treatment in medical

respects is useless (pengobatan dalam hal-hal medis tidak

berguna)

b) Refusing treatment by patient, in which case the duty to treat

ceases to exist.(pasien menolak untuk pengobatan dilanjutkan)

c) Brain death in which case the duty to treat ceases to exist (adanya

kematian otak). (Crisdiono M. Achadiat, 2006:191) b) Menurut H.J.J.Leeman

H.J.J.Leeman mensinyalir didalam dunia medis, kadang-kadang kita menemukan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan

Euthanasia, akan tetapi mirip dengannya. Bentuk-bentuk yang

dimaksud antara lain :

1) Pengakhiran perawatan pasien karena gejala mati otak (Brain Death),

2) Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat,

3) Memberhentikan suatu perawatan medis yang tidak berguna lagi

(Zinloos),


(33)

commit to user c) Menurut Fred Ameln

Fred Ameln membagi Pseudo-Euthanasia menjadi empat katagori yaitu :

1) Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati klinis dan kematian yang sebenarnya kini telah dibedakan. Teknologi kedokteran telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan intelektual dan psikis (berpikir, merasakan, berkomunikasi) sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi meskipun jantung dan paru-paru masih bekerja. Karenanya menghentikan perawatan atau bantuan medik pada pasien yang otaknya tidak berfungsi, kini digolongkan sebagai Euthanasia.

2) Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa tidak teralawan (Force Majure). Dalam dunia kedokteran dapat terjadi keadaan sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP.

3) Menghentikan perawatan medik yang diketahui tidak berguna. Ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan hal-hal diluar batas itu tidak bisa diurus oleh seorang dokter atau dengan kata lain dokter tidak berkompeten melakukan sesuatu diluar batas ilmu kedokteran. Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa izin pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan penganiayaan. Jadi seorang dokter seharusnya tidak meneruskan suatu pengobatan, bila secara medik telah diketahui tidak dapat diharapkan sesuatu hasil apapun. Langkah tersebut bukan dimaksudkan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, melinkan mencegah terjadinya penganiayaan pasien oleh dokter.

4) Pasien menolak perawatan medik. Secara hukum dikatakan bahwa seorang dokter tidak berhak melakukan tindakan medik apapun, jika


(34)

commit to user

hal itu tidak diizinkan oleh pasien. Sesuatu yang dilakukan tanpa izin pasien, akan dapat dikenai sanksi pasal 351 KUHP.

2. Tinjauan Tentang Pasien a. Pengertian Pasien

Didalam Pasal 1 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dijelaskan tentang pengertian pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

b. Kewajiban Pasien

1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Di dalam Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Paraktik Kedokteran, telah dirumuskan kewajiban-kewajiban pasien antara lain:

i. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur mengenai masalah kesehatannya

ii. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter/dokter gigi

iii. Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan iv. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.

2) Menurut Prof. Picard

Seorang pasien mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap dokternya dan juga terhadap dirinya sendiri. Didalam melakukan kewajibannya pasien diminta untuk memenuhi standard pasien yang wajar.

Apabila ia tidak melakukan kewajibannya dan hal ini sampai merupakan penyebab (proximate cause) dari cideranya, maka ia dianggap turut bersalah sehingga ganti kerugian yang timbul dibagi secara proporsional antara dokter dan pasien. Namun apabila cidera itu hanya


(35)

commit to user

disebabkan oleh pasien itu sendiri, maka ia tidak dapat meminta ganti kerugian yang dimintanya. Hal-hal yang dikatagorikan sebagai

contributory negligence antara lain :

i. Pasien tidak mentaati instruksi dokternya (termasuk) didalamnya tidak membeli obat yang sesuai dengan resep dokter)

ii. Pasien menolak cara pengobatan yang diusulkan, misal pasien menolak operasi yang dianjurkan dokter, kemudian meninggal, sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan.

iii. Pasien tidak sejujurnya memberikan informasi atau tidak memberikan informasi yang akurat atau menyesatkan (Guwandi, 1993 :19).

c. Hak-Hak Pasien

1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran, mempunyai hak:

i. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)

ii. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain

iii. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis iv. Menolak tindakan medis

v. Mendapatkan isi rekam medis.

2) Hak-hak penting diluar UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran

i. Hak untuk hidup, hak untuk mati secara wajar, dan hak atas tubuhnya sendiri.

ii. Hak untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standard profesi kedokteran

iii. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya


(36)

commit to user

iv. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik v. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang

telah diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran tersebut

vi. Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan dikembalikan kepada dokter yang merujukya setelah konsultasi atau pengobtan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut

vii. Hak atas kerahasian atau rekam medik yang bersifat pribadi

viii. Hak untuk memperoleh penjelasan mengenai peraturan rumah sakit ix. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau

rohaniawan yang diperlukan selama perawatan dirumah sakit

x. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincin biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemriksaan rontgen, biaya kamar bedah, bersalin, serta imbalan jasa dokter (Anny Isfandyarie, 2006 :102)

3. Tinjauan tentang UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. a. Sejarah pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang

Indonesia

Pada awal Negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM dimasukkan ke dalam UUD Negara Indonesia. Dalam pandangan Soepomo HAM sangat identik dengan ideologi liberal individu dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Akan tetapi M. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan menolak memasukkan HAM dalam Undang Undang Dasar.

Penolakan Soepomo memasukan norma-norma HAM ke dalam UUD 1945 bukan berarti ia anti terhadap HAM. Perubahan sikap Soepomo terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak dasar warga


(37)

commit to user

Negara dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dimana Soepomo terlibat secara langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, ada 36 pasal prinsip-prinsip HAM dimuat dibawah paying hak-hak kebebasan dasar manusia. Sejak Indonesia kembali kepada UUD 1945, dibawah rezim Soekarno dan dilanjutkan rezim Soeharto dengan orde barunya, pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa pasal dalam UUD 1945.

Seiring dengan perkembangan sejarah di dunia Internasional Instrumen-instrumen HAM semakin berkembang dalam berbagai konvensi. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara barat. Dengan kekuatan ekonomi yang besar dan ketergantungan Negara-negara dunia ketiga yang non komunis kepada bantuan ekonomi barat, menimbulkan dominasi negara barat dan standar barat dalam penilaian terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama Negara dunia ketiga.

Isu HAM kemudian dijadikan isu Internasional atau isu global. Hal ini tak jarang menimbulkan konflik antara Negara Barat dengan Negara-negara dunia ketiga. Dengan mengetengahkan konsep-konsep konsep keaneragaman budaya, negara-negara non barat mencoba membendung dominasi standar barat dalam menilai terhadap perlindungan HAM dunia.

Dominasi standar barat dalam penilaian terhadap HAM semakin kuat dengan runtuhnya negara-negara sosialis khususnya Uni Soviet. Keruntuhan ini membawa implikasi yang besar terhadap Indonesia pasca rezim Soeharto. Selama berkuasa, rezim Soeharto dianggap refresif dalam mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan berbagai pelanggaran HAM sepanjang orde baru dan selalu mendapat penilaian buruk dari lembaga-lembaga HAM dunia.

Pada tahun 1993 pemerintahan Soeharto mulai menunjukan perubahan sikapnya terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Perubahan ini dipengaruhi perubahan konstalasi politik dunia yang mulai menunjukan titik akhir kehancuran


(38)

commit to user

komunisme dan munculnya dominasi barat. Faktor lainnya adalah isu pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada waktu itu menjadi isu Internasional.

Pada waktu pemerintahan Habibie yang masih muda harus mendapatkan tekanan politik baik dari dalam maupun internasional. Hal inilah yang mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional dan menerbitkan UU mengenai HAM yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu MPR melakukan amandemen untuk memasukan instrument-instrumen HAM kedalam batang tubuh UUD 1945 (Muladi, 2004:10)

b. Pengertian Hak asasi Manusia

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak-hak manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama


(39)

commit to user

b.Instrumen HAM Nasional

Pada masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan dengan baik. Hanya kepentingan politik saja yang pada waktu itu sangat menonjol, sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan militerisme. Demi nama baik bangsa dan masyarakat di Indonesia sebagai anggota PBB, maka untuk menghormati piagam PBB dan deklarasi Universal HAM, serta perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan negara berdasarkan hukum telah menetapkan :

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvesi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, b. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan

Hak-Hak Anak,

c. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.

Semenjak pergantian pemerintahan orde baru, dan Kabinet Era Reformasi sampai dengan Kabinet Gotong Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM Internasional, yaitu :

a. Keppres Nomor 129 tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,

b. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam semua perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan,

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September1998 tentang pengesahan Konvesi Menentang Penyikasaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan,


(40)

commit to user

d. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,

e. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Dimuka Umum,

f. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

g. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia,

h. Konvesi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi

i. Konvesi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tanun 1999 Tentang Penghapusan Kerja Paksa, j. Konvesi ILO 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang Undang

Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan,

k. Konvesi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja,

l. Konvesi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak,

m. Konvesi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (Muladi, 2004:5).

c. Penerapan HAM di Indonesia

Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologies, filsafati, ideologis, atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena instrument HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan


(41)

commit to user

hukum Internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Bentuknya dapat berupa deklarasi, konvesi, resolusi maupun general Comments. Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi secara formal.

Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang proporsional. Manusia dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial dan dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep HAM Indonesia bukan saja hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum Internasionalterhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Internasional HAM yang diterima oleh Indonesia (Muladi, 2004:6).

4. Tinjauan tentang Pelaksanaan Pidana a. Pengertian Pidana

1) Menurut Sudarto

Soedarto memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Dengan demikian pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu:


(42)

commit to user

Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat . Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

ii. Pidana.

Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Didalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.

2) Menurut Van Hammel

een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van di overtreding, van wege den staat als handhaver der openbar rechtsorde, door met de

rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. (suatu penderitaan yang

bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umumbagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebuttelah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan olehnegara.). (Lamintang. 1984:34)

3) Menurut Simmons

Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.


(43)

commit to user

dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah).

4) Menurut Roslan Saleh

Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.

5) Menurut Ted Hondrich

Punishment is an authority’s infliction of penalty (something

involving deprivation or distress) on an offender for an offence.(pidana

adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman (sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).

6) Menurut Hulsman

Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde

reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni:

untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.

7) Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH

Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa ”Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

i. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;


(44)

commit to user

ii. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

iii. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 2002 : 1)

8) Menurut P.A.F Lamintang

Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan doel der straf itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan (PAF Lamintang, 1997 : 185).

b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana 1. Pidana pokok terdiri dari :

(a) Pidana mati

Pidana mati masih mengalami perdebatan antara setuju dan tidak setuju dan tidak setuju mengenai penerapan pidana mati. Pidana mati merupakan sanksi pidana yang paling berat. (Bambang waluyo, 2000 :12)

(b) Pidana penjara

Pidana penjara merupakan bentuk pelaksanaan pidana yang dari sifatnya menghilangkan serta membatasi kemerdekaan bergerak,


(45)

commit to user

yang dalam hal ini menempatkan narapidana dalam lembaga pemasyarakatan. Ciri khas dalam pidana penjara adalah :

i. Pidana penjara diancamkan pada jenis kejahatan

ii. Ancaman pidana maksimal 15 tahun dan dapat diperpanjang menjadi 20 tahun apabila tindak pidana tersebut memberatkan. iii. Pidana penjara tidak dapat menggantikan pidana denda.

iv. Pelaksanaannya dapat dilakukan di seluruh lembaga pemasyarakatan

v. Pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat daripada narapidana kurungan.

(c) Pidana kurungan

Pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara, akan tetapi ada ciri khusus yang membedakannya. Ciri khas dari pidana kurungan antara lain :

i. Pidana kurungan yang diancamkan jenis pelanggaran

ii. Ancaman pidana kurungan maksimum 1 tahun dan dapat menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan

iii. Pidana kurungan dapat menggantikan pidana denda

iv. Pelaksanaannya hanya dapat dilakukan di lembaga pemasyarakatan dimana tinggal ketika putusan hakim dijalankan

v. Pekerjaan pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara

vi. Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat meringankan dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang diterapkan (hak pistole)

(d) Pidana denda

Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik sebagai alternative dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Ciri khusus dari pidana denda adalah :


(46)

commit to user

i.Pelaksanaan pidana denda tidak menutup kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain

ii.Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan, lama pidana kurungan untuk mengganti denda adalah minimal 1 hari dan dapat maksimal 6 bulan

iii.Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umumnya adalah tiga rupiah tujuh puluh lima send an maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

(e) Pidana tutupan

Pidana tutupan ditambahkan dalam Pasal 10 KUHP melalui Undang-undang nomor 20 tahun 1946, yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa, dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan (Adami Chazawi, 2002 : 29-42)

2. Pidana tambahan terdiri dari : (a) Pencabutan hak-hak tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu tertuang dalam Pasal 35 KUHP antara lain :

i. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, ii. Hak mjabatan dalam angkatan bersenjata/TNI,

iii. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum,

iv. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anaknya sendiri,

v. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anaknya sendiri,


(47)

commit to user (b) Perampasan barang tertentu

Barang yang dirampas melalui putusan hakim menurut Pasal 39 KUHP adalah :

i.Barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan, yang disebut dengan corpora delictie

ii.Barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrument delictie

(c) Pengumuman putusan hakim

Pengumuman putusan hakim ditujukan sebagai usaha preventif, untuk mencegah orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan oleh orang. Selain itu juga memberitahukan kepada masyarakat agar berhati-hati dalam berhubungan dengan orang yang dapat disangka tidak jujur, agar tidak menjadi korban kejahatan ( Adami Chazawi, 2002 : 44-45)


(48)

commit to user Pasien

Informed Consent

Penerapan hukum

euthanasia

Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Hak untuk hidup Hak untuk menentukan nasibnya

sendiri

Euthanasia

Hukum Indonesia, Belanda, Belgia,

Amerika

B. Kerangka Pemikiran

Gambar I

Bagan kerangka pemikiran Keterangan :

Pasien dapat meminta dokter untuk menghentikan tindakan-tindakan medik terhadap dirinya dengan cara mengurangi kualitas perawatan dari rumah sakit ke


(1)

commit to user

Kasus menarik di Amerika tentang euthanasia adalah Terri Schiavo meninggal dunia di negara bagian Florida, 31 Maret 2005 atau 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Pada tahun 2001, hakim pengadilan pengadilan memutuskan bahwa bukti yang jelas dan meyakinkan menunjukkan bahwa Terri Schiavo akan memilih untuk tidak menerima pengobatan yang memperpanjang hidup dalam keadaan yang kemudian diterapkan. Putusan ini juga ditegaskan oleh pengadilan banding Florida dan membantah pendengaran oleh Mahkamah Agung Florida. Ketika tabung pengisi Terri Schiavo telah dihapus untuk kedua kalinya, pada tahun 2003, badan legislatif Florida diciptakan "Terri Law" untuk mengesampingkan keputusan pengadilan, dan tabung itu kembali dimasukkan kembali. Hukum ini kemudian memutuskan pelanggaran konstitusional pemisahan kekuasaan


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

(TimothyQuill. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp058062

diakses 2 Januari 2011).

Akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu


(3)

commit to user

75

BAB IV. PENUTUP A. Simpulan

1. Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara Implisit

pengertian euthanasia terdapat dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai hak hidup, yang diatur didalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “ setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidupnya”. Hak untuk hidup oleh sebagian besar masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri.

Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya suatu hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 14 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan hak atas kesehatan yang diatur didalam Pasal 9 ayat (3) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan berlandaskan kedua Pasal tersebut, pasien atau pihak keluarga yang mewakili setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas dari dokter dapat meminta persetujuan dari dokter untuk meminta dihentikan pengobatannya karena dianggap tidak dapat disembuhkan lagi, sehingga keberadaannya dirumah sakit hanya akan menambah beban serta biaya saja. Persetujuan antara dokter dan pasien

(informed consent) inilah yang menjadi dasar untuk dilakukan euthanasia

terhadap pasien. Dengan demikian dokter tidak dapat dipersalahkan apabila pihak keluarganya mengadukannya, karena tindakannya didasarkan oleh

persetujuan pasien. Informed consent merupakan syarat yang bertumpu atas

dua hak yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri dan hak atas informasi.

2. Ketentuan tentang euthanasia tidak diatur secara tegas dalam peraturan

perundang undangan Indonesia. Secara Impisit euthanasia diatur didalam


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

hidup yang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat merupakan hak untuk

menetukan hidupnya sendiri. Bentuk euthanasia yang sering dilakukan di

Indonesia adalah euthanasia pasif yaitu berupa pengurangan kualitas kesehatan

dari rumah sakit ke rumah tangga. Bentuk euthanasia pasif memang dalam

peraturan perundang undangan Indonesia belum ada yang mengaturnya, sehingga pelaksanaannya bukan merupakan suatu pelanggaran hukum. Pasal 344 KUHP yang oleh para ahli hukum merupakan Pasal yang mendekati

tindakan euthanasia termasuk juga euthanasia pasif tidak dapat bekerja secara

maksimal, karena belum ada menjerat pelaku euthanasia pasif di Indonesia. Jika kita bandingkan dengan negara lainnya (Belanda, Belgia, Amerika),

pengaturan mengenai penerapan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal. Di

Belanda secara tegas melegalkan praktek euthanasia melaui peraturan

perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van

levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on

Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act) walaupun dalam code

penal (KUHP Belanda) disebutkan dalam Pasal 293 yaitu “Dia yang mengambil kehidupan orang lain atas permintaan orang ini eksplisit dan serius akan dihukum dengan hukuman penjara hingga dua belas tahun atau denda

kategori kelima. Sedangkan dalam article 294 disebutkan barang siapa yang

menghasut orang lain untuk bunuh diri dihukum paling lama tiga tahun, dan denda kategori empat. Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa Hukum

Pidana Belanda melarang praktek euthanasia, akan tetapi kemudian

dihilangkan sifat pidananya, sehingga praktek euthanasia di Belanda di

legalkan. Di Belgia pemerintah melegalkan praktek euthanasia melalui

peraturan perundang undangan yaitu The Belgian Act on Euthanasia yang

diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan


(5)

commit to user

of the terminally ill and the dying”. Dalam article 2 disebutkan mengakui

orang sakit parah untuk mati tidak pernah merupakan tuntutan hukum, untuk mati di tangan orang lain"; dan "mengakui bahwa ingin orang sakit parah untuk mati tidak dapat dengan sendirinya merupakan alasan yang sah untuk

melakukan segala tindakan yang dimaksudkan untuk kematiannya"). Di

Amerika memang secara agresif praktek euthanasia dilarang dan merupakan

perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi di negara bagian Oregon eutthanasia merupakan hal yang legal melalui Oregon Death with Dignity Act, dimana secara eksplisit disebutkan bahwa secara eksplisit bahwa seorang pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan dapat mengakhiri hidupnya.

B. Saran

Pemberian hak euthanasia pada dasarnya bertumpu pada hak untuk

menentukan hidupnya sendiri. Akan tetapi permasalahnya sampai sejauh mana batasan-batasan menentukan hidupnya sendiri tersebut. Batasan-batasan tersebut harus jelas, agar tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya, terutama

bila dikaitkan dengan euthanasia akan berbenturan dengan hak hidup,

sedangkan hak untuk menentukan hidupnya sendiri tidak diatur secara jelas dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia perlu dilakukan Judicial Review untuk memasukkan rumusan tentang

hak menentukan hidupnya sendiri. Pemerintah (legislatif) juga harus membuat

regulasi tentang euthanasia yang berbasiskan Hak Asasi Manusia secepatnya

atau memasukkan rumusan euthanasia dalam Undang Undang Kesehatan

ataupun Undang Undang Praktek Kedokteran, agar memperjelas euthansia

mana yang dilarang dan euthanasia mana yang diperbolehkan oleh hak asasi

manusia, sehingga dapat membantu penegak hukum untuk menafsirkan apakah orang tersebut menggunakan haknya atau orang tersebut telah melanggar hak asasi manusia.

Pengaturan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sampai sekarang belum pernah ada

kasus yang ditangani oleh pengadilan yang berhubungan dengan euthanasia.

Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum pernah

menjerat pelaku euthanasia. Ini menunjukkan Pasal 344 KUHP merupakan

Pasal yang tidak efektif. Berkaitan dengan pengaturan euthanasia kedepan

(Pasal 344 KUHP) dan dalam rangka pembangunan hukum pidana kedepan maka ada tiga hal yang harus dicermati yaitu Pasal 344 dihapuskan, Pasal 344 tetap dipertahankan atau Pasal 344 direvisi. Akan tetapi ketiga hal tersebut

mempunyai dampak. Apabila dipertahankan maka euthanasia termasuk

euthanasia pasif tidak diperbolehkan, apabila dicabut maka segala bentuk

euthanasia diperbolehkan termasuk juga euthanasia , apabila direvisi maka ada

kriteria-kriteria tertentu tentang euthanasia yang diperbolehkan dan ada yang

dilarang. Dari hal-hal tersebut, yang paling pantas adalah adanya suatu revisi dari Pasal 344 KUHP. Kedepannya pemerintah harus memberikan kebijakan dekriminalisasi terhadap Pasal 344 KUHP yaitu dihilangkan sama sekali sifat

dapat dipidananya seseorang. Pengaturan euthanasia mendatang harus

mempertahankan beberapa prinsip-prinsip umum yang terkandung didalamnya, akan tetapi harus ada beberapa pengecualian-pengecualian antara lain :

a) Bagi pasien yang sudah tidak ada harapan lagi akan kehidupannya menurut

ukuran medis yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya.

b) Usaha penyembuhan tidak berpotensi lagi

c) Harus mendapat persetujuan dari keluarga pasien.

d) Tindakan yang dilakukan hanya berupa pengurangan kualitas perawatan

kesehatan yaitu dari rumah sakit ke rumah tangga, sehingga secara tegas melarang praktek euthanasia aktif.


Dokumen yang terkait

JAMINAN PEMENUHAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN OLEH WARGA NEGARA INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

0 17 20

JAMINAN PEMENUHAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN OLEH WARGA NEGARA INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

0 6 9

Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia - [PERATURAN]

0 4 29

PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM.

1 1 9

TINJAUAN YURIDIS HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PENERAPAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA (STUDI HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA).

0 0 6

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (Studi Terhadap undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).

0 0 6

Tinjauan Yuridis Viktimologis tentang Tindakan Perbudakan dihubungkan dengan Undnag-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

0 1 2

UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

0 0 29

PERLINDUNGAN HAK ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK TANJUNG PATI KABUPATEN 50 KOTA MENURUT KAJIAN UNDANG -UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA - Repositori Universitas Andalas

0 0 3

PERLINDUNGAN HAK ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK TANJUNG PATI KABUPATEN 50 KOTA MENURUT KAJIAN UNDANG -UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA - Repositori Universitas Andalas

0 0 1